Tasya benar-benar kesal, dan dia marah sekarang, emosinya sudah sampai di ubun-ubun. Radhika sudah sangat keterlaluan. Bisa-bisanya dia berbuat seenaknya seperti itu. Lihat saja, Tasya akan memberi perhitungan padanya.
Tasya kini berdiri tepat di depan pintu ruangan Radhika, dia diantar oleh Yoga. Tadi Yoga datang ke playgroup dan langsung membawanya kemari setelah Tasya berbicara dengan Ilham─pemilik playgroup tempatnya bekerja. Sebenarnya saat dalam perjalanan ke sini Tasya ingin sekali memarahi Yoga. Tapi ia urungkan, karena dalang dari masalahnya ini adalah si kutu kupret, Radhika Putra Prawira Sableng.
Yoga mengetuk pintu lalu membawa Tasya masuk ke ruangan Radhika.
"Pak Dhika, Tasya sudah sampai, saya pamit." Yoga keluar dari ruangan setelah mendapat anggukan dari Radhika.
Tasya menatap Radhika tajam. Sedangkan Radhika hanya meliriknya sekilas kemudian kembali fokus pada pekerjaannya, dia seakan tidak peduli dengan kehadiran Tasya. Hal itu membuat kekesalan Tasya meningkat, amarahnya sudah sampai di ubun-ubun dan dia siap meledak.
Tasya berjalan ke arah meja Radhika. Dia menggebrak meja dengan keras. Sehingga membuat lengannya terasa sakit. Namun, Tasya menahannya. Dia sedang marah sekarang, jadi tidak boleh menunjukkannya.
"Lo bener-bener keterlaluan ya." Tasya sudah tidak peduli lagi jika di cap tidak sopan. Yang jelas dia ingin meluapkan emosi yang dia tahan sedari tadi. Bisa-bisanya si Sableng membuatnya kehilangan pekerjaan. Benar-benar minta digantung di tiang listrik. “Jelasin, apa maksudnya!”
Radhika masih sibuk dengan berkas-berkas yang ada di mejanya. Tasya seolah-olah tembus pandang. Radhika sudah gila, dia sepertinya ingin menguji kesabarannya.
Tasya mencondongkan tubuhnya ke arah Radhika, lalu menarik bolpoin dari tangannya. “Gue lagi ngomong sama lo, Wira Sableng!”
Radhika mengerutkan kening. “Wira Sableng?” tanyanya.
“Iya, lo-” Tasya mengacungkan jari telunjuknya ke wajah Radhika. “-Wira Sableng!”
Radhika menghela napas, lalu memijat keningnya. “Anindira, ayo kita selesaikan ini dengan cepat.”
“Makannya, jelasin!” Tasya melipat tangannya di depan dada.
Radhika mengusap wajahnya. Sepertinya ini bukan pertarungan yang mudah. "Kita udah bahas ini kemarin."
“Gue kan udah nolak.”
“Saya udah bilang, itu bukan negosiasi.”
Dasar sinting! Tasya mengepalkan kedua telapak tangannya. Ingin sekali ia meninju wajah Radhika dan membuatnya babak belur.
"Gue enggak peduli, gue tetap nolak." Tasya berbalik, dia hendak pergi dari ruangan ini.
"Anindira, kamu enggak akan bisa nolak. Kamu mau jadi pengangguran?"
"Denger ya, gue enggak sudi kerja sama lo. Ogah!" Tasya berjalan keluar dengan perasaan kesal. Sumpah, Tasya ingin membeli roket untuk si Radhika kutu kupret dan mengirmnya ke planet Mars.
Sedangkan Radhika hanya tersenyum miring. "Kita lihat aja," ucapnya entah pada siapa.
Tasya menutup pintu, dia bersandar pada pintu tersebut. Dia menghela napas untuk meredakan emosinya. Jika di pikir-pikir setelah bertemu Radhika dia jadi sering menghela napas. Ini semua karena dia kesal dan stress menghadapi spesies langka yang harus segera dibimbing ke jalan yang benar. Agar kedamaian segera kembali ke pelukannya.
