Esok harinya, Tasya merasa pusing sekali ketika dia bangun tidur. Semalam dia begadang sambil maraton drama sampai jam lima pagi. Benar-benar hidup seperti seorang pengangguran.
Hari ini adalah hari keduanya sebagai seorang pengangguran. Ayahnya sudah berangkat ke kedai beberapa jam yang lalu. Tapi sebelumnya dia memarahi Tasya terlebih dahulu. Karena tadi dia sulit dibangunkan. Setelah mendapat nasihat dari ayahnya, Tasya kembali tidur dan baru bangun beberapa menit yang lalu.
Tasya menghela napas lalu membuka kulkas. Dia mengambil apel yang ada di kulkas lalu memakannya. Ayahnya belum tau kalau dia sudah dipecat. Yang ayahnya tau hari ini dia sedang cuti, karena semalam Raka membantunya berbicara pada ayahnya bahwa dia akan cuti beberapa hari.
Tasya pergi ke kamarnya untuk mengambil laptopnya, setelah itu dia pergi ke ruang tengah. Dia menyimpan laptopnya di meja lalu duduk bersila di karpet. Dia akan mencari pekerjaan di website-website yang memberikan info lowongan kerja. Dia akan memasukan lamaran perkerjaannya sebanyak mungkin karena dia harus segera mendapat pekerjaan lagi.
Selama kurang lebih dua jam dia berkutat dengan laptopnya, dia sudah memasukan lamarannya kebeberapa perusahaan yang menurutnya memiliki peluang yang cukup besar untuk menerimanya. Dia melirik jam laptopnya. Sekarang sudah pukul satu siang dan dia memutuskan untuk pergi ke kedai ayahnya.
Butuh waktu sekitar dua puluh menit untuk menuju ke sana jadi Tasya pergi menggunakan angkutan kota. Setelah Tasya sampai di kedai ayahnya, di segera mengunjungi dapur untuk bertemu dengan ayahnya.
"Eh, ada anak ayah yang paling cantik. Kenapa ke sini?" Ayah Tasya sedang memasak jadi dia hanya melirik sekilas ke arah Tasya.
"Di rumah bosen, jadi Aca ke sini buat bantu-bantu." Tasya mengamati ayahnya yang sedang memasak. Dia sangat senang saat melihatnya, menurutnya ayahnya sangat keren saat memasak.
"Baru aja cuti, tapi udah bosen. Main sana, jarang-jarang kan kamu bisa cuti."
Tasya hanya tersenyum kaku. Dia merasa bersalah telah membohongi ayahnya. Tapi dia juga belum siap untuk memberitahunya. Semoga saja dia cepat mendapat pekerjaan.
"Cutinya kan masih lama, jadi sekarang...." Tasya mengambil apron dan memakainya. "Aku bantu di depan."
Sang ayah hanya memangguk dan tersenyum.
***
Hari ini Radhika cukup sibuk, karena dalam waktu dekat Zero One akan merilis game baru. Radhika melonggarkan sedikit sampul dasinya lalu membuka kancing kemeja teratasnya. Dia merasa sangat lelah. Tapi untunglah semuanya masih lancar-lancar saja.
Tidak pernah terbayangkan sebelumnya jika dia akan memimpin perusahaan seperti ini. Dulu ayahnya bilang dia harus belajar bisnis dan harus mulai memahami perkembangan game di dunia karena suatu saat dia akan menggantikan ayahnya, tapi Radhika selalu menolaknya, karena dia tidak tertarik sama sekali.
Dulu cita-citanya adalah menjadi seorang arsitek. Dia ingin membuat rancangan rumah-rumah yang minimalis dan ekonomis untuk orang-orang yang memiliki keterbatasan dana. Dan ketika kecil dia memiliki mimpi, dia ingin membuat sebuah apartemen yang bisa dihuni oleh orang-orang yang tidak punya tempat tinggal.
Saat kuliah dulu bahkan sudah merancang apartemen itu, hanya saja belum selesai. Dan sepertinya ia harus melupakan mimpinya, karena dia sekarang harus mengurus perusahaan ini. Ditambah lagi dia harus mengobati fobianya.
Radhika jadi ingat, dia harus segera membuat Tasya bekerja disini. Dia berencana akan mengunjungi Om Robi. Dia melirik jam di tangannya. Sekarang baru setengah tujuh malam. Jadi dia masih sempat untuk mengunjungi kedainya.
Siang tadi, Radhika meminta Yoga untuk mencari informasi mengenai Om Robi. Dan katanya dia membuka sebuah kedai tak jauh dari rumah mereka. Kedai itu tutup pukul sebelas malam, namun Om Robi selalu pulang lebih awal, Om Robi biasa pulang sekitar pukul delapan. Itu berarti sekarang Om Robi masih ada di kedai dan Radhika harus segera ke sana.
Radhika tiba di depan kedai Om Robi, setelah berkendara sekitar empatpuluh menit. Saat dia masuk, dia melihat Tasya sedang melayani pembeli. Dan itu membuatnya menyeringai. Ini akan mudah.
