Gelas di tangannya terjatuh, sigap Risa memundurkan kakinya sebelum diguyur air.
"Siapa yang mengatakannya?" Suara Dilger memang terdengar tenang. Namun, gelas jatuh di tangannya membuktikan jika dia terkejut bukan main.
"Itu tak penting. Jawab aku!"
Dilger menyugar kasar rambutnya, ia berbalik duduk di sofa. Tatapan matanya berubah meredup. Lalu, dia mengangkat kepala melihat wajah tegang istrinya. Dia menyunggingkan senyum. Sinis.
"Apa yang remaja tua itu katakan?"
Risa mendapatkan pengendalian dirinya. Dia melangkah mendekati Dilger, bertekuk lutut dihadapan pria itu, lalu jemarinya meraih kedua tangan kekar Dilger.
"Banyak, tapi aku ingin mendengarnya darimu kali ini." Suara Risa memelan, tersirat nada kecewa dan kehancuran di dalamnya.
Helaan napas berat lolos dari bibir Dilger, tatapannya sayu menatap Risa. Dia melihat selaput bening dalam manik istrinya.
"Apa kau percaya jika kukatakan aku tak pernah melakukan hal keji itu dengannya walau benar aku menyukainya?"
Selaput tipis di manik mata Risa kini kian menggenang, satu dua tetes lolos keluar dari matanya. Risa menunduk menadahkan kepalanya di lutut Dilger.
Dilger hanya diam di tempatnya. Dia tahu, Risa tak butuh kalimat penenang, wanita itu hanya butuh tempat mencurahkan tangis.
Risa mengangkat kepala, terangkai jelas wajah kecewanya. Dia menarik ujung kaus Dilger, lalu mengelap tangis di pipinya dan membuang ingus di sana.
Dilger memalingkan wajah ke samping. Ujung kausnya kini basah berlendir, dan dia melihat belum ada tanda-tanda Risa menghentikan aksi kotornya di bajunya.
"Dia bilang kau sering mencuri ciuman dan pelukan padanya."
Dilger tercengang. "Dia berkata begitu?"
Dilger mendengus melihat wajah datar Risa. "Dasar remaja tua!"
"Aku pernah menciumnya–"
Kalimat Dilger terpotong dengan tamparan keras di pipinya. Dia menoleh melihat Risa yang kini bernapas semrawut.
"–sekali, di pipinya." Dilger melanjutkan kalimat terpotongnya. Sebenarnya dia marah. Namun, jika dia berada di posisi Risa, barangkali dia akan melakukan hal yang sama.
"Selebihnya, dia yang memancingku. Memaksaku tidur bersamanya, mencuri ciumanku, dan kau tahu hal bodoh apa yang pernah dia lakukan? Dia pernah melepas seluruh pakaiannya ... depan mataku. Apa aku terpancing?" Dilger beralih menatap Risa yang membatu, diangkatnya tubuh berisi Risa berpindah di pangkuannya.
Wanita itu terdiam, tak bereaksi sedikitpun saat Dilger mengecup keningnya.
"Kuakui tubuhnya memang memukau. Namun, aku tak tertarik. Kau tahu kenapa?"
Manik abu-abu Risa bergerak-gerak menyelisik masuk manik Dilger. Penglihatannya kembali mengabur seiring bening air menyelimuti. Risa berhambur dalam pelukan pria dihadapannya.
"Aku takut dengan istriku," bisik Dilger, lalu membalas pelukan istrinya tak kalah erat.
Risa cekikikan kecil di tengah tangisnya, ada perasaan lega menyergap dadanya.
"Maafkan aku. Harusnya aku mendengarmu dulu sebelum menamparmu. Aku kejam, ya?"
Dilger menenggelamkan wajahnya di lekuk leher Risa, menghirup dalam aroma bunga disana.
"Ya, istriku memang kejam hingga aku harus berpikir dua kali untuk selingkuh." Dilger memejamkan mata, mencari ketenangan dalam pelukan istrinya. "Maafkan aku!"
Risa melepas pelukannya berganti menatap Dilger. "Aku juga minta maaf telah berpikiran negatif tentangmu. Ku kira Dilger-ku sudah berubah."
