Share

#6 Risa

Author: Feroza
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Risa mengerjapkan matanya. Dia sudah berada di kamar. Sisi kepalanya masih terasa berdentum. 

Risa mencoba bangun, tapi punggungnya terasa berat.

"Berbaring saja!"

Risa menoleh ke arah sumber suara. Senyum Dilger memesonanya. Raut wajah Risa berubah mengeras, percakapan semalam di kamar Vai berputar.

"Kamu menghilang semalaman, lalu tiba-tiba ditemukan di lobi utama." Dilger menatap lamat wajah pucat istrinya.

"Lobi?" Risa mendengus, mengumpat pelan dalam hati, wanita gila itu menelantarkannya saja di luar.

"Apa yang terjadi?"

Amarah Risa menjalari tubuhnya. Dia melengos, Dilger menatapnya sedari tadi dengan raut wajah berkabung.

"Kamu masih bisa menatapku begitu setelah apa yang kamu lakukan padaku?" gumam Risa.

Dahi Dilger berkerut. "Apa maksudmu, Risa?"

Risa mendengus lagi. Tangannya mengepal di balik selimut.

Pria itu menangkup wajah Risa menghadapnya. "Kamu tahu aku mencemaskanmu semalaman. Aku bahkan kesusahan tidur."

Risa melepas tangan Dilger. Menahan diri agar tidak menampar Dilger yang menyebut dirinya suami, tapi berperilaku bangsat di belakangnya.

"Kamu bertanya apa yang terjadi padaku?" katanya pelan. "Justru ada apa denganmu selama ini? Kamu berubah, Dilger. Apa kamu masih menganggapku istrimu?"

Manik Risa berkaca-kaca. Mengingat obrolan Dilger semalam meremukkannya. 

"Kamu bicara apa, Risa? Tentu saja kamu istriku, hanya kamu!'

"Benar." Risa memalingkan wajah. "Tapi kamu memiliki wanita lain."

Hening. Dari sudut matanya, Risa mendapati tubuh kaku Dilger. Sudut bibirnya terangkat.

"Bagaimanapun apiknya kamu menyembunyikannya. Semuanya akan tetap terungkap—"

"Kamu salah paham, Risa!"

"Salah paham?"

Puncak amarah Risa ingin meledak. Dilger berkata seolah-olah Risa-lah yang bersalah, mencerna informasi sebaris yang belum terbukti kebenarannya.

Pintu kamar terbuka, sosok Samara muncul dengan seorang pelayan di belakangnya. Tangannya terlipat melangkah mendekati ranjang.

Samara menatap datar wajah pucat Risa. Suasana tegang ruangan bertambah keruh.

"Kalian berdua berdebat lagi? Sepertinya mertuamu ini tak perlu bersusah payah membawakan makanan untukmu setelah apa yang kamu lakukan. Huh!"

Risa menatap nampan makanan di sampingnya.

"Masih untung, rumah ini menerima menantu kurang ajar sepertimu. Setelah kamu bersenang-senang dengan pria belang luar sana, kamu masih mengingat rumah ini?"

Risa tercengang. Bersenang-senang dengan pria belang? Andai mereka tahu jika Risa dikurung di dalam lemari oleh anak angkatnya.

"Risa, apa kamu—"

Sial, Dilger ikut termakan ucapan Samara. Risa menggeleng cepat. "Aku tidak melakukannya, Dilger!"

"Kalau begitu, kamu dari mana?" 

Risa mendadak bungkam mendengar pertanyaan Samara. Tak mungkin mengatakan tentang semalam, tentu tak akan ada yang percaya padanya. Tak akan ada percaya jika Vai, si wanita polos itu penyebabnya.

"Lihat, kamu diam." Samara tersenyum puas. "Kamu masih betah dengan—"

Ucapan Samara terpotong dengan pekikan Vai.

