Radhika melepaskan pelukannya. "Saya pesankan taksi online untuk kamu." Radhika berjalan ke mejanya hendak mengambil ponselnya.
Tasya mengerjapkan matanya. Dia masih bingung dengan apa yang baru saja terjadi.
"Tunggu dulu ... jelasin dulu yang tadi!" Tasya menghampiri Radhika. "Kenapa kamu kaya gitu!?" Tasya menggebrak meja dengan kedua lengannya, lalu menatap Radhika dengan kesal.
"Kamu enggak perlu tau alasannya. Sekarang sebaiknya kamu pulang."
Perkataan Radhika sukses membuat kekesalan Tasya bertambah. Dia yang mengundangnya, lalu dia mengusirnya dengan seenaknya. Lelucon yang bagus.
"Dhika … kamu waras? Kayanya kamu emang bener-bener sableng ya. Kemarin ngusir seenak udel. Sekarang main peluk sembarangan. Denger ya, aku bukan cewek gampangan.”
Radhika menghela napas, dia memijit keningnya. "Kamu bikin kepala saya mau pecah."
"Apa? Dasar gelo!" Tasya melotot. Seharusnya kalimat itu diucapkan olehnya. Karena sikapnya itu sangat tidak jelas. “Di sini jelas-jelas aku yang jadi korban!”
“Kalau kamu enggak mau pulang, silakan tidur di sini.” Radhika berdiri, dia mengambil ponsel dan kunci mobilnya yang tergeletak di meja. Dia perlu jalan-jalan untuk menenangkan pikirannya.
Tasya melongo, ini luar bisa gila. Apa-apaan sikapnya itu? “Hei! Kamu mau ke mana? Urusan kita belum selesai.” Dia mengikuti Radhika yang berjalan menuju pintu.
“Ke tempat yang enggak ada kamu.” Radhika sampai di depan pintu, dia sudah meraih gagang pintu, namun lengannya ditarik oleh Tasya. Mau tak mau Radhika harus berbalik menghadap ke arah Tasya.
Di luar dugaan Tasya menghimpitnya ke arah pintu. Tangan kanan perempuan itu berada di samping telinganya, menekan pintu. Dia menaikkan dagunya dan memberi tatapan tajam. “Jangan kabur!”
Radhika tersenyum miring. Dia tidak mengerti dengan jalan pikiran Tasya. Dengan tubuh yang hanya sebatas dadanya, Tasya pikir dia akan takut padanya. Lucu sekali. “Berapa lama lagi kaki kamu kuat jinjit kayak gitu?”
“Apa-” Ucapan Tasya terpotong karena Radhika tiba-tiba menarik pinggangnya hingga membuat tubuh mereka bertabrakan. Tasya memekik karena terkejut, namun Radhika menghiraukannya.
“Saya tunjukkan cara yang benar.” Radhika memutar posisi mereka. Kini punggung Tasya yang bersandar pada pintu, sedangkan Radhika mengurungnya.
Mata mereka bertemu. Jarak wajah mereka sangat dekat, karena Radhika menundukkan kepalanya. Tangan kanannya masih berada di pinggang Tasya.
Tasya tidak bisa bergerak, ia ingin mendorong Radhika, namun badannya mengkhianati pikirannya. Dia juga merasa oksigen sepertinya sangat sedikit, jadi dia kesulitan untuk bernapas. Lalu kondisi jantungnya, dia sedang menggila. Jantungnya berdetak tak keruan.
Tadinya Tasya berniat membuat Radhika mau memberinya penjelasan. Namun, sekarang dia malah kena batunya.
Radhika mendekatkan wajahnya ke wajah Tasya, Sehingga, Tasya bisa merasakan ebusan napas Radhika di wajahnya
Tasya sangat gugup hingga pikirannya terasa kosong. Tasya memejamkan matanya kuat-kuat dia memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan dilakukan oleh Radhika. Dia berharap Radhika tidak melakukan hal buruk padanya.
“Kalau kamu mau melakukan hal ini, cobalah untuk bertambah tinggi terlebih dulu.” Radhika melepaskan kurungannya, lalu mundur satu langkah.
