Tasya buru-buru keluar dari ruangan Radhika, dia menangis karena marah dan sakit hati. Dia sempat berpapasan dengan Yoga yang menatap heran dan hendak bertanya padanya. Ada beberapa karyawan yang melihatnya dengan ekspresi ingin tahu. Namun Tasya mengabaikannya, dia hanya ingin segera keluar dari sini.
Dia sangat marah karena Radhika menghinanya seperti itu. Tasya benar-benar tidak membutuhkan apa-apa dari Radhika, dia justru ingin membantunya, tapi Radhika malah berkata seperti itu. Sangat tidak tahu diri.
Keluarganya memang sederhana dan tidak sekaya Radhika, tapi Radhika tidak pantas berkata seperti itu. Terlebih lagi ayahnya sudah menolongnya dulu. Walaupun Om Prawira sudah membalasnya dengan membantu perekonomian keluarganya. Tetap saja Radhika tidak berhak menghinanya seperti itu.
Detik ini dia sudah memutuskan, dia tidak akan berurusan lagi dengan orang yang bernama Radhika. Persetan dengan janjinya pada ayahnya dan Om Budi. Radhika benar-benar sudah keterlaluan.
Tasya menghapus air mata dengan punggung tangannya. Cukup orang-orang di perusahaan milik Radhika saja yang melihatnya menangis. Ini adalah jam pulang kantor, jalanan akan ramai. Dia masih punya harga diri.
Kemudian Tasya menghubungi Raka, mengirimnya sebuah pesan untuk menjemputnya. Dia butuh teman untuk membantunya meluapkan emosi yang sudah berada di ubun-ubun. Tasya menunggu di sebuah halte kosong tak jauh dari tempatnya berdiri sekarang, dia cukup lelah karena terlalu emosi. Sehingga sekarang kakinya terasa lemas.
Tasya menarik napas dalam-dalam lalu membuangnya perlahan-lahan. Mencoba meredam emosinya. Tasya benar-benar akan mengakhirinya dan Radhika jelas akan sangat senang jika itu terjadi. Namun, sekarang dia harus berpikir bagaimana cara menjelaskan situasi ini pada Om Budi dan ayahnya.
Dia hanya berharap tidak terlalu mengecewakan mereka, dan dia juga berharap Om Budi dan ayahnya akan menghormati keputusannya. Tapi dia tidak akan mengatakannya sekarang. Dia butuh sedikit waktu lagi untuk berpikir dan menimang-nimang cara yang tepat untuk mengatakannya.
Kurang lebih lima belas menit kemudian, Raka datang dengan menggunakan motor. Penampilannya sangat santai hari ini, hanya mengenakan hoodie berwarna putih, celana jeans hitam dan sneakers putih.
"Neng, pesen ojol kan?” canda Raka.
Tasya tertawa lalu berdiri dan menghampiri Raka. “Garing, Ka.” Tasya memukul bahu Raka.
“Alah dusta. Itu, lo ketawa.” Raka memberikan helm pada Tasya.
Tasya tidak menanggapi lagi perkataan Raka, dia hanya mengambil helm yang diberikan Raka lalu memakainya. Setelah itu dia duduk di belakang Raka. Sudah lama mereka tidak naik motor bersama. Kalau diingat-ingat mungkin ada sekitar setahun yang lalu.
"Kirain motor ini di bawa Ari," kata Tasya. Sudah lama juga dia tidak pernah melihat Raka memakai motornya ini, dia lebih sering melihatnya membawa mobil. Dan dia pikir motor ini sudah dibawa Ari ke tempat kostnya.
"Si Ari, udah gue suruh bawa mobil." Raka menyalakan mesin motornya dan menjalankannya dengan kecepatan sedang.
Tasya hanya mengangguk. Omong-omong dia selalu tidak mengerti dengan pemikiran kakak beradik ini. Raka dan Ari berada di kota yang sama, tetapi mereka tinggal di tempat yang berbeda. Jarak tempat yang disewa mereka juga tidak terlalu jauh. Dulu dia pernah bertanya pada Raka, dia bilang Ari ingin hidup mandiri. Namun Tasya tidak bisa menerimanya, itu kan boros namanya.
