Aji keluar dari pintu belakang dan berlari dengan kencang menyusuri hutan yang terletak di belakang rumahnya. Dari jauh, dia bisa melihat rumahnya terbakar dengan hebat, dan para tetangganya bergotong royong berusaha memadamkannya.
Tatapannya nanar menatap setiap bagian rumahnya yang ambruk satu persatu. Rumah yang terbuat dari anyaman bambu dan beratap rumbai itupun habis terbakar dalam waktu singkat. Tidak ada barang berharga yang bisa diselamatkan, semua hangus terbakar.Lelaki 25 tahun itu melanjutkan larinya tanpa berhenti. Ayunan langkahnya menyibak dedaunan kering dan rerumputan yang tumbuh subur di dalam hutan. Degup jantung dan nafasnya memburu bagai genderang perang yang ditabuh bertalu-talu.Tujuannya adalah markas para perampok yang dipimpin oleh Winarto. Ambisinya untuk membalas dendam sudah berada di ubun-ubun, tapi tidak serta merta dia melakukannya, melainkan dengan sebuah rencana.
Selang beberapa jam, Aji sudah hampir sampai di markas perampok yang ditujunya. Dia menata napasnya agar bisa tenang saat memasuki markas yang sudah biasa dia masuki tersebut. Tiga kali dia melakukan tarikan napas panjang yang diakhiri dengan hembusan pelan, hanya untuk membuatnya sedikit tenang.Dengan sedikit senyuman di bibir yang dipaksakan, Aji memasuki markas tersebut sambil menahan gemuruh di dadanya. Tujuannya hanya satu, mencari Winarto dan membunuhnya.Sesampainya di depan sebuah ruangan, Aji mengetuk pintunya dan membukanya perlahan setelah mendapat ijin dari dalam.Di dalam ruangan tersebut, Aji bisa melihat Winarto bersama 4 orang lainnya tertawa lepas seolah tanpa beban setelah membunuh anak dan istrinya."Kau sudah kembali rupanya, Aji. Apa kau mau ditugaskan lagi?" Winarto tersenyum untuk menutupi kejahatan yang tadi dilakukannya.Aji mengangguk, "Aku ingin merampok bersamamu, Ketua!"Winarto mengernyitkan dahinya lalu tersenyum simpul, "Baiklah, nanti kita berangkat. Aku mendapat kabar katanya ada juragan besar yang akan melintas di hutan Parengan," jawabnya.
Waktu berlalu begitu cepat bagi Aji yang masih menyimpan api dendamnya. Menjelang malam tiba, Aji, Winarto dan 7 orang lainnya bergerak menuju hutan Parengan. Namun sebelum mereka sampai, tiba-tiba Aji berhenti dan turun dari kudanya.Winarto dan yang lainnya bingung dengan sikap yang ditunjukkan Aji."Kau kenapa berhenti?" tanya Winarto. Aji menarik pedangnya, "Apa yang kau lakukan kepada keluargaku tadi, Ketua bangsat?!"Winarto sedikit terkejut saat Aji mengetahui perbuatannya yang membunuh anak dan istri anak buahnya itu. Namun dia tidak berusaha menutupinya dan malah mengakuinya. "Ooh... tentang istri dan anakmu itu? Aku sebenarnya tidak ingin membunuh mereka, jika istrimu mau dengan suka rela berhubungan intim denganku," jawab Winarto dengan entengnya."Bajingan... Aku bunuh kau!" Hardik Aji.Dengan pedang terhunus di tangan, Aji menyerang Winarto yang masih di atas kudanya. 7 orang anak buah Winarto dengan sigap melompat dari kudanya dan melindungi Winarto.Pertarungan tidak seimbang pun terjadi. Dalam waktu singkat, beberapa luka tebasan pedang mendarat di tubuh Aji. Darah segar mulai membasahi pakaiannya. Namun dia tidak berniat menyerah, karena hidup atau mati baginya adalah sama saja.Darah yang mengucur dari luka-lukanya semakin deras. Harapannya untuk membalas dendam pun tampaknya tidak akan mungkin kesampaian, jika melihat kondisinya yang semakin lemah.Pandangan Aji memudar karena terlalu banyak kehilangan darah. Gerakannya bahkan sudah tidak seimbang lagi dan hanya bisa bertumpu pada pedangnya saja. Aji pasrah akan kematian yang sebentar lagi akan menimpanya. Dia hanya bisa tersenyum tipis ketika bayangan senyum ceria anak dan istrinya muncul di pikirannya."Sebentar lagi ayah akan kembali berkumpul dengan kalian di Nirwana," ucapnya dalam hati."Bunuh dia...!" teriak Winarto.Ketujuh anak buah Winarto secara bersama-sama mengayunkan pedangnya ke setiap bagian tubuh Aji yang sudah tidak berdaya.Namun mereka dibuat terkejut karena serangannya hanya menerpa ruang kosong, dan tubuh Aji sudah tidak berada di tempatnya lagi. "Bangsat, siapa yang sudah menyelamatkannya!?" hardik WinartoSekelebat bayangan hitam yang bergerak sangat cepat, menyelamatkan Aji dari kematian di detik-detik terakhir. Waktu berlalu begitu cepat. Semalaman Aji terbaring pingsan tak berdaya, hingga keesokan paginya dia sudah kembali siuman.Kondisi gua yang gelap temaram membuat pikiran lelaki itu serasa berada di dalam kuburan.
