"Lebih baik kamu menceraikanku secepatnya."
"Apa yang kamu katakan, Risa?" Dilger mencoba meraih bahu Risa, tapi ditepis lagi.
Risa mendongak. Sebenarnya, Risa lemah, rasanya ingin mati saja.
"Bukankah itu keinginanmu?"
"Tidak, Risa. Aku tak pernah menginginkan itu. Kumohon jangan mengatakan hal konyol—"
"Konyol katamu?" Rintik air mata Risa mengalir.
"Aku benci melihatmu menangis." Dilger menatap sayu wajah sembab Risa.
"Tapi kamu selalu membuatku menangis. Atau, kamu tidak sadar?"
Dilger memeluk Risa meskipun wanita itu berontak.
"Apa lagi yang wanita itu katakan?"
"Aku mendengar obrolan kalian hari itu."
Dilger melepas pelukannya, menatap Risa penuh tanya.
"Kamu pura-pura pikun atau memang bodoh?"
"Risa—"
"Sebelumnya, aku memercayaimu, tapi ... sekarang, aku berpikir dua kali lagi. Kamu beralih, Dilger. Kamu tak memihakku lagi, kamu tahu itu?"
"Apa maksudmu, Risa?"
Risa memalingkan wajah. "Sepertinya ucapan Samara layak untukmu. Kamu begitu lihai berakting, lihai berbohong."
"Atau, kamu belajar dari wanita itu?" Risa mendengus, lalu tertawa kecil memikirkan nasib hidupnya.
"Kamu tak pandai berbohong, Dilger, tapi ... hari ini aku sudah tertipu dengan tampangmu. Atau, jangan-jangan selama ini, semuanya hanya bohong semata? Janji-janji pernikahan kamu anggap apa? Ah, benar, hari ini aku tahu, cinta tak ada artinya bagimu. Cinta hanya omong kosong—"
"Risa!" Dilger mengguncang Risa seolah wanita itu sudah gila, mengigau hal tak guna.
"Kamu menganggapku gila? Ya, aku memang sudah gila, Dilger, bahkan sedari dulu. Entah kenapa aku menyesal. Harusnya aku menerima lamaran Dion daripada mengejarmu. Kamu tahu, Dion melamarku di taman, kerlap-kerlip lampu yang indah, itu impianku, tapi aku memilihmu. Lucunya, kamu pria bodoh atau entahlah. Kekuatan cinta memang luar biasa. Lucunya, aku melamarmu lebih dahulu."
Dilger terdiam sesaat. Meskipun kejadian lawas, tapi bukan mudah bagi Dilger. Dia memang tidak seperti mantan-mantan kekasih Risa yang berlagak romantis, tapi mengatasnamakan fisik sebagai cinta. Dilger tahu, pria yang dicintai Risa dahulu tak lebih dari sekadar buaya keparat.
"Aku mencintaimu, Risa, tapi cinta tak melulu disuarakan langsung. Terkadang aksi lebih baik dari sekedar kata-kata.""Aku tak memercayaimu, Dilger. Satu-satunya orang tempatku mencurahkan segalanya kini berpaling dariku. Aku tahu, aku tipe emosional. Aku takut kehilanganmu. Terkadang cinta membuat manusia bodoh, seperti aku. Aku terlalu takut kehilanganmu, tapi tanpa kusadari tingkah bodohku nyaris membuatku kehilanganmu."
Tatapan keduanya saling beradu. Risa tak menangkap arti tatapan sendu Dilger. Risa mengklaim semuanya dusta belaka.
"Aku menyerah," kata Risa sambil mengangkat tangannya di udara. "Kalau kamu ingin menceraikanku dan menikahi Vai, aku rela. Aku tak tahu harus berbuat apa, Dilger. Aku lelah—"
"Sadarkan dirimu, Risa! Bagaimanapun aku tidak akan menceraikanmu. Jangan termakan tipuan wanita itu."
Tawa Risa berderai. "Termakan tipuan? Aku mendengarnya langsung, Dilger. Kamu tahu bagaimana aku menghilang malam itu? Aku di dalam lemari, Dilger. Dalam lemari pakaian Vai!"
"Ka-kamu ...."
Dengusan Risa lolos di bibirnya. Dilger mematung di tempatnya, matanya bergerak-gerak entah mencari apa di wajah Risa.