Tadi pagi, saat Tasya sampai di playgroup, rekan-rekan pengajarnya tiba-tiba memeluknya dan menjabat tangannya. Dia yang awalnya tidak mengerti bertanya pada mereka, namun mereka bilang sebaiknya Tasya mendengarnya langsung dari Ilham. Jadi Tasya segera pergi ke ruangan Ilham.
Ilham bilang, Yoga datang menemuinya dan memintanya untuk memecat Tasya karena perusahaan mereka membutuhkannya. Yoga juga bilang mereka sudah menyiapkan pengganti Tasya. Dia juga bilang kalau pengganti Tasya akan digaji oleh mereka.
Awalnya Ilham bilang dia tidak mau melakukannya. Karena dia tidak memiliki alasan untuk memecat Tasya, karena Tasya bekerja dengan sangat baik.
Namun Yoga meyakinkannya bahwa pekerjaan Tasya akan lebih baik di sana, dia juga bilang bahwa yang meminta adalah Radhika─CEO Zero One Corp., oleh sebab itu pada akhirnya Ilham menyetujui permintaan Yoga. Dengan kesepakatan Tasya harus mendapat pekerjaan yang lebih baik dari pekerjaannya sekarang.
Tasya menghela napas. Sekarang dia menjadi seorang pengangguran. Tasya pasti akan merindukan murid-muridnya di playgroup, dia juga baru ingat kalau dia belum berpamitan pada mereka. Pasti akan sangat sulit berpisah dengan mereka. Karena Tasya menyayangi mereka.
Walau setiap tahun muridnya selalu berganti-ganti karena mereka harus melanjutkan sekolahnya ke tingkat yang lebih tinggi, tapi tetap saja semua murid-murid yang pernah ia asuh adalah anak-anak kesayangannya dan dia selalu merasa sedih setiap kali harus berpisah dengan satu persatu dari mereka.
Tasya segera tersadar, tidak seharusnya dia melamun di sini. Untung saja tidak ada orang yang melihatnya. Dia harus segera meninggalkan gedung ini. Sebelum dia melihat batang hidung si Sableng, takutnya dia kelepasan memukul wajah yang tampan tapi kaya papan itu. Walaupun dia sebenarnya dia ingin. Yang terpenting serang bukan itu, dia harus segera mencari solusi untuk masalahnya sekarang. Tasya tidak ingin membuang sisa tenaganya.
Sesampainya di luar, dia segera mengirimkan pesan ke Raka, dia menanyakan kapan dia selesai bekerja. Raka bilang dia akan selesai pukul tujuh malam dan Tasya meminta Raka menjemputnya di rumah setelah ia selesai bekerja.
Sekarang Tasya memutuskan untuk pulang ke rumahnya.
***
"Kenapa lagi?" tanya Raka.
Mereka kini telah selesai makan. Tadi sewaktu Raka menjemputnya, Tasya bilang ada hal yang ingin dibicarakan, namun dia juga bilang selesai makan baru mereka bicara, agar tidak merusak selera makannya.
Tasya meminum sodanya. “Gue dipecat. Gila enggak tuh."
"Hah? Kok bisa?" Raka terkejut. Selama ini bukankah Tasya bekerja dengan baik. Dia juga tidak pernah bercerita kalau dia punya masalah dengan pekerjaannya.
"Kelakuan siapa lagi kalau bukan si Sableng!" Tasya melemparkan punggungnya ke sandaran kursi.
Raka mengerutkan keningnya. "Dia kenapa?"
Tasya menceritakan semuanya. Mulai dari Radhika yang tiba-tiba memintanya menemuinya, pertemuannya hari jumat lalu saat Radhika memintanya bekerja di perusahaannya dan kejadian tadi pagi mengenai pemecantannya. Tetapi dia tidak menceritakan soal Radhika yang tiba-tiba memeluknya, karena itu cukup memalukan.
"Gue kok enggak ngerti ya. Kata lo dia enggak mau ketemu lagi. Kok aneh sih?"
Raka ingat sekitar dua minggu lalu, sewaktu mereka ke taman bermain. Tasya bilang Radhika tidak ingin bertemu dengannya. Bahkan sempat menghinanya sehingga Tasya menamparnya.
“Bukan lo aja, gue juga kagak ngarti! Sebenernya apa sih masalah hidup itu orang? Kerjanya bikin gue pusing tujuh keliling, delapan tanjakan, dua tikungan."