Rambut wanita itu berkibar seiring langkah cepatnya. Dia langsung berhambur memeluk Risa.

"Aku mencemaskanmu," keluhnya.

Gigi Risa saling beradu, ingin rasanya mendorong tubuh Vai sejauh-jauhnya.

"Bagaimana perasaanmu, Tante?"

Dada Risa mendadak sesak. Vai menatapnya cemas hampir menangis. Risa tak menyangka, wanita itu begitu lihai memainkan ekspresi wajahnya. Apa selama empat tahun ini dia sudah tertipu?

"Aku baik-baik saja," lirih Risa.

Lalu, Risa menyadari senyum sinis samar dan kepuasan di wajah Vai.

Dasar wanita iblis! Batinnya.

"Kamu tak perlu mengkhawatirkannya, Vai. Wanita yang kau anggap ibu itu tak ada bedanya dengan jalang."

"Ibu!" pekik Risa. Dia menoleh menatap Dilger, menunggu pembelaan, tapi Dilger pun ikut bergeming, ikut menyudutkannya.

"Maksud Nenek, tante Risa bermain-main dengan ... pria lain?" 

Risa menatap nyalang Vai yang ikut-ikutan memanasi keadaan.

Keadaan menjadi rumit, tiga pasang mata menerjangnya. Risa tak memiliki pilihan lain selain diam. Percuma saja dia mengatakan Vai dalangnya, semua orang hanya akan mengiranya mengada-ada.

"Sudah." Dilger mengatur napas. "Ibu sebaiknya keluar—"

"Kamu membela istri pelacurmu itu?"

"Aku bukan pelacur, Bu!" sosor Risa.

Samara hanya mendengus. "Kamu jangan dekat-dekat dengan wanita malam seperti dia?" Samara menarik Vai keluar.

Dada Risa bergemuruh. "Akh!" Risa mengibas nampan makanan di sampingnya. Bunyi berkelontang memenuhi ruangan, makanan berhamburan di lantai.

"Risa!" teriak Dilger. "Aku tak suka kamu begini!"

"Kenapa? Kamu menyuruhku untuk menjilatnya?"

Dilger menyugar kasar rambutnya. Dia berjalan menjauhi ranjang, membuka jendela. 

Hanya ada hening. Risa bedecak kesal, semuanya bertambah runyam. Masalah yang dia kira akan selesai hanya dengan berempat mata dengan Vai, tapi justru bertambah berkobar.

Risa mengibas selimut, berjalan tertatih menuju pintu. Kakinya terasa kaku saking lamanya meringkuk dalam lemari. 

"Kamu mau ke mana, Risa?" 

Merasa pertanyaannya diabaikan, Dilger buru-buru menyambar lengan Risa.

"Lepaskan."

"Kamu harus istirahat!"

"Ibumu mengataiku pelacur. Apa kamu masih peduli?"

"Tidak, tidak. Aku tidak peduli itu, Risa. Kamu istriku, aku sepenuhnya percaya padamu."

Risa beralih menatap rak buku empat tingkat di sisi kanannya. "Aku bahkan belum mengatakan apapun soal semalam."

"Risa ...."

"Entah sebenarnya apa yang terjadi. Aku tak mampu menebaknya, tapi ini semua sebab ulahnya."

"Ulahnya?"

"Vai," gumam Risa datar.

Cekalan tangan Dilger mengendur. Risa mendapati wajah kaku Dilger.

Dia mencondongkan badannya ke depan. "Kenapa? Ada apa antara kamu dan Vai?"

Risa menyungging senyum miring. "Aku sudah meneba—"

"Ini hanya salah paham, Risa. Baik aku atau kamu, ada yang salah—"

"Ya, salah. Aku begitu mencintaimu, tapi kamu mengartikannya sebagai kekangan. Cinta membuatmu muak—"

"Risa!" potong Dilger.