"Terkejut? Aku mendengarnya. Semuanya. Kamu muak dengan istrimu yang pemarah. Memancing amarah Samara agar memudahkanmu menceraikanku."
Risa menepuk dada Dilger menyadarkannya dari keterpakuan. "Kamu membuatnya ribet, Dilger. Apa susahnya mengatakan langsung padaku? Aku ingin menceraikanmu, Risa. Kamu pemarah, suka menangis, suka mengatur, suka menampar."
Dilger menangkap tangan Risa. "Andai kamu mengerti—"
"Aku selalu mengerti keadaanmu.""
"Dengarkan aku dulu!" Suara Dilger mengeras. "Andai kamu mendengar seluruh obrolan itu. Kamu tentunya tak mengatakan hal bodoh itu."
Dilger mengatupkan bibir Risa dengan telunjuknya. "Jangan memotong ucapanku."
"Aku tak pernah ingin menghancurkan pernikahan kita, tak pernah sekalipun. Masih banyak yang ingin kulalui bersamamu, Risa. Kamu satu-satunya yang kupercayai dari dulu. Saat semua orang mengiraku sombong sebab menyandang nama Wiston, tapi kamu tidak. Kamu selalu berada di sisiku, tak peduli sikap acuh tak acuhku." Dilger meraih wajah Risa.
"Aku memang tak pernah berkata-kata manis padamu. Aku kesulitan mengatakannya, tapi aku ingin memilikimu, hanya denganmu. Menimang bayi denganmu, menua bersamamu, dan mati bersamamu."
Manik Risa berselaput bening. Kaca-kaca di matanya akan meluruh lagi. Risa terenyuh, Dilger baru saja mengatakan kalimat panjang nan manis. Kalimat-kalimat romantis yang paling ditunggunya.
Pertahanan Risa goyah, sebentar lagi runtuh. Dia dibuat bingung lagi, tapi dia sudah memutuskan untuk tak terjerat dalam kata-kata lagi. Dilger mengatakan hal yang sama padanya sebelumnya, tapi Dilger justru membohonginya.
Terkadang perasaan cinta harus ditepis, sesekali membiarkan ego bertindak. Risa mengabaikan kata hatinya walau menyiksanya, mengabaikan Dilger sama saja menciptakan luka."Aku tak memintamu untuk mempercayaiku lagi, Risa. Ini semua akal bulusnya dan aku akan membuktikannya. Kumohon jangan memintaku untuk menceraikanmu jika sampai di telinga Ibu ... ini akan lebih rumit. Aku tak kuat melihatmu dikatai Ibu, tapi aku pun tak mampu melawannya. Kuharap kamu paham walau kamu sudah lelah untuk mengerti, tapi aku memercayaimu, Risa. Meskipun Ibu atau dunia sekalipun mengataimu jahat, aku tak peduli."
Giliran Risa yang membatu, dia tak tahu harus mengatakan apa, tapi ucapan Dilger menenangkannya, memberinya harapan.
Kamu akan membalasnya, Vai! Geram Risa dalam hati.
Dilger menggenggam tangan Risa yang mengepal. "Terkadang apa yang kita lihat belum tentu begitu kejadiannya. Aku bukan bermaksud sedang membela diri. Aku minta maaf, aku suami yang tak becus. Kamu dikurung semalaman di lemari."
"Kalau begitu, katakan padaku apa keseluruhan pembicaraan kalian?"
"Aku tak bisa mengatakannya, Risa."
Risa mendengus. "Benar. Ucapan orang jahat kadang layak didengar ketimbang seseorang yang mengaku baik, tapi busuk."
Helaan napas pelan lolos di bibir Dilger. Istrinya sepenuhnya membencinya. Dilger tak menyalahinya, bagaimanapun dia juga merasa ikut andil atas kemarahan Risa.
"Kamu tak perlu memercayaiku lagi."
Hening. Keduanya sibuk beradu dalam pikiran masing-masing.
Samara muncul, wajahnya garang menatap pasangan yang terduduk di lantai.
"Kenapa kalian ribut-ribut di tengah malam begini?" Tapi Samara menatap Risa seolah menyalahkan wanita itu.
"Ibu jadi tidak bisa tidur gara-gara kalian? Apa lagi yang kalian debatkan?" Pertanyaan Samara diabaikan. Ibu sepuh itu berkacak pinggang memasuki kamar.
