Vai meloncat pindah menuju balkon di samping kamarnya, lalu mengetuk pintu kaca yang sudah tertutup gorden.
Dilger yang tengah mengetik saat itu terusik. Dia menghela napas dan bangkit membuka pintu, tampak Vai yang menyengir dihadapannya, badannya bergerak ke kanan-kiri dengan kedua tangan bersembunyi di belakang persis anak kecil yang tengah meminta sesuatu.
"Ini sudah malam, Vai!"
Vai mengerucutkan bibir menunduk, lalu mendongak menatap pria yang berwajah setengah timur tengah dihadapannya.
"Dingin." Vai berujar diikuti tampang memelasnya.
Senyum Dilger terbit, dia mengelus kepala Vai, dan mempersilakannya masuk. Gadis itu menyelonong berlalu dengan riang, lalu melempar tubuh mungilnya di ranjang king size.
Gadis itu Vairre Midelli, tingkahnya bagai remaja; lucu, polos, dan menggemaskan. Namun, tak ada yang menyangka jika dia sudah menginjak umur 25 tahun. Wajah dan tubuh langsingnya begitu menipu.
"Aku 'kan sudah bilang, jangan lompat dari balkon. Kalau kau jatuh, bagaimana?"
Vai mengubah posisi menjadi tengkurap sambil menangkup dagu, rambut lurusnya melorot di bahunya.
"Ya 'kan ada Paman. Lagi pula aku rindu sama Paman." Vai berujar dengan suara yang dibuat menggemaskan, tak lupa mimik wajahnya dengan bibir mengerucut.
Itulah kekuatan gadis manis itu yang susah sekali untuk dimarahi, ekspresi wajah dan suaranya selalu meluluhkan orang lain.
"Tante Risa belum pulang?"
"Mungkin satu jam lagi dia datang," jawab Dilger.
Vai menyunggingkan senyum, lalu berpindah duduk di samping pria yang berbeda sembilan tahun darinya. Mata hazel-nya menatap tanpa kedip manik amber Dilger.
"Kau sudah memutuskannya?" Nada suara Vai berubah serius. Kalau begini, Vai kelihatan seperti wanita pada umumnya.
Dilger tak menjawab, Vai beringsut mendekat, semakin mendekat hingga pucuk hidungnya menyentuh milik Dilger.
"Kau pasti belum mengatakannya pada Risa, kan?" tebak Vai.
Dilger menghela napas pelan, dia mengangguk.
Vai beringsut mundur kembali menghempas punggungnya di sofa."Mungkin hanya aku yang mencintai di sini." Vai tak mengalihkan pandangannya menatap lampu gantung di di atasnya.
Dilger menghela napas, kali ini terdengar berat dari sebelumnya. Lalu, tangan kekarnya meraih jari mungil Vai.
"Ini salah, Vai!"
Vai menoleh memiringkan kepala menatap Dilger. "Siapa? Cinta? Aku atau kamu?"
Dilger membuang pandangan ke samping menatap gorden putih dengan hampa. Dia pun tak tahu, siapa yang harus disalahkan.
Dilger tak pernah menduga bahwa dia akan menaruh rasa pada gadis lugu di sampingnya, gadis yang dahulu terpaksa dia tolong. Gadis tua bertampang anak kecil, begitulah Dilger menyebutnya. Siapapun yang melihatnya pasti menerka dia masih gadis sekolahan dengan tampang imutnya terlebih tubuh mungilnya yang hanya setinggi dada Dilger—sekitar 167 sentimeter.
"Aku tak tahu," lirih Dilger.
Vai beralih menghadap Dilger, tangan mungilnya menangkup wajah pria berkulit agak cokelat itu. Vai terkekeh kecil merasakan telapak tangannya geli dengan rambut-rambut halus dagu Dilger.
"Kau tentu tahu karena kau yang menghadirkan rasa ini." Vai berpindah menarik tangan Dilger, meletakkannya di dada kirinya.
"Kau dengar itu?" Vai menatap Dilger. "Aku ingin membalas rasa yang kau berikan."
Vai menurunkan tangan Dilger, kali ini kedua tangannya berpindah mengalun di leher Dilger. Keduanya saling menatap lekat cukup lama.
