"Sejak kapan kau mencintainya?"
Dilger melengos kala tatapan kehancuran Risa bertemu dengannya.
"Jawab aku!" Risa meremas tangan Dilger.
Gigi Dilger saling beradu. Kenapa perasaan terlarang itu harus muncul dalam dadanya? Kenapa harus gadis pungut itu? Kepala Dilger mulai berkecamuk merutuki kebodohannya.
Dilger menarik napas. "Aku tak bisa, Risa. Itu tentu melukaimu."
Risa membuang wajah, mengusap kasar pipi basahnya. "Luka? Kalau kau tahu kelakuan bejatmu itu melukaiku, lalu kenapa kau tega? Kenapa?" Tangis Risa kini berhenti berganti tatapan nyalangnya. Kedua alisnya meliuk.
Risa mendengus menyaksikan Dilger tak berkutik. Wanita berambut hitam itu bangkit dari duduknya.
"Mau kemana, Ris?"
Risa menoleh tanpa menjawab dan melanjutkan langkahnya yang terhenti. Dilger mengusap kasar wajahnya. Dia menghempaskan punggungnya di sandaran sofa diikuti erangan frustrasi.
*
Vai cekikikan memeluk boneka beruang yang besarnya melampaui tubuhnya. Tawanya seketika terhenti saat pintu kamarnya diketuk. Gadis itu pun bangkit dari duduknya.
"Tante Risa!"
Risa menyunggingkan senyum. "Boleh aku masuk?"
Vai mengangguk dan membuka lebar pintunya. Risa mengedarkan pandangannya, kamar paviliun ditempati Vai berwarna merah muda seluruhnya dengan aneka pernak-pernik yang menempel di dinding layaknya kamar anak kecil.
"Tumben Tante kemari?" Vai bertanya dengan suara yang dibuat menggemaskan tak lupa bibirnya yang mengerucut.
"Berhenti bertingkah bagai anak kecil. Sadar, Vai, umurmu sudah hampir kepala tiga!"
Rahang Vai mengeras sesaat. Jelas ada nada tak suka dalam tekanan kata Risa. Namun, bukan Vai namanya jika suka menurut.
"Tante kok ngomong gitu sama anak sendiri!" Vai menyikut pelan lengan Risa diikuti senyum centilnya.
Risa mendelik. "Kau bukan anakku, lagi. Kita hanya berbeda enam tahun saja!"
Tatapan Vai berubah keras, dia menoleh menatap Risa dengan tatapan yang berbeda.
Vai memajukan wajahnya, lantas berbisik, "Oh, ya? Kalau begitu, kau pasti rela jika Dilger menikahiku."
Plak
Dada Risa kembali bergemuruh, amarah yang sudah tenang sebelumnya kembali bangkit meliar. Namun, tak lama setelahnya, wajahnya berubah pias kala mendapati bahu Vai bergetar.
"Va-Vai ...." Risa menyentuh bahu Vai. Namun, seketika dia tersentak kaget.
Vai tertawa keras yang terdengar mengerikan.
"Apa yang ingin kau dengar?" Tawa Vai berhenti dan menatap tajam ke arah wanita di depannya. Dia memajukan tubuhnya mendekati Risa.
"V-Vai, kenapa kau begini?" Risa beringsut mundur hingga gerakannya buntu di ujung sofa.
"Hahaha!" Tawa Vai kembali berderai, kali ini tawanya terdengar nyaring. Namun, tak seseram tawa sebelumnya.
"Wajah Tante lucu sekali, hahahah!" Vai mengusap sudut matanya yang berair.
"Jadi, apa karena Paman Dilger, Tante tak menganggapku anak lagi?" Vai mengerucutkan bibir.
"Ada yang ingin kutanyakan padamu." Risa beralih pada topik lain. Sejatinya, dia sudah tak menganggap Vai sebagai anak angkat sejak gadis itu berumur 25 tahun. Titik awal cerita yang tak pernah diduganya.
Alis Vai melengkung ke atas. Sungguh, Vai begitu menggemaskan dengan ekspresi khasnya itu, terlebih dengan mata bulatnya yang lentik, hidung mancung yang mungil, bibir tipis kecil yang begitu menggemaskan saat mengerucut, dan mata hazel-nya yang menghanyutkan.