"Enak sekali kamu menghancurkan kamar ini. Kamu pikir barang-barang itu dibeli gratis? Mentang-mentang dinaungi orang kaya. Ibu tak habis pikir dengan menantuku ini!"
"Ibu ... sudah!" Dilger menurunkan acungan tangan Samara. Matanya berkilah amarah menatap Risa.
"Kenapa kalian ribut-ribut di tengah malam, huh?!" todong Samara. "Lalu, kenapa pula wajahmu, Risa, sembab begitu?"
"Ibu, kumohon kembalilah ke kamar."
"Kamu masih membela istri pelacurmu itu? Ibu sudah tidak bisa tidur. Jika Ibu tumbang besok, kuanggap ulah kamu."
Samara mengatakannya pada Dilger, tapi Risa menyadari ucapan Samara terlontar untuknya.
Samara memijit pelipisnya. "Kalian berdua bisa membuat geger keluarga Wiston. Ibu benci ditodong publik." Samara menghela napas. "Apa kalian berdua memang ingin menghancurkan keluarga Wiston? Dan kamu juga, Dilger. Kenapa kamu menjadi pria bodoh. Ingat, martabat keluarga ini jauh lebih penting."
Samara melengos. Menatap bantal yang berserakan, ranjang yang acak-acakan. "Anak jaman sekarang memang tukang ulah. Bukankah lebih baik kalian bercerai saja?"
Dilger menyugar kasar rambutnya. Berjalan mondar-mandir di kamar. Sesekali melirik kamar di paviliun sebelah, lampu berwarna-warni berpendar.Setelah perdebatannya tengah malam dan diakhiri oleh Samara. Dilger sudah tak bisa tidur lagi. Jam terasa bergerak lebih lambat.Ibu jarinya menyapu bibirnya kasar. Dilger tak kuasa menunggu lebih lama lagi. Dia bergegas keluar.Dilger memandang pintu kayu di depannya sebelum mengetuknya. Butuh waktu agak lama hingga pintu itu terbuka.Sosok yang ditunggunya muncul. Rambutnya agak berantakan, baju kaus kedodoran berpadu celana pendek ialah baju tidurnya."Ada apa?" Vai bertanya sambil menguap.Dilger merasa bersalah mengusik tidur Vai, tapi dia segera menepisnya. Ditatapnya lamat-lamat Vai yang sibuk menguap. Sekalipun tampangnya kacau, tapi Vai tetap kelihatan cantik. Dilger melengos merutuki pikirannya barusan."Aku ingin bicara," ungkap Dilger.Vai mengerjapkan matany
Mata Dilger menyipit, ingatannya samar akan hari itu. Dilihatnya Vai tersenyum bengis padanya."Apa yang kamu lakukan?" selidik Dilger.Wanita di depannya menyilangkan kaki, memerhatikan kukunya yang berpoles kuteks, beberapa sudah mengelupas. "Aku iseng merekamnya." Vai berujar tanpa rasa bersalah sedikitpun.Vai menoleh. "Lagi-lagi kamu ceroboh, Paman, tapi aku suka. Aku melihat sisi liarmu hari itu.""Kamu memberiku sampanye alih-alih wine?" ingatan Dilger samar. Vai menuang berkali-kali gelasnya, dan bodohnya Dilger menenggak semuanya. Setelahnya, dia tak ingat apa yang terjadi selanjutnya. "Apa yang kamu lakukan padaku?"Vai memajukan wajahnya. "Aku tak melakukan apapun, tapi Paman menarikku. Paman meraung ingin ... tapi aku bukan wanita bodoh. Ya, ya, aku wanita, tentu aku terlena—" Vai menggigit bibir bawahnya sensual sembari melirik dada bidang Dilger."—Kamu tak melakukan apapun selain meluluhlantakkan wajahku, bahkan ak