"Aku merindukanmu," lirih Vai sambil melirik bibir ranum tebal Dilger. Vai memajukan wajahnya, menelengkan kepalanya saat jarak kian mengikis.
"Dilger, aku–"
Seorang wanita buru-buru membuka pintu kamar. Dilger gelagapan, dia bangkit berdiri dengan cepat menghampiri wanita itu yang kini mematung.
Wanita itu istri Dilger, Risa. Mulutnya menganga, tas yang dijinjingnya kini tergeletak di lantai. Dia baru saja pulang dari reuni teman kuliahnya dan disodori pemandangan tak senonoh di rumah.
"Kalian–"
"Risa, ini tak seperti yang kau pikirkan!"
Wanita berambut hitam bergelombang itu menepis tangan Dilger. Dia mendengus seraya berkata, "Risa?"
"Ini tidak seperti yang Tante pikirkan. Paman kelilipan dan aku membantunya." Tentu saja itu bohongnya berselimut mimik wajah polos.
Risa menoleh menatap Vai yang berdiri menunduk di belakang Dilger. Risa menarik napas kuat. Pemandangan ini bukan hanya sekali dia dapatkan.
Dulu, Risa abai saja sebab dia sudah menganggap Vai sebagai anaknya sendiri, terlebih gadis itu sebatang kara, wajar jika bermanja-manja, menarik perhatian orang sekitarnya. Namun, Risa menyadari jika gadis pungut itu kini sudah berumur, hanya terpaut enam tahun saja darinya.
Cuman, wajah Vai begitu kekanakan dan tingkahnya masih bagai anak kecil. Jika Risa dan Vai berdekatan—tentunya tanpa memandang umur—keduanya memang bagai ibu dan anak.
Risa mendekati Vai, ditatapnya wajah polos gadis itu. Tangannya mengelus pipi Vai. "Kau bisa tinggalkan kami sebentar 'kan, Sayang?"
Vai mengangguk tanpa menatap wanita dihadapannya, dia berlalu pergi. Risa menjeling memastikan Vai benar-benar keluar. Setelahnya, dia menghela napas kasar.
"Sekarang apalagi alasan yang ingin kau katakan padaku?" Rahang Risa mulai mengeras.
"Risa, ini–"
"Risa?"
Dilger mengecap bibir. "Ini tak seperti yang kamu pikirkan, Sayang!" Dilger memegang lengan Risa sontak wanita itu menggeliatkan tangan melepasnya.
Keduanya kembali terdiam, Risa menatap kosong vas bunga di meja. "Kau berubah." Risa terdiam.
"Aku tidak bisa pura-pura lagi, wanita itu sudah kelewatan!" Risa menatap Dilger. "Katakan dengan jujur padaku!"
Dilger meneguk susah ludahnya. Dia bergeming di tempatnya berdiri.
"Gadis lugu itu memikatmu, iya? Atau ... jangan-jangan kamu yang terpikat?"
"Sayang, dengarkan aku dulu–"
Risa menepis tangan Dilger yang ingin menangkup wajahnya."Kau masih tak ingin mengakuinya? Kau kira aku tak tahu apa yang kalian lakukan di belakangku?" Risa mengembuskan napas kasar.
"Kau tak mencintaiku lagi, kan?" Risa bertanya tanpa melihat lawan bicaranya.
Lagi-lagi Dilger terdiam. Dia tak tahu harus berkata apa. Kalau dia berkata jujur, Risa pasti terluka, tapi jika dirinya berkata sebaliknya, itu sama saja dia membohongi dirinya.
"Kau diam, berarti aku benar, kan?" Risa berlalu duduk ke sofa.
Dilger memejamkan mata, kini Risa memojokkanya. "Ya, ya, aku mencintainya, kenapa? Kau cemburu?!"
Risa terkejut di duduknya mendengar suara meninggi Dilger dan pernyataan pria itu. Manik matanya bergerak-gerak menyelisik mata Dilger.
"Kau ...." Mata Risa mulai berkaca-kaca dan bahunya pelan-pelan mulai bergetar.
"Risa," lirih Dilger. Ada rasa sesal terjepit dalam dadanya, seharusnya dia tak mengatakannya. Istri mana yang tak terguncang mendengar suaminya terang-terangan mencintai wanita lain.