"Tapi ... sejak kapan Vai begitu?"
"Aku tak tahu, tapi aku baru menyadarinya sekarang dan entah bagaimana rasa itu ada. Namun, jangan salah sangka, aku hanya mencintaimu, cintaku untuknya tak lebih dari sekedar kagum semata."
Risa mengangguk-angguk mengerti. Kini dia paham apa yang terjadi antara dua manusia itu. Namun, tiba-tiba wajah Risa mendadak lesu.
"Apa aku terlalu memanjakannya hingga dia menjadi wanita nakal?"
Dilger bungkam. Tentang hal itu, dia masih mencari jawabannya.
"Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Sebaiknya kau jaga jarak darinya. Aku tak ingin kejadian itu berulang lagi atau ...." Risa tersenyum manis, kedua tangannya berpindah mengalun di leher Dilger, wajahnya beringsut maju menipis jarak.
"Aku ingin bayi," bisiknya.
Dilger membuka mata, menatap Risa yang kini menatapnya redup. Tersemat rasa bersalah dalam dadanya, itu permintaan Risa yang paling sering terlontar dan paling susah dia kabulkan. Selama tujuh tahun pernikahan keduanya, Dilger belum mengharapkan kehadiran orang lain di hidupnya walau dia tahu anak itu hasil cinta keduanya.
"Maaf."
"Kenapa?"
"Aku belum siap menjadi ayah. Menjagamu saja aku belum becus terlebih seorang anak ... entah kenapa aku takut." Dilger melengos tak berani menatap wajah Risa.
Risa menarik wajah Dilger menghadapnya. "Kenapa?"
Dilger menghela napas. "Vai. Entah kenapa gadis itu kini tampak mengerikan dan hal itu membuatku takut memiliki anak. Aku masih bertanya-tanya, didikan apa yang salah dari kami untuknya hingga dia kini–"
Kalimat Dilger terpotong, keduanya saling memandang dan berganti menatap pintu yang diketuk, digedor tepatnya.
"Biar aku saja." Dilger bangkit dari duduknya membuka pintu, mendapati Samara Wiston—ibunya—yang berkacak pinggang.
Samara menyelonong masuk tanpa bertanya izin pada Dilger. Dia melangkah cepat menghampiri Risa yang menyungging senyum untuknya.
Plak
"Ibu!" teriak Dilger berlari menghampiri Samara.
Satu tamparan mendarat di pipi Risa, sudut bibirnya terasa berdenyut. Benar saja, cairan merah tercetak di sudut bibirnya. Dia mengangkat kepala menatap wajah ibu mertuanya.
"Apa yang Ibu lakukan?" Dilger menangkup wajah Risa yang tampak pucat, tubuh wanita itu bergetar.
"Kau kini ingin bermain-main dengan Wiston, huh? Dasar jalang!" Wanita yang sudah berambut setengah memutih itu menatap melotot wajah Risa.
"Dia menantumu, Ibu!" sergah Dilger menangkap tangan Samara yang ingin memukuli Risa kembali.
"Diam kamu. Ibu tidak berbicara denganmu!"
Risa yang terdiam kini memberanikan mendongak menatap wajah beringas ibu mertuanya.
"Apa yang aku lakukan hingga Ibu marah padaku?"
Samara mendengus. "Sepertinya ibu mertuamu ini sudah termakan lagak manismu!"
Dilger dan Risa saling bertukar pandang.
"Ma-maksud Ibu?"
Samara mendecih. "Kalau kau sudah bosan dengan suamimu, jangan gilir dia ke anak angkatmu!"
Risa bangkit berdiri, kedua alisnya bertautan menatap bingung mertuanya.
"Aku tak mengerti maksud Ibu?"
Samara menggelar tawa. "Rupanya istrimu pandai berakting." Dia menoleh melirik Dilger.
Samara berlalu membuka pintu balkon, tatapannya mengarah di kamar Vai yang terdengar pantulan bas musik rock. Wanita itu berbalik, senyum sinisnya terbit lagi melihat wajah bingung Risa. Derap sandal sepatunya mengisi hening hingga berhenti tepat depan Risa.