Vai berparas boneka barbie yang katanya—Vai— bukan hasil operasi plastik. Risa akui, dirinya saja pangling melihat kecantikan Vai, apalagi Dilger.
Kini Risa mengerti alasan suaminya berubah. Gadis udik kumal yang dipungutnya tujuh tahun lalu kini berubah menjadi gadis cantik yang memikat hanya melalui wajah dan mimiknya yang menggemaskan.
"Sejak kapan kau mencintai suamiku?" Risa sengaja menekan kata 'suamiku' seolah menjelaskan barang kepemilikannya.
Vai mengerucutkan bibir, jemari pucatnya kini memilin-milin ujung rambutnya.
"Bagaimana aku tak cinta jika Paman Dilger selalu memberiku harapan."
Napas Risa tercekat. Harapan? Bagaimana mungkin? Dilger terkenal cuek terutama pada lawan jenis. Bahkan, semasa Risa pacaran dengan Dilger, Risa-lah yang lebih sering mengajaknya kencan dan poin terburuknya Risa yang melamar pria itu lebih dahulu. Jadi, apa yang dikatakan Vai terasa mustahil baginya.
"Seperti apa saja?" Risa memberanikan diri bertanya.
Alis Vai bertautan sedang berpikir. "Paman sering menciumku tiba-tiba, memelukku tiba-tiba, dan ...." Bibir mungilnya terkatup rapat, dia menatap Risa yang kini tercengang.
"Dan apa?" Mata Risa bergerak-gerak.
Vai memajukan wajahnya, mengikis jarak dengan Risa. Telapak tangannya terangkat di bibir. Dia berbisik, "Paman pernah berkata dia akan menikahiku."
Dua peluru terasa tertancap bersamaan di dada Risa, mulutnya mulai bergetar, tatapannya terpaku kosong.
"Benarkah Dilger seperti yang dikatakan Vai? Tapi tak mungkin ... tak mungkin," batin Risa menyangkal. Dia menatap Vai yang kini menaut-lepaskan jemarinya.
Vai mengangkat kepala menyadari Risa menatapnya bergeming.
"Paman pernah melucuti paksa pakaianku."
Wajah Vai terteleng keras ke samping. Satu tamparan mendarat lagi di pipinya. Risa dengan gemetar mengepal kuat tangannya, matanya kembali memanas.
"Jangan memanggil dia pamanmu lagi!" Risa memberi peringatan. Saat ini dia merasa muak dengan gadis dihadapannya. Ah, ralat, seharusnya remaja tua.
Dari cerita Vai, Dilger tak ada bedanya dengan pria belang diluar sana dan betapa rendahnya dia.
Panggilan paman dari mulut kecil remaja tua itu kini terdengar menjijikkan seolah Dilger seorang pria yang haus belaian.
Risa bangkit dari duduknya meninggalkan remaja tua itu yang masih menunduk tertutupi rambut panjangnya.
Risa tak langsung kembali ke kamarnya. Dia menuju kamar kecil yang tersembunyi dalam perpustakaan. Di sana, dia menangis sejadi-jadinya.Namun, dia masih belum mengerti apa yang sedang ditangisinya saat ini. Dirinya yang malang, Dilger yang mencintai Vai, atau gadis pungut yang membawa malapetaka.
Risa menekan dadanya, tubuhnya bersandar pada daun pintu hingga tungkainya terasa melemas dan dia merosot pelan-pelan, terduduk di lantai. Risa menenggelamkan wajahnya di antara lututnya, meredam tangis.
Dia benci drama hidupnya.
Kini tangisnya mulai mereda, tersisa isakan kecilnya yang entah kapan berhenti. Risa merenungi satu hal yang kini sangat disesalinya. Dia seharusnya tak memaksa Dilger untuk memungut gadis jalanan itu—Vai— jika pada akhirnya, remaja tua itu yang akan menghancurkan hidupnya dan pernikahannya barangkali.
Risa menyalahkan dirinya. Kenapa dia harus terlena dalam indahnya mata hazel gadis itu, rambut cokelat lurus sepinggangnya, dan sorot matanya yang menjanjikan ketenangan.
Risa memejamkan mata. Sekarang siapa yang harus dia salahkan?