Raka hanya diam. Dia tidak mengerti dengan situasi Tasya sekarang. Dia juga tidak tau apa yang sedang Radhika rencanakan. Ini sangat membingungkan. Entah karena otaknya yang lambat, atau karena masalah ini memang sulit dimengerti.
"Sekarang gue pusing. Gue udah jadi pengangguran, dan sekarang nyari kerja tuh enggak gampang. Bisa-bisanya tuh makhluk planet lain, mainin hidup gue." Tasya menghela napas.
Tasya sangat bingung sekarang. Jika dia melamar kerja sebagai seorang akuntan akan sangat sulit karena dia tidak memiliki pengalaman kerja di bidang itu. Jika dia melamar sebagai guru di playgroup lain juga akan sulit walaupun pengalamannya sudah lima tahun, tapi bagaimanapun juga dia adalah lulusan akuntansi.
"Apa gue ngomong aja ya, ke Om Ilham?" tanya Raka.
"Enggak usah." Tasya menggeleng."Gue nyari kerjaan lain aja. Gila, gue udah sering banget ngerepotin kalian."
Tasya tidak enak hati jika terus merepotkan mereka. Lagipula ini adalah masalahnya sendiri dan dia yang harus menyelesaikannya.
Raka tau, jika Tasya tidak ingin dibantah dan dia tidak suka merepotkan orang lain jika berkaitan dengan hal-hal seperti ini. Dulu saja saat ia menawarkan bekerja di playgroup milik Ilham, dia menolak. Namun karena dulu keadaan benar-benar mendesak akhirnya dia mau menerima bantuannya.
"Okelah. Kalau lo butuh bantuan, lo bilang aja. Enggak usah ngerasa enggak enak." Raka lebih memilih mengalah. Dia akan selalu mendukung keputusannya. Dan dia juga akan menjadi orang pertama yang akan membantunya jika dia kesulitan.
Tasya mengangguk lalu tersenyum. "Oke, siap."
Esok harinya, Tasya merasa pusing sekali ketika dia bangun tidur. Semalam dia begadang sambil maraton drama sampai jam lima pagi. Benar-benar hidup seperti seorang pengangguran.Hari ini adalah hari keduanya sebagai seorang pengangguran. Ayahnya sudah berangkat ke kedai beberapa jam yang lalu. Tapi sebelumnya dia memarahi Tasya terlebih dahulu. Karena tadi dia sulit dibangunkan. Setelah mendapat nasihat dari ayahnya, Tasya kembali tidur dan baru bangun beberapa menit yang lalu.Tasyamenghela napaslalu membuka kulkas. Dia mengambil apel yang ada dikulkas lalu memakannya. Ayahnya belum tau kalau dia sudah dipecat. Yang ayahnya tau hari ini dia sedang cuti, karena semalam Rakamembantunya berbicara pada ayahnyabahwa dia akan cuti beberapa hari.Tasyapergi ke kamarnya untuk mengambil laptopnya, setelah itu dia pergi ke ruang tengah. Dia menyimpan laptopnya di meja lalu duduk bersila di karpet. Dia akan mencari pekerjaan di webs
Radhika melirik Tasya, lalu tersenyum. Dan kini Tasya merasa sedang bermimpi buruk. Melihat raut wajah Radhika seperti itu, pasti dia merencanakan hal busuk di kepalanya.“Apa Om mengizinkan Tasya bekerja di kantor saya?”Tasya ingin sekali menyumpal mulut Radhika dengan kain lap yang tadi dia gunakan untuk mengelap meja. Tasya melirik ayahnya, dia ingin tahu reaksi ayahnya. Namun, ayahnya hanya diam, tidak ada ekspresi yang berarti, jadi Tasya tidak tahu apa yang sedang ayahnya pikirkan.“Tasya udah setuju.” Radhika tersenyum pada Tasya. Sedangkan Tasya hanya melongo. “Hanya tinggal minta izin dari Om Robi. Tapi, kalau misalnya om Robi keberatan, enggak apa-apa. Saya enggak akan maksa.”Ternyata Radhika pandai berakting. Seharusnya dia bermain film saja. Selain pintar berakting dia juga pintar mengarang cerita. Seharusnya dia jadi penulis skenario atau penulis novel saja, daripada mengganggu kedamaian hidupnya. Sekaran