Rahang Dilger mengeras seiring langkah besarnya. Dia tak tahu harus ke mana, tapi kakinya menuju dapur.Dilger terkesiap. Risa ada di dapur, menghadap wastafel, menyalakan kran, sedang kedua tangannya bertapak di meja dapur. Entah apa yang Risa lihat di air mengalir.Dilger melangkah mendekat, mematikan kran. Risa nampak kaget, lalu secepat kilat wajahnya berubah marah seolah-olah kehadiran Dilger selalu merusak perasaannya, dan membuatnya ingin terus marah saja."Sedang memikirkan sesuatu?" Dilger menuang air dalam gelasnya, menenggaknya sambil menatap Risa yang bergeming.Risa melengos. "Bukan urusanmu," katanya datar sambil berlalu, tapi Dilger menangkap lengannya."Aw," ringis Risa pelan.Dilger menarik Risa ke hadapannya, menatap wajah Risa yang menahan ngilu. Kemudian, Risa melepas cekalan tangannya, membawa lengannya ke belakang punggung.Dilger meneliti Risa, bergantian menatap lengan yang disembunyikannya menggeliat-geliat. "
"Jadi, kalian sudah baikan ceritanya?" Vai bertanya tanpa mengindahkan tatapannya yang menuang mi ke dalam mangkuk. Dia menyungging senyum sinis, dan dia tahu dua orang disampingnya menilik tajam.Vai menoleh. "Aku turut senang, tapi mungkin tak akan bertahan lama," ujarnya sambil mengangkat mangkuknya menuju ke meja.Pasangan itu masih bergeming di tempatnya, mendengar Vai yang menyeruput mi-nya.Risa beranjak turun meski Dilger menahannya, sorot matanya berkata, "Tenang, aku tahu apa yang harus aku lakukan."Dilger dengan enggan melepasnya. Wanita itu berjalan gemulai menghampiri Vai.Risa duduk tepat di depan Vai, mengawasinya yang begitu menikmati makanannya. Acap kali terdengar gumaman lezat di bibirnya."Aku turut senang melihat kalian berdua bersama lagi. Aku mengucapnya dengan jelas, kan?" Vai berkata dengan mulut masih mengunyah.Risa mengulas senyum, mengangguk. Dia menarik saus cabai, menyodorkannya pada Vai."Astaga
Bunyi klakson mobil samar terdengar. Samara tak mampu menyembunyikan wajah semringahnya. Menatap Vai dan Dilger bergantian.Vai berlari keluar, mendahului Samara yang dirangkul Dilger. Rambut cokelatnya terumbai-umbai. Vai tak memedulikan pelayan yang menatapnya terkejut. Tetiba jarak dapur dengan pintu depan bagai berpuluh-puluh kilometer.Langkah Vai terhenti, menatap mobil sedang hitam mengilap. Di sana sudah berdiri sepasang suami-istri dalam balutan pakaian mewah."Paman," sebut Vai.Pasangan itu menoleh. Raut wajahnya sedikit terkejut, tapi tak bertahan lama saat Vai berhambur pada keduanya."Aku sangat merindukan kalian, tapi kalian selalu menomorsatukan pekerjaan." Vai mengerucutkan bibir."Paman juga sangat merindukan kalian. Sudah lama sekali tak bertemu."Vai mengeratkan pelukannya. Wanita paruh baya di sampingnya turut mengelus rambut lurusnya.Dia adalah Hendy Wiston, anak tertua Samara. Si penggila kerja, bolak-ba
Risa menghempas tubuhnya di tengah ranjang. Menatap hampa lampu kristal di atasnya. Dilger ikut membaringkan tubuh di sampingnya. "Aku tak bisa diam terus seperti ini, Dilger. Aku tak bisa tenang." "Benar, tapi posisimu juga terancam. Bertingkah sekali lagi di depan ibu, barangkali dia akan mengusirmu." Risa memiringkan badannya, mengamati Dilger. "Apa aku mengatakan sesuatu yang salah?" tanya Dilger. Risa beranjak duduk. "Tapi, aku memilikimu." "Namun, keputusan final akan selalu berada di tangannya meskipun aku tidak mau itu terjadi, tapi jika ibu ... aku tak bisa melakukan apapun." "Apa kamu sudah tak mencintaiku hingga mengatakan itu?" Risa menyadari Dilger menarik bahunya, dia tak mengelak. Helaan napasnya terdengar berat. "Oleh karena itu, aku mengatakannya lebih dahulu agar kamu bertingkah lebih hati-hati. Aku tak ingin itu terjadi, Risa. Aku tak ingin pisah darimu. Kamu mengerti?" Risa mengangguk