"Kau memaksa Vai menikahi Dilger. Kau anggap apa keluarga Wiston selama ini? Ingat, posisi tinggimu sekarang berkat keluarga ini!"
Dada Risa kembali terombang-ambing. Pertanyaan menumpuk dalam kepalanya, ada apa dengan hidupnya yang dulunya tenang kini mulai kacau balau?
Samara dan Risa beradu dalam satu garis pandangan. Tanpa mereka ketahui, seorang remaja tua berdiri di luar pintu, senyum sinisnya terlukis.
Vai melompat-lompat di atas ranjang, melempar bantal hingga menyentuh langit-langit kamar. Berulang kali hingga bantal itu memuntahkan isinya, kapas-kapas beterbangan di udara.Gadis yang kini mengepang dua rambutnya menjeling ke arah pintu yang sedari tadi diketuk. Namun, dia malas beranjak membukanya hingga suara gedoran itu lenyap.Tak butuh berapa lama, suara gemerincing terdengar di luar kamar dan pintunya terbuka menampilkan sosok Risa dalam balutan blazer cokelat, tak lupa sorot matanya yang tajam menatap Vai yang melompat-lompat di atas kasur."Masuk. Jangan berdiri disana!" ujar Vai. Bantal yang dilemparnya kini menipis seiring isinya dipaksa keluar.Risa mengedarkan pandangannya, pintu lemari yang terbuka menjulurkan susunan pakaian yang berantakan, beberapa terlepas dari gantungannya. Sobekan-sobekan buku bacaan berhamburan bercampur serbuk glitter di lantai.Risa berganti menatap Vai dalam balutan pakaian hitam kini bermandikan kapas ba
Risa menoleh menatap Vai yang kini menyengir jahat di samping wajahnya."Sebenarnya aku hanya bermain-main saja. Namun, tak kusangka kamu terpancing amarah. Oh, iya, kau tahu aku melihat segalanya kemarin. Kau mungkin tak menyadariku sembunyi di balkon kamarmu!"Vai memundurkan badannya, tangannya terangkat menampar pipinya sendiri. "Kau melakukan itu di wajah Dilger, kan? Hahahah!" Vai bertepuk tangan.Risa kembali bergeming."Oh, iya, lalu setelah itu kalian baikan, kan? Padahal aku masih ingin melihat kalian berduel lebih lama." Tubuh Vai merosot, lalu kembali menatap Risa diikuti senyumnya."Mau lihat sesuatu?"Tanpa menunggu persetujuan Risa, dia bangkit menuju nakas samping tempat tidurnya, membuka satu per satu lacinya. Namun, tak menemukan benda yang dicarinya. Vai mematung sebentar, memikirkan dimana dia meletakkan benda itu."Ah, di sana kau rupanya," ujarnya lalu menarik sebuah tablet yang tertutupi pakaian di atas ranjang.
Risa mengerjapkan matanya. Dia sudah berada di kamar. Sisi kepalanya masih terasa berdentum.Risa mencoba bangun, tapi punggungnya terasa berat."Berbaring saja!"Risa menoleh ke arah sumber suara. Senyum Dilger memesonanya. Raut wajah Risa berubah mengeras, percakapan semalam di kamar Vai berputar."Kamu menghilang semalaman, lalu tiba-tiba ditemukan di lobi utama." Dilger menatap lamat wajah pucat istrinya."Lobi?" Risa mendengus, mengumpat pelan dalam hati, wanita gila itu menelantarkannya saja di luar."Apa yang terjadi?"Amarah Risa menjalari tubuhnya. Dia melengos, Dilger menatapnya sedari tadi dengan raut wajah berkabung."Kamu masih bisa menatapku begitu setelah apa yang kamu lakukan padaku?" gumam Risa.Dahi Dilger berkerut. "Apa maksudmu, Risa?"Risa mendengus lagi. Tangannya mengepal di balik selimut.Pria itu menangkup wajah Risa menghadapnya. "Kamu tahu aku mencemaskanmu semalaman. Aku bahk
Risa menolak tidur sekamar dengan Dilger. Dia masih kesal, Dilger seolah-olah bertindak tidak melakukan kesalahan, pria itu belum mengaku padanya."Ibu akan marah lagi jika menemuimu tidur disini," ucap Dilger, tapi Risa tetap kekeh tidur sendiri.Risa tak peduli, biarkan saja Samara berasumsi seenaknya. Lagi pula, Risa tak yakin bisa sekamar dengan Dilger setelah apa yang didengarnya.Amarahnya tak tenang saat bersama Dilger, barangkali dia menancap pisau di tengah malam pada suaminya.Matanya terpejam, deru napasnya semrawut. Risa menyadari dirinya akan segera gila.Pintu kamarnya diketuk pelan. Risa mengabaikan, tapi ketukannya kian lama terdengar kasar dan mengusiknya."Sudah kubilang, aku tetap akan tidur di sini! Jangan membujukku!" Risa berteriak menatap jengkel pintu kayu."Ini aku."Risa membatu mendengar suara di luar pintu. Bukan suara Dilger. Risa enggan membuka pintu, tapi tubuhnya bereaksi sebaliknya.