*
"Risa!" Dilger mendekati Risa yang baru kembali ke kamar setelah pagi tiba.
"Kau dari mana saja? Kau tahu betapa khawatirnya aku?" Dilger menarik Risa dalam dekapannya. Wanitanya tampak begitu kacau.
"Bagaimanapun kau tetap istriku, Risa, dan aku suamimu. Aku milikmu, hanya milikmu."
Risa melepas pelukannya berganti menatap Dilger. Sorot mata sayu Dilger kini berbeda di matanya.
"Makan dulu, ya, Sayang. Kamu belum makan sedari semalam."
Kali ini Risa tak merasakan manisnya panggilan sayang Dilger. "Mungkin hanya aku saja yang memilikimu, tapi kau tak merasa memilikiku."
"Apa yang kau katakan? Kamu milikku dan hanya kamu seorang yang memiliku sampai kapanpun. Minumlah dahulu, wajahmu begitu pucat."
Risa menepis pelan gelas yang dipegang Dilger.
"Apa kau bisa menjanjikan itu untukku? Berjanjilah padaku," lirih Risa.
"Apapun itu hanya untukmu." Dilger mengecup bibir Risa.
Wanita pucat itu kini tampak hidup dengan senyum tipis di wajahnya."Aku ingin kau jujur padaku," ujar Risa menatap lekat manik Dilger, "kau pernah mencoba memerkosa Vai?"
Gelas di tangannya terjatuh, sigap Risa memundurkan kakinya sebelum diguyur air."Siapa yang mengatakannya?" Suara Dilger memang terdengar tenang. Namun, gelas jatuh di tangannya membuktikan jika dia terkejut bukan main."Itu tak penting. Jawab aku!"Dilger menyugar kasar rambutnya, ia berbalik duduk di sofa. Tatapan matanya berubah meredup. Lalu, dia mengangkat kepala melihat wajah tegang istrinya. Dia menyunggingkan senyum. Sinis."Apa yang remaja tua itu katakan?"Risa mendapatkan pengendalian dirinya. Dia melangkah mendekati Dilger, bertekuk lutut dihadapan pria itu, lalu jemarinya meraih kedua tangan kekar Dilger."Banyak, tapi aku ingin mendengarnya darimu kali ini." Suara Risa memelan, tersirat nada kecewa dan kehancuran di dalamnya.Helaan napas berat lolos dari bibir Dilger, tatapannya sayu menatap Risa. Dia melihat selaput bening dalam manik istrinya."Apa kau percaya jika kukatakan aku tak pernah melakukan hal keji i
Vai melompat-lompat di atas ranjang, melempar bantal hingga menyentuh langit-langit kamar. Berulang kali hingga bantal itu memuntahkan isinya, kapas-kapas beterbangan di udara.Gadis yang kini mengepang dua rambutnya menjeling ke arah pintu yang sedari tadi diketuk. Namun, dia malas beranjak membukanya hingga suara gedoran itu lenyap.Tak butuh berapa lama, suara gemerincing terdengar di luar kamar dan pintunya terbuka menampilkan sosok Risa dalam balutan blazer cokelat, tak lupa sorot matanya yang tajam menatap Vai yang melompat-lompat di atas kasur."Masuk. Jangan berdiri disana!" ujar Vai. Bantal yang dilemparnya kini menipis seiring isinya dipaksa keluar.Risa mengedarkan pandangannya, pintu lemari yang terbuka menjulurkan susunan pakaian yang berantakan, beberapa terlepas dari gantungannya. Sobekan-sobekan buku bacaan berhamburan bercampur serbuk glitter di lantai.Risa berganti menatap Vai dalam balutan pakaian hitam kini bermandikan kapas ba
Risa menoleh menatap Vai yang kini menyengir jahat di samping wajahnya."Sebenarnya aku hanya bermain-main saja. Namun, tak kusangka kamu terpancing amarah. Oh, iya, kau tahu aku melihat segalanya kemarin. Kau mungkin tak menyadariku sembunyi di balkon kamarmu!"Vai memundurkan badannya, tangannya terangkat menampar pipinya sendiri. "Kau melakukan itu di wajah Dilger, kan? Hahahah!" Vai bertepuk tangan.Risa kembali bergeming."Oh, iya, lalu setelah itu kalian baikan, kan? Padahal aku masih ingin melihat kalian berduel lebih lama." Tubuh Vai merosot, lalu kembali menatap Risa diikuti senyumnya."Mau lihat sesuatu?"Tanpa menunggu persetujuan Risa, dia bangkit menuju nakas samping tempat tidurnya, membuka satu per satu lacinya. Namun, tak menemukan benda yang dicarinya. Vai mematung sebentar, memikirkan dimana dia meletakkan benda itu."Ah, di sana kau rupanya," ujarnya lalu menarik sebuah tablet yang tertutupi pakaian di atas ranjang.
