Risa menoleh menatap Vai yang kini menyengir jahat di samping wajahnya.
"Sebenarnya aku hanya bermain-main saja. Namun, tak kusangka kamu terpancing amarah. Oh, iya, kau tahu aku melihat segalanya kemarin. Kau mungkin tak menyadariku sembunyi di balkon kamarmu!"
Vai memundurkan badannya, tangannya terangkat menampar pipinya sendiri. "Kau melakukan itu di wajah Dilger, kan? Hahahah!" Vai bertepuk tangan.
Risa kembali bergeming.
"Oh, iya, lalu setelah itu kalian baikan, kan? Padahal aku masih ingin melihat kalian berduel lebih lama." Tubuh Vai merosot, lalu kembali menatap Risa diikuti senyumnya.
"Mau lihat sesuatu?"
Tanpa menunggu persetujuan Risa, dia bangkit menuju nakas samping tempat tidurnya, membuka satu per satu lacinya. Namun, tak menemukan benda yang dicarinya. Vai mematung sebentar, memikirkan dimana dia meletakkan benda itu.
"Ah, di sana kau rupanya," ujarnya lalu menarik sebuah tablet yang tertutupi pakaian di atas ranjang. Dia kemudian berlalu menuju hadapan Risa. Namun, berbalik lagi menarik kursi riasnya hingga terdengar suara memilukan gesekan kaki kursi besi dengan lantai.
Vai duduk di kursi tepat dihadapan Risa yang terduduk di lantai, layaknya majikan dan pembantunya. Vai menyilang kaki, jemarinya menari-nari di atas layar tablet. Tak lama kemudian, dia membalikkan layar tablet menghadap wajah Risa.
"Kau masih memercayai ucapannya?" Vai menyungging senyum.
Dada Risa kembali terombang-ambing melihat video berputar di layar tablet. Terlihat Dilger mencium rakus leher seorang wanita yang menangis. Kau tahu siapa wanita yang dicium Dilger? Dia Vai. Wanita yang kini tersenyum sinis menatapnya.
Risa menepis kuat tablet itu dari hadapannya sehingga terpelanting di lantai.
"Kau lihat 'kan apa yang dilakuka–"
"Cukup!" teriak Risa. Matanya memerah dengan gigi bergemertak, dia mendongak menatap Vai. Lalu, tangis Risa meluruh.
"Ku mohon, hentikan. Ku mohon!" lirih Risa dengan wajah menunduk.
Vai menarik sudut bibirnya ke atas, dia menunduk menarik dagu Risa. Vai menampakkan muka belas kasih melihat linangan air mata Risa.
"Mana yang lebih menyakitkan? Di bohongi suami tercinta atau–"
Ucapan Vai terpotong dengan tamparan keras di pipinya dan terasa denyut di bibirnya. Vai mengusap sudut bibirnya dan mendengus kuat.
"Tamparanmu belum cukup!" Vai menoleh cepat menatap nyalang wanita dihadapannya yang membuat sudut bibirnya berdarah. Vai meludah ke lantai, melihat liur dan darah bercampur.
Risa masih menangis di depannya. Namun, sorot matanya menatap Vai dengan tajam.
Vai menangkap dagu Risa, kuku-kukunya menekan keras rahang wanita itu. Risa menggelengkan kepala melepaskan diri, tapi cengkraman Vai begitu kuat di dagunya.
"Kau memang tak sabaran, Risa! Kau tahu, aku memiliki tawaran menarik andai saja kau tak memotong ucapanku!"
Risa meringis saat kuku Vai menancap dalam kulit wajahnya.
"Vai, kau ada di dalam?"
Vai menoleh ke arah pintu, lalu berbalik menatap Risa. Dia melepas cengkraman tangannya dengan menghempas wajah Risa ke samping.
"Kau harus sembunyi," ujar Vai membantu Risa berdiri, lalu menyeretnya masuk ke lemari pakaiannya.
Risa hanya terdiam saat tubuhnya diseret. Sebelum pintu lemari ditutup, dia mendengar kekehan kecil Vai, dan gelap menyergap.
Vai menatap pantulan dirinya di cermin, umpatan kecil lolos keluar dari mulutnya melihat sudut bibirnya terbelah. Kemudian, dia buru-buru membuka pintu yang sudah diburu ketukan.