"Istirahatlah kembali. Kondisimu belum pulih. Kita akan membahasnya lain kali." Dilger merangkul bahu Risa membawanya ke ranjang.

"Aku tak suka kalimatku dipotong."

Dilger hanya menghela napas, dia menaikkan selimut Risa. "Aku tahu."

Risa mendecih. "Kalau kamu tahu, kenapa ... ah, sudahlah." Dia membalik posisi tidurnya membelakangi Dilger. Pelan-pelan air matanya meluruh diam-diam.

"Risa," panggil Dilger.

"Pergi. Kumohon pergi, tinggalkan aku sendiri," pintanya.

Dilger setengah terpaksa keluar dari kamar.

Isakan Risa terdengar. Dia merapatkan selimutnya, tak peduli sesak yang menyerangnya.

Risa menyesal.

Andai dia tak memungut gadis itu, mungkin hal ini tak akan terjadi. Risa sudah tertipu dengan wajah polos Vai. Risa berpikir, akankah dia bisa mengubah Vai? Akankah dia bisa menemukan siasat dendam Vai dan membantunya? Tapi mustahil. 

Selama ini, Risa belum sepenuhnya mengerti watak Vai. Wanita itu terlalu sulit ditebak dan sungguh lihai memainkan situasi.

Jika Risa memikirkannya, dia akan kalah. Dia ingin menyerah saja seolah pasrah dengan apa yang akan terjadi.

Namun, keluarga, impian hidup, dan bayi. Risa sudah merencanakan hidupnya ke depan. Apa impiannya selama ini hanya akan menjadi sebatas mimpi saja? Risa tak rela, tapi dia tak kuat menentang.

Pelan-pelan, semua orang akan membencinya. Satu-satunya orang dipercayainya, Dilger, kini berpaling darinya.

Air mata Risa belum berhenti meluruh, justru tubuhnya bertambah bergetar. Lirik isakannya terdengar pilu.

"Aku hanya korban," lirihnya.

"Katanya kebaikan akan dibalas kebaikan, tapi aku melihat hidupku memulai kehancuran."

Related chapters

  • Musnahnya Keluarga Wiston   #7 Risa

    Risa menolak tidur sekamar dengan Dilger. Dia masih kesal, Dilger seolah-olah bertindak tidak melakukan kesalahan, pria itu belum mengaku padanya."Ibu akan marah lagi jika menemuimu tidur disini," ucap Dilger, tapi Risa tetap kekeh tidur sendiri.Risa tak peduli, biarkan saja Samara berasumsi seenaknya. Lagi pula, Risa tak yakin bisa sekamar dengan Dilger setelah apa yang didengarnya.Amarahnya tak tenang saat bersama Dilger, barangkali dia menancap pisau di tengah malam pada suaminya.Matanya terpejam, deru napasnya semrawut. Risa menyadari dirinya akan segera gila.Pintu kamarnya diketuk pelan. Risa mengabaikan, tapi ketukannya kian lama terdengar kasar dan mengusiknya."Sudah kubilang, aku tetap akan tidur di sini! Jangan membujukku!" Risa berteriak menatap jengkel pintu kayu."Ini aku."Risa membatu mendengar suara di luar pintu. Bukan suara Dilger. Risa enggan membuka pintu, tapi tubuhnya bereaksi sebaliknya.