Dilger menarik Risa dalam dekapannya, mengelus-elus punggung wanita itu, berharap tangisnya mereda, tapi Risa justru malah kian menangis. Dilger kini merasakan cairan basah menembus kemejanya.
"Apa karena aku sudah tak cantik lagi hingga kau berpaling dariku?" desis Risa di tengah-tengah isak tangisnya.
Dilger menggelengkan kepala, lalu mengecup rambut Risa. "Kau cinta pertamaku dan akan selalu begitu."
"Bohong!" Risa menarik dirinya dari dekapan Dilger. Matanya sudah memerah bercampur tangis dan amarah.
"Maafkan aku, Sayang!" Hanya itu yang keluar dari mulut Dilger. Dia kembali mencoba menarik Risa. Namun, wanita itu segera menepis keras tangannya.
"Sejak kapan?" Risa menatap buram wajah Dilger, air matanya masih meluruh seolah tak ingin berhenti.
"Sejak kapan kau mencintainya?"
"Sejak kapan kau mencintainya?"Dilger melengos kala tatapan kehancuran Risa bertemu dengannya."Jawab aku!" Risa meremas tangan Dilger.Gigi Dilger saling beradu. Kenapa perasaan terlarang itu harus muncul dalam dadanya? Kenapa harus gadis pungut itu? Kepala Dilger mulai berkecamuk merutuki kebodohannya.Dilger menarik napas. "Aku tak bisa, Risa. Itu tentu melukaimu."Risa membuang wajah, mengusap kasar pipi basahnya. "Luka? Kalau kau tahu kelakuan bejatmu itu melukaiku, lalu kenapa kau tega? Kenapa?" Tangis Risa kini berhenti berganti tatapan nyalangnya. Kedua alisnya meliuk.Risa mendengus menyaksikan Dilger tak berkutik. Wanita berambut hitam itu bangkit dari duduknya."Mau kemana, Ris?"Risa menoleh tanpa menjawab dan melanjutkan langkahnya yang terhenti. Dilger mengusap kasar wajahnya. Dia menghempaskan punggungnya di sandaran sofa diikuti erangan frustrasi.*Vai cekikikan memeluk boneka beruang yang besarn
Gelas di tangannya terjatuh, sigap Risa memundurkan kakinya sebelum diguyur air."Siapa yang mengatakannya?" Suara Dilger memang terdengar tenang. Namun, gelas jatuh di tangannya membuktikan jika dia terkejut bukan main."Itu tak penting. Jawab aku!"Dilger menyugar kasar rambutnya, ia berbalik duduk di sofa. Tatapan matanya berubah meredup. Lalu, dia mengangkat kepala melihat wajah tegang istrinya. Dia menyunggingkan senyum. Sinis."Apa yang remaja tua itu katakan?"Risa mendapatkan pengendalian dirinya. Dia melangkah mendekati Dilger, bertekuk lutut dihadapan pria itu, lalu jemarinya meraih kedua tangan kekar Dilger."Banyak, tapi aku ingin mendengarnya darimu kali ini." Suara Risa memelan, tersirat nada kecewa dan kehancuran di dalamnya.Helaan napas berat lolos dari bibir Dilger, tatapannya sayu menatap Risa. Dia melihat selaput bening dalam manik istrinya."Apa kau percaya jika kukatakan aku tak pernah melakukan hal keji i
Vai melompat-lompat di atas ranjang, melempar bantal hingga menyentuh langit-langit kamar. Berulang kali hingga bantal itu memuntahkan isinya, kapas-kapas beterbangan di udara.Gadis yang kini mengepang dua rambutnya menjeling ke arah pintu yang sedari tadi diketuk. Namun, dia malas beranjak membukanya hingga suara gedoran itu lenyap.Tak butuh berapa lama, suara gemerincing terdengar di luar kamar dan pintunya terbuka menampilkan sosok Risa dalam balutan blazer cokelat, tak lupa sorot matanya yang tajam menatap Vai yang melompat-lompat di atas kasur."Masuk. Jangan berdiri disana!" ujar Vai. Bantal yang dilemparnya kini menipis seiring isinya dipaksa keluar.Risa mengedarkan pandangannya, pintu lemari yang terbuka menjulurkan susunan pakaian yang berantakan, beberapa terlepas dari gantungannya. Sobekan-sobekan buku bacaan berhamburan bercampur serbuk glitter di lantai.Risa berganti menatap Vai dalam balutan pakaian hitam kini bermandikan kapas ba