"Dari mana saja kamu?" tanya Dilger.
Vai melontarkan senyum manis kekanak-kanakannya. "Aku baru saja keluar dari kamar mandi," bohongnya.
Dilger manggut-manggut. "Kau tak mempersilakanku masuk?"
"Ah, iya, maaf!" Vai membuka lebar pintu kamarnya.
Dilger tercengang melihat isi kamar Vai terubrak-abrik.
Vai menyengir, lalu melintas dihadapan Dilger untuk mengalihkan tatapan pria itu kepadanya."Kau ingin masuk atau tidak?"
Garis mata Dilger melengkung seiring senyumnya melebar, dia mengelus pucuk kepala Vai dan berlalu masuk.
"Apa yang terjadi dengan kamarmu?" Dilger menyingkap pakaian yang menutupi dudukan sofa.
Vai menggembungkan pipi, menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Aku ingin memperbaiki isi lemariku, tapi berakhir seperti ini."
Dilger bangkit dari duduknya. Vai mengerutkan kening bingung melihat pria itu memungut satu per satu pakaiannya.
"Kalau begitu, aku ingin membantumu merapikannya."
Vai membulatkan mata melihat Dilger menuju lemari dimana Risa bersembunyi di dalamnya. Vai sontak berlari menghadang jalan Dilger.
"Aku akan membereskannya sendiri." Vai mengambil alih pakaiannya di tangan Dilger.
"Kau tentu tak bisa menyelesaikannya dalam satu jam saja." Dilger menepis badan Vai dan kembali melanjutkan langkah.
Di dalam lemari itu, Risa membekap mulutnya kuat. Bisa gawat jika Dilger mendapatinya.
Vai menangkap tangan Dilger sebelum menyentuh tarikan lemari, lalu membawa tangan Dilger bertapak di pinggulnya.
"Aku ingin membahas sesuatu." Senyum Vai terukir tipis, tiba-tiba terlintas ide dalam kepalanya.
"Bagaimana Risa sekarang? Apa dia masih mencurigai kita berdua?" tanya Vai dengan nada sedikit keras.
Dada Risa kembali berpacu mendengar pertanyaan Vai, dengan pelan dia memajukan wajahnya, mendekatkan daun telinganya ke pintu. Ini kesempatan bagus baginya untuk membuktikan siapa kendati yang berbohong; Vai atau suaminya.
Dilger menautkan alis, lalu tawanya berderai. "Kenapa kau bertanya?"
Vai mengerucutkan bibir, menunduk sebentar, dan mendongak lagi menatap Dilger.
"Semuanya aman, dia percaya padaku," ujar Dilger.
Risa membulatkan mulut tak percaya mendengar jawaban Dilger. Amarah kembali menguasainya, ingin sekali dia keluar dari lemari itu dan menampar Dilger sekeras-kerasnya. Namun, untungnya dia yang selalu bertindak sesuai logika mengurungkan niat, dan memutuskan untuk tetap diam mendengarkan kelanjutan perbincangan keduanya di luar lemari.
"Jadi, kapan kau akan menceraikannya? Kau bilang sudah muak melihat dia sewenang-wenang memarahi dan menamparmu," lontar Vai, "aku bahkan sudah bersusah payah merayu Ibu."
"Aku masih memikirkan caranya. Kau tahu sendiri betapa keras kepalanya Risa."
Kali ini, Risa benar-benar tak tahan lagi. Dia memutuskan ingin keluar. Namun, saat dia mendorong lemari, reaksi yang sama juga terdorong dari luar.
"Sebaiknya kita bicara di luar saja, aku tak bisa fokus berpikir di tengah-tengah kehancuran kamarku." Vai terkikik kecil. Tangannya yang berada di belakang punggungnya mengunci lemari. Setelahnya dia merangkul lengan Dilger keluar.
Saat Vai menutup pintu kamarnya, senyum sinisnya tercetak memandangi lemari putihnya yang kini digedor.
Risa memukul-mukul pintu lemari yang tak kunjung terbuka."Dia menguncinya, dasar wanita sialan!" umpatnya. Risa menyandarkan kepalanya, sesekali melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul lima sore. Dia memikirkan aneka cara untuk keluar hingga tangannya tak sengaja meraba saku blazernya.