"Sekarang kita ke mana?" tanya Raka. Sesekali dia melirik ke arah spion untuk melihat Tasya.
"Terserah, Ka. Pokoknya gue pengin ngilangin stress nih." Tasya benar-benar butuh hiburan sekarang. Dia ingin menghapus Radhika dari ingatannya. Menghapusnya hingga tidak tersisa secuil pun di otaknya.
"Mau makan enggak?”
“Enggak selera. Gue lebih pengin makan si Wira Sableng.”
Raka tertawa. “Wira Sableng? Siapa lagi tuh?”
“Siapa lagi kalau bukan si kampret Radhika Putra Prawira Sableng.” Tasya menekan kata ‘Wira Sableng’.
“Jangan suka ngubah-ngubah nama orang, enggak baik. Bayangin kalau bokapnya dia denger, bisa didepak ke gurun Sahara, lo.” Walau Raka menasihati Tasya, tetapi dia tidak bisa menghentikan tawanya.
“Sekadar informasi, bokap sama nyokapnya udah meninggal.” Tasya memperbaiki posisi duduknya, tiba-tiba dia jadi merasa tidak enak hati. Karena dia juga pernah kehilangan orang yang penting dalam hidupnya. “Lo tau kan, Om Prawira?”
“Jangan bilang Ra … siapa tadi namanya?”
“Radhika,” jawab Tasya malas. Setelah menyebut nama itu, perasaan Tasya menjadi kesal lagi.
“Ah, iya … itulah gue lupa ... jadi, si Radhika itu anaknya Om Prawira?”
Tasya hanya bergumam sebagai jawaban. “Udah jangan dibahas, telinga gue bisa berdarah kalau denger nama dia terus.”
“Lebay banget sih.”
“Serius.”
“Jadi kita mau ke mana?”
“Terserah, yang penting lo yang traktir.”
"Iya, Ca. Apapun yang bikin lo seneng, gue lakuin deh."
Sebetulnya tadi Tasya hanya bercanda. Namun, Raka malah menganggapnya serius. Tasya senang. Jadi dia tiba-tiba memeluk Raka dari belakang dengan erat. Hal itu membuat Raka kaget sehingga nyaris kehilangan keseimbangan. Beruntung Raka dengan cepat bisa mengontrol laju motornya lagi.
"Astagfirullah! Anindira Tasya Kirania. Gue belum mau mati!" Raka berteriak.
Terdengar suara klakson dari arah belakang. Raka menjalankan motornya sedikit ke kiri, membiarkan orang di belakangnya menyusul. Raka mengangguk bermaksud meminta maaf pada pengemudi yang kini menatapnya garang.
“Parah lo!” Dia tidak habis pikir, dengan apa yang ada jalan pikiran Tasya. Bisa-bisanya dia memeluknya tiba-tiba seperti itu. Dia senang sih, tapi kalau sampai mereka masuk rumah sakit beda lagi ceritanya.
Sedangkan Tasya hanya tertawa. Raka benar-benar sangat bisa diandalkan, dan dia sangat bersyukur memiliki teman sepertinya.
-***-
Radhika duduk dengan kesal di ranjang kamar hotel yang Yoga pesankan. Orang yang ditunggunya sudah terlambat dua belas menit. Dan dia tidak suka dengan orang yang datang terlambat. Karena itu membuang waktunya.
Tiba-tiba pintu terbuka, menampilkan seorang wanita berambut panjang dan bermake up cukup tebal. Wanita itu mengenakan kemeja putih yang pas sekali, sehingga membuat lekuk tubuhnya terlihat. Dia juga mengenakan rok hitam yang sangat pendek.
Wanita itu tersenyum kearah Radhika. "Maaf sayang, tadi macet," ucapnya. Kemudian dia menutup pintu.
"Langsung aja." Radhika berdiri.
"Ih, kamu enggak sabaran ya." Wanita itu terkekeh, lalu dia berjalan mendekati Radhika dan tersenyum menggoda. "Buka dulu maskernya." Wanita itu meraih masker yang dipakai Radhika.