Risa mengerjapkan matanya. Dia sudah berada di kamar. Sisi kepalanya masih terasa berdentum.Risa mencoba bangun, tapi punggungnya terasa berat."Berbaring saja!"Risa menoleh ke arah sumber suara. Senyum Dilger memesonanya. Raut wajah Risa berubah mengeras, percakapan semalam di kamar Vai berputar."Kamu menghilang semalaman, lalu tiba-tiba ditemukan di lobi utama." Dilger menatap lamat wajah pucat istrinya."Lobi?" Risa mendengus, mengumpat pelan dalam hati, wanita gila itu menelantarkannya saja di luar."Apa yang terjadi?"Amarah Risa menjalari tubuhnya. Dia melengos, Dilger menatapnya sedari tadi dengan raut wajah berkabung."Kamu masih bisa menatapku begitu setelah apa yang kamu lakukan padaku?" gumam Risa.Dahi Dilger berkerut. "Apa maksudmu, Risa?"Risa mendengus lagi. Tangannya mengepal di balik selimut.Pria itu menangkup wajah Risa menghadapnya. "Kamu tahu aku mencemaskanmu semalaman. Aku bahk
Risa menolak tidur sekamar dengan Dilger. Dia masih kesal, Dilger seolah-olah bertindak tidak melakukan kesalahan, pria itu belum mengaku padanya."Ibu akan marah lagi jika menemuimu tidur disini," ucap Dilger, tapi Risa tetap kekeh tidur sendiri.Risa tak peduli, biarkan saja Samara berasumsi seenaknya. Lagi pula, Risa tak yakin bisa sekamar dengan Dilger setelah apa yang didengarnya.Amarahnya tak tenang saat bersama Dilger, barangkali dia menancap pisau di tengah malam pada suaminya.Matanya terpejam, deru napasnya semrawut. Risa menyadari dirinya akan segera gila.Pintu kamarnya diketuk pelan. Risa mengabaikan, tapi ketukannya kian lama terdengar kasar dan mengusiknya."Sudah kubilang, aku tetap akan tidur di sini! Jangan membujukku!" Risa berteriak menatap jengkel pintu kayu."Ini aku."Risa membatu mendengar suara di luar pintu. Bukan suara Dilger. Risa enggan membuka pintu, tapi tubuhnya bereaksi sebaliknya.
"Lebih baik kamu menceraikanku secepatnya.""Apa yang kamu katakan, Risa?" Dilger mencoba meraih bahu Risa, tapi ditepis lagi.Risa mendongak. Sebenarnya, Risa lemah, rasanya ingin mati saja."Bukankah itu keinginanmu?""Tidak, Risa. Aku tak pernah menginginkan itu. Kumohon jangan mengatakan hal konyol—""Konyol katamu?" Rintik air mata Risa mengalir."Aku benci melihatmu menangis." Dilger menatap sayu wajah sembab Risa."Tapi kamu selalu membuatku menangis. Atau, kamu tidak sadar?"Dilger memeluk Risa meskipun wanita itu berontak."Apa lagi yang wanita itu katakan?""Aku mendengar obrolan kalian hari itu."Dilger melepas pelukannya, menatap Risa penuh tanya."Kamu pura-pura pikun atau memang bodoh?""Risa—""Sebelumnya, aku memercayaimu, tapi ... sekarang, aku berpikir dua kali lagi. Kamu beralih, Dilger. Kamu tak memihakku lagi, kamu tahu itu?""Apa maksudmu,
Dilger menyugar kasar rambutnya. Berjalan mondar-mandir di kamar. Sesekali melirik kamar di paviliun sebelah, lampu berwarna-warni berpendar.Setelah perdebatannya tengah malam dan diakhiri oleh Samara. Dilger sudah tak bisa tidur lagi. Jam terasa bergerak lebih lambat.Ibu jarinya menyapu bibirnya kasar. Dilger tak kuasa menunggu lebih lama lagi. Dia bergegas keluar.Dilger memandang pintu kayu di depannya sebelum mengetuknya. Butuh waktu agak lama hingga pintu itu terbuka.Sosok yang ditunggunya muncul. Rambutnya agak berantakan, baju kaus kedodoran berpadu celana pendek ialah baju tidurnya."Ada apa?" Vai bertanya sambil menguap.Dilger merasa bersalah mengusik tidur Vai, tapi dia segera menepisnya. Ditatapnya lamat-lamat Vai yang sibuk menguap. Sekalipun tampangnya kacau, tapi Vai tetap kelihatan cantik. Dilger melengos merutuki pikirannya barusan."Aku ingin bicara," ungkap Dilger.Vai mengerjapkan matany