"Aca, ayo makan." Tasya mendengar ayahnya berteriak dari luar kamarnya."Iya, Yah. Bentar lagi turun." Tasya meletakkan sisir di meja riasnya, dia baru selesai mandi. Segera saja dia keluar dari kamarnya.Saat sudah hampir sampai ke ruang makan, Tasya mencium aroma masakan yang sangat harum. Ayahnya benar-benar sangat pintar memasak, tidak heran jika kedai milik ayahnya selalu ramai."Ayah bawa bahan makanan dari kedai, kalau dimasak besok rasanya pasti kurang enak. Jadi inilah mahakarya, Ayah." Ayah Tasya membuka tutup panci, dan seketika aroma yang sungguh enak memenuhi indra penciuman Tasya."Ini pasti enak." Tasya segera mengambil piring dan mengisinya dengan nasi."Iya dong. Kan, Ayah masaknya pakai cinta." Ayah Tasya meletakan beberapa potong daging ke piring Tasya. "Awas panas."Tasya meniup-niup makanannya dan mulai mengunyahnya. Ini benar-benar enak, memang masakan rumah itu selalu menjadi yang terbaik, apalagi jika orang yang
Sekarang sudah hari sabtu. Setelah makan malam dengan ayahnya semalam, Tasya langsung menghubungi Radhika, memintanya untuk bertemu. Setelah mendapat balasan dari Radhika, Tasyamalah menjadi tidak isa tidur. Dia ragu dengan keputusannya.Tasya menghela napas. Diakini menunggu Radhikadi sebuah kafedi pusat kota. Radhikabilang akan datang sekitar pukul sebelas, itu berarti seharusnya tidak lama lagi dia akan sampai. Benar saja, kini Tasya bisa melihat Radhika sedang berjalan ke arahnya.Tasyaheran, setiap kali dia meihat Radhika, dia selalu mengenakan pakaian formal bahkan di hari libur seperti ini. Dia berpikir apakah jadwal Radhikasangat padat sehingga membuatnya harus bertemu klien di hari libur juga."Jadi?""Eh itu.. enggak mau pesen dulu?" Tasyamenggeser menu kearah Radhika.Radhika terlalu to the point, Tasya kan belum siap."Enggak.""Oh, oke." Tasyam
“Saya bisa memberi tawaran yang menarik.”Tasya menyipitkan matanya. “Apa?”“Gaji dua kali lipat dari tempat kerja kamu sebelumnya.”“Dua kali lipat?” tanya Tasya terkejut. “Tapi bukannya kamu merasa aku enggak kompeten? Kamu bilang tadi enggak mau ngambil risiko.”“Memang, itulah sebabnya saya ngasih kamu tugas khusus, dan itu sangat gampang.”“Ini kamu lagi ngehina aku atau apa sih?” tanya Tasya kesal.“Dengar ya, Anindira. Saya mempekerjakan orang sesuai dengan kemampuannya. Kalau kamu bisa membuktikan kemampuan kamu yang lain, saya akan kasih tugas yang sesuai dengan kemampuan kamu itu.”Tasya terdiam. Benar juga sih yang dikatakan Radhika. Walau dia tidak tahu tugas macam apa yang akan diberikan Radhika, tapi dia setuju dengan pemikirannya. Dengan pengalamannya sekarang yang masih nol, entah kontribusi apa yang bisa ia berikan untuk pe
Tasyamenyentuh kening Radhika. Demamnya sudah mulai reda. Tadi dia sangat panik saat menemukan Radhikaduduk bersandar di bawah showeryang masih menyala. Wajahnya sangat pucat, sepertinya dia terlalu lama duduk di sana. Kini Radhikasedang tidur, sudah dari satu jam yang lalu setelah Tasyamemaksanya untuk makan lalu minum obat.Hari ini Tasya benar-benar memasak. Dia membuatkan bubur untuk Radhika. Dengan berbekal resep yang ia temukan di internet. Rasanya tidak buruk, bahkan bisa dibilang enak. Radhika juga tidak protes mengenai bubur buatannya. Tasya sekarang bisa sedikit berbangga diri. Akhirnya dia bisa membuat masakan dengan baik, walau hanya bubur. Setidaknya ada kemajuan.Tasyamenyentuh rambut milik Radhika, rambutnya sudah kering. Tasyaberharap Radhikatidak sakit kepala, karena dia tadi tidur dalam kondisi rambut yang masih basah. Karena di rumah ini tidak ada pengering rambut jadi Tasyahanya membantu