Namun, belum sempat wanita itu meraih masker yang Radhika kenakan, Radhika lebih dulu menyingkirkan tangan wanita tadi setelah tangan wanita itu menyentuh telinganya. Perasaan itu muncul lagi. Dan dia harus segera mengusir wanita ini.
"Pergi!" usir Radhika.
"Apa?" Wanita tadi terkejut dengan tindakan Radhika yang tiba-tiba. Wanita itu mencoba meraih tangan Radhika, namun Radhika menghidar dengan cepat.
"Pekerjaan kamu udah selesai. Kamu juga sudah dapat uangnya, kan? Jadi sekarang enyahlah!" Ingatan yang tidak ingin ia ingat bermunculan, tangannya bergetar.
"Tapi─"
"Enyahlah, jalang!" Radhika membentak wanita di hadapannya.
Wanita itu merasa takut dan tubuhnya sedikit bergetar, lalu dia segera pergi dan membanting pintu cukup keras, sehingga membuat suara dentuman.
Setelah Radhika memastikan wanita tadi benar-benar pergi, dia segera berlari ke kamar mandi. Dia menyalakan shower dan membiarkan air dingin itu membasahi tubuhnya. Kejadian tujuh tahun lalu terus berputar-putar di kepalanya. Dia merasa jijik pada dirinya sendiri.
“Sialan … Sialan!” umpatnya.
Hari ini Tasyasangat mengantuk. Bahkan tadi dia nyaris tertidur saat mengajar. Semalam Tasyahanya tidur tiga jam. Diatidak bisa tidur setelah membaca pesan yang dikirim Radhika. Radhika benar-benar out of the box. Tasya yakin, tidak ada satu orang pun yang bisa menebak jalan pikiran Radhika, kecuali Yang Maha Kuasa.Sungguh, Tasya tidak mengerti kenapa ada orang yang super duperlabil seperti Radhika. Dua hari yang lalu Radhikamemintanya untuk tidak berurusan dengannya. Dia bahkan menghinanya dan mengusirnya, tapi semalam dia ingin mengajaknya bertemu. Itu sangat tidak masuk akal. Apa kepala Radhika terbentur sesuatu sehingga kepalanya sedikit sengklek?Tasyamenyeruput MilkShake Strawberrynya dan bersandar pada sandaran kursi. Kini dia sedang berada di Oh Me Time!─kafe yang pertama kali ia kunjungi saat bertemu dengan Senja.Sebelumnyadia benar-benar
Radhikamelepaskan pelukannya. "Saya pesankantaksionlineuntukkamu." Radhikaberjalan ke mejanya hendak mengambil ponselnya.Tasyamengerjapkan matanya. Dia masih bingung dengan apa yang baru saja terjadi."Tunggu dulu... jelasin dulu yang tadi!" Tasyamenghampiri Radhika. "Kenapa kamu kaya gitu!?" Tasyamenggebrak meja dengan kedua lengannya, lalumenatap Radhikadengan kesal."Kamu enggakperlu tau alasannya. Sekarang sebaiknya kamu pulang."Perkataan Radhikasukses membuat kekesalan Tasyabertambah. Dia yang mengundangnya, lalu dia mengusirnya dengan seenaknya. Lelucon yang bagus."Dhika … kamu waras? Kayanya kamu emang bener-bener sableng ya. Kemarin ngusir seenak udel. Sekarang main peluk sembarangan. Denger ya, aku bukan cewek gampangan.”Radhikamenghela napas, dia memijit keningnya. "Kamu bikinkepalasayamau pecah."