"Berarti aku sudah mati sekarang? Istriku, anak-anakku, di mana kalian sekarang?" ucapnya pelan seraya memandang ke langit-langit gua yang gelap temaram itu."Mati gundulmu! Kalau aku tidak menyelamatkanmu, kau mungkin sudah mati sekarang!" Sebuah suara yang sedikit keras mengagetkan Aji. Lelaki tampan itu menolehkan kepalanya tertuju ke sumber suara. Samar-samar dilihatnya seorang lelaki tua yang sedang duduk bersila tidak jauh darinya. "Kenapa Kakek menyelamatkanku? Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini, buat apa aku hidup?"Lelaki tua itu menghela napas berat sebelum menjawab pertanyaan Aji, "Kau belum ditakdirkan untuk mati, Anak Muda! Kau mempunyai tubuh istimewa yang hanya ada 500 tahun sekali. Darah murni yang ada di tubuhmu membuatmu menjadi manusia pilihan. Kau akan mewarisi ilmu kanuragan yang tiada bandingannya, tapi harus kau gunakan di jalan kebenaran," paparnya."Manusia pilihan apanya? Kalau aku manusia pilihan, aku pasti bisa menyelamatkan anak dan istriku!" bantah Aji pelan namun penuh tekanan. Pandangan matanya tetap lesu seperti kemarin setelah kehilangan anak dan istrinya."Anak Muda, aku tahu kau akan sangat sulit menerima kenyataan ini. Tapi, apa kau tidak ingin membalas dendam kepada pembunuh istri dan anakmu? Apa kau ingin membiarkan mereka hidup dan terus berbuat kejahatan kembali? Kalau kau membiarkan mereka hidup, itu sama saja kau membantu mereka berbuat kejahatan!" berondong lelaki tua itu.
Aji mengangkat wajahnya yang tertunduk sedari tadi. Bola matanya berkaca-kaca menatap lelaki tua yang sudah menyelamatkannya.
"Tapi, Kek... aku juga bukan orang baik-baik." Aji mulai meneteskan air matanya. Bayangan orang-orang yang telah dirampoknya, bahkan ada yang dibunuhnya, menghantui di pelupuk matanya. Bayangan jerit tangis mereka menari-nari di pikirannya.
"Aku adalah perampok dan juga pembunuh. Apakah pantas bila aku balas dendam?" sambungnya bertanya.
Lelaki tua itu menggaruk kepalanya, "Apa kau sedang mengigau, Anak muda?"
"Tidak, Kek. Aku sudah sadar. Memang benar aku adalah perampok dan pembunuh juga," jawab Aji.
"Bukan itu, tapi setelahnya! Apa kau kemarin tidak berniat balas dendam kepada mereka?"
Aji menganggukkan kepanya pelan tanpa daya.
"Lalu kenapa kau bertanya apakah kau pantas bila membalas dendam?"
Aji terkekeh pelan teringat kebodohannya. Entah kenapa, harapan besar yang diberikan lelaki tua itu sedikit demi sedikit membuat semangatnya untuk hidup semakin besar.
"Apa Kakek benar-benar ingin melatihku?" tanyanya penuh harap, sebesar keinginannya untuk membunuh Winarto dan semua anak buahnya.