Tasya menatap Radhika dengan tatapan tak percaya. Sialan! Ternyata dia dipermainkan. Bahkan kini Tasya bisa melihat Radhika menyeringai.
“Sinting!” Tasya berusaha menormalkan debaran jantungnya.
“Sebaiknya kamu segera pulang, kalau terlalu malam akan susah cari kendaraan. Saya antar sampai bawah.”
“Kamu masih berutang penjelasan.” Tasya menyingkir dari pintu dan membiarkan Radhika membukanya. “Aku akan tagih nanti.”
Radhika hanya bergumam sebagai jawaban.
-***-
Sudah empat hari dan Radhika belum mengabarinya. Jelas itu membuat Tasya kesal setengah mati. Dia sudah mengirim pesan dan mencoba menelepon Radhika, namun hasilnya nihil. Bocah itu tidak mengangkat satu pun panggilan darinya, jangan tanya lagi soal pesan. Sudah jelas dia tidak membalasnya juga.
Ditambah hari ini hujan deras dan dia masih terjebak ditempat kerjanya. Lengkap sudah. Tasya benar-benar menyesal. Seandainya saja dia tadi menumpang pada orang tua muridnya sampai ke halte. Mungkin sekarang dia sudah ada di kamarnya, selimutan sambil makan mie instant pakai cabai. Sungguh kenikmatan yang hakiki.
Namun, karena tadi masih ada pekerjaan yang harus dia selesaikan, jadi mau tak mau dia harus menerima nasibnya sekarang.
Sudah hampir dua jam hujan tak kunjung reda. Tasya sempat menghubungi Raka untuk menanyakan apakah dia sudah selesai bekerja atau belum, tapi ternyata jam kerja Raka berakhir pukul delapan malam, jadi dia tidak mungkin memintanya untuk mengantarnya pulang.
Tasya menghela napas. Dia mengambil ponsel dari saku hoodie-nya. Dan ternyata ponselnya kehabisan baterai. Dan dia juga ingat kalau hari ini dia tidak membawa charger. Sungguh sangat sial, dia hari ini.
Pada akhirnya Tasya memutuskan untuk menerobos hujan. Dia pikir lebih baik menerobos hujan, daripada menunggu dengan bosan di sini. Masa bodoh jika dia besok sakit, lagi pula besok dia juga libur.
Tasya memakai jaket yang sengaja ia simpan di laci, ini cukup lumayan untuk meredam air hujan. Ia lalu mencari plastik, dia harus melindungi barang-barang berharganya agar tidak kebasahan. Setelah menemukannya, Tasya menaruh ponsel dan dompetnya ke dalam plastik tadi.
Kemudian Tasya pergi keluar. Hujannya ternyata sudah sedikit mereda. Tapi jika dia berlari ke halte, tetap saja akan kebasahan. Tasya menaruh tasnya di atas kepalanya untuk melindunginya dari hujan.
Saat Tasya berlari menuju halte, tiba-tiba ada sebuah mobil yang mendekat ke arahnya lalu membunyikan klakson. Tasya secara refleks menyingkir dan memberi jalan pada pengemudi mobil itu. Namun, mobil itu berhenti tepat di depannya. Dan itu membuat Tasya bertanya-tanya, karena dia tidak ingat memiliki teman yang punya mobil seperti ini.
Jendela mobil perlahan terbuka, Tasya menajamkan pengelihatannya. Dan ternyata dia, adalah Radhika.
"Cepat masuk!" titahnya.
"Hah?" Tasya hanya merespon seperti itu, karena dia cukup terkejut dengan kedatangan Radhika kemari.
"Apa kamu budek? Cepetan masuk!" Radhika menaikan sedikit nada suaranya, dan itu mebuat Tasya buru-buru masuk ke mobil dengan perasaan kesal. Apa harus dia marah-marah seperti itu?
Setelah Tasya masuk, dia melepaskan jaketnya yang sudah setengah basah lalu memasang sabuk pengaman. “Aku kira kamu udah pulang ke tempat asal kamu,” sindir Tasya.