"Astaga, ponselku!" Risa berpekik senang dan merogoh ponselnya, lalu tubuhnya merosot kecewa mendapati ponselnya tak menyala. Sial sekali. Kini tak ada cara keluar selain menunggu Vai kembali ke kamarnya.
Namun, hingga jam menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Suasana di luar lemari masih senyap.
"Vai!" panggil Risa, entah suaranya terdengar atau tidak. Sesekali tangannya mengetuk pintu lemari. Namun, tak ada tanda-tanda pertolongan mendekat.
Risa mendengus. "Dasar wanita licik!" Alisnya kembali meliuk, menahan geram. Sudah bisa dipastikan, Vai sengaja menguncinya.
"Kenapa kau diam saja saat dia menyeretmu? Argh!" Risa mengacak kesal rambutnya, lalu ringisan keluar dari bibirnya, terdengar bunyi auman lapar, dia lupa kalau belum makan siang dan perdebatannya dengan Vai benar-benar menguras tenaga.
Hingga jam sembilan, masih tak ada tanda-tanda kembalinya Vai. Kini, penglihatan Risa mengabur seiring lapar menyerang.
Oh, Tuhan, kenapa ini harus terjadi padaku! Batinnya.
Sekuat tenaga, Risa mengangkat tangannya mengetuk pintu lemari. "Siapapun di luar sana, tolong buka kuncinya!" lirih Risa dan penglihatannya sempurna menggelap.
Risa mengerjapkan matanya. Dia sudah berada di kamar. Sisi kepalanya masih terasa berdentum.Risa mencoba bangun, tapi punggungnya terasa berat."Berbaring saja!"Risa menoleh ke arah sumber suara. Senyum Dilger memesonanya. Raut wajah Risa berubah mengeras, percakapan semalam di kamar Vai berputar."Kamu menghilang semalaman, lalu tiba-tiba ditemukan di lobi utama." Dilger menatap lamat wajah pucat istrinya."Lobi?" Risa mendengus, mengumpat pelan dalam hati, wanita gila itu menelantarkannya saja di luar."Apa yang terjadi?"Amarah Risa menjalari tubuhnya. Dia melengos, Dilger menatapnya sedari tadi dengan raut wajah berkabung."Kamu masih bisa menatapku begitu setelah apa yang kamu lakukan padaku?" gumam Risa.Dahi Dilger berkerut. "Apa maksudmu, Risa?"Risa mendengus lagi. Tangannya mengepal di balik selimut.Pria itu menangkup wajah Risa menghadapnya. "Kamu tahu aku mencemaskanmu semalaman. Aku bahk
Risa menolak tidur sekamar dengan Dilger. Dia masih kesal, Dilger seolah-olah bertindak tidak melakukan kesalahan, pria itu belum mengaku padanya."Ibu akan marah lagi jika menemuimu tidur disini," ucap Dilger, tapi Risa tetap kekeh tidur sendiri.Risa tak peduli, biarkan saja Samara berasumsi seenaknya. Lagi pula, Risa tak yakin bisa sekamar dengan Dilger setelah apa yang didengarnya.Amarahnya tak tenang saat bersama Dilger, barangkali dia menancap pisau di tengah malam pada suaminya.Matanya terpejam, deru napasnya semrawut. Risa menyadari dirinya akan segera gila.Pintu kamarnya diketuk pelan. Risa mengabaikan, tapi ketukannya kian lama terdengar kasar dan mengusiknya."Sudah kubilang, aku tetap akan tidur di sini! Jangan membujukku!" Risa berteriak menatap jengkel pintu kayu."Ini aku."Risa membatu mendengar suara di luar pintu. Bukan suara Dilger. Risa enggan membuka pintu, tapi tubuhnya bereaksi sebaliknya.