"Selamat datang, ada yang bisa saya bantu?" Tiba-tiba seorang pelayan wanita menghampirinya. Bisa diperkirakan dia seumuran Senja.
"Saya ingin bertemu Om Robi," jawab Radhika.
"Eh … bentar, bentar.” Pelayan wanita itu melihat Radhika dengan mata melotot. “Kamu … kamu, kan? Ya ampun, beneran Radhika dong." Dia mengambil ponselnya dari saku celananya. "Aku main F.I.F.E loh!"
Radhika hanya mengangguk. Dia harus segera menyingkir dari hadapan gadis ini. Gadis di depannya terlalu banyak bicara, dan Radhika tidak menyukainya. Radhika harus mengantisipasi, sebelum gadis ini menyentuhnya. Mau disengaja atau tidak, itu akan menjadi masalah besar.
Radhika mengedarkan pandangannya, dan bingo! Dia melihat Tasya sedang menatap ke arahnya dengan raut wajah terkejut. Radhika menyeringai dan segera menghampiri Tasya. Dia mengabaikan pelayan wanita yang terus mongoceh tentang game yang dibuatnya.
Tasya berjalan terburu-buru lalu menghadang langkahnya. Tasya bahkan, mengusirnya. "Keluar!" Tasya melotot lalu mendorong dada Radhika.
Radhika tersenyum miring. "Saya ke sini mau bertemu Om Robi, bukan kamu."
"Radhika, jangan macem-macem!" Tasya terus berusaha mendorong Radhika, namun tidak berhasil.
“Kita jadi tontonan sekarang.” Radhika berbisik. Tasya menjauhkan tubuhnya saat sadar kalau mereka terlalu dekat dan membuat pengunjung kedai ayahnya super duper kepo.
"Kamu mau ngadu, kan? Awas aja, enggak akan aku biarin. Pulang sana!" Tasya menghela napas frustrasi. Dan dia merasa sedang dalam bahaya sekarang. Bagaimanapun juga dia harus segera menyingkirkan si sableng ini dari hadapannya. Sebelum ketahuan oleh ayahnya.
Radhika tersenyum, jadi Tasya berniat menyembunyikan masalah ini dari ayahnya. Radhika maju satu langkah, lalu mencondongkan tubuhnya kearah Tasya dan berbisik. "Itu memang maksud saya datang ke sini." Dia menegakkan lagi tubuhnya dan tersenyum penuh kemenangan.
“Kamu-!” Tasya menghentikan ucapannya karena dia tidak tahu apa yang harus dia ucapkan. Dia benar-benar panik sekarang. Si Sableng ini memang hobi membuatnya emosi jiwa dan raga.
"Dhika?"
Tasya dan Radhika sama-sama melihat ke sumber suara, ayah Tasya keluar dari arah dapur dan menghampiri mereka. Radhika tersenyum padanya, sedangkan Tasya sangat panik sekarang.
"Ayo duduk dulu." Ayah Tasya membawa Radhika ke bangku yang kosong. "Aldi, ke dapur dulu. Siapin makanan."
Tasya hanya bisa melongo melihat si Sableng itu tersenyum mengejek saat melewatinya. Emosi sudah ada di ubun-ubun, namun Tasya tidak bisa melepaskannya. Sekarang keadaannya terjepit, jadi dia tidak boleh gegabah. Dia harus sabar menghadapi kesablengan Radhika.
Akhirnya Tasya menyusul Radhika dan ayahnya yang pergi ke kursi ketiga dekat jendela. Tasya duduk di sebelah Radhika, sedangkan ayahnya duduk di seberang Radhika.
"Jadi ada apa? Kenapa repot-repot ke sini?" tanya ayah Tasya.
"Saya enggak sengaja lewat, Om."
Tasya memutar bola matanya. Bohong! Itu pasti hanya akal-akalannya saja. Sepertinya dia sengaja mencari alamat kedai ayahnya untuk mencari masalah dengannya. Kemperet memang bocah ini!
"Oh gitu." Ayah Tasya tersenyum. "Sering-sering mampir, walau makanan di sini biasa aja, bukan makanan restoran bintang lima. Tapi, dijamin rasanya enak."
"Iya Om, Tasya udah pernah cerita." Radhika melirik Tasya yang sedang melotot padanya.
Apanya yang sudah cerita? Tasya tidak sudi menceritakan kehidupan pribadinya pada makhluk bernama Radhika.
"Om harap, Aca enggak melebih-lebihkan." Ayah Tasya tersenyum. "Tunggu ya, Om bantu dulu Andi di dapur." Ayah Tasya segera ke dapur setelah Radhika mengangguk.
Inilah kesempatannya untuk mengancam Radhika. Setelah memastikan ayahnya pergi, Tasya menarik lengan Radhika agar mereka bisa bertatapan.
"Awas aja kalau kamu ngadu ke ayah." Tasya menatap tajam.
Radhika