Kurang lebih sepuluh menit kemudian, mereka sampai di sebuahkafe. Bisa dibilang kafe ini sangat populer akhir-akhir ini, tetapi Tasya belum pernah kemari. Karena sepertinya harga makanannya lumayan, tapi tempatnya nyaman dan sangat bagus untuk huntingfoto.Hujan sudah berhenti saat mereka masih dalam perjalanan menuju ke sini. Butuh sekitar empat puluh menit untuk sampai, karena jalanan macet.Radhikaberjalan duluan, sedangkan Tasyamengekor dibelakangnya.Mereka menaiki tangga melingkar. Setelah sampai di lantai dua, Tasya dibuat kagum dengan pemandangan yang disuguhkan.Karena kafe ini terletak di dataran tinggi, jadi dia bisa melihat pemandangan kota dari jendela kaca yang sangat besar."Duduk," ucap Radhikasetelah mereka sampai di meja yang telah ia pesan.Mereka duduk berhadapan. Kemudian seorang pelayan datang memberikan buku menu pada Radhikadan Tasya.Tasyamembuka satu pers
Tasya benar-benar kesal, dan dia marah sekarang, emosinya sudah sampai di ubun-ubun. Radhika sudah sangat keterlaluan. Bisa-bisanya dia berbuat seenaknya seperti itu. Lihat saja, Tasya akan memberi perhitungan padanya.Tasya kini berdiri tepat di depan pintu ruangan Radhika, dia diantar oleh Yoga. Tadi Yoga datang ke playgroup dan langsung membawanya kemari setelah Tasya berbicara dengan Ilham─pemilik playgroup tempatnya bekerja. Sebenarnya saat dalam perjalanan ke sini Tasya ingin sekali memarahi Yoga. Tapi ia urungkan, karena dalang dari masalahnya ini adalah si kutu kupret, Radhika Putra Prawira Sableng.Yoga mengetuk pintu lalu membawa Tasya masuk ke ruangan Radhika."Pak Dhika, Tasya sudah sampai, saya pamit." Yoga keluar dari ruangan setelah mendapat anggukan dari Radhika.Tasya menatap Radhika tajam. Sedangkan Radhika hanya meliriknya sekilas kemudian kembali fokus pada pekerjaannya, dia seakan tidak peduli dengan kehadiran Tasya.
Esok harinya, Tasya merasa pusing sekali ketika dia bangun tidur. Semalam dia begadang sambil maraton drama sampai jam lima pagi. Benar-benar hidup seperti seorang pengangguran.Hari ini adalah hari keduanya sebagai seorang pengangguran. Ayahnya sudah berangkat ke kedai beberapa jam yang lalu. Tapi sebelumnya dia memarahi Tasya terlebih dahulu. Karena tadi dia sulit dibangunkan. Setelah mendapat nasihat dari ayahnya, Tasya kembali tidur dan baru bangun beberapa menit yang lalu.Tasyamenghela napaslalu membuka kulkas. Dia mengambil apel yang ada dikulkas lalu memakannya. Ayahnya belum tau kalau dia sudah dipecat. Yang ayahnya tau hari ini dia sedang cuti, karena semalam Rakamembantunya berbicara pada ayahnyabahwa dia akan cuti beberapa hari.Tasyapergi ke kamarnya untuk mengambil laptopnya, setelah itu dia pergi ke ruang tengah. Dia menyimpan laptopnya di meja lalu duduk bersila di karpet. Dia akan mencari pekerjaan di webs
Radhika melirik Tasya, lalu tersenyum. Dan kini Tasya merasa sedang bermimpi buruk. Melihat raut wajah Radhika seperti itu, pasti dia merencanakan hal busuk di kepalanya.“Apa Om mengizinkan Tasya bekerja di kantor saya?”Tasya ingin sekali menyumpal mulut Radhika dengan kain lap yang tadi dia gunakan untuk mengelap meja. Tasya melirik ayahnya, dia ingin tahu reaksi ayahnya. Namun, ayahnya hanya diam, tidak ada ekspresi yang berarti, jadi Tasya tidak tahu apa yang sedang ayahnya pikirkan.“Tasya udah setuju.” Radhika tersenyum pada Tasya. Sedangkan Tasya hanya melongo. “Hanya tinggal minta izin dari Om Robi. Tapi, kalau misalnya om Robi keberatan, enggak apa-apa. Saya enggak akan maksa.”Ternyata Radhika pandai berakting. Seharusnya dia bermain film saja. Selain pintar berakting dia juga pintar mengarang cerita. Seharusnya dia jadi penulis skenario atau penulis novel saja, daripada mengganggu kedamaian hidupnya. Sekaran