"Lebih baik kamu menceraikanku secepatnya.""Apa yang kamu katakan, Risa?" Dilger mencoba meraih bahu Risa, tapi ditepis lagi.Risa mendongak. Sebenarnya, Risa lemah, rasanya ingin mati saja."Bukankah itu keinginanmu?""Tidak, Risa. Aku tak pernah menginginkan itu. Kumohon jangan mengatakan hal konyol—""Konyol katamu?" Rintik air mata Risa mengalir."Aku benci melihatmu menangis." Dilger menatap sayu wajah sembab Risa."Tapi kamu selalu membuatku menangis. Atau, kamu tidak sadar?"Dilger memeluk Risa meskipun wanita itu berontak."Apa lagi yang wanita itu katakan?""Aku mendengar obrolan kalian hari itu."Dilger melepas pelukannya, menatap Risa penuh tanya."Kamu pura-pura pikun atau memang bodoh?""Risa—""Sebelumnya, aku memercayaimu, tapi ... sekarang, aku berpikir dua kali lagi. Kamu beralih, Dilger. Kamu tak memihakku lagi, kamu tahu itu?""Apa maksudmu,
Dilger menyugar kasar rambutnya. Berjalan mondar-mandir di kamar. Sesekali melirik kamar di paviliun sebelah, lampu berwarna-warni berpendar.Setelah perdebatannya tengah malam dan diakhiri oleh Samara. Dilger sudah tak bisa tidur lagi. Jam terasa bergerak lebih lambat.Ibu jarinya menyapu bibirnya kasar. Dilger tak kuasa menunggu lebih lama lagi. Dia bergegas keluar.Dilger memandang pintu kayu di depannya sebelum mengetuknya. Butuh waktu agak lama hingga pintu itu terbuka.Sosok yang ditunggunya muncul. Rambutnya agak berantakan, baju kaus kedodoran berpadu celana pendek ialah baju tidurnya."Ada apa?" Vai bertanya sambil menguap.Dilger merasa bersalah mengusik tidur Vai, tapi dia segera menepisnya. Ditatapnya lamat-lamat Vai yang sibuk menguap. Sekalipun tampangnya kacau, tapi Vai tetap kelihatan cantik. Dilger melengos merutuki pikirannya barusan."Aku ingin bicara," ungkap Dilger.Vai mengerjapkan matany
Mata Dilger menyipit, ingatannya samar akan hari itu. Dilihatnya Vai tersenyum bengis padanya."Apa yang kamu lakukan?" selidik Dilger.Wanita di depannya menyilangkan kaki, memerhatikan kukunya yang berpoles kuteks, beberapa sudah mengelupas. "Aku iseng merekamnya." Vai berujar tanpa rasa bersalah sedikitpun.Vai menoleh. "Lagi-lagi kamu ceroboh, Paman, tapi aku suka. Aku melihat sisi liarmu hari itu.""Kamu memberiku sampanye alih-alih wine?" ingatan Dilger samar. Vai menuang berkali-kali gelasnya, dan bodohnya Dilger menenggak semuanya. Setelahnya, dia tak ingat apa yang terjadi selanjutnya. "Apa yang kamu lakukan padaku?"Vai memajukan wajahnya. "Aku tak melakukan apapun, tapi Paman menarikku. Paman meraung ingin ... tapi aku bukan wanita bodoh. Ya, ya, aku wanita, tentu aku terlena—" Vai menggigit bibir bawahnya sensual sembari melirik dada bidang Dilger."—Kamu tak melakukan apapun selain meluluhlantakkan wajahku, bahkan ak
Rahang Dilger mengeras seiring langkah besarnya. Dia tak tahu harus ke mana, tapi kakinya menuju dapur.Dilger terkesiap. Risa ada di dapur, menghadap wastafel, menyalakan kran, sedang kedua tangannya bertapak di meja dapur. Entah apa yang Risa lihat di air mengalir.Dilger melangkah mendekat, mematikan kran. Risa nampak kaget, lalu secepat kilat wajahnya berubah marah seolah-olah kehadiran Dilger selalu merusak perasaannya, dan membuatnya ingin terus marah saja."Sedang memikirkan sesuatu?" Dilger menuang air dalam gelasnya, menenggaknya sambil menatap Risa yang bergeming.Risa melengos. "Bukan urusanmu," katanya datar sambil berlalu, tapi Dilger menangkap lengannya."Aw," ringis Risa pelan.Dilger menarik Risa ke hadapannya, menatap wajah Risa yang menahan ngilu. Kemudian, Risa melepas cekalan tangannya, membawa lengannya ke belakang punggung.Dilger meneliti Risa, bergantian menatap lengan yang disembunyikannya menggeliat-geliat. "