Risa menoleh menatap Vai yang kini menyengir jahat di samping wajahnya."Sebenarnya aku hanya bermain-main saja. Namun, tak kusangka kamu terpancing amarah. Oh, iya, kau tahu aku melihat segalanya kemarin. Kau mungkin tak menyadariku sembunyi di balkon kamarmu!"Vai memundurkan badannya, tangannya terangkat menampar pipinya sendiri. "Kau melakukan itu di wajah Dilger, kan? Hahahah!" Vai bertepuk tangan.Risa kembali bergeming."Oh, iya, lalu setelah itu kalian baikan, kan? Padahal aku masih ingin melihat kalian berduel lebih lama." Tubuh Vai merosot, lalu kembali menatap Risa diikuti senyumnya."Mau lihat sesuatu?"Tanpa menunggu persetujuan Risa, dia bangkit menuju nakas samping tempat tidurnya, membuka satu per satu lacinya. Namun, tak menemukan benda yang dicarinya. Vai mematung sebentar, memikirkan dimana dia meletakkan benda itu."Ah, di sana kau rupanya," ujarnya lalu menarik sebuah tablet yang tertutupi pakaian di atas ranjang.
Risa mengerjapkan matanya. Dia sudah berada di kamar. Sisi kepalanya masih terasa berdentum.Risa mencoba bangun, tapi punggungnya terasa berat."Berbaring saja!"Risa menoleh ke arah sumber suara. Senyum Dilger memesonanya. Raut wajah Risa berubah mengeras, percakapan semalam di kamar Vai berputar."Kamu menghilang semalaman, lalu tiba-tiba ditemukan di lobi utama." Dilger menatap lamat wajah pucat istrinya."Lobi?" Risa mendengus, mengumpat pelan dalam hati, wanita gila itu menelantarkannya saja di luar."Apa yang terjadi?"Amarah Risa menjalari tubuhnya. Dia melengos, Dilger menatapnya sedari tadi dengan raut wajah berkabung."Kamu masih bisa menatapku begitu setelah apa yang kamu lakukan padaku?" gumam Risa.Dahi Dilger berkerut. "Apa maksudmu, Risa?"Risa mendengus lagi. Tangannya mengepal di balik selimut.Pria itu menangkup wajah Risa menghadapnya. "Kamu tahu aku mencemaskanmu semalaman. Aku bahk
Risa menolak tidur sekamar dengan Dilger. Dia masih kesal, Dilger seolah-olah bertindak tidak melakukan kesalahan, pria itu belum mengaku padanya."Ibu akan marah lagi jika menemuimu tidur disini," ucap Dilger, tapi Risa tetap kekeh tidur sendiri.Risa tak peduli, biarkan saja Samara berasumsi seenaknya. Lagi pula, Risa tak yakin bisa sekamar dengan Dilger setelah apa yang didengarnya.Amarahnya tak tenang saat bersama Dilger, barangkali dia menancap pisau di tengah malam pada suaminya.Matanya terpejam, deru napasnya semrawut. Risa menyadari dirinya akan segera gila.Pintu kamarnya diketuk pelan. Risa mengabaikan, tapi ketukannya kian lama terdengar kasar dan mengusiknya."Sudah kubilang, aku tetap akan tidur di sini! Jangan membujukku!" Risa berteriak menatap jengkel pintu kayu."Ini aku."Risa membatu mendengar suara di luar pintu. Bukan suara Dilger. Risa enggan membuka pintu, tapi tubuhnya bereaksi sebaliknya.