"Lebih baik kamu menceraikanku secepatnya.""Apa yang kamu katakan, Risa?" Dilger mencoba meraih bahu Risa, tapi ditepis lagi.Risa mendongak. Sebenarnya, Risa lemah, rasanya ingin mati saja."Bukankah itu keinginanmu?""Tidak, Risa. Aku tak pernah menginginkan itu. Kumohon jangan mengatakan hal konyol—""Konyol katamu?" Rintik air mata Risa mengalir."Aku benci melihatmu menangis." Dilger menatap sayu wajah sembab Risa."Tapi kamu selalu membuatku menangis. Atau, kamu tidak sadar?"Dilger memeluk Risa meskipun wanita itu berontak."Apa lagi yang wanita itu katakan?""Aku mendengar obrolan kalian hari itu."Dilger melepas pelukannya, menatap Risa penuh tanya."Kamu pura-pura pikun atau memang bodoh?""Risa—""Sebelumnya, aku memercayaimu, tapi ... sekarang, aku berpikir dua kali lagi. Kamu beralih, Dilger. Kamu tak memihakku lagi, kamu tahu itu?""Apa maksudmu,
Dilger menyugar kasar rambutnya. Berjalan mondar-mandir di kamar. Sesekali melirik kamar di paviliun sebelah, lampu berwarna-warni berpendar.Setelah perdebatannya tengah malam dan diakhiri oleh Samara. Dilger sudah tak bisa tidur lagi. Jam terasa bergerak lebih lambat.Ibu jarinya menyapu bibirnya kasar. Dilger tak kuasa menunggu lebih lama lagi. Dia bergegas keluar.Dilger memandang pintu kayu di depannya sebelum mengetuknya. Butuh waktu agak lama hingga pintu itu terbuka.Sosok yang ditunggunya muncul. Rambutnya agak berantakan, baju kaus kedodoran berpadu celana pendek ialah baju tidurnya."Ada apa?" Vai bertanya sambil menguap.Dilger merasa bersalah mengusik tidur Vai, tapi dia segera menepisnya. Ditatapnya lamat-lamat Vai yang sibuk menguap. Sekalipun tampangnya kacau, tapi Vai tetap kelihatan cantik. Dilger melengos merutuki pikirannya barusan."Aku ingin bicara," ungkap Dilger.Vai mengerjapkan matany
Mata Dilger menyipit, ingatannya samar akan hari itu. Dilihatnya Vai tersenyum bengis padanya."Apa yang kamu lakukan?" selidik Dilger.Wanita di depannya menyilangkan kaki, memerhatikan kukunya yang berpoles kuteks, beberapa sudah mengelupas. "Aku iseng merekamnya." Vai berujar tanpa rasa bersalah sedikitpun.Vai menoleh. "Lagi-lagi kamu ceroboh, Paman, tapi aku suka. Aku melihat sisi liarmu hari itu.""Kamu memberiku sampanye alih-alih wine?" ingatan Dilger samar. Vai menuang berkali-kali gelasnya, dan bodohnya Dilger menenggak semuanya. Setelahnya, dia tak ingat apa yang terjadi selanjutnya. "Apa yang kamu lakukan padaku?"Vai memajukan wajahnya. "Aku tak melakukan apapun, tapi Paman menarikku. Paman meraung ingin ... tapi aku bukan wanita bodoh. Ya, ya, aku wanita, tentu aku terlena—" Vai menggigit bibir bawahnya sensual sembari melirik dada bidang Dilger."—Kamu tak melakukan apapun selain meluluhlantakkan wajahku, bahkan ak
Rahang Dilger mengeras seiring langkah besarnya. Dia tak tahu harus ke mana, tapi kakinya menuju dapur.Dilger terkesiap. Risa ada di dapur, menghadap wastafel, menyalakan kran, sedang kedua tangannya bertapak di meja dapur. Entah apa yang Risa lihat di air mengalir.Dilger melangkah mendekat, mematikan kran. Risa nampak kaget, lalu secepat kilat wajahnya berubah marah seolah-olah kehadiran Dilger selalu merusak perasaannya, dan membuatnya ingin terus marah saja."Sedang memikirkan sesuatu?" Dilger menuang air dalam gelasnya, menenggaknya sambil menatap Risa yang bergeming.Risa melengos. "Bukan urusanmu," katanya datar sambil berlalu, tapi Dilger menangkap lengannya."Aw," ringis Risa pelan.Dilger menarik Risa ke hadapannya, menatap wajah Risa yang menahan ngilu. Kemudian, Risa melepas cekalan tangannya, membawa lengannya ke belakang punggung.Dilger meneliti Risa, bergantian menatap lengan yang disembunyikannya menggeliat-geliat. "