Mata Dilger menyipit, ingatannya samar akan hari itu. Dilihatnya Vai tersenyum bengis padanya."Apa yang kamu lakukan?" selidik Dilger.Wanita di depannya menyilangkan kaki, memerhatikan kukunya yang berpoles kuteks, beberapa sudah mengelupas. "Aku iseng merekamnya." Vai berujar tanpa rasa bersalah sedikitpun.Vai menoleh. "Lagi-lagi kamu ceroboh, Paman, tapi aku suka. Aku melihat sisi liarmu hari itu.""Kamu memberiku sampanye alih-alih wine?" ingatan Dilger samar. Vai menuang berkali-kali gelasnya, dan bodohnya Dilger menenggak semuanya. Setelahnya, dia tak ingat apa yang terjadi selanjutnya. "Apa yang kamu lakukan padaku?"Vai memajukan wajahnya. "Aku tak melakukan apapun, tapi Paman menarikku. Paman meraung ingin ... tapi aku bukan wanita bodoh. Ya, ya, aku wanita, tentu aku terlena—" Vai menggigit bibir bawahnya sensual sembari melirik dada bidang Dilger."—Kamu tak melakukan apapun selain meluluhlantakkan wajahku, bahkan ak
Semuanya dimulai enam tahun silam. Saat ketakutan, amarah, dan dendam bercampur satu. Saat kehidupannya bergilir ke arah berlawanan.Malam itu, hari istimewanya. Kedua kakinya menyilang sambil digerakkan gusar. Tangannya terentang, sesekali memegang dada menahan degup yang kian berpacu seiring pergerakan menit jam.Ah, entah kenapa di hari senangnya itu dia merasa gusar sekaligus.Ibunya akan segera pulang dari tempat kerja, seorang pelayan mansion yang sudah bekerja lebih sepuluh tahun.Namun, hingga pukul sepuluh, belum ada tanda-tanda kepulangan ibunya. Aneh baginya, ibunya tidak biasa pulang telat, jikalau pun terjadi, pasti menitip pesan sebelumnya, tapi itupun amat jarang terjadi.Dia masih berusaha tenang, tapi suara detik menit jam terdengar mengerikan. Di luar begitu gelap, temaram rembulan lenyap seiring awan hitam menutup dan kilat sesekali menyambar.BrakSuara gedebum terdengar. Dia tahu betul, itu suara pot bunga sebab d
Vai membenahi isi lemari, memilah baju yang akan dibawanya. Sesekali bergerundel kesal."Apa yang dia pikirkan semalam?" Vai memasukkan asal midi dress ke dalam koper. Mengingat obrolannya semalam dengan Risa membuatnya kesal kembali.Pintu diketuk.Vai enggan beranjak, dia menduga Risa yang datang. Namun, ketukan tersebut tak berhenti."Vai, ini Nenek, buka pintunya!"Vai menatap pintu sambil membelalak. "Nenek!" Sigap dia membuka pintu."Oh, maafkan aku, Nek. Aku baru saja keluar dari toilet," bohongnya."Tumben Nenek kemari, ada apa?" Vai merangkul lengan Samara, menuntunnya ke sofa.Samara menilik kamar Vai. Dua lemari pakaian terbuka, setengah kosong, dan pakaian berhamburan di atas ranjang."Kamu berencana menetap di rumah Hendy?"Vai mengikuti arah pandang Samara pada koper yang tergeletak dengan isi yang berantakan."Mungkin."Samara mendesah. "Mungkin?" matanya sendu menatap Vai."Aku