“Apa maksud kamu?” tanya Radhika.
“Pulang ke planet asal kamu, ke Pluto misalnya.”
Radhika mulai menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang. “Anindira, sepertinya kamu perlu rajin mencari informasi. Dari tahun 2006 Pluto udah bukan planet lagi. Tapi udah jadi Planet Kerdil.”
Tasya menghela napas. Dia melupakan hal itu. Namun, maksudnya kan bukan itu. “Itu perumpamaan. Maksudnya kan aku lagi nyindir kamu.”
“Apa pun maksud kamu, kalau salah ya tetap harus dikoreksi.”
“Terserah kamu, aku enggak mau ngomong lagi.” Tasya mengarahkan pandangannya ke jendela. Berbicara dengan Radhika sekarang hanya akan membuatnya emosi.
Kurang lebih sepuluh menit kemudian, mereka sampai di sebuahkafe. Bisa dibilang kafe ini sangat populer akhir-akhir ini, tetapi Tasya belum pernah kemari. Karena sepertinya harga makanannya lumayan, tapi tempatnya nyaman dan sangat bagus untuk huntingfoto.Hujan sudah berhenti saat mereka masih dalam perjalanan menuju ke sini. Butuh sekitar empat puluh menit untuk sampai, karena jalanan macet.Radhikaberjalan duluan, sedangkan Tasyamengekor dibelakangnya.Mereka menaiki tangga melingkar. Setelah sampai di lantai dua, Tasya dibuat kagum dengan pemandangan yang disuguhkan.Karena kafe ini terletak di dataran tinggi, jadi dia bisa melihat pemandangan kota dari jendela kaca yang sangat besar."Duduk," ucap Radhikasetelah mereka sampai di meja yang telah ia pesan.Mereka duduk berhadapan. Kemudian seorang pelayan datang memberikan buku menu pada Radhikadan Tasya.Tasyamembuka satu pers
Tasya benar-benar kesal, dan dia marah sekarang, emosinya sudah sampai di ubun-ubun. Radhika sudah sangat keterlaluan. Bisa-bisanya dia berbuat seenaknya seperti itu. Lihat saja, Tasya akan memberi perhitungan padanya.Tasya kini berdiri tepat di depan pintu ruangan Radhika, dia diantar oleh Yoga. Tadi Yoga datang ke playgroup dan langsung membawanya kemari setelah Tasya berbicara dengan Ilham─pemilik playgroup tempatnya bekerja. Sebenarnya saat dalam perjalanan ke sini Tasya ingin sekali memarahi Yoga. Tapi ia urungkan, karena dalang dari masalahnya ini adalah si kutu kupret, Radhika Putra Prawira Sableng.Yoga mengetuk pintu lalu membawa Tasya masuk ke ruangan Radhika."Pak Dhika, Tasya sudah sampai, saya pamit." Yoga keluar dari ruangan setelah mendapat anggukan dari Radhika.Tasya menatap Radhika tajam. Sedangkan Radhika hanya meliriknya sekilas kemudian kembali fokus pada pekerjaannya, dia seakan tidak peduli dengan kehadiran Tasya.