Risa memundurkan wajahnya seiring Samara yang kian maju."Benar, ada sesuatu di matamu. Ketakutan dan kekhawatiran." Samara memiringkan kepala. "Ada sesuatu yang membuatmu risau, menantu? Dan jangan menatap Ibu seperti itu."Mulut Risa menganga bahkan matanya tak berkedip. Samara menatapnya, tersenyum lebar sambil menaikkan satu alisnya, lalu menepuk tangannya."Kenapa?" tanyanya."Bukan apa-apa?""Terkejut?" tantang Samara."Apa Ibu ... tak marah padaku?"Bulu kuduk Risa meremang menyaksikan senyum Samara. Tampang Samara jauh lebih menyeramkan menurut Risa."Kamu lebih senang melihatku marah dibanding seperti ini?"Risa menarik napas, merilekskan tubuhnya yang menegang."Aku tak mengatakan itu, Bu." Suara Risa mulai melunak.Samara mengangguk-angguk. "Sampai di mana kita tadi? Ah, pertanyannku, tapi lupakan saja. Ada hal yang lebih penting.""Lebih penting?"Samara membuang pandangan, dia ber
Vai melirik kepala tangan Risa. "Selamat malam, Risa!" Vai berbalik pergi."Kupastikan hidupmu tak akan tenang setelah ini, Vai!" Gigi Risa bergemertak. Dia mendongak, seseorang yang berdiri di balkon sudah lenyap.Risa mencengkram rambutnya, lalu menghempas tangannya kesal. "Jangan bertingkah bodoh, Risa!" ujarnya.Risa berbalik pergi. Saat dia menaiki tangga, dia berpapasan dengan Maya. Risa tersenyum tipis. Keduanya saling memandang menunggu siapa yang harus membuka mulut lebih dahulu.Namun, tatapan lurus Maya seakan-akan mendesaknya."Apa yang kamu lihat?" tanya Risa diselingi tawa kecilnya."Aku bisa saja langsung mengartikannya sesuai dengan apa yang kulihat. Mencoba menampar Vai? Untungnya pencahayaan remang-remang, aku tak tahu pasti bagaimana wajahmu saat itu. Namun, aku mengenalmu, Risa. Kenapa wajahmu tegang seperti itu?"Risa membuang pandangan. "Ah, sedang banyak pikiran. Dia kekeh ingin memotong pendek rambutnya, aku me
Semuanya dimulai enam tahun silam. Saat ketakutan, amarah, dan dendam bercampur satu. Saat kehidupannya bergilir ke arah berlawanan.Malam itu, hari istimewanya. Kedua kakinya menyilang sambil digerakkan gusar. Tangannya terentang, sesekali memegang dada menahan degup yang kian berpacu seiring pergerakan menit jam.Ah, entah kenapa di hari senangnya itu dia merasa gusar sekaligus.Ibunya akan segera pulang dari tempat kerja, seorang pelayan mansion yang sudah bekerja lebih sepuluh tahun.Namun, hingga pukul sepuluh, belum ada tanda-tanda kepulangan ibunya. Aneh baginya, ibunya tidak biasa pulang telat, jikalau pun terjadi, pasti menitip pesan sebelumnya, tapi itupun amat jarang terjadi.Dia masih berusaha tenang, tapi suara detik menit jam terdengar mengerikan. Di luar begitu gelap, temaram rembulan lenyap seiring awan hitam menutup dan kilat sesekali menyambar.BrakSuara gedebum terdengar. Dia tahu betul, itu suara pot bunga sebab d
Vai membenahi isi lemari, memilah baju yang akan dibawanya. Sesekali bergerundel kesal."Apa yang dia pikirkan semalam?" Vai memasukkan asal midi dress ke dalam koper. Mengingat obrolannya semalam dengan Risa membuatnya kesal kembali.Pintu diketuk.Vai enggan beranjak, dia menduga Risa yang datang. Namun, ketukan tersebut tak berhenti."Vai, ini Nenek, buka pintunya!"Vai menatap pintu sambil membelalak. "Nenek!" Sigap dia membuka pintu."Oh, maafkan aku, Nek. Aku baru saja keluar dari toilet," bohongnya."Tumben Nenek kemari, ada apa?" Vai merangkul lengan Samara, menuntunnya ke sofa.Samara menilik kamar Vai. Dua lemari pakaian terbuka, setengah kosong, dan pakaian berhamburan di atas ranjang."Kamu berencana menetap di rumah Hendy?"Vai mengikuti arah pandang Samara pada koper yang tergeletak dengan isi yang berantakan."Mungkin."Samara mendesah. "Mungkin?" matanya sendu menatap Vai."Aku