  • Musnahnya Keluarga Wiston   #8 Risa

    "Lebih baik kamu menceraikanku secepatnya.""Apa yang kamu katakan, Risa?" Dilger mencoba meraih bahu Risa, tapi ditepis lagi.Risa mendongak. Sebenarnya, Risa lemah, rasanya ingin mati saja."Bukankah itu keinginanmu?""Tidak, Risa. Aku tak pernah menginginkan itu. Kumohon jangan mengatakan hal konyol—""Konyol katamu?" Rintik air mata Risa mengalir."Aku benci melihatmu menangis." Dilger menatap sayu wajah sembab Risa."Tapi kamu selalu membuatku menangis. Atau, kamu tidak sadar?"Dilger memeluk Risa meskipun wanita itu berontak."Apa lagi yang wanita itu katakan?""Aku mendengar obrolan kalian hari itu."Dilger melepas pelukannya, menatap Risa penuh tanya."Kamu pura-pura pikun atau memang bodoh?""Risa—""Sebelumnya, aku memercayaimu, tapi ... sekarang, aku berpikir dua kali lagi. Kamu beralih, Dilger. Kamu tak memihakku lagi, kamu tahu itu?""Apa maksudmu,

  • Musnahnya Keluarga Wiston   #9 Dilger

    Dilger menyugar kasar rambutnya. Berjalan mondar-mandir di kamar. Sesekali melirik kamar di paviliun sebelah, lampu berwarna-warni berpendar.Setelah perdebatannya tengah malam dan diakhiri oleh Samara. Dilger sudah tak bisa tidur lagi. Jam terasa bergerak lebih lambat.Ibu jarinya menyapu bibirnya kasar. Dilger tak kuasa menunggu lebih lama lagi. Dia bergegas keluar.Dilger memandang pintu kayu di depannya sebelum mengetuknya. Butuh waktu agak lama hingga pintu itu terbuka.Sosok yang ditunggunya muncul. Rambutnya agak berantakan, baju kaus kedodoran berpadu celana pendek ialah baju tidurnya."Ada apa?" Vai bertanya sambil menguap.Dilger merasa bersalah mengusik tidur Vai, tapi dia segera menepisnya. Ditatapnya lamat-lamat Vai yang sibuk menguap. Sekalipun tampangnya kacau, tapi Vai tetap kelihatan cantik. Dilger melengos merutuki pikirannya barusan."Aku ingin bicara," ungkap Dilger.Vai mengerjapkan matany

  • Musnahnya Keluarga Wiston   #10 Dilger

    Mata Dilger menyipit, ingatannya samar akan hari itu. Dilihatnya Vai tersenyum bengis padanya."Apa yang kamu lakukan?" selidik Dilger.Wanita di depannya menyilangkan kaki, memerhatikan kukunya yang berpoles kuteks, beberapa sudah mengelupas. "Aku iseng merekamnya." Vai berujar tanpa rasa bersalah sedikitpun.Vai menoleh. "Lagi-lagi kamu ceroboh, Paman, tapi aku suka. Aku melihat sisi liarmu hari itu.""Kamu memberiku sampanye alih-alih wine?" ingatan Dilger samar. Vai menuang berkali-kali gelasnya, dan bodohnya Dilger menenggak semuanya. Setelahnya, dia tak ingat apa yang terjadi selanjutnya. "Apa yang kamu lakukan padaku?"Vai memajukan wajahnya. "Aku tak melakukan apapun, tapi Paman menarikku. Paman meraung ingin ... tapi aku bukan wanita bodoh. Ya, ya, aku wanita, tentu aku terlena—" Vai menggigit bibir bawahnya sensual sembari melirik dada bidang Dilger."—Kamu tak melakukan apapun selain meluluhlantakkan wajahku, bahkan ak

  • Musnahnya Keluarga Wiston   #11 Dilger

    Rahang Dilger mengeras seiring langkah besarnya. Dia tak tahu harus ke mana, tapi kakinya menuju dapur.Dilger terkesiap. Risa ada di dapur, menghadap wastafel, menyalakan kran, sedang kedua tangannya bertapak di meja dapur. Entah apa yang Risa lihat di air mengalir.Dilger melangkah mendekat, mematikan kran. Risa nampak kaget, lalu secepat kilat wajahnya berubah marah seolah-olah kehadiran Dilger selalu merusak perasaannya, dan membuatnya ingin terus marah saja."Sedang memikirkan sesuatu?" Dilger menuang air dalam gelasnya, menenggaknya sambil menatap Risa yang bergeming.Risa melengos. "Bukan urusanmu," katanya datar sambil berlalu, tapi Dilger menangkap lengannya."Aw," ringis Risa pelan.Dilger menarik Risa ke hadapannya, menatap wajah Risa yang menahan ngilu. Kemudian, Risa melepas cekalan tangannya, membawa lengannya ke belakang punggung.Dilger meneliti Risa, bergantian menatap lengan yang disembunyikannya menggeliat-geliat. "