"Lalu buat apa aku menyelamatkanmu jika tidak ingin melatihmu? Meski bukan ilmu terkuat yang akan kau miliki, tapi kalau untuk mengalahkan para pembunuh anak dan istrimu saja, aku rasa bukan hal yang sulit untuk dilakukan!" sahut lelaki tua itu cepat.
Aji tersenyum lebar. Tapi sedetik kemudian, senyumannya itu menghilang dan berganti kerutan di dahinya.
"Apa maksud Kakek dengan bukan ilmu terkuat yang aku miliki?"
"Dengarkan baik-baik! Jadi begini, Anak Muda... Memang aku akan melatihmu, tapi ilmu kanuragan yang akan kuberikan padamu, bukanlah ilmu kanuragan terkuat yang akan kau miliki nantinya. Kau masih harus berlatih lagi kepada orang lain, yang nantinya akan menyempurnakan darah murni yang ada di tubuhmu." Lelaki tua itu memandang langit-langit gua dan kemudian menghembuskan nafas panjangnya.
"Darah murnimu masih kotor akibat perbuatanmu sendiri yang mengotorinya. Hanya orang itu yang bisa memurnikannya, tapi tentunya itu harus didukung dengan niat yang ada di dalam hatimu." tambahnya.
Aji mengangguk memahami ucapan lelaki tua itu, "Baiklah, Kek. Kalau begitu aku akan menuruti saran Kakek. Jadikan aku pendekar yang kuat. Aku akan membuat mereka yang sudah membunuh istri dan anakku menyesal karena telah dilahirkan di dunia ini!" tekadnya.
"Manusia pilihan apanya? Kalau aku manusia pilihan, aku pasti bisa menyelamatkan anak dan istriku!" bantah Aji pelan namun penuh tekanan. Pandangan matanya tetap lesu seperti kemarin setelah kehilangan anak dan istrinya. "Anak Muda, aku tahu kau akan sangat sulit menerima kenyataan ini. Tapi, apa kau tidak ingin membalas dendam kepada pembunuh istri dan anakmu? Apa kau ingin membiarkan mereka hidup dan terus berbuat kejahatan kembali? Kalau kau membiarkan mereka hidup, itu sama saja kau membantu mereka berbuat kejahatan!" berondong lelaki tua itu. Aji mengangkat wajahnya yang tertunduk sedari tadi. Bola matanya berkaca-kaca menatap lelaki tua yang sudah menyelamatkannya. "Tapi, Kek... aku juga bukan orang baik-baik." Aji mulai meneteskan air matanya. Bayangan orang-orang yang telah dirampoknya, bahkan ada yang dibunuhnya, menghantui di pelupuk matanya. Bayangan jerit tangis mereka menari-nari di pikirannya. "Aku adalah perampok dan juga pembunuh. Apak
1 bulan lamanya Aji berlatih fisik. Tubuhnya kini sangat berotot dan terlihat kekar. Namun kulitnya sedikit hitam karena terlalu seringnya dia berlatih di bawah sinar matahari.Latihan berikutnya yang harus dia lakukan adalah pengolahan tenaga dalam. Prayoga mengajak Aji ke sebuah lubang kawah bekas letusan yang ada di atas gunung.Meski sudah meletus, namun kawah gunung tersebut masih mengeluarkan lava panas yang mengepulkan asap tebal.Prayoga memberi perintah kepada Aji untuk duduk bersila di bibir kawah yang sangat panas tersebut. Awalnya, Aji masih ragu untuk melakukannya. Namun sebuah penjelasan dari Prayoga membuatnya melupakan rasa takutnya."Takut itu tempatnya ada di dalam pikiran, Aji. Panas, dingin dan semua yang ada di bumi ini hanyalah makhluk ciptaan Dewata, termasuk kita. Jika kita bisa menyatu dengan makhluk lainnya, tidak mungkin mereka akan menyakiti kita," Papar