Keesokan harinya ternyata tidak sesuai dengan apa yang Tasya rencanakan. Padahal dia bangun subuh, lalu tidur lagi karena merasa mengantuk. Dan berakhir bangun pukul sembilan pagi. Jadi pagi ini dia belum mandi, dia ingin cepat-cepat pulang. Tapi saat dia keluar hendak pulang dia berpapasan dengan Radhika dan dia menyuruhnya sarapan terlebih dahulu.Jadi di sinilah dia sekarang, duduk di ruang makan sambil menyantap pancakesendirian. Dia tidak tau Radhikapergi ke mana. Setelah membawanya kemari, dia langsung pergi begitu saja.Pancake ini lumayan enak, dia tidak tau apakah Radhika membuatnya sendiri atau dia membelinya. Tapi menurutnya, Radhika pasti membelinya, karena dia merasa kemampuan masak Radhika pasti lebih buruk darinya.Setelah selesai makan, dia segera mencuci piring dan gelas yang tadi dia gunakan. Dia akan segera pergi setelah membereskannya."Abang?"Suara itu membuat Tasyamenghentikan pekerjaannya.
Radhikamenghela napas. Ini masih pagi dan Senjasudah merecokinya dengan mengirimbeberapa pesan diwaktu yang bersamaan. Sebenarnya inti dari pesan itu hanya menanyakan kondisi Radhikasaat ini. Tapi Senjamemberikannya banyak pertanyaan sehingga membuat Radhikamalas untuk membalas pesan tersebut. Tapi jika tidak dibalas Senjapasti akan terus menerornya.Abangudah sehat danlagi kerjasekarang.Itulah pesan yang Radhikakirimkan pada Senja. Sebenarnya Radhikatahu kalau Senjamelakukan itu karena peduli padanya. Dan Radhikasangat bersyukur memiliki Senjadisisinya. Tapi terkadang dia merasa tidak terbiasa mendapatkan perhatian seperti itu, hal itulah yang membuatnya terkadang kesal saat seseorang terlalu memberinya perhatian.Kemarin Radhikaterkena flutapi tidak terlalu parah. Namun Senja&nbs
Minyak di wajan sepertinya sudah panas, karena sudah mulai mengeluarkan sedikit asap. Dengan perlahan Tasya menuangkan telur yang sudah ia beri garam dan potongan daun bawang ke dalam wajan tadi. Memasak telur seperti ini sangat mudah ternyata, dia juga sudah memasak nasi. Tadinya dia ingin membuat nasi goreng, tetapi dulu ibunya pernah bilang kalau membuat nasi goreng dari nasi yang masih panas itu pamali. Sebenarnya Tasya percaya, tidak percaya sih. Namun, saat dia browsing, hal itu memang tidak akan bagus, karena nasinya nanti akan menggumpal. Mungkin maksud dari pamaliyang diucapkan mendiang ibunya, mengarah ke arah situ. Sepertinya sudah saatnya membalik telur yang sedang ia goreng, Tasya mengambil spatula yang tidak jauh dari kompor. Perlahan-lahan Tasya mengangkat telur dalam wajan, namun dia merasa kesulitan. Tasya menghela napas, dengan sekali gerakan dia membalik telur tersebut, namun pada akhirnya telur itu tidak terbalik dengan sem
“Kamu kenapa? Pucat banget, kan aku bilang apa. Jangan telat makan. Sakit, kan, jadinya. Udah kita balik lagi aja.”Ucapan Tasya membuatnya seperti tersedot lagi ke dunia nyata. Napasnya terengah-engah, tubuhnya terasa lemas sekali.Radhika bisa melihat pintu lift terbuka. Kedua wanita tadi keluar. Sedangkan Tasya menekan angka lima, mereka harus kembali lagi ke kamar.“Tahan sebentar, ya.” Tasya menggandeng lengan Radhika. “Sebentar lagi sampai.”Radhika mengangguk. Dia menarik napas panjang, lalu membuangnya perlahan. Dia menyandarkan punggungnya dan mencoba mengusir ingatan buruk itu.“Tahan, ya.” Tasya mengelus-elus punggung Radhika. Dan Radhika merasa sedikit tenang karena sentuhan itu.Radhika merasa waktu berlalu begitu lamban. Walau perasaannya sudah mulai tenang, tetapi ingatan buruk masih berputar-putar di kepalanya. Membuatnya, merasa tersiksa.“Udah dibilangin makan itu