  • Musnahnya Keluarga Wiston   #12 Vai

    "Jadi, kalian sudah baikan ceritanya?" Vai bertanya tanpa mengindahkan tatapannya yang menuang mi ke dalam mangkuk. Dia menyungging senyum sinis, dan dia tahu dua orang disampingnya menilik tajam.Vai menoleh. "Aku turut senang, tapi mungkin tak akan bertahan lama," ujarnya sambil mengangkat mangkuknya menuju ke meja.Pasangan itu masih bergeming di tempatnya, mendengar Vai yang menyeruput mi-nya.Risa beranjak turun meski Dilger menahannya, sorot matanya berkata, "Tenang, aku tahu apa yang harus aku lakukan."Dilger dengan enggan melepasnya. Wanita itu berjalan gemulai menghampiri Vai.Risa duduk tepat di depan Vai, mengawasinya yang begitu menikmati makanannya. Acap kali terdengar gumaman lezat di bibirnya."Aku turut senang melihat kalian berdua bersama lagi. Aku mengucapnya dengan jelas, kan?" Vai berkata dengan mulut masih mengunyah.Risa mengulas senyum, mengangguk. Dia menarik saus cabai, menyodorkannya pada Vai."Astaga

  • Musnahnya Keluarga Wiston   #13 Ceraikan Saja Istrimu

    Bunyi klakson mobil samar terdengar. Samara tak mampu menyembunyikan wajah semringahnya. Menatap Vai dan Dilger bergantian.Vai berlari keluar, mendahului Samara yang dirangkul Dilger. Rambut cokelatnya terumbai-umbai. Vai tak memedulikan pelayan yang menatapnya terkejut. Tetiba jarak dapur dengan pintu depan bagai berpuluh-puluh kilometer.Langkah Vai terhenti, menatap mobil sedang hitam mengilap. Di sana sudah berdiri sepasang suami-istri dalam balutan pakaian mewah."Paman," sebut Vai.Pasangan itu menoleh. Raut wajahnya sedikit terkejut, tapi tak bertahan lama saat Vai berhambur pada keduanya."Aku sangat merindukan kalian, tapi kalian selalu menomorsatukan pekerjaan." Vai mengerucutkan bibir."Paman juga sangat merindukan kalian. Sudah lama sekali tak bertemu."Vai mengeratkan pelukannya. Wanita paruh baya di sampingnya turut mengelus rambut lurusnya.Dia adalah Hendy Wiston, anak tertua Samara. Si penggila kerja, bolak-ba

  • Musnahnya Keluarga Wiston   #14 Risa

    Risa menghempas tubuhnya di tengah ranjang. Menatap hampa lampu kristal di atasnya. Dilger ikut membaringkan tubuh di sampingnya. "Aku tak bisa diam terus seperti ini, Dilger. Aku tak bisa tenang." "Benar, tapi posisimu juga terancam. Bertingkah sekali lagi di depan ibu, barangkali dia akan mengusirmu." Risa memiringkan badannya, mengamati Dilger. "Apa aku mengatakan sesuatu yang salah?" tanya Dilger. Risa beranjak duduk. "Tapi, aku memilikimu." "Namun, keputusan final akan selalu berada di tangannya meskipun aku tidak mau itu terjadi, tapi jika ibu ... aku tak bisa melakukan apapun." "Apa kamu sudah tak mencintaiku hingga mengatakan itu?" Risa menyadari Dilger menarik bahunya, dia tak mengelak. Helaan napasnya terdengar berat. "Oleh karena itu, aku mengatakannya lebih dahulu agar kamu bertingkah lebih hati-hati. Aku tak ingin itu terjadi, Risa. Aku tak ingin pisah darimu. Kamu mengerti?" Risa mengangguk