Dilger mengguncang tubuh Risa. "Kumohon jangan menyebut kata tersebut.""Kenapa?" Pelupuk mata Risa menggenang."Lebih baik kamu istirahat."Risa menepis tangan Dilger. "Jawab pertanyaanku.""Kamu sudah tahu jawabannya. Sampai kapanpun aku tak akan pernah menceraikanmu meskipun—""Maukah kamu hidup menderita seperti ini selamanya? Aku dan kamu sama-sama tersiksa."Dilger memalingkan wajah, tangannya mengepal."Pikirkan baik-baik, masih belum terlambat untuk menggugat percera—""Tidak. Aku tidak akan melakukannya!" sanggah Dilger. Dia menatap bola mata Risa lekat. "Jawabanku tak akan berubah."Risa menatap hampa lantai yang mengilap. "Keluar!" Suaranya serak. Dia tak mengalihkan pendangannya sedikit pun bahkan ketika Dilger benar-benar meninggalkannya..Risa menekuk lutut, menenggelamkan kepala meredakan dentum di kepalanya."Apa kamu gila, Risa? Bagaimana bisa kamu selemah ini?" Risa bermonolog.
Sore itu, mereka berkumpul di ruang keluarga. Vai mengamati tiap-tiap kepala yang nampak menikmati tayangan TV. Saat pandangannya bertemu dengan Risa, wanita itu menatapnya lurus yang membuat Vai menyeringai samar. "Apa katamu tadi? Kamu akan pergi lusa?" Samara menatap Hendy dan Maya. "Kalian pergi berbulan-bulan, lalu pulang hanya lima hari?" "Kami akan bolak-balik mengunjungi Ibu. Atau Ibu ikut kami saja?" "Jaga ucapanmu, Hendy!" Dilger menyipitkan mata. "Jangan memperebutkan Ibu dan aku tak akan kemana-mana. Hendy, bisakah kamu tinggal lebih lama?" "Ibu tahu sendiri, aku tak terbiasa menyuruh tangan kananku mengelola bisnis selagi aku berleha-leha di rumah—" "Dasar penggila kerja. Entah ayahmu mendidikmu bagaimana dahulu." Samara menyengir. "Aku melakukan ini demi Ibu juga." "Nek," panggil Vai. Dia bertemu pandang dengan Maya seolah dia berujar, "Kamu yakin melakukannya?" "Boleh aku ikut sama Tante M
Vai melirik kepala tangan Risa. "Selamat malam, Risa!" Vai berbalik pergi."Kupastikan hidupmu tak akan tenang setelah ini, Vai!" Gigi Risa bergemertak. Dia mendongak, seseorang yang berdiri di balkon sudah lenyap.Risa mencengkram rambutnya, lalu menghempas tangannya kesal. "Jangan bertingkah bodoh, Risa!" ujarnya.Risa berbalik pergi. Saat dia menaiki tangga, dia berpapasan dengan Maya. Risa tersenyum tipis. Keduanya saling memandang menunggu siapa yang harus membuka mulut lebih dahulu.Namun, tatapan lurus Maya seakan-akan mendesaknya."Apa yang kamu lihat?" tanya Risa diselingi tawa kecilnya."Aku bisa saja langsung mengartikannya sesuai dengan apa yang kulihat. Mencoba menampar Vai? Untungnya pencahayaan remang-remang, aku tak tahu pasti bagaimana wajahmu saat itu. Namun, aku mengenalmu, Risa. Kenapa wajahmu tegang seperti itu?"Risa membuang pandangan. "Ah, sedang banyak pikiran. Dia kekeh ingin memotong pendek rambutnya, aku me
Risa memundurkan wajahnya seiring Samara yang kian maju."Benar, ada sesuatu di matamu. Ketakutan dan kekhawatiran." Samara memiringkan kepala. "Ada sesuatu yang membuatmu risau, menantu? Dan jangan menatap Ibu seperti itu."Mulut Risa menganga bahkan matanya tak berkedip. Samara menatapnya, tersenyum lebar sambil menaikkan satu alisnya, lalu menepuk tangannya."Kenapa?" tanyanya."Bukan apa-apa?""Terkejut?" tantang Samara."Apa Ibu ... tak marah padaku?"Bulu kuduk Risa meremang menyaksikan senyum Samara. Tampang Samara jauh lebih menyeramkan menurut Risa."Kamu lebih senang melihatku marah dibanding seperti ini?"Risa menarik napas, merilekskan tubuhnya yang menegang."Aku tak mengatakan itu, Bu." Suara Risa mulai melunak.Samara mengangguk-angguk. "Sampai di mana kita tadi? Ah, pertanyannku, tapi lupakan saja. Ada hal yang lebih penting.""Lebih penting?"Samara membuang pandangan, dia ber