Saking besarnya tenaga dalam yang dikeluarkan Aji, pintu gerbang itu sampai jebol dan mengeluarkan suara yang begitu keras. Winarto yang baru keluar dari kediamannya dibuat murka, apalagi setelah melihat Aji berdiri menatapnya dengan tajam. "Kau masih hidup ternyata, Bajingan tengik! Aku pastikan hari ini tidak ada lagi yang akan menyelamatkanmu!" bentak Winarto. Di belakangnya, 40 anak buahnya sudah memegang senjatanya masing-masing dan bersiap untuk menyerang. Mereka hanya menunggu perintah dari Winarto untuk mencincang tubuh Aji. "Kau terlalu percaya diri, Winarto! Semua yang ada di tempat ini tidak akan aku biarkan keluar hidup-hidup," dengus Aji. Diam-diam dia mengalirkan tenaga dalam ke tangannya. "Bangsat! Cincang dia...!" Wiranto berteriak memberi perintah kepada anak buahnya. 40 orang anak buah Wiranto merangsek maju menyerang Aji bersama-sama. Desingan senjata mereka terdengar bersahutan membelah udara, saat se
Setelah menghela nafas panjang, Aji melangkahkan kaki tegapnya menyusuri lebatnya hutan belantara yang tidak terjamah manusia. Keberadaan markas perampok di hutan lebat tersebut membuat orang-orang enggan untuk menjejakkan kakinya, walaupun hanya sekedar untuk mencari ranting kayu bakar.Aji tidak tahu kemana harus melangkahkan kaki, karena tidak punya tujuan yang jelas harus mencari pendekar itu di mana. Yang dia tahu, dia hanya harus tetap melangkahkan kakinya menyusuri jalan setapak, selepasnya dia keluar dari hutan.Seharian berjalan dan hari sudah mulai gelap, Aji tiba di sebuah desa besar yang terlihat ramai, meski matahari sudah tenggelam di ufuk barat.Desa Pandan Pancur, nama yang tertulis di pintu gerbang masuk desa. Entah apa makna yang tersirat dari pengambilan nama tersebut, yang pasti Aji tidak melihat sedikitpun tanaman pandan sejauh matanya memandang."Tidak biasanya ada desa seramai ini saat malam tiba," gumam Aji pelan. Dia melangkah mem
Sesaat kemudian, gadis cantik itu memanggil pelayan untuk membayar tagihannya. Namun tiba-tiba raut muka kebingungan tercetak jelas di wajah cantiknya. Keringat dingin secara perlahan meronta keluar membasahi pakaiannya.Aji sedikit mengernyitkan dahinya saat melihat kebingungan di wajah gadis cantik tersebut. Lelaki tampan itu kemudian bertanya kepadanya, "Ada masalah apa, Nisanak? Apa ada yang bisa kubantu?"Gadis cantik itu menatap Aji sebentar lalu menundukkan kepalanya. Dia takut jika lelaki tampan itu akan meminta balas budi jika dia menerimanya. Dan yang lebih ditakutkannya lagi, bisa saja lelaki itu meminta membalas jasanya dengan cara menikmati tubuhnya.Dia bergidik ngeri. Tapi dia juga dibuat bingung dengan situasi yang saat ini bisa benar-benar membuatnya malu besar. Tak bisa membayar makanan yang sudah berpindah ke dalam perutnya tentu adalah hal yang sangat memalukan buatnya."Kenapa kau malah melamun, Nisanak? Apa ada yang bisa
Sesampainya di penginapan, mereka menuju kamarnya masing-masing untuk beristirahat. Aji tidak segera merebahkan tubuhnya. Dia duduk bersila di atas ranjang dan Pedang Kegelapan berada tepat di depan tubuhnya.Selama Pedang Kegelapan belum memberinya petunjuk kemana dia harus melangkah, dia akan mencoba terus untuk bertanya. Selain rasa penasaran besar tentang siapa yang harus ditemuinya, dia juga penasaran tugas apa yang harus dilakukannya, sehingga dia harus menerima berkah memiliki darah murni di dalam tubuhnya.Seperti semula, Pedang Kegelapan hanya diam tak bergerak. Bahkan ketika Aji mengeluarkan pedang berwarna hitam kelam itu dari sarungnya.Lama tak kunjung mendapat jawaban, Aji berpikir mungkin ada rencana lain untuknya, sebelum dia menemukan sosok yang harus ditemuinya. Lelaki tampan berumur 25 tahun itupun memasukkan kembali bilah pedang Kegelapan ke dalam sarungnya.Setelah itu dia merebahkan tubuhnya, lalu memejamkan matanya