Latest chapter

  • Musnahnya Keluarga Wiston   #20 Vai

    Semuanya dimulai enam tahun silam. Saat ketakutan, amarah, dan dendam bercampur satu. Saat kehidupannya bergilir ke arah berlawanan.Malam itu, hari istimewanya. Kedua kakinya menyilang sambil digerakkan gusar. Tangannya terentang, sesekali memegang dada menahan degup yang kian berpacu seiring pergerakan menit jam.Ah, entah kenapa di hari senangnya itu dia merasa gusar sekaligus.Ibunya akan segera pulang dari tempat kerja, seorang pelayan mansion yang sudah bekerja lebih sepuluh tahun.Namun, hingga pukul sepuluh, belum ada tanda-tanda kepulangan ibunya. Aneh baginya, ibunya tidak biasa pulang telat, jikalau pun terjadi, pasti menitip pesan sebelumnya, tapi itupun amat jarang terjadi.Dia masih berusaha tenang, tapi suara detik menit jam terdengar mengerikan. Di luar begitu gelap, temaram rembulan lenyap seiring awan hitam menutup dan kilat sesekali menyambar.BrakSuara gedebum terdengar. Dia tahu betul, itu suara pot bunga sebab d

  • Musnahnya Keluarga Wiston   #19 Vai

    Vai membenahi isi lemari, memilah baju yang akan dibawanya. Sesekali bergerundel kesal."Apa yang dia pikirkan semalam?" Vai memasukkan asal midi dress ke dalam koper. Mengingat obrolannya semalam dengan Risa membuatnya kesal kembali.Pintu diketuk.Vai enggan beranjak, dia menduga Risa yang datang. Namun, ketukan tersebut tak berhenti."Vai, ini Nenek, buka pintunya!"Vai menatap pintu sambil membelalak. "Nenek!" Sigap dia membuka pintu."Oh, maafkan aku, Nek. Aku baru saja keluar dari toilet," bohongnya."Tumben Nenek kemari, ada apa?" Vai merangkul lengan Samara, menuntunnya ke sofa.Samara menilik kamar Vai. Dua lemari pakaian terbuka, setengah kosong, dan pakaian berhamburan di atas ranjang."Kamu berencana menetap di rumah Hendy?"Vai mengikuti arah pandang Samara pada koper yang tergeletak dengan isi yang berantakan."Mungkin."Samara mendesah. "Mungkin?" matanya sendu menatap Vai."Aku

  • Musnahnya Keluarga Wiston   #18 Risa

    Dilger mengguncang tubuh Risa. "Kumohon jangan menyebut kata tersebut.""Kenapa?" Pelupuk mata Risa menggenang."Lebih baik kamu istirahat."Risa menepis tangan Dilger. "Jawab pertanyaanku.""Kamu sudah tahu jawabannya. Sampai kapanpun aku tak akan pernah menceraikanmu meskipun—""Maukah kamu hidup menderita seperti ini selamanya? Aku dan kamu sama-sama tersiksa."Dilger memalingkan wajah, tangannya mengepal."Pikirkan baik-baik, masih belum terlambat untuk menggugat percera—""Tidak. Aku tidak akan melakukannya!" sanggah Dilger. Dia menatap bola mata Risa lekat. "Jawabanku tak akan berubah."Risa menatap hampa lantai yang mengilap. "Keluar!" Suaranya serak. Dia tak mengalihkan pendangannya sedikit pun bahkan ketika Dilger benar-benar meninggalkannya..Risa menekuk lutut, menenggelamkan kepala meredakan dentum di kepalanya."Apa kamu gila, Risa? Bagaimana bisa kamu selemah ini?" Risa bermonolog.