Esok harinya, Tasya merasa pusing sekali ketika dia bangun tidur. Semalam dia begadang sambil maraton drama sampai jam lima pagi. Benar-benar hidup seperti seorang pengangguran.Hari ini adalah hari keduanya sebagai seorang pengangguran. Ayahnya sudah berangkat ke kedai beberapa jam yang lalu. Tapi sebelumnya dia memarahi Tasya terlebih dahulu. Karena tadi dia sulit dibangunkan. Setelah mendapat nasihat dari ayahnya, Tasya kembali tidur dan baru bangun beberapa menit yang lalu.Tasyamenghela napaslalu membuka kulkas. Dia mengambil apel yang ada dikulkas lalu memakannya. Ayahnya belum tau kalau dia sudah dipecat. Yang ayahnya tau hari ini dia sedang cuti, karena semalam Rakamembantunya berbicara pada ayahnyabahwa dia akan cuti beberapa hari.Tasyapergi ke kamarnya untuk mengambil laptopnya, setelah itu dia pergi ke ruang tengah. Dia menyimpan laptopnya di meja lalu duduk bersila di karpet. Dia akan mencari pekerjaan di webs
Radhika melirik Tasya, lalu tersenyum. Dan kini Tasya merasa sedang bermimpi buruk. Melihat raut wajah Radhika seperti itu, pasti dia merencanakan hal busuk di kepalanya.“Apa Om mengizinkan Tasya bekerja di kantor saya?”Tasya ingin sekali menyumpal mulut Radhika dengan kain lap yang tadi dia gunakan untuk mengelap meja. Tasya melirik ayahnya, dia ingin tahu reaksi ayahnya. Namun, ayahnya hanya diam, tidak ada ekspresi yang berarti, jadi Tasya tidak tahu apa yang sedang ayahnya pikirkan.“Tasya udah setuju.” Radhika tersenyum pada Tasya. Sedangkan Tasya hanya melongo. “Hanya tinggal minta izin dari Om Robi. Tapi, kalau misalnya om Robi keberatan, enggak apa-apa. Saya enggak akan maksa.”Ternyata Radhika pandai berakting. Seharusnya dia bermain film saja. Selain pintar berakting dia juga pintar mengarang cerita. Seharusnya dia jadi penulis skenario atau penulis novel saja, daripada mengganggu kedamaian hidupnya. Sekaran
"Aca, ayo makan." Tasya mendengar ayahnya berteriak dari luar kamarnya."Iya, Yah. Bentar lagi turun." Tasya meletakkan sisir di meja riasnya, dia baru selesai mandi. Segera saja dia keluar dari kamarnya.Saat sudah hampir sampai ke ruang makan, Tasya mencium aroma masakan yang sangat harum. Ayahnya benar-benar sangat pintar memasak, tidak heran jika kedai milik ayahnya selalu ramai."Ayah bawa bahan makanan dari kedai, kalau dimasak besok rasanya pasti kurang enak. Jadi inilah mahakarya, Ayah." Ayah Tasya membuka tutup panci, dan seketika aroma yang sungguh enak memenuhi indra penciuman Tasya."Ini pasti enak." Tasya segera mengambil piring dan mengisinya dengan nasi."Iya dong. Kan, Ayah masaknya pakai cinta." Ayah Tasya meletakan beberapa potong daging ke piring Tasya. "Awas panas."Tasya meniup-niup makanannya dan mulai mengunyahnya. Ini benar-benar enak, memang masakan rumah itu selalu menjadi yang terbaik, apalagi jika orang yang
Sekarang sudah hari sabtu. Setelah makan malam dengan ayahnya semalam, Tasya langsung menghubungi Radhika, memintanya untuk bertemu. Setelah mendapat balasan dari Radhika, Tasyamalah menjadi tidak isa tidur. Dia ragu dengan keputusannya.Tasya menghela napas. Diakini menunggu Radhikadi sebuah kafedi pusat kota. Radhikabilang akan datang sekitar pukul sebelas, itu berarti seharusnya tidak lama lagi dia akan sampai. Benar saja, kini Tasya bisa melihat Radhika sedang berjalan ke arahnya.Tasyaheran, setiap kali dia meihat Radhika, dia selalu mengenakan pakaian formal bahkan di hari libur seperti ini. Dia berpikir apakah jadwal Radhikasangat padat sehingga membuatnya harus bertemu klien di hari libur juga."Jadi?""Eh itu.. enggak mau pesen dulu?" Tasyamenggeser menu kearah Radhika.Radhika terlalu to the point, Tasya kan belum siap."Enggak.""Oh, oke." Tasyam