"Jadi, kalian sudah baikan ceritanya?" Vai bertanya tanpa mengindahkan tatapannya yang menuang mi ke dalam mangkuk. Dia menyungging senyum sinis, dan dia tahu dua orang disampingnya menilik tajam.Vai menoleh. "Aku turut senang, tapi mungkin tak akan bertahan lama," ujarnya sambil mengangkat mangkuknya menuju ke meja.Pasangan itu masih bergeming di tempatnya, mendengar Vai yang menyeruput mi-nya.Risa beranjak turun meski Dilger menahannya, sorot matanya berkata, "Tenang, aku tahu apa yang harus aku lakukan."Dilger dengan enggan melepasnya. Wanita itu berjalan gemulai menghampiri Vai.Risa duduk tepat di depan Vai, mengawasinya yang begitu menikmati makanannya. Acap kali terdengar gumaman lezat di bibirnya."Aku turut senang melihat kalian berdua bersama lagi. Aku mengucapnya dengan jelas, kan?" Vai berkata dengan mulut masih mengunyah.Risa mengulas senyum, mengangguk. Dia menarik saus cabai, menyodorkannya pada Vai."Astaga
Bunyi klakson mobil samar terdengar. Samara tak mampu menyembunyikan wajah semringahnya. Menatap Vai dan Dilger bergantian.Vai berlari keluar, mendahului Samara yang dirangkul Dilger. Rambut cokelatnya terumbai-umbai. Vai tak memedulikan pelayan yang menatapnya terkejut. Tetiba jarak dapur dengan pintu depan bagai berpuluh-puluh kilometer.Langkah Vai terhenti, menatap mobil sedang hitam mengilap. Di sana sudah berdiri sepasang suami-istri dalam balutan pakaian mewah."Paman," sebut Vai.Pasangan itu menoleh. Raut wajahnya sedikit terkejut, tapi tak bertahan lama saat Vai berhambur pada keduanya."Aku sangat merindukan kalian, tapi kalian selalu menomorsatukan pekerjaan." Vai mengerucutkan bibir."Paman juga sangat merindukan kalian. Sudah lama sekali tak bertemu."Vai mengeratkan pelukannya. Wanita paruh baya di sampingnya turut mengelus rambut lurusnya.Dia adalah Hendy Wiston, anak tertua Samara. Si penggila kerja, bolak-ba
Semuanya dimulai enam tahun silam. Saat ketakutan, amarah, dan dendam bercampur satu. Saat kehidupannya bergilir ke arah berlawanan.Malam itu, hari istimewanya. Kedua kakinya menyilang sambil digerakkan gusar. Tangannya terentang, sesekali memegang dada menahan degup yang kian berpacu seiring pergerakan menit jam.Ah, entah kenapa di hari senangnya itu dia merasa gusar sekaligus.Ibunya akan segera pulang dari tempat kerja, seorang pelayan mansion yang sudah bekerja lebih sepuluh tahun.Namun, hingga pukul sepuluh, belum ada tanda-tanda kepulangan ibunya. Aneh baginya, ibunya tidak biasa pulang telat, jikalau pun terjadi, pasti menitip pesan sebelumnya, tapi itupun amat jarang terjadi.Dia masih berusaha tenang, tapi suara detik menit jam terdengar mengerikan. Di luar begitu gelap, temaram rembulan lenyap seiring awan hitam menutup dan kilat sesekali menyambar.BrakSuara gedebum terdengar. Dia tahu betul, itu suara pot bunga sebab d