  • Musnahnya Keluarga Wiston   #17 Risa

    Sore itu, mereka berkumpul di ruang keluarga. Vai mengamati tiap-tiap kepala yang nampak menikmati tayangan TV. Saat pandangannya bertemu dengan Risa, wanita itu menatapnya lurus yang membuat Vai menyeringai samar. "Apa katamu tadi? Kamu akan pergi lusa?" Samara menatap Hendy dan Maya. "Kalian pergi berbulan-bulan, lalu pulang hanya lima hari?" "Kami akan bolak-balik mengunjungi Ibu. Atau Ibu ikut kami saja?" "Jaga ucapanmu, Hendy!" Dilger menyipitkan mata. "Jangan memperebutkan Ibu dan aku tak akan kemana-mana. Hendy, bisakah kamu tinggal lebih lama?" "Ibu tahu sendiri, aku tak terbiasa menyuruh tangan kananku mengelola bisnis selagi aku berleha-leha di rumah—" "Dasar penggila kerja. Entah ayahmu mendidikmu bagaimana dahulu." Samara menyengir. "Aku melakukan ini demi Ibu juga." "Nek," panggil Vai. Dia bertemu pandang dengan Maya seolah dia berujar, "Kamu yakin melakukannya?" "Boleh aku ikut sama Tante M

  • Musnahnya Keluarga Wiston   #16 Risa

    Vai melirik kepala tangan Risa. "Selamat malam, Risa!" Vai berbalik pergi."Kupastikan hidupmu tak akan tenang setelah ini, Vai!" Gigi Risa bergemertak. Dia mendongak, seseorang yang berdiri di balkon sudah lenyap.Risa mencengkram rambutnya, lalu menghempas tangannya kesal. "Jangan bertingkah bodoh, Risa!" ujarnya.Risa berbalik pergi. Saat dia menaiki tangga, dia berpapasan dengan Maya. Risa tersenyum tipis. Keduanya saling memandang menunggu siapa yang harus membuka mulut lebih dahulu.Namun, tatapan lurus Maya seakan-akan mendesaknya."Apa yang kamu lihat?" tanya Risa diselingi tawa kecilnya."Aku bisa saja langsung mengartikannya sesuai dengan apa yang kulihat. Mencoba menampar Vai? Untungnya pencahayaan remang-remang, aku tak tahu pasti bagaimana wajahmu saat itu. Namun, aku mengenalmu, Risa. Kenapa wajahmu tegang seperti itu?"Risa membuang pandangan. "Ah, sedang banyak pikiran. Dia kekeh ingin memotong pendek rambutnya, aku me

  • Musnahnya Keluarga Wiston   #15 Risa

    Risa memundurkan wajahnya seiring Samara yang kian maju."Benar, ada sesuatu di matamu. Ketakutan dan kekhawatiran." Samara memiringkan kepala. "Ada sesuatu yang membuatmu risau, menantu? Dan jangan menatap Ibu seperti itu."Mulut Risa menganga bahkan matanya tak berkedip. Samara menatapnya, tersenyum lebar sambil menaikkan satu alisnya, lalu menepuk tangannya."Kenapa?" tanyanya."Bukan apa-apa?""Terkejut?" tantang Samara."Apa Ibu ... tak marah padaku?"Bulu kuduk Risa meremang menyaksikan senyum Samara. Tampang Samara jauh lebih menyeramkan menurut Risa."Kamu lebih senang melihatku marah dibanding seperti ini?"Risa menarik napas, merilekskan tubuhnya yang menegang."Aku tak mengatakan itu, Bu." Suara Risa mulai melunak.Samara mengangguk-angguk. "Sampai di mana kita tadi? Ah, pertanyannku, tapi lupakan saja. Ada hal yang lebih penting.""Lebih penting?"Samara membuang pandangan, dia ber