"Lebih baik kamu menceraikanku secepatnya.""Apa yang kamu katakan, Risa?" Dilger mencoba meraih bahu Risa, tapi ditepis lagi.Risa mendongak. Sebenarnya, Risa lemah, rasanya ingin mati saja."Bukankah itu keinginanmu?""Tidak, Risa. Aku tak pernah menginginkan itu. Kumohon jangan mengatakan hal konyol—""Konyol katamu?" Rintik air mata Risa mengalir."Aku benci melihatmu menangis." Dilger menatap sayu wajah sembab Risa."Tapi kamu selalu membuatku menangis. Atau, kamu tidak sadar?"Dilger memeluk Risa meskipun wanita itu berontak."Apa lagi yang wanita itu katakan?""Aku mendengar obrolan kalian hari itu."Dilger melepas pelukannya, menatap Risa penuh tanya."Kamu pura-pura pikun atau memang bodoh?""Risa—""Sebelumnya, aku memercayaimu, tapi ... sekarang, aku berpikir dua kali lagi. Kamu beralih, Dilger. Kamu tak memihakku lagi, kamu tahu itu?""Apa maksudmu,
Dilger menyugar kasar rambutnya. Berjalan mondar-mandir di kamar. Sesekali melirik kamar di paviliun sebelah, lampu berwarna-warni berpendar.Setelah perdebatannya tengah malam dan diakhiri oleh Samara. Dilger sudah tak bisa tidur lagi. Jam terasa bergerak lebih lambat.Ibu jarinya menyapu bibirnya kasar. Dilger tak kuasa menunggu lebih lama lagi. Dia bergegas keluar.Dilger memandang pintu kayu di depannya sebelum mengetuknya. Butuh waktu agak lama hingga pintu itu terbuka.Sosok yang ditunggunya muncul. Rambutnya agak berantakan, baju kaus kedodoran berpadu celana pendek ialah baju tidurnya."Ada apa?" Vai bertanya sambil menguap.Dilger merasa bersalah mengusik tidur Vai, tapi dia segera menepisnya. Ditatapnya lamat-lamat Vai yang sibuk menguap. Sekalipun tampangnya kacau, tapi Vai tetap kelihatan cantik. Dilger melengos merutuki pikirannya barusan."Aku ingin bicara," ungkap Dilger.Vai mengerjapkan matany
Semuanya dimulai enam tahun silam. Saat ketakutan, amarah, dan dendam bercampur satu. Saat kehidupannya bergilir ke arah berlawanan.Malam itu, hari istimewanya. Kedua kakinya menyilang sambil digerakkan gusar. Tangannya terentang, sesekali memegang dada menahan degup yang kian berpacu seiring pergerakan menit jam.Ah, entah kenapa di hari senangnya itu dia merasa gusar sekaligus.Ibunya akan segera pulang dari tempat kerja, seorang pelayan mansion yang sudah bekerja lebih sepuluh tahun.Namun, hingga pukul sepuluh, belum ada tanda-tanda kepulangan ibunya. Aneh baginya, ibunya tidak biasa pulang telat, jikalau pun terjadi, pasti menitip pesan sebelumnya, tapi itupun amat jarang terjadi.Dia masih berusaha tenang, tapi suara detik menit jam terdengar mengerikan. Di luar begitu gelap, temaram rembulan lenyap seiring awan hitam menutup dan kilat sesekali menyambar.BrakSuara gedebum terdengar. Dia tahu betul, itu suara pot bunga sebab d
Vai membenahi isi lemari, memilah baju yang akan dibawanya. Sesekali bergerundel kesal."Apa yang dia pikirkan semalam?" Vai memasukkan asal midi dress ke dalam koper. Mengingat obrolannya semalam dengan Risa membuatnya kesal kembali.Pintu diketuk.Vai enggan beranjak, dia menduga Risa yang datang. Namun, ketukan tersebut tak berhenti."Vai, ini Nenek, buka pintunya!"Vai menatap pintu sambil membelalak. "Nenek!" Sigap dia membuka pintu."Oh, maafkan aku, Nek. Aku baru saja keluar dari toilet," bohongnya."Tumben Nenek kemari, ada apa?" Vai merangkul lengan Samara, menuntunnya ke sofa.Samara menilik kamar Vai. Dua lemari pakaian terbuka, setengah kosong, dan pakaian berhamburan di atas ranjang."Kamu berencana menetap di rumah Hendy?"Vai mengikuti arah pandang Samara pada koper yang tergeletak dengan isi yang berantakan."Mungkin."Samara mendesah. "Mungkin?" matanya sendu menatap Vai."Aku