"Aca, ayo makan." Tasya mendengar ayahnya berteriak dari luar kamarnya."Iya, Yah. Bentar lagi turun." Tasya meletakkan sisir di meja riasnya, dia baru selesai mandi. Segera saja dia keluar dari kamarnya.Saat sudah hampir sampai ke ruang makan, Tasya mencium aroma masakan yang sangat harum. Ayahnya benar-benar sangat pintar memasak, tidak heran jika kedai milik ayahnya selalu ramai."Ayah bawa bahan makanan dari kedai, kalau dimasak besok rasanya pasti kurang enak. Jadi inilah mahakarya, Ayah." Ayah Tasya membuka tutup panci, dan seketika aroma yang sungguh enak memenuhi indra penciuman Tasya."Ini pasti enak." Tasya segera mengambil piring dan mengisinya dengan nasi."Iya dong. Kan, Ayah masaknya pakai cinta." Ayah Tasya meletakan beberapa potong daging ke piring Tasya. "Awas panas."Tasya meniup-niup makanannya dan mulai mengunyahnya. Ini benar-benar enak, memang masakan rumah itu selalu menjadi yang terbaik, apalagi jika orang yang
Sekarang sudah hari sabtu. Setelah makan malam dengan ayahnya semalam, Tasya langsung menghubungi Radhika, memintanya untuk bertemu. Setelah mendapat balasan dari Radhika, Tasyamalah menjadi tidak isa tidur. Dia ragu dengan keputusannya.Tasya menghela napas. Diakini menunggu Radhikadi sebuah kafedi pusat kota. Radhikabilang akan datang sekitar pukul sebelas, itu berarti seharusnya tidak lama lagi dia akan sampai. Benar saja, kini Tasya bisa melihat Radhika sedang berjalan ke arahnya.Tasyaheran, setiap kali dia meihat Radhika, dia selalu mengenakan pakaian formal bahkan di hari libur seperti ini. Dia berpikir apakah jadwal Radhikasangat padat sehingga membuatnya harus bertemu klien di hari libur juga."Jadi?""Eh itu.. enggak mau pesen dulu?" Tasyamenggeser menu kearah Radhika.Radhika terlalu to the point, Tasya kan belum siap."Enggak.""Oh, oke." Tasyam
Minyak di wajan sepertinya sudah panas, karena sudah mulai mengeluarkan sedikit asap. Dengan perlahan Tasya menuangkan telur yang sudah ia beri garam dan potongan daun bawang ke dalam wajan tadi. Memasak telur seperti ini sangat mudah ternyata, dia juga sudah memasak nasi. Tadinya dia ingin membuat nasi goreng, tetapi dulu ibunya pernah bilang kalau membuat nasi goreng dari nasi yang masih panas itu pamali. Sebenarnya Tasya percaya, tidak percaya sih. Namun, saat dia browsing, hal itu memang tidak akan bagus, karena nasinya nanti akan menggumpal. Mungkin maksud dari pamaliyang diucapkan mendiang ibunya, mengarah ke arah situ. Sepertinya sudah saatnya membalik telur yang sedang ia goreng, Tasya mengambil spatula yang tidak jauh dari kompor. Perlahan-lahan Tasya mengangkat telur dalam wajan, namun dia merasa kesulitan. Tasya menghela napas, dengan sekali gerakan dia membalik telur tersebut, namun pada akhirnya telur itu tidak terbalik dengan sem
“Kamu kenapa? Pucat banget, kan aku bilang apa. Jangan telat makan. Sakit, kan, jadinya. Udah kita balik lagi aja.”Ucapan Tasya membuatnya seperti tersedot lagi ke dunia nyata. Napasnya terengah-engah, tubuhnya terasa lemas sekali.Radhika bisa melihat pintu lift terbuka. Kedua wanita tadi keluar. Sedangkan Tasya menekan angka lima, mereka harus kembali lagi ke kamar.“Tahan sebentar, ya.” Tasya menggandeng lengan Radhika. “Sebentar lagi sampai.”Radhika mengangguk. Dia menarik napas panjang, lalu membuangnya perlahan. Dia menyandarkan punggungnya dan mencoba mengusir ingatan buruk itu.“Tahan, ya.” Tasya mengelus-elus punggung Radhika. Dan Radhika merasa sedikit tenang karena sentuhan itu.Radhika merasa waktu berlalu begitu lamban. Walau perasaannya sudah mulai tenang, tetapi ingatan buruk masih berputar-putar di kepalanya. Membuatnya, merasa tersiksa.“Udah dibilangin makan itu