Vai membenahi isi lemari, memilah baju yang akan dibawanya. Sesekali bergerundel kesal."Apa yang dia pikirkan semalam?" Vai memasukkan asal midi dress ke dalam koper. Mengingat obrolannya semalam dengan Risa membuatnya kesal kembali.Pintu diketuk.Vai enggan beranjak, dia menduga Risa yang datang. Namun, ketukan tersebut tak berhenti."Vai, ini Nenek, buka pintunya!"Vai menatap pintu sambil membelalak. "Nenek!" Sigap dia membuka pintu."Oh, maafkan aku, Nek. Aku baru saja keluar dari toilet," bohongnya."Tumben Nenek kemari, ada apa?" Vai merangkul lengan Samara, menuntunnya ke sofa.Samara menilik kamar Vai. Dua lemari pakaian terbuka, setengah kosong, dan pakaian berhamburan di atas ranjang."Kamu berencana menetap di rumah Hendy?"Vai mengikuti arah pandang Samara pada koper yang tergeletak dengan isi yang berantakan."Mungkin."Samara mendesah. "Mungkin?" matanya sendu menatap Vai."Aku
Dilger mengguncang tubuh Risa. "Kumohon jangan menyebut kata tersebut.""Kenapa?" Pelupuk mata Risa menggenang."Lebih baik kamu istirahat."Risa menepis tangan Dilger. "Jawab pertanyaanku.""Kamu sudah tahu jawabannya. Sampai kapanpun aku tak akan pernah menceraikanmu meskipun—""Maukah kamu hidup menderita seperti ini selamanya? Aku dan kamu sama-sama tersiksa."Dilger memalingkan wajah, tangannya mengepal."Pikirkan baik-baik, masih belum terlambat untuk menggugat percera—""Tidak. Aku tidak akan melakukannya!" sanggah Dilger. Dia menatap bola mata Risa lekat. "Jawabanku tak akan berubah."Risa menatap hampa lantai yang mengilap. "Keluar!" Suaranya serak. Dia tak mengalihkan pendangannya sedikit pun bahkan ketika Dilger benar-benar meninggalkannya..Risa menekuk lutut, menenggelamkan kepala meredakan dentum di kepalanya."Apa kamu gila, Risa? Bagaimana bisa kamu selemah ini?" Risa bermonolog.
Sore itu, mereka berkumpul di ruang keluarga. Vai mengamati tiap-tiap kepala yang nampak menikmati tayangan TV. Saat pandangannya bertemu dengan Risa, wanita itu menatapnya lurus yang membuat Vai menyeringai samar. "Apa katamu tadi? Kamu akan pergi lusa?" Samara menatap Hendy dan Maya. "Kalian pergi berbulan-bulan, lalu pulang hanya lima hari?" "Kami akan bolak-balik mengunjungi Ibu. Atau Ibu ikut kami saja?" "Jaga ucapanmu, Hendy!" Dilger menyipitkan mata. "Jangan memperebutkan Ibu dan aku tak akan kemana-mana. Hendy, bisakah kamu tinggal lebih lama?" "Ibu tahu sendiri, aku tak terbiasa menyuruh tangan kananku mengelola bisnis selagi aku berleha-leha di rumah—" "Dasar penggila kerja. Entah ayahmu mendidikmu bagaimana dahulu." Samara menyengir. "Aku melakukan ini demi Ibu juga." "Nek," panggil Vai. Dia bertemu pandang dengan Maya seolah dia berujar, "Kamu yakin melakukannya?" "Boleh aku ikut sama Tante M
Vai melirik kepala tangan Risa. "Selamat malam, Risa!" Vai berbalik pergi."Kupastikan hidupmu tak akan tenang setelah ini, Vai!" Gigi Risa bergemertak. Dia mendongak, seseorang yang berdiri di balkon sudah lenyap.Risa mencengkram rambutnya, lalu menghempas tangannya kesal. "Jangan bertingkah bodoh, Risa!" ujarnya.Risa berbalik pergi. Saat dia menaiki tangga, dia berpapasan dengan Maya. Risa tersenyum tipis. Keduanya saling memandang menunggu siapa yang harus membuka mulut lebih dahulu.Namun, tatapan lurus Maya seakan-akan mendesaknya."Apa yang kamu lihat?" tanya Risa diselingi tawa kecilnya."Aku bisa saja langsung mengartikannya sesuai dengan apa yang kulihat. Mencoba menampar Vai? Untungnya pencahayaan remang-remang, aku tak tahu pasti bagaimana wajahmu saat itu. Namun, aku mengenalmu, Risa. Kenapa wajahmu tegang seperti itu?"Risa membuang pandangan. "Ah, sedang banyak pikiran. Dia kekeh ingin memotong pendek rambutnya, aku me