Semuanya dimulai enam tahun silam. Saat ketakutan, amarah, dan dendam bercampur satu. Saat kehidupannya bergilir ke arah berlawanan.Malam itu, hari istimewanya. Kedua kakinya menyilang sambil digerakkan gusar. Tangannya terentang, sesekali memegang dada menahan degup yang kian berpacu seiring pergerakan menit jam.Ah, entah kenapa di hari senangnya itu dia merasa gusar sekaligus.Ibunya akan segera pulang dari tempat kerja, seorang pelayan mansion yang sudah bekerja lebih sepuluh tahun.Namun, hingga pukul sepuluh, belum ada tanda-tanda kepulangan ibunya. Aneh baginya, ibunya tidak biasa pulang telat, jikalau pun terjadi, pasti menitip pesan sebelumnya, tapi itupun amat jarang terjadi.Dia masih berusaha tenang, tapi suara detik menit jam terdengar mengerikan. Di luar begitu gelap, temaram rembulan lenyap seiring awan hitam menutup dan kilat sesekali menyambar.BrakSuara gedebum terdengar. Dia tahu betul, itu suara pot bunga sebab d
Vai membenahi isi lemari, memilah baju yang akan dibawanya. Sesekali bergerundel kesal."Apa yang dia pikirkan semalam?" Vai memasukkan asal midi dress ke dalam koper. Mengingat obrolannya semalam dengan Risa membuatnya kesal kembali.Pintu diketuk.Vai enggan beranjak, dia menduga Risa yang datang. Namun, ketukan tersebut tak berhenti."Vai, ini Nenek, buka pintunya!"Vai menatap pintu sambil membelalak. "Nenek!" Sigap dia membuka pintu."Oh, maafkan aku, Nek. Aku baru saja keluar dari toilet," bohongnya."Tumben Nenek kemari, ada apa?" Vai merangkul lengan Samara, menuntunnya ke sofa.Samara menilik kamar Vai. Dua lemari pakaian terbuka, setengah kosong, dan pakaian berhamburan di atas ranjang."Kamu berencana menetap di rumah Hendy?"Vai mengikuti arah pandang Samara pada koper yang tergeletak dengan isi yang berantakan."Mungkin."Samara mendesah. "Mungkin?" matanya sendu menatap Vai."Aku
Dilger mengguncang tubuh Risa. "Kumohon jangan menyebut kata tersebut.""Kenapa?" Pelupuk mata Risa menggenang."Lebih baik kamu istirahat."Risa menepis tangan Dilger. "Jawab pertanyaanku.""Kamu sudah tahu jawabannya. Sampai kapanpun aku tak akan pernah menceraikanmu meskipun—""Maukah kamu hidup menderita seperti ini selamanya? Aku dan kamu sama-sama tersiksa."Dilger memalingkan wajah, tangannya mengepal."Pikirkan baik-baik, masih belum terlambat untuk menggugat percera—""Tidak. Aku tidak akan melakukannya!" sanggah Dilger. Dia menatap bola mata Risa lekat. "Jawabanku tak akan berubah."Risa menatap hampa lantai yang mengilap. "Keluar!" Suaranya serak. Dia tak mengalihkan pendangannya sedikit pun bahkan ketika Dilger benar-benar meninggalkannya..Risa menekuk lutut, menenggelamkan kepala meredakan dentum di kepalanya."Apa kamu gila, Risa? Bagaimana bisa kamu selemah ini?" Risa bermonolog.