Hanya dengan anggukan kepala, keduanya menjawab pertanyaan tersebut. Selepas itu, pembawa acara menghela napas lega lalu menuruni panggung.Di bawah panggung, seorang lelaki yang merupakan bandar judi, berteriak keras memancing para penonton agar bertaruh dan memilih salah satu petarung yang sudah ada di atas panggung. Berbagai upaya dia lakukan agar partai pembuka dalam turnamen kali ini bisa sarat orang-orang yang bertaruh."Satu banding dua ... satu banding dua!" teriaknya mempromosikan.Karena tidak ada yang meresponnya, bandar tersebut menaikkan lagi tawarannya, "Satu banding tiga ... satu banding tiga!"Satu persatu penonton mulai tertarik memasang taruhan. Mayoritas dari mereka memilih Sapto sebagai pemenangnya, dan hanya dua orang saja yang memilih Aji. Salah satunya adalah Ratih yang menggunakan sisa uang dari Aji kemarin sebagai bahannya bertaruh.Gadis cantik itu
"Itu hanya kebetulan saja," jawab Aji. Bibirnya tersungging tipis menimbulkan misteri bagi Ratih yang melihatnya."Tidak mungkin," gumam Ratih dalam hati. Dia sangat yakin jika Aji tidak asal menebak. Dan menurutnya, Jika Aji bisa membaca pergerakan mereka yang sedang bertarung dan juga menebak siapa yang kalah dan menang, pastinya Aji bukan pendekar biasa.Beberapa orang yang mendengar tebakan Aji , merangsek mendekati lelaki tampan tersebut. Mereka berharap Aji akan menebak lagi pertarungan berikutnya yang akan segera digelar. Dengan begitu mereka akan mendapatkan keuntungan besar dari bertaruh.Namun mereka dibuat kecewa, Aji berjalan menjauh secara tiba-tiba sambil menggandeng tangan Ratih. Gadis cantik berlesung pipi itupun dibuat kaget setelah Aji menggandeng tangannya dengan erat.Seumur hidupnya, hanya ayahnya, lelaki satu-satunya yang pernah bersentuhan kulit denganny
"Kau! Energi apa yang kau miliki itu?"Raja Iblis dibuat heran dengan kemampuan lawan yang bahkan menurutnya memiliki kekuatan lebih besar dari pada yang dibayangkannya. Selain itu, energi yang keluar dari tubuh lawan sejauh ini tidak pernah diketahuinya."Itu tadi belum seberapa, Iblis busuk! Kali ini aku akan mengeluarkan semua kemampuan yang kumiliki!" Aji yang sudah memegang pedang Mustika Naga Bumi, mengerahkan semua energi yang dimilikinya.‘Tidak mungkin!’ pekik Raja Iblis dalam hati. Dia terkejut dengan energi pemuda itu yang menjadi berlipat ganda, setelah pedang di tangannya mengeluarkan aura hijau terang."Sekarang terimalah ajalmu! Kembalilah kau ke alammu Iblis biadab!” Pedang Mustika Naga Bumi di tangan Aji memancarkan energi yang begitu besar, bahkan lebih besar dari energi yang dikeluarkan Raja Iblis di awal kemunculannya tadi.Tiba-tiba saja, suara tawa Raja Iblis terdengar menggelegar. "Hahaha ... Aku memang terkejut dengan kemampuanmu, manusia hina! Tapi kau pun ju
Setelah debu pekat yang menutupi pandangannya menghilang, Aji yang masih dalam keadaan tergeletak di tanah bisa melihat dengan jelas jika Caraka masih berdiri dengan kokoh di tempatnya berdiri. Bahkan tubuhnya tidak sedikit pun bergeser dari tempatnya semula. Pendekar yang belum genap 30 tahun tersebut merasakan nyeri yang begitu hebat di dadanya. Dia kemudian terbatuk kecil dan lalu memuntahkan darah segar dari mulutnya. ‘Kekuatannya sangat besar. Bahkan energiku saja tidak mampu untuk menggoyahkannya,’ gumam dalam hati. Tubuh Caraka kemudian melayang satu meter di atas tanah. Dia lalu bergerak maju mendekati Aji yang belum juga bangkit berdiri, "Apa kau sudah sadar betapa jauhnya perbedaan kekuatan kita berdua? Aku tahu kau belum mengeluarkan energi terkuatmu, tapi meskipun kau mengeluarkannya, itu tidak akan merubah apapun!" Caraka yang masih merasa geram dengan Aji langsung melesat tanpa terlihat seusai berbicara. Tendangan kerasnya mendarat dengan telak di perut Aji, hingga m