“Malam ini saya akan pulang. Kamu sebagai ketua tim Alpha harus menyelesaikan masalah ini sebelum saya pulang. Karena besok, kita sudah mulai kerja keras lagi. Kita cuman punya waktu dua minggu untuk cari solusi.”“Oke, Pak. Saya akan bicara sama Taufik. Saya yakin, Taufik ngelakuin itu pasti ada alasannya. Taufik lagi diamanin sama anak-anak, Pak. Lagi usaha ngorek-ngorek informasi.”“Oke, saya percaya sama kamu. Saya tutup ya.”Radhika menyimpan ponselnya di meja. Dia lelah sekali. Rapatnya tadi siang tidak sepenuhnya bisa dibilang lancar. Karena, dewan direksi masih menekannya. Bahkan mereka mengancam, jika dalam dua minggu tidak mendapat memberikan solusi, maka Radhika harus melepaskan jabatannya. Pantas saja proyek ini sebelumnya lancar-lancar saja. Hambatannya hanya di awal saja. Ternyata mereka menyimpan kejutan di akhir.Waktu dua minggu, adalah waktu yang singkat. Jelas tidak mungkin mengubah gamep
“Buang itu, Tasya! Saya enggak mau liat!”Bingung, terkejut dan takut. Itulah yang Tasya rasakan sekarang. Dia tidak tahu, mengapa Radhika bereaksi berlebihan seperti itu. Tasya melirik ke arah Radhika. Sepertinya ada yang tidak beres. Wajah Radhika pucat dan tangannya bergetar. Apakah dia … takut?“Dhika.” Tasya menyentuh lengan Radhika, namun dia tidak merespons. “Kamu enggak apa-apa?” Lalu dia mencoba menarik lengannya, namun tetap tidak berhasil.Tangan Radhika mulai memegang kepalanya, hal itu membuat Tasya semakin panik. Mungkin mainan itu ada kaitannya dengan kasus penculikan lima belas tahun yang lalu. Ya, itu masuk akal. Karena saat diculik, Radhika masih anak-anak. Bisa jadi mainan ini dia bawa saat diculik. Dengan perlahan, Tasya menarik lengan Radhika, lalu memeluknya dan berbisik. “Ada aku di sini. Jangan takut.” Dia mengelus punggung Radhika, berharap sentuhannya bisa membuat Radh
Udara di Surabaya lebih panas daripada di Bandung. Namun, tidak sepanas di Jakarta. Tasya baru saja menyelesaikan sarapannya. Sekarang masih pukul delapan lebih. Sebelum kembali ke kamarnya, dia berencana untuk berkeliling di sekitaran hotel. Ini adalah pertama kalinya dia datang ke Surabaya, jadi dia tidak mungkin berkeliling jauh. Lagi pula, dia datang ke sini untuk bekerja, bukan untuk wisata.Tadinya Tasya ingin mengajak Radhika keluar, mencari udara segar, supaya dia bisa sedikit lebih rileks. Namun, chat darinya tidak dibalas. Mereka juga belum bertemu, sejak berpisah kemarin. Sepertinya Radhika sangat sibuk, Tasya tidak ingin mengganggunya.“Mbak.” Tasya terkejut saat bahunya tiba-tiba ditepuk. “Maaf, saya bikin kaget. Ini ada titipan untuk Pak Radhika, kurirnya bilang harus segera dibuka.”Tasya mengerutkan kening. Mengapa tiba-tiba ada kiriman untuk Radhika? Dan kenapa laki-laki di hadapannya tahu kalau dia adalah kenalan Radhika
Ada masalah besar. Dan masalah itu terjadi di kantornya. Ternyata ini masalah yang membuat Radhika kemarin buru-buru pergi. Sekarang situasi di kantor sangat kacau.Dari yang ia dengar, ada dua masalah yang datang bersamaan. Pertama sebuah perusahaan star up, baru saja merilis game yang sangat mirip, hampir 95% dari game Fire and Gun. Kedua, Athena’s diserang cheater lagi, dan sekarang lebih parah dari sebelumnya, karena memengaruhi keseimbangan dalam game, sehingga merugikan pemain lain.Diduga salah satu anggota tim Alpha ada yang membocorkan data. Sampai sekarang sepertinya kasus itu sedang diselidiki secara rahasia oleh Yoga, itu yang dikatakan oleh RadhikaTasya bingung, ingin membantu, tetapi tidak tahu harus melakukan apa. Apalagi bulan depan game ini sudah harus rilis. Dia hanya berharap semua akan baik-baik saja, dan Radhika bisa menemukan jalan keluarnya.Tasya menghela napas dan menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi.