“Saya bisa memberi tawaran yang menarik.”Tasya menyipitkan matanya. “Apa?”“Gaji dua kali lipat dari tempat kerja kamu sebelumnya.”“Dua kali lipat?” tanya Tasya terkejut. “Tapi bukannya kamu merasa aku enggak kompeten? Kamu bilang tadi enggak mau ngambil risiko.”“Memang, itulah sebabnya saya ngasih kamu tugas khusus, dan itu sangat gampang.”“Ini kamu lagi ngehina aku atau apa sih?” tanya Tasya kesal.“Dengar ya, Anindira. Saya mempekerjakan orang sesuai dengan kemampuannya. Kalau kamu bisa membuktikan kemampuan kamu yang lain, saya akan kasih tugas yang sesuai dengan kemampuan kamu itu.”Tasya terdiam. Benar juga sih yang dikatakan Radhika. Walau dia tidak tahu tugas macam apa yang akan diberikan Radhika, tapi dia setuju dengan pemikirannya. Dengan pengalamannya sekarang yang masih nol, entah kontribusi apa yang bisa ia berikan untuk pe
Tasyamenyentuh kening Radhika. Demamnya sudah mulai reda. Tadi dia sangat panik saat menemukan Radhikaduduk bersandar di bawah showeryang masih menyala. Wajahnya sangat pucat, sepertinya dia terlalu lama duduk di sana. Kini Radhikasedang tidur, sudah dari satu jam yang lalu setelah Tasyamemaksanya untuk makan lalu minum obat.Hari ini Tasya benar-benar memasak. Dia membuatkan bubur untuk Radhika. Dengan berbekal resep yang ia temukan di internet. Rasanya tidak buruk, bahkan bisa dibilang enak. Radhika juga tidak protes mengenai bubur buatannya. Tasya sekarang bisa sedikit berbangga diri. Akhirnya dia bisa membuat masakan dengan baik, walau hanya bubur. Setidaknya ada kemajuan.Tasyamenyentuh rambut milik Radhika, rambutnya sudah kering. Tasyaberharap Radhikatidak sakit kepala, karena dia tadi tidur dalam kondisi rambut yang masih basah. Karena di rumah ini tidak ada pengering rambut jadi Tasyahanya membantu
Minyak di wajan sepertinya sudah panas, karena sudah mulai mengeluarkan sedikit asap. Dengan perlahan Tasya menuangkan telur yang sudah ia beri garam dan potongan daun bawang ke dalam wajan tadi. Memasak telur seperti ini sangat mudah ternyata, dia juga sudah memasak nasi. Tadinya dia ingin membuat nasi goreng, tetapi dulu ibunya pernah bilang kalau membuat nasi goreng dari nasi yang masih panas itu pamali. Sebenarnya Tasya percaya, tidak percaya sih. Namun, saat dia browsing, hal itu memang tidak akan bagus, karena nasinya nanti akan menggumpal. Mungkin maksud dari pamaliyang diucapkan mendiang ibunya, mengarah ke arah situ. Sepertinya sudah saatnya membalik telur yang sedang ia goreng, Tasya mengambil spatula yang tidak jauh dari kompor. Perlahan-lahan Tasya mengangkat telur dalam wajan, namun dia merasa kesulitan. Tasya menghela napas, dengan sekali gerakan dia membalik telur tersebut, namun pada akhirnya telur itu tidak terbalik dengan sem
“Kamu kenapa? Pucat banget, kan aku bilang apa. Jangan telat makan. Sakit, kan, jadinya. Udah kita balik lagi aja.”Ucapan Tasya membuatnya seperti tersedot lagi ke dunia nyata. Napasnya terengah-engah, tubuhnya terasa lemas sekali.Radhika bisa melihat pintu lift terbuka. Kedua wanita tadi keluar. Sedangkan Tasya menekan angka lima, mereka harus kembali lagi ke kamar.“Tahan sebentar, ya.” Tasya menggandeng lengan Radhika. “Sebentar lagi sampai.”Radhika mengangguk. Dia menarik napas panjang, lalu membuangnya perlahan. Dia menyandarkan punggungnya dan mencoba mengusir ingatan buruk itu.“Tahan, ya.” Tasya mengelus-elus punggung Radhika. Dan Radhika merasa sedikit tenang karena sentuhan itu.Radhika merasa waktu berlalu begitu lamban. Walau perasaannya sudah mulai tenang, tetapi ingatan buruk masih berputar-putar di kepalanya. Membuatnya, merasa tersiksa.“Udah dibilangin makan itu