  • Musnahnya Keluarga Wiston   #14 Risa

    Risa menghempas tubuhnya di tengah ranjang. Menatap hampa lampu kristal di atasnya. Dilger ikut membaringkan tubuh di sampingnya. "Aku tak bisa diam terus seperti ini, Dilger. Aku tak bisa tenang." "Benar, tapi posisimu juga terancam. Bertingkah sekali lagi di depan ibu, barangkali dia akan mengusirmu." Risa memiringkan badannya, mengamati Dilger. "Apa aku mengatakan sesuatu yang salah?" tanya Dilger. Risa beranjak duduk. "Tapi, aku memilikimu." "Namun, keputusan final akan selalu berada di tangannya meskipun aku tidak mau itu terjadi, tapi jika ibu ... aku tak bisa melakukan apapun." "Apa kamu sudah tak mencintaiku hingga mengatakan itu?" Risa menyadari Dilger menarik bahunya, dia tak mengelak. Helaan napasnya terdengar berat. "Oleh karena itu, aku mengatakannya lebih dahulu agar kamu bertingkah lebih hati-hati. Aku tak ingin itu terjadi, Risa. Aku tak ingin pisah darimu. Kamu mengerti?" Risa mengangguk

  • Musnahnya Keluarga Wiston   #13 Ceraikan Saja Istrimu

    Bunyi klakson mobil samar terdengar. Samara tak mampu menyembunyikan wajah semringahnya. Menatap Vai dan Dilger bergantian.Vai berlari keluar, mendahului Samara yang dirangkul Dilger. Rambut cokelatnya terumbai-umbai. Vai tak memedulikan pelayan yang menatapnya terkejut. Tetiba jarak dapur dengan pintu depan bagai berpuluh-puluh kilometer.Langkah Vai terhenti, menatap mobil sedang hitam mengilap. Di sana sudah berdiri sepasang suami-istri dalam balutan pakaian mewah."Paman," sebut Vai.Pasangan itu menoleh. Raut wajahnya sedikit terkejut, tapi tak bertahan lama saat Vai berhambur pada keduanya."Aku sangat merindukan kalian, tapi kalian selalu menomorsatukan pekerjaan." Vai mengerucutkan bibir."Paman juga sangat merindukan kalian. Sudah lama sekali tak bertemu."Vai mengeratkan pelukannya. Wanita paruh baya di sampingnya turut mengelus rambut lurusnya.Dia adalah Hendy Wiston, anak tertua Samara. Si penggila kerja, bolak-ba

  • Musnahnya Keluarga Wiston   #12 Vai

    "Jadi, kalian sudah baikan ceritanya?" Vai bertanya tanpa mengindahkan tatapannya yang menuang mi ke dalam mangkuk. Dia menyungging senyum sinis, dan dia tahu dua orang disampingnya menilik tajam.Vai menoleh. "Aku turut senang, tapi mungkin tak akan bertahan lama," ujarnya sambil mengangkat mangkuknya menuju ke meja.Pasangan itu masih bergeming di tempatnya, mendengar Vai yang menyeruput mi-nya.Risa beranjak turun meski Dilger menahannya, sorot matanya berkata, "Tenang, aku tahu apa yang harus aku lakukan."Dilger dengan enggan melepasnya. Wanita itu berjalan gemulai menghampiri Vai.Risa duduk tepat di depan Vai, mengawasinya yang begitu menikmati makanannya. Acap kali terdengar gumaman lezat di bibirnya."Aku turut senang melihat kalian berdua bersama lagi. Aku mengucapnya dengan jelas, kan?" Vai berkata dengan mulut masih mengunyah.Risa mengulas senyum, mengangguk. Dia menarik saus cabai, menyodorkannya pada Vai."Astaga

DMCA.com Protection Status