Sore itu, mereka berkumpul di ruang keluarga. Vai mengamati tiap-tiap kepala yang nampak menikmati tayangan TV. Saat pandangannya bertemu dengan Risa, wanita itu menatapnya lurus yang membuat Vai menyeringai samar. "Apa katamu tadi? Kamu akan pergi lusa?" Samara menatap Hendy dan Maya. "Kalian pergi berbulan-bulan, lalu pulang hanya lima hari?" "Kami akan bolak-balik mengunjungi Ibu. Atau Ibu ikut kami saja?" "Jaga ucapanmu, Hendy!" Dilger menyipitkan mata. "Jangan memperebutkan Ibu dan aku tak akan kemana-mana. Hendy, bisakah kamu tinggal lebih lama?" "Ibu tahu sendiri, aku tak terbiasa menyuruh tangan kananku mengelola bisnis selagi aku berleha-leha di rumah—" "Dasar penggila kerja. Entah ayahmu mendidikmu bagaimana dahulu." Samara menyengir. "Aku melakukan ini demi Ibu juga." "Nek," panggil Vai. Dia bertemu pandang dengan Maya seolah dia berujar, "Kamu yakin melakukannya?" "Boleh aku ikut sama Tante M
Vai melirik kepala tangan Risa. "Selamat malam, Risa!" Vai berbalik pergi."Kupastikan hidupmu tak akan tenang setelah ini, Vai!" Gigi Risa bergemertak. Dia mendongak, seseorang yang berdiri di balkon sudah lenyap.Risa mencengkram rambutnya, lalu menghempas tangannya kesal. "Jangan bertingkah bodoh, Risa!" ujarnya.Risa berbalik pergi. Saat dia menaiki tangga, dia berpapasan dengan Maya. Risa tersenyum tipis. Keduanya saling memandang menunggu siapa yang harus membuka mulut lebih dahulu.Namun, tatapan lurus Maya seakan-akan mendesaknya."Apa yang kamu lihat?" tanya Risa diselingi tawa kecilnya."Aku bisa saja langsung mengartikannya sesuai dengan apa yang kulihat. Mencoba menampar Vai? Untungnya pencahayaan remang-remang, aku tak tahu pasti bagaimana wajahmu saat itu. Namun, aku mengenalmu, Risa. Kenapa wajahmu tegang seperti itu?"Risa membuang pandangan. "Ah, sedang banyak pikiran. Dia kekeh ingin memotong pendek rambutnya, aku me
Risa memundurkan wajahnya seiring Samara yang kian maju."Benar, ada sesuatu di matamu. Ketakutan dan kekhawatiran." Samara memiringkan kepala. "Ada sesuatu yang membuatmu risau, menantu? Dan jangan menatap Ibu seperti itu."Mulut Risa menganga bahkan matanya tak berkedip. Samara menatapnya, tersenyum lebar sambil menaikkan satu alisnya, lalu menepuk tangannya."Kenapa?" tanyanya."Bukan apa-apa?""Terkejut?" tantang Samara."Apa Ibu ... tak marah padaku?"Bulu kuduk Risa meremang menyaksikan senyum Samara. Tampang Samara jauh lebih menyeramkan menurut Risa."Kamu lebih senang melihatku marah dibanding seperti ini?"Risa menarik napas, merilekskan tubuhnya yang menegang."Aku tak mengatakan itu, Bu." Suara Risa mulai melunak.Samara mengangguk-angguk. "Sampai di mana kita tadi? Ah, pertanyannku, tapi lupakan saja. Ada hal yang lebih penting.""Lebih penting?"Samara membuang pandangan, dia ber