Risa menghempas tubuhnya di tengah ranjang. Menatap hampa lampu kristal di atasnya. Dilger ikut membaringkan tubuh di sampingnya. "Aku tak bisa diam terus seperti ini, Dilger. Aku tak bisa tenang." "Benar, tapi posisimu juga terancam. Bertingkah sekali lagi di depan ibu, barangkali dia akan mengusirmu." Risa memiringkan badannya, mengamati Dilger. "Apa aku mengatakan sesuatu yang salah?" tanya Dilger. Risa beranjak duduk. "Tapi, aku memilikimu." "Namun, keputusan final akan selalu berada di tangannya meskipun aku tidak mau itu terjadi, tapi jika ibu ... aku tak bisa melakukan apapun." "Apa kamu sudah tak mencintaiku hingga mengatakan itu?" Risa menyadari Dilger menarik bahunya, dia tak mengelak. Helaan napasnya terdengar berat. "Oleh karena itu, aku mengatakannya lebih dahulu agar kamu bertingkah lebih hati-hati. Aku tak ingin itu terjadi, Risa. Aku tak ingin pisah darimu. Kamu mengerti?" Risa mengangguk
Bunyi klakson mobil samar terdengar. Samara tak mampu menyembunyikan wajah semringahnya. Menatap Vai dan Dilger bergantian.Vai berlari keluar, mendahului Samara yang dirangkul Dilger. Rambut cokelatnya terumbai-umbai. Vai tak memedulikan pelayan yang menatapnya terkejut. Tetiba jarak dapur dengan pintu depan bagai berpuluh-puluh kilometer.Langkah Vai terhenti, menatap mobil sedang hitam mengilap. Di sana sudah berdiri sepasang suami-istri dalam balutan pakaian mewah."Paman," sebut Vai.Pasangan itu menoleh. Raut wajahnya sedikit terkejut, tapi tak bertahan lama saat Vai berhambur pada keduanya."Aku sangat merindukan kalian, tapi kalian selalu menomorsatukan pekerjaan." Vai mengerucutkan bibir."Paman juga sangat merindukan kalian. Sudah lama sekali tak bertemu."Vai mengeratkan pelukannya. Wanita paruh baya di sampingnya turut mengelus rambut lurusnya.Dia adalah Hendy Wiston, anak tertua Samara. Si penggila kerja, bolak-ba
"Jadi, kalian sudah baikan ceritanya?" Vai bertanya tanpa mengindahkan tatapannya yang menuang mi ke dalam mangkuk. Dia menyungging senyum sinis, dan dia tahu dua orang disampingnya menilik tajam.Vai menoleh. "Aku turut senang, tapi mungkin tak akan bertahan lama," ujarnya sambil mengangkat mangkuknya menuju ke meja.Pasangan itu masih bergeming di tempatnya, mendengar Vai yang menyeruput mi-nya.Risa beranjak turun meski Dilger menahannya, sorot matanya berkata, "Tenang, aku tahu apa yang harus aku lakukan."Dilger dengan enggan melepasnya. Wanita itu berjalan gemulai menghampiri Vai.Risa duduk tepat di depan Vai, mengawasinya yang begitu menikmati makanannya. Acap kali terdengar gumaman lezat di bibirnya."Aku turut senang melihat kalian berdua bersama lagi. Aku mengucapnya dengan jelas, kan?" Vai berkata dengan mulut masih mengunyah.Risa mengulas senyum, mengangguk. Dia menarik saus cabai, menyodorkannya pada Vai."Astaga