“Malam ini saya akan pulang. Kamu sebagai ketua tim Alpha harus menyelesaikan masalah ini sebelum saya pulang. Karena besok, kita sudah mulai kerja keras lagi. Kita cuman punya waktu dua minggu untuk cari solusi.”“Oke, Pak. Saya akan bicara sama Taufik. Saya yakin, Taufik ngelakuin itu pasti ada alasannya. Taufik lagi diamanin sama anak-anak, Pak. Lagi usaha ngorek-ngorek informasi.”“Oke, saya percaya sama kamu. Saya tutup ya.”Radhika menyimpan ponselnya di meja. Dia lelah sekali. Rapatnya tadi siang tidak sepenuhnya bisa dibilang lancar. Karena, dewan direksi masih menekannya. Bahkan mereka mengancam, jika dalam dua minggu tidak mendapat memberikan solusi, maka Radhika harus melepaskan jabatannya. Pantas saja proyek ini sebelumnya lancar-lancar saja. Hambatannya hanya di awal saja. Ternyata mereka menyimpan kejutan di akhir.Waktu dua minggu, adalah waktu yang singkat. Jelas tidak mungkin mengubah gamep
“Buang itu, Tasya! Saya enggak mau liat!”Bingung, terkejut dan takut. Itulah yang Tasya rasakan sekarang. Dia tidak tahu, mengapa Radhika bereaksi berlebihan seperti itu. Tasya melirik ke arah Radhika. Sepertinya ada yang tidak beres. Wajah Radhika pucat dan tangannya bergetar. Apakah dia … takut?“Dhika.” Tasya menyentuh lengan Radhika, namun dia tidak merespons. “Kamu enggak apa-apa?” Lalu dia mencoba menarik lengannya, namun tetap tidak berhasil.Tangan Radhika mulai memegang kepalanya, hal itu membuat Tasya semakin panik. Mungkin mainan itu ada kaitannya dengan kasus penculikan lima belas tahun yang lalu. Ya, itu masuk akal. Karena saat diculik, Radhika masih anak-anak. Bisa jadi mainan ini dia bawa saat diculik. Dengan perlahan, Tasya menarik lengan Radhika, lalu memeluknya dan berbisik. “Ada aku di sini. Jangan takut.” Dia mengelus punggung Radhika, berharap sentuhannya bisa membuat Radh
Udara di Surabaya lebih panas daripada di Bandung. Namun, tidak sepanas di Jakarta. Tasya baru saja menyelesaikan sarapannya. Sekarang masih pukul delapan lebih. Sebelum kembali ke kamarnya, dia berencana untuk berkeliling di sekitaran hotel. Ini adalah pertama kalinya dia datang ke Surabaya, jadi dia tidak mungkin berkeliling jauh. Lagi pula, dia datang ke sini untuk bekerja, bukan untuk wisata.Tadinya Tasya ingin mengajak Radhika keluar, mencari udara segar, supaya dia bisa sedikit lebih rileks. Namun, chat darinya tidak dibalas. Mereka juga belum bertemu, sejak berpisah kemarin. Sepertinya Radhika sangat sibuk, Tasya tidak ingin mengganggunya.“Mbak.” Tasya terkejut saat bahunya tiba-tiba ditepuk. “Maaf, saya bikin kaget. Ini ada titipan untuk Pak Radhika, kurirnya bilang harus segera dibuka.”Tasya mengerutkan kening. Mengapa tiba-tiba ada kiriman untuk Radhika? Dan kenapa laki-laki di hadapannya tahu kalau dia adalah kenalan Radhika
Ada masalah besar. Dan masalah itu terjadi di kantornya. Ternyata ini masalah yang membuat Radhika kemarin buru-buru pergi. Sekarang situasi di kantor sangat kacau.Dari yang ia dengar, ada dua masalah yang datang bersamaan. Pertama sebuah perusahaan star up, baru saja merilis game yang sangat mirip, hampir 95% dari game Fire and Gun. Kedua, Athena’s diserang cheater lagi, dan sekarang lebih parah dari sebelumnya, karena memengaruhi keseimbangan dalam game, sehingga merugikan pemain lain.Diduga salah satu anggota tim Alpha ada yang membocorkan data. Sampai sekarang sepertinya kasus itu sedang diselidiki secara rahasia oleh Yoga, itu yang dikatakan oleh RadhikaTasya bingung, ingin membantu, tetapi tidak tahu harus melakukan apa. Apalagi bulan depan game ini sudah harus rilis. Dia hanya berharap semua akan baik-baik saja, dan Radhika bisa menemukan jalan keluarnya.Tasya menghela napas dan menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi.