Dilger mengguncang tubuh Risa. "Kumohon jangan menyebut kata tersebut.""Kenapa?" Pelupuk mata Risa menggenang."Lebih baik kamu istirahat."Risa menepis tangan Dilger. "Jawab pertanyaanku.""Kamu sudah tahu jawabannya. Sampai kapanpun aku tak akan pernah menceraikanmu meskipun—""Maukah kamu hidup menderita seperti ini selamanya? Aku dan kamu sama-sama tersiksa."Dilger memalingkan wajah, tangannya mengepal."Pikirkan baik-baik, masih belum terlambat untuk menggugat percera—""Tidak. Aku tidak akan melakukannya!" sanggah Dilger. Dia menatap bola mata Risa lekat. "Jawabanku tak akan berubah."Risa menatap hampa lantai yang mengilap. "Keluar!" Suaranya serak. Dia tak mengalihkan pendangannya sedikit pun bahkan ketika Dilger benar-benar meninggalkannya..Risa menekuk lutut, menenggelamkan kepala meredakan dentum di kepalanya."Apa kamu gila, Risa? Bagaimana bisa kamu selemah ini?" Risa bermonolog.
Sore itu, mereka berkumpul di ruang keluarga. Vai mengamati tiap-tiap kepala yang nampak menikmati tayangan TV. Saat pandangannya bertemu dengan Risa, wanita itu menatapnya lurus yang membuat Vai menyeringai samar. "Apa katamu tadi? Kamu akan pergi lusa?" Samara menatap Hendy dan Maya. "Kalian pergi berbulan-bulan, lalu pulang hanya lima hari?" "Kami akan bolak-balik mengunjungi Ibu. Atau Ibu ikut kami saja?" "Jaga ucapanmu, Hendy!" Dilger menyipitkan mata. "Jangan memperebutkan Ibu dan aku tak akan kemana-mana. Hendy, bisakah kamu tinggal lebih lama?" "Ibu tahu sendiri, aku tak terbiasa menyuruh tangan kananku mengelola bisnis selagi aku berleha-leha di rumah—" "Dasar penggila kerja. Entah ayahmu mendidikmu bagaimana dahulu." Samara menyengir. "Aku melakukan ini demi Ibu juga." "Nek," panggil Vai. Dia bertemu pandang dengan Maya seolah dia berujar, "Kamu yakin melakukannya?" "Boleh aku ikut sama Tante M
Vai melirik kepala tangan Risa. "Selamat malam, Risa!" Vai berbalik pergi."Kupastikan hidupmu tak akan tenang setelah ini, Vai!" Gigi Risa bergemertak. Dia mendongak, seseorang yang berdiri di balkon sudah lenyap.Risa mencengkram rambutnya, lalu menghempas tangannya kesal. "Jangan bertingkah bodoh, Risa!" ujarnya.Risa berbalik pergi. Saat dia menaiki tangga, dia berpapasan dengan Maya. Risa tersenyum tipis. Keduanya saling memandang menunggu siapa yang harus membuka mulut lebih dahulu.Namun, tatapan lurus Maya seakan-akan mendesaknya."Apa yang kamu lihat?" tanya Risa diselingi tawa kecilnya."Aku bisa saja langsung mengartikannya sesuai dengan apa yang kulihat. Mencoba menampar Vai? Untungnya pencahayaan remang-remang, aku tak tahu pasti bagaimana wajahmu saat itu. Namun, aku mengenalmu, Risa. Kenapa wajahmu tegang seperti itu?"Risa membuang pandangan. "Ah, sedang banyak pikiran. Dia kekeh ingin memotong pendek rambutnya, aku me