Dilger mengguncang tubuh Risa. "Kumohon jangan menyebut kata tersebut.""Kenapa?" Pelupuk mata Risa menggenang."Lebih baik kamu istirahat."Risa menepis tangan Dilger. "Jawab pertanyaanku.""Kamu sudah tahu jawabannya. Sampai kapanpun aku tak akan pernah menceraikanmu meskipun—""Maukah kamu hidup menderita seperti ini selamanya? Aku dan kamu sama-sama tersiksa."Dilger memalingkan wajah, tangannya mengepal."Pikirkan baik-baik, masih belum terlambat untuk menggugat percera—""Tidak. Aku tidak akan melakukannya!" sanggah Dilger. Dia menatap bola mata Risa lekat. "Jawabanku tak akan berubah."Risa menatap hampa lantai yang mengilap. "Keluar!" Suaranya serak. Dia tak mengalihkan pendangannya sedikit pun bahkan ketika Dilger benar-benar meninggalkannya..Risa menekuk lutut, menenggelamkan kepala meredakan dentum di kepalanya."Apa kamu gila, Risa? Bagaimana bisa kamu selemah ini?" Risa bermonolog.
Sore itu, mereka berkumpul di ruang keluarga. Vai mengamati tiap-tiap kepala yang nampak menikmati tayangan TV. Saat pandangannya bertemu dengan Risa, wanita itu menatapnya lurus yang membuat Vai menyeringai samar. "Apa katamu tadi? Kamu akan pergi lusa?" Samara menatap Hendy dan Maya. "Kalian pergi berbulan-bulan, lalu pulang hanya lima hari?" "Kami akan bolak-balik mengunjungi Ibu. Atau Ibu ikut kami saja?" "Jaga ucapanmu, Hendy!" Dilger menyipitkan mata. "Jangan memperebutkan Ibu dan aku tak akan kemana-mana. Hendy, bisakah kamu tinggal lebih lama?" "Ibu tahu sendiri, aku tak terbiasa menyuruh tangan kananku mengelola bisnis selagi aku berleha-leha di rumah—" "Dasar penggila kerja. Entah ayahmu mendidikmu bagaimana dahulu." Samara menyengir. "Aku melakukan ini demi Ibu juga." "Nek," panggil Vai. Dia bertemu pandang dengan Maya seolah dia berujar, "Kamu yakin melakukannya?" "Boleh aku ikut sama Tante M
Vai melirik kepala tangan Risa. "Selamat malam, Risa!" Vai berbalik pergi."Kupastikan hidupmu tak akan tenang setelah ini, Vai!" Gigi Risa bergemertak. Dia mendongak, seseorang yang berdiri di balkon sudah lenyap.Risa mencengkram rambutnya, lalu menghempas tangannya kesal. "Jangan bertingkah bodoh, Risa!" ujarnya.Risa berbalik pergi. Saat dia menaiki tangga, dia berpapasan dengan Maya. Risa tersenyum tipis. Keduanya saling memandang menunggu siapa yang harus membuka mulut lebih dahulu.Namun, tatapan lurus Maya seakan-akan mendesaknya."Apa yang kamu lihat?" tanya Risa diselingi tawa kecilnya."Aku bisa saja langsung mengartikannya sesuai dengan apa yang kulihat. Mencoba menampar Vai? Untungnya pencahayaan remang-remang, aku tak tahu pasti bagaimana wajahmu saat itu. Namun, aku mengenalmu, Risa. Kenapa wajahmu tegang seperti itu?"Risa membuang pandangan. "Ah, sedang banyak pikiran. Dia kekeh ingin memotong pendek rambutnya, aku me