Tasya mengaduk-aduk minuman cola dengan sedotan. Dia tidak mengerti dengan situasinya sekarang. Awalnya dia hanya ingin mengantar Raka membeli hadiah, lalu makan dan pulang. Tetapi sekarang, entah apa yang akan mereka lakukan setelah keluar dari sini.Setelah menutup telepon, Radhika memintanya untuk menunggu sampai dia sampai. Jadi Tasya mengajak Raka untuk makan terlebih dahulu. Sekarang, Radhika dan Senja sudah bergabung bersama mereka.“Jadi kalian habis ngapain?” tanya Senja pada Raka.Raka yang sedang fokus pada ponselnya, kini menatap ke arah Senja. “Oh, tadi kita abis beli hadiah buat ibu saya.”“Ibu kamu ulang tahun?”Raka menggeleng. “Bukan, cuman lagi ingin kasih aja.”“Oh gitu. Aku juga jadi pengin kasih hadiah buat mama sama papa.” Senja berdiri dari kursinya. “Bang minta kartu.” Gadis itu mengulurkan tangannya ke arah Radhika.Radhika mengambil dompe
Tasya berguling di atas kasur nya. Sekarang dia sudah berada di rumahnya dan bersiap untuk tidur. Soal permintaan Radhika tadi, jelas saja dia menolaknya. Tidak ada alasan untuk bermalam di sana. Terlebih lagi, hal itu tidak terlalu baik. Mengingat hubungan mereka sekarang, walaupun sebenarnya masih tidak jelas, tetapi tetap saja mereka adalah sepasang kekasih.Gadis itu mengecek jam di layar ponselnya. Sudah satu jam lebih, tetapi Radhika belum mengabarinya. Padahal laki-laki itu sendiri yang mengatakan jika dirinya sudah sampai, maka dia akan memberi kabar. Jarak rumah mereka juga tidak terlalu jauh, bisa ditempuh kurang lebih empat puluh menit. Lalulintas juga tidak terlalu ramai, jadi Radhika tidak mungkin terjebak macet.“Apa gue tanya aja ya?” Tasya buru-buru menggeleng. “Enggak, enggak … kalau kayak gini, nanti gue dikira nungguin kabar dari dia.”Tasya menyimpan ponselnya lagi di samping kepalanya, lalu menatap langit-langi
Tasya sedang duduk di ruang tengah, tangannya sibuk memencet tombol remote TV, mencari saluran yang menurutnya menarik. Radhika sepertinya berlangganan TV kabel, karena banyak sekali salurannya. Tasya yang terbiasa menonton saluran lokal menjadi bingung sendiri.Sebenarnya Tasya juga tidak terlalu ingin menonton, dia juga sudah jarang menonton televisi. Hanya saja, dia cukup bosan menunggu Radhika yang sedang mencuci piring.Akhirnya Tasya menyerah, dia menyimpan remote TV di meja. Dia membiarkan TV memutar acara binatang yang hidup di alam liar. Tasya memperbaiki posisi duduknya, lalu mengambil bantal dan menaruhnya di atas paha.“Kamu suka acara kayak gini?”Tasya melirik ke arah Radhika yang kini duduk di sampingnya. “Enggak juga, cuman bingung aja.”“Mau coba nonton film?”Tasya berpikir sejenak. Menonton akan memakan waktu yang cukup panjang, minimal satu jam. Dia berencana pulang sekitar pukul sembil