Rasa terkejut Aji belum selesai, tiba-tiba saja muncul bayangan hitam berbentuk cakar naga melayang di angkasa. Bayangan hitam itu menutupi matahari sehingga suasana yang semula terang menjadi redup. “Jurus apapun yang kau keluarkan tidak akan bisa mengalahkan aku!” ucap Ki Brenggolo Karang. Seusai berucap, energi yang lebih besar meluap dari tubuhnya. Secara perlahan energi tersebut semakin membuat Aji tertekan. Namun suami Ratih itu masih menunggu kesempatan untuk menjatuhkan jurus Naga Bumi Mengoyak Langit yang masih mengambang di angkasa. Dia terus menarik unsur alam yang ada di sekitar hutan tersebut untuk menambah daya hancur jurus yang hendak dikeluarkannya. Sejauh ini, Ki Brenggolo Karang belum menyadari apa yang dilakukan Aji. Dia menduga lawannya itu hanya menggunakan tenaga dalamnya untuk bertahan dari tekanan energi yang dikeluarkannya. Selain itu, redupnya sinar matahari juga menurutnya hanya karena tertutup awan tebal saja.Beberapa saat kemudian, Cakar Naga raksasa y
Aura hitam yang menyelimuti tubuh Ki Brenggolo Karang perlahan menghilang. Dia sadar jika terus menggunakannya dalam jangka panjang, yang ada tenaga dalamnya akan berkurang drastis. Murid Caraka itu juga berpikir harus bisa mengefektifkan serangannya lebih tepat lagi. Dia melihat jika lawannya itu masih menyimpan kekuatannya yang sebenarnya. Itu terlihat dari kondisinya yang masih terlihat bugar meski sudah terkena serangannya.Melihat aura hitam di tubuh Ki Brenggolo Karang menghilang, Aji tersenyum lebar. Kuat dugaan energi lawan sudah berkurang cukup signifikan. Memaksa menggunakan kabut beracun dalam jangka panjang jelas menguras energinya.Di antara reruntuhan pepohonan dan kepulan debu, pertarungan sengit masih terus terjadi di antara kedua pendekar yang tidak henti bertukar serangan. Beberapa pohon kembali bertumbangan terkena dampak pertarungan mereka berdua.Seperti terjadi kesepakatan, mereka berdua melompat mundur mengambil jarak. Nafas mereka tersengal-sengal terasa berat
Belum juga sempat menyeimbangkan tubuhnya, serangan kembali muncul tanpa terlihat oleh mata Aji. Dia hanya merasakan energi besar saja yang bergerak menyerangnya. Aji kembali bergerak menghindar. Dia melompat menyamping dua langkah. Namun tiba-tiba sebuah pukulan menghantam punggungnya dengan begitu keras, hingga membuatnya terjungkal dan bergulingan di tanah berulang kali. Batuk kecil terdengar dari mulut Aji. Sesaat kemudian, darah segar meleleh keluar dari sudut bibirnya. Sambil bangkit berdiri, dia mengusap darah tersebut dengan punggung tangannya. Belum sempat pemuda itu berdiri tegak, kembali sebuah serangan yang tidak bisa dilihat menghajar dadanya dengan telak. Beruntung Aji masih sempat menahannya dengan menyilangkan kedua tangannya di depan dada ketika merasakan energi besar yang bergerak ke arahnya. Meskipun bisa melindungi dadanya, tapi tak urung tubuh Aji harus kembali terlempar hampir 12 langkah ke belakang hingga membentur sebuah batang pohon.Batuk kecil kembali te