Tasya mengaduk-aduk minuman cola dengan sedotan. Dia tidak mengerti dengan situasinya sekarang. Awalnya dia hanya ingin mengantar Raka membeli hadiah, lalu makan dan pulang. Tetapi sekarang, entah apa yang akan mereka lakukan setelah keluar dari sini.Setelah menutup telepon, Radhika memintanya untuk menunggu sampai dia sampai. Jadi Tasya mengajak Raka untuk makan terlebih dahulu. Sekarang, Radhika dan Senja sudah bergabung bersama mereka.“Jadi kalian habis ngapain?” tanya Senja pada Raka.Raka yang sedang fokus pada ponselnya, kini menatap ke arah Senja. “Oh, tadi kita abis beli hadiah buat ibu saya.”“Ibu kamu ulang tahun?”Raka menggeleng. “Bukan, cuman lagi ingin kasih aja.”“Oh gitu. Aku juga jadi pengin kasih hadiah buat mama sama papa.” Senja berdiri dari kursinya. “Bang minta kartu.” Gadis itu mengulurkan tangannya ke arah Radhika.Radhika mengambil dompe
Tasya berguling di atas kasur nya. Sekarang dia sudah berada di rumahnya dan bersiap untuk tidur. Soal permintaan Radhika tadi, jelas saja dia menolaknya. Tidak ada alasan untuk bermalam di sana. Terlebih lagi, hal itu tidak terlalu baik. Mengingat hubungan mereka sekarang, walaupun sebenarnya masih tidak jelas, tetapi tetap saja mereka adalah sepasang kekasih.Gadis itu mengecek jam di layar ponselnya. Sudah satu jam lebih, tetapi Radhika belum mengabarinya. Padahal laki-laki itu sendiri yang mengatakan jika dirinya sudah sampai, maka dia akan memberi kabar. Jarak rumah mereka juga tidak terlalu jauh, bisa ditempuh kurang lebih empat puluh menit. Lalulintas juga tidak terlalu ramai, jadi Radhika tidak mungkin terjebak macet.“Apa gue tanya aja ya?” Tasya buru-buru menggeleng. “Enggak, enggak … kalau kayak gini, nanti gue dikira nungguin kabar dari dia.”Tasya menyimpan ponselnya lagi di samping kepalanya, lalu menatap langit-langi
Tasya sedang duduk di ruang tengah, tangannya sibuk memencet tombol remote TV, mencari saluran yang menurutnya menarik. Radhika sepertinya berlangganan TV kabel, karena banyak sekali salurannya. Tasya yang terbiasa menonton saluran lokal menjadi bingung sendiri.Sebenarnya Tasya juga tidak terlalu ingin menonton, dia juga sudah jarang menonton televisi. Hanya saja, dia cukup bosan menunggu Radhika yang sedang mencuci piring.Akhirnya Tasya menyerah, dia menyimpan remote TV di meja. Dia membiarkan TV memutar acara binatang yang hidup di alam liar. Tasya memperbaiki posisi duduknya, lalu mengambil bantal dan menaruhnya di atas paha.“Kamu suka acara kayak gini?”Tasya melirik ke arah Radhika yang kini duduk di sampingnya. “Enggak juga, cuman bingung aja.”“Mau coba nonton film?”Tasya berpikir sejenak. Menonton akan memakan waktu yang cukup panjang, minimal satu jam. Dia berencana pulang sekitar pukul sembil