Risa memundurkan wajahnya seiring Samara yang kian maju."Benar, ada sesuatu di matamu. Ketakutan dan kekhawatiran." Samara memiringkan kepala. "Ada sesuatu yang membuatmu risau, menantu? Dan jangan menatap Ibu seperti itu."Mulut Risa menganga bahkan matanya tak berkedip. Samara menatapnya, tersenyum lebar sambil menaikkan satu alisnya, lalu menepuk tangannya."Kenapa?" tanyanya."Bukan apa-apa?""Terkejut?" tantang Samara."Apa Ibu ... tak marah padaku?"Bulu kuduk Risa meremang menyaksikan senyum Samara. Tampang Samara jauh lebih menyeramkan menurut Risa."Kamu lebih senang melihatku marah dibanding seperti ini?"Risa menarik napas, merilekskan tubuhnya yang menegang."Aku tak mengatakan itu, Bu." Suara Risa mulai melunak.Samara mengangguk-angguk. "Sampai di mana kita tadi? Ah, pertanyannku, tapi lupakan saja. Ada hal yang lebih penting.""Lebih penting?"Samara membuang pandangan, dia ber
Risa menghempas tubuhnya di tengah ranjang. Menatap hampa lampu kristal di atasnya. Dilger ikut membaringkan tubuh di sampingnya. "Aku tak bisa diam terus seperti ini, Dilger. Aku tak bisa tenang." "Benar, tapi posisimu juga terancam. Bertingkah sekali lagi di depan ibu, barangkali dia akan mengusirmu." Risa memiringkan badannya, mengamati Dilger. "Apa aku mengatakan sesuatu yang salah?" tanya Dilger. Risa beranjak duduk. "Tapi, aku memilikimu." "Namun, keputusan final akan selalu berada di tangannya meskipun aku tidak mau itu terjadi, tapi jika ibu ... aku tak bisa melakukan apapun." "Apa kamu sudah tak mencintaiku hingga mengatakan itu?" Risa menyadari Dilger menarik bahunya, dia tak mengelak. Helaan napasnya terdengar berat. "Oleh karena itu, aku mengatakannya lebih dahulu agar kamu bertingkah lebih hati-hati. Aku tak ingin itu terjadi, Risa. Aku tak ingin pisah darimu. Kamu mengerti?" Risa mengangguk
Bunyi klakson mobil samar terdengar. Samara tak mampu menyembunyikan wajah semringahnya. Menatap Vai dan Dilger bergantian.Vai berlari keluar, mendahului Samara yang dirangkul Dilger. Rambut cokelatnya terumbai-umbai. Vai tak memedulikan pelayan yang menatapnya terkejut. Tetiba jarak dapur dengan pintu depan bagai berpuluh-puluh kilometer.Langkah Vai terhenti, menatap mobil sedang hitam mengilap. Di sana sudah berdiri sepasang suami-istri dalam balutan pakaian mewah."Paman," sebut Vai.Pasangan itu menoleh. Raut wajahnya sedikit terkejut, tapi tak bertahan lama saat Vai berhambur pada keduanya."Aku sangat merindukan kalian, tapi kalian selalu menomorsatukan pekerjaan." Vai mengerucutkan bibir."Paman juga sangat merindukan kalian. Sudah lama sekali tak bertemu."Vai mengeratkan pelukannya. Wanita paruh baya di sampingnya turut mengelus rambut lurusnya.Dia adalah Hendy Wiston, anak tertua Samara. Si penggila kerja, bolak-ba
"Jadi, kalian sudah baikan ceritanya?" Vai bertanya tanpa mengindahkan tatapannya yang menuang mi ke dalam mangkuk. Dia menyungging senyum sinis, dan dia tahu dua orang disampingnya menilik tajam.Vai menoleh. "Aku turut senang, tapi mungkin tak akan bertahan lama," ujarnya sambil mengangkat mangkuknya menuju ke meja.Pasangan itu masih bergeming di tempatnya, mendengar Vai yang menyeruput mi-nya.Risa beranjak turun meski Dilger menahannya, sorot matanya berkata, "Tenang, aku tahu apa yang harus aku lakukan."Dilger dengan enggan melepasnya. Wanita itu berjalan gemulai menghampiri Vai.Risa duduk tepat di depan Vai, mengawasinya yang begitu menikmati makanannya. Acap kali terdengar gumaman lezat di bibirnya."Aku turut senang melihat kalian berdua bersama lagi. Aku mengucapnya dengan jelas, kan?" Vai berkata dengan mulut masih mengunyah.Risa mengulas senyum, mengangguk. Dia menarik saus cabai, menyodorkannya pada Vai."Astaga