Risa memundurkan wajahnya seiring Samara yang kian maju."Benar, ada sesuatu di matamu. Ketakutan dan kekhawatiran." Samara memiringkan kepala. "Ada sesuatu yang membuatmu risau, menantu? Dan jangan menatap Ibu seperti itu."Mulut Risa menganga bahkan matanya tak berkedip. Samara menatapnya, tersenyum lebar sambil menaikkan satu alisnya, lalu menepuk tangannya."Kenapa?" tanyanya."Bukan apa-apa?""Terkejut?" tantang Samara."Apa Ibu ... tak marah padaku?"Bulu kuduk Risa meremang menyaksikan senyum Samara. Tampang Samara jauh lebih menyeramkan menurut Risa."Kamu lebih senang melihatku marah dibanding seperti ini?"Risa menarik napas, merilekskan tubuhnya yang menegang."Aku tak mengatakan itu, Bu." Suara Risa mulai melunak.Samara mengangguk-angguk. "Sampai di mana kita tadi? Ah, pertanyannku, tapi lupakan saja. Ada hal yang lebih penting.""Lebih penting?"Samara membuang pandangan, dia ber
Risa menghempas tubuhnya di tengah ranjang. Menatap hampa lampu kristal di atasnya. Dilger ikut membaringkan tubuh di sampingnya. "Aku tak bisa diam terus seperti ini, Dilger. Aku tak bisa tenang." "Benar, tapi posisimu juga terancam. Bertingkah sekali lagi di depan ibu, barangkali dia akan mengusirmu." Risa memiringkan badannya, mengamati Dilger. "Apa aku mengatakan sesuatu yang salah?" tanya Dilger. Risa beranjak duduk. "Tapi, aku memilikimu." "Namun, keputusan final akan selalu berada di tangannya meskipun aku tidak mau itu terjadi, tapi jika ibu ... aku tak bisa melakukan apapun." "Apa kamu sudah tak mencintaiku hingga mengatakan itu?" Risa menyadari Dilger menarik bahunya, dia tak mengelak. Helaan napasnya terdengar berat. "Oleh karena itu, aku mengatakannya lebih dahulu agar kamu bertingkah lebih hati-hati. Aku tak ingin itu terjadi, Risa. Aku tak ingin pisah darimu. Kamu mengerti?" Risa mengangguk
Bunyi klakson mobil samar terdengar. Samara tak mampu menyembunyikan wajah semringahnya. Menatap Vai dan Dilger bergantian.Vai berlari keluar, mendahului Samara yang dirangkul Dilger. Rambut cokelatnya terumbai-umbai. Vai tak memedulikan pelayan yang menatapnya terkejut. Tetiba jarak dapur dengan pintu depan bagai berpuluh-puluh kilometer.Langkah Vai terhenti, menatap mobil sedang hitam mengilap. Di sana sudah berdiri sepasang suami-istri dalam balutan pakaian mewah."Paman," sebut Vai.Pasangan itu menoleh. Raut wajahnya sedikit terkejut, tapi tak bertahan lama saat Vai berhambur pada keduanya."Aku sangat merindukan kalian, tapi kalian selalu menomorsatukan pekerjaan." Vai mengerucutkan bibir."Paman juga sangat merindukan kalian. Sudah lama sekali tak bertemu."Vai mengeratkan pelukannya. Wanita paruh baya di sampingnya turut mengelus rambut lurusnya.Dia adalah Hendy Wiston, anak tertua Samara. Si penggila kerja, bolak-ba
"Jadi, kalian sudah baikan ceritanya?" Vai bertanya tanpa mengindahkan tatapannya yang menuang mi ke dalam mangkuk. Dia menyungging senyum sinis, dan dia tahu dua orang disampingnya menilik tajam.Vai menoleh. "Aku turut senang, tapi mungkin tak akan bertahan lama," ujarnya sambil mengangkat mangkuknya menuju ke meja.Pasangan itu masih bergeming di tempatnya, mendengar Vai yang menyeruput mi-nya.Risa beranjak turun meski Dilger menahannya, sorot matanya berkata, "Tenang, aku tahu apa yang harus aku lakukan."Dilger dengan enggan melepasnya. Wanita itu berjalan gemulai menghampiri Vai.Risa duduk tepat di depan Vai, mengawasinya yang begitu menikmati makanannya. Acap kali terdengar gumaman lezat di bibirnya."Aku turut senang melihat kalian berdua bersama lagi. Aku mengucapnya dengan jelas, kan?" Vai berkata dengan mulut masih mengunyah.Risa mengulas senyum, mengangguk. Dia menarik saus cabai, menyodorkannya pada Vai."Astaga