“Malam ini saya akan pulang. Kamu sebagai ketua tim Alpha harus menyelesaikan masalah ini sebelum saya pulang. Karena besok, kita sudah mulai kerja keras lagi. Kita cuman punya waktu dua minggu untuk cari solusi.”“Oke, Pak. Saya akan bicara sama Taufik. Saya yakin, Taufik ngelakuin itu pasti ada alasannya. Taufik lagi diamanin sama anak-anak, Pak. Lagi usaha ngorek-ngorek informasi.”“Oke, saya percaya sama kamu. Saya tutup ya.”Radhika menyimpan ponselnya di meja. Dia lelah sekali. Rapatnya tadi siang tidak sepenuhnya bisa dibilang lancar. Karena, dewan direksi masih menekannya. Bahkan mereka mengancam, jika dalam dua minggu tidak mendapat memberikan solusi, maka Radhika harus melepaskan jabatannya. Pantas saja proyek ini sebelumnya lancar-lancar saja. Hambatannya hanya di awal saja. Ternyata mereka menyimpan kejutan di akhir.Waktu dua minggu, adalah waktu yang singkat. Jelas tidak mungkin mengubah gamep
“Buang itu, Tasya! Saya enggak mau liat!”Bingung, terkejut dan takut. Itulah yang Tasya rasakan sekarang. Dia tidak tahu, mengapa Radhika bereaksi berlebihan seperti itu. Tasya melirik ke arah Radhika. Sepertinya ada yang tidak beres. Wajah Radhika pucat dan tangannya bergetar. Apakah dia … takut?“Dhika.” Tasya menyentuh lengan Radhika, namun dia tidak merespons. “Kamu enggak apa-apa?” Lalu dia mencoba menarik lengannya, namun tetap tidak berhasil.Tangan Radhika mulai memegang kepalanya, hal itu membuat Tasya semakin panik. Mungkin mainan itu ada kaitannya dengan kasus penculikan lima belas tahun yang lalu. Ya, itu masuk akal. Karena saat diculik, Radhika masih anak-anak. Bisa jadi mainan ini dia bawa saat diculik. Dengan perlahan, Tasya menarik lengan Radhika, lalu memeluknya dan berbisik. “Ada aku di sini. Jangan takut.” Dia mengelus punggung Radhika, berharap sentuhannya bisa membuat Radh
Udara di Surabaya lebih panas daripada di Bandung. Namun, tidak sepanas di Jakarta. Tasya baru saja menyelesaikan sarapannya. Sekarang masih pukul delapan lebih. Sebelum kembali ke kamarnya, dia berencana untuk berkeliling di sekitaran hotel. Ini adalah pertama kalinya dia datang ke Surabaya, jadi dia tidak mungkin berkeliling jauh. Lagi pula, dia datang ke sini untuk bekerja, bukan untuk wisata.Tadinya Tasya ingin mengajak Radhika keluar, mencari udara segar, supaya dia bisa sedikit lebih rileks. Namun, chat darinya tidak dibalas. Mereka juga belum bertemu, sejak berpisah kemarin. Sepertinya Radhika sangat sibuk, Tasya tidak ingin mengganggunya.“Mbak.” Tasya terkejut saat bahunya tiba-tiba ditepuk. “Maaf, saya bikin kaget. Ini ada titipan untuk Pak Radhika, kurirnya bilang harus segera dibuka.”Tasya mengerutkan kening. Mengapa tiba-tiba ada kiriman untuk Radhika? Dan kenapa laki-laki di hadapannya tahu kalau dia adalah kenalan Radhika
Ada masalah besar. Dan masalah itu terjadi di kantornya. Ternyata ini masalah yang membuat Radhika kemarin buru-buru pergi. Sekarang situasi di kantor sangat kacau.Dari yang ia dengar, ada dua masalah yang datang bersamaan. Pertama sebuah perusahaan star up, baru saja merilis game yang sangat mirip, hampir 95% dari game Fire and Gun. Kedua, Athena’s diserang cheater lagi, dan sekarang lebih parah dari sebelumnya, karena memengaruhi keseimbangan dalam game, sehingga merugikan pemain lain.Diduga salah satu anggota tim Alpha ada yang membocorkan data. Sampai sekarang sepertinya kasus itu sedang diselidiki secara rahasia oleh Yoga, itu yang dikatakan oleh RadhikaTasya bingung, ingin membantu, tetapi tidak tahu harus melakukan apa. Apalagi bulan depan game ini sudah harus rilis. Dia hanya berharap semua akan baik-baik saja, dan Radhika bisa menemukan jalan keluarnya.Tasya menghela napas dan menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi.