Risa menghempas tubuhnya di tengah ranjang. Menatap hampa lampu kristal di atasnya. Dilger ikut membaringkan tubuh di sampingnya. "Aku tak bisa diam terus seperti ini, Dilger. Aku tak bisa tenang." "Benar, tapi posisimu juga terancam. Bertingkah sekali lagi di depan ibu, barangkali dia akan mengusirmu." Risa memiringkan badannya, mengamati Dilger. "Apa aku mengatakan sesuatu yang salah?" tanya Dilger. Risa beranjak duduk. "Tapi, aku memilikimu." "Namun, keputusan final akan selalu berada di tangannya meskipun aku tidak mau itu terjadi, tapi jika ibu ... aku tak bisa melakukan apapun." "Apa kamu sudah tak mencintaiku hingga mengatakan itu?" Risa menyadari Dilger menarik bahunya, dia tak mengelak. Helaan napasnya terdengar berat. "Oleh karena itu, aku mengatakannya lebih dahulu agar kamu bertingkah lebih hati-hati. Aku tak ingin itu terjadi, Risa. Aku tak ingin pisah darimu. Kamu mengerti?" Risa mengangguk
Bunyi klakson mobil samar terdengar. Samara tak mampu menyembunyikan wajah semringahnya. Menatap Vai dan Dilger bergantian.Vai berlari keluar, mendahului Samara yang dirangkul Dilger. Rambut cokelatnya terumbai-umbai. Vai tak memedulikan pelayan yang menatapnya terkejut. Tetiba jarak dapur dengan pintu depan bagai berpuluh-puluh kilometer.Langkah Vai terhenti, menatap mobil sedang hitam mengilap. Di sana sudah berdiri sepasang suami-istri dalam balutan pakaian mewah."Paman," sebut Vai.Pasangan itu menoleh. Raut wajahnya sedikit terkejut, tapi tak bertahan lama saat Vai berhambur pada keduanya."Aku sangat merindukan kalian, tapi kalian selalu menomorsatukan pekerjaan." Vai mengerucutkan bibir."Paman juga sangat merindukan kalian. Sudah lama sekali tak bertemu."Vai mengeratkan pelukannya. Wanita paruh baya di sampingnya turut mengelus rambut lurusnya.Dia adalah Hendy Wiston, anak tertua Samara. Si penggila kerja, bolak-ba
"Jadi, kalian sudah baikan ceritanya?" Vai bertanya tanpa mengindahkan tatapannya yang menuang mi ke dalam mangkuk. Dia menyungging senyum sinis, dan dia tahu dua orang disampingnya menilik tajam.Vai menoleh. "Aku turut senang, tapi mungkin tak akan bertahan lama," ujarnya sambil mengangkat mangkuknya menuju ke meja.Pasangan itu masih bergeming di tempatnya, mendengar Vai yang menyeruput mi-nya.Risa beranjak turun meski Dilger menahannya, sorot matanya berkata, "Tenang, aku tahu apa yang harus aku lakukan."Dilger dengan enggan melepasnya. Wanita itu berjalan gemulai menghampiri Vai.Risa duduk tepat di depan Vai, mengawasinya yang begitu menikmati makanannya. Acap kali terdengar gumaman lezat di bibirnya."Aku turut senang melihat kalian berdua bersama lagi. Aku mengucapnya dengan jelas, kan?" Vai berkata dengan mulut masih mengunyah.Risa mengulas senyum, mengangguk. Dia menarik saus cabai, menyodorkannya pada Vai."Astaga