Sementara itu di sekitar lembah, terdapat sebuah gubuk kecil yang berdiri di dekat sungai kecil. Air di sungai itu berasal dari air terjun yang berada tidak jauh dari gubuk itu berdiri. Di dalam gubuk, Sanjaya terlihat duduk sendirian di sudut ruangan dengan wajah pucat pasi. Dia menunggu kedatangan Ki Brenggolo Karang yang menemui Caraka sejak dia baru datang di gubuk tersebut. Menjelang tengah malam, Ki Brenggolo Karang akhirnya kembali ke gubuknya yang biasa digunakannya beristirahat sehari-hari. Sanjaya yang tertidur sambil memeluk lutut, terbangun ketika terdengar suara pintu dibuka. “Ki, akhirnya kau kembali,” ucap Sanjaya pelan.“Kenapa kau kemari tanpa membawa gadis, Sanjaya? Apa kau tidak tahu jika proses yang dilakukan Guru Caraka sudah mendekati akhir?” tanya Ki Brenggolo Karang seraya menatap tajam Sanjaya yang menunduk ketakutan.“Maaf, Ki, sebenarnya tiga gadis tambahan yang dibutuhkan sudah tersedia, tapi sebelum aku membawanya kemari, ternyata anak buahku telah menc
Tubuh tinggi besar itupun terguling hingga menabrak dinding. Suara tubuhnya yang jatuh terdengar cukup keras. Aji berjalan mendekati lelaki itu dan berjongkok di sampingnya. ‘Hmmmm … ternyata pingsan,”’ batinnya. Aji bangkit berdiri untuk melihat kondisi istrinya yang masih berada di dalam kamar. Setelah Aji mengalirkan energinya ke dalam tubuh Ratih, wajah wanita cantik yang pucat itupun kembali segar seperti semula. “Kang, kenapa aku bisa ada di tempat ini?” tanya Ratih. “Panjang ceritanya, nanti saja kuceritakan. Sekarang kita selamatkan dulu gadis yang lain,” kata Aji. Dilihatnya tali tambang di atas sebuah lemari, kemudian diambilnya. ***Tiga orang gadis sudah dikeluarkan dari kamar, salah satunya adalah anak kepala desa Sudirjo. Sedang lelaki bertubuh besar terikat erat di sebuah kursi di ruang tamu. Setelah lelaki itu sadar, Aji pun melakukan interogasi. Dari pengakuannya, lelaki bernama Sanjaya itu diperintah oleh seorang lelaki tua yang merupakan bawahan dari Caraka, s
“Kalian kira aku sedang melucu?” Aji menggeleng dengan satu sudut bibir terangkat naik, “Tapi tidak apa-apa jika kalian berpikir seperti itu. Kalian nanti bisa tertawa sepuasanya setelah kucabut nyawa satu-satunya yang kalian miliki!” Hahahahaha! Semakin keraslah tawa 8 orang penjaga itu. Bahkan tawa mereka sampai terdengar masuk ke dalam dan memantik keingintahuan penjaga yang berada di dalam. Pintu gerbang pun terbuka, beberapa orang tampak keluar menemui 8 penjaga gerbang. “Kenapa kalian tertawa begitu keras, apa ada yang lucu?” tanya seorang penjaga yang baru saja keluar. “Lihatlah dia, katanya dia akan memberi hukuman kepada kita, bukankah itu sesuatu yang lucu? Apa hanya karena dia membawa pedang terus kita harus takut? Hahahaha!” “Kalian pasti akan ketakutan hingga meminta untuk tidak dibunuh!” sela Aji, kemudian bergerak begitu cepat hingga tiba-tiba sudah berada di depan penjaga yang sudah meremehkannya. Jari tangan Aji langsung mencengkeram leher orang itu hingga kesu
Jendela kamar pun terbuka. Dua orang langsung melompat masuk ke dalam. Suasana kamar yang gelap tidak menyulitkan mereka berdua untuk menemukan ranjang yang digunakan Ratih tidur. Perlahan tubuh Ratih diangkat dan dibawa keluar. Satu orang yang berada di luar menerima tubuh wanita cantik itu. Mereka tidak memeriksa terlebih dahulu, karena merasa sudah mendapatkan targetnya. Dari atas atap, Aji merasa heran karena tidak ada perlawanan sedikitpun dari istrinya. Padahal seharusnya jika dalam posisi tersebut, Ratih pasti terbangun. Aji menilai ketiga orang tersebut menggunakan bius untuk membuat istrinya tidak sadar. Ketiga orang itu kemudian pergi sambil membawa Ratih. Suasana yang sepi membuat aksi mereka berjalan lancar tanpa ada halangan hingga keluar desa. Aji terus mengikuti dari belakang, dia menjaga jarak agar tidak diketahui ketiga orang yang membawa istrinya hingga masuk ke dalam hutan. Hampir tiga jam berjalan di dalam hutan, ketiga orang itu akhirnya sampai di bibir hutan,