Tasya mengaduk-aduk minuman cola dengan sedotan. Dia tidak mengerti dengan situasinya sekarang. Awalnya dia hanya ingin mengantar Raka membeli hadiah, lalu makan dan pulang. Tetapi sekarang, entah apa yang akan mereka lakukan setelah keluar dari sini.Setelah menutup telepon, Radhika memintanya untuk menunggu sampai dia sampai. Jadi Tasya mengajak Raka untuk makan terlebih dahulu. Sekarang, Radhika dan Senja sudah bergabung bersama mereka.“Jadi kalian habis ngapain?” tanya Senja pada Raka.Raka yang sedang fokus pada ponselnya, kini menatap ke arah Senja. “Oh, tadi kita abis beli hadiah buat ibu saya.”“Ibu kamu ulang tahun?”Raka menggeleng. “Bukan, cuman lagi ingin kasih aja.”“Oh gitu. Aku juga jadi pengin kasih hadiah buat mama sama papa.” Senja berdiri dari kursinya. “Bang minta kartu.” Gadis itu mengulurkan tangannya ke arah Radhika.Radhika mengambil dompe
Tasya berguling di atas kasur nya. Sekarang dia sudah berada di rumahnya dan bersiap untuk tidur. Soal permintaan Radhika tadi, jelas saja dia menolaknya. Tidak ada alasan untuk bermalam di sana. Terlebih lagi, hal itu tidak terlalu baik. Mengingat hubungan mereka sekarang, walaupun sebenarnya masih tidak jelas, tetapi tetap saja mereka adalah sepasang kekasih.Gadis itu mengecek jam di layar ponselnya. Sudah satu jam lebih, tetapi Radhika belum mengabarinya. Padahal laki-laki itu sendiri yang mengatakan jika dirinya sudah sampai, maka dia akan memberi kabar. Jarak rumah mereka juga tidak terlalu jauh, bisa ditempuh kurang lebih empat puluh menit. Lalulintas juga tidak terlalu ramai, jadi Radhika tidak mungkin terjebak macet.“Apa gue tanya aja ya?” Tasya buru-buru menggeleng. “Enggak, enggak … kalau kayak gini, nanti gue dikira nungguin kabar dari dia.”Tasya menyimpan ponselnya lagi di samping kepalanya, lalu menatap langit-langi
Tasya sedang duduk di ruang tengah, tangannya sibuk memencet tombol remote TV, mencari saluran yang menurutnya menarik. Radhika sepertinya berlangganan TV kabel, karena banyak sekali salurannya. Tasya yang terbiasa menonton saluran lokal menjadi bingung sendiri.Sebenarnya Tasya juga tidak terlalu ingin menonton, dia juga sudah jarang menonton televisi. Hanya saja, dia cukup bosan menunggu Radhika yang sedang mencuci piring.Akhirnya Tasya menyerah, dia menyimpan remote TV di meja. Dia membiarkan TV memutar acara binatang yang hidup di alam liar. Tasya memperbaiki posisi duduknya, lalu mengambil bantal dan menaruhnya di atas paha.“Kamu suka acara kayak gini?”Tasya melirik ke arah Radhika yang kini duduk di sampingnya. “Enggak juga, cuman bingung aja.”“Mau coba nonton film?”Tasya berpikir sejenak. Menonton akan memakan waktu yang cukup panjang, minimal satu jam. Dia berencana pulang sekitar pukul sembil