Risa memundurkan wajahnya seiring Samara yang kian maju."Benar, ada sesuatu di matamu. Ketakutan dan kekhawatiran." Samara memiringkan kepala. "Ada sesuatu yang membuatmu risau, menantu? Dan jangan menatap Ibu seperti itu."Mulut Risa menganga bahkan matanya tak berkedip. Samara menatapnya, tersenyum lebar sambil menaikkan satu alisnya, lalu menepuk tangannya."Kenapa?" tanyanya."Bukan apa-apa?""Terkejut?" tantang Samara."Apa Ibu ... tak marah padaku?"Bulu kuduk Risa meremang menyaksikan senyum Samara. Tampang Samara jauh lebih menyeramkan menurut Risa."Kamu lebih senang melihatku marah dibanding seperti ini?"Risa menarik napas, merilekskan tubuhnya yang menegang."Aku tak mengatakan itu, Bu." Suara Risa mulai melunak.Samara mengangguk-angguk. "Sampai di mana kita tadi? Ah, pertanyannku, tapi lupakan saja. Ada hal yang lebih penting.""Lebih penting?"Samara membuang pandangan, dia ber
Risa menghempas tubuhnya di tengah ranjang. Menatap hampa lampu kristal di atasnya. Dilger ikut membaringkan tubuh di sampingnya. "Aku tak bisa diam terus seperti ini, Dilger. Aku tak bisa tenang." "Benar, tapi posisimu juga terancam. Bertingkah sekali lagi di depan ibu, barangkali dia akan mengusirmu." Risa memiringkan badannya, mengamati Dilger. "Apa aku mengatakan sesuatu yang salah?" tanya Dilger. Risa beranjak duduk. "Tapi, aku memilikimu." "Namun, keputusan final akan selalu berada di tangannya meskipun aku tidak mau itu terjadi, tapi jika ibu ... aku tak bisa melakukan apapun." "Apa kamu sudah tak mencintaiku hingga mengatakan itu?" Risa menyadari Dilger menarik bahunya, dia tak mengelak. Helaan napasnya terdengar berat. "Oleh karena itu, aku mengatakannya lebih dahulu agar kamu bertingkah lebih hati-hati. Aku tak ingin itu terjadi, Risa. Aku tak ingin pisah darimu. Kamu mengerti?" Risa mengangguk
Bunyi klakson mobil samar terdengar. Samara tak mampu menyembunyikan wajah semringahnya. Menatap Vai dan Dilger bergantian.Vai berlari keluar, mendahului Samara yang dirangkul Dilger. Rambut cokelatnya terumbai-umbai. Vai tak memedulikan pelayan yang menatapnya terkejut. Tetiba jarak dapur dengan pintu depan bagai berpuluh-puluh kilometer.Langkah Vai terhenti, menatap mobil sedang hitam mengilap. Di sana sudah berdiri sepasang suami-istri dalam balutan pakaian mewah."Paman," sebut Vai.Pasangan itu menoleh. Raut wajahnya sedikit terkejut, tapi tak bertahan lama saat Vai berhambur pada keduanya."Aku sangat merindukan kalian, tapi kalian selalu menomorsatukan pekerjaan." Vai mengerucutkan bibir."Paman juga sangat merindukan kalian. Sudah lama sekali tak bertemu."Vai mengeratkan pelukannya. Wanita paruh baya di sampingnya turut mengelus rambut lurusnya.Dia adalah Hendy Wiston, anak tertua Samara. Si penggila kerja, bolak-ba
"Jadi, kalian sudah baikan ceritanya?" Vai bertanya tanpa mengindahkan tatapannya yang menuang mi ke dalam mangkuk. Dia menyungging senyum sinis, dan dia tahu dua orang disampingnya menilik tajam.Vai menoleh. "Aku turut senang, tapi mungkin tak akan bertahan lama," ujarnya sambil mengangkat mangkuknya menuju ke meja.Pasangan itu masih bergeming di tempatnya, mendengar Vai yang menyeruput mi-nya.Risa beranjak turun meski Dilger menahannya, sorot matanya berkata, "Tenang, aku tahu apa yang harus aku lakukan."Dilger dengan enggan melepasnya. Wanita itu berjalan gemulai menghampiri Vai.Risa duduk tepat di depan Vai, mengawasinya yang begitu menikmati makanannya. Acap kali terdengar gumaman lezat di bibirnya."Aku turut senang melihat kalian berdua bersama lagi. Aku mengucapnya dengan jelas, kan?" Vai berkata dengan mulut masih mengunyah.Risa mengulas senyum, mengangguk. Dia menarik saus cabai, menyodorkannya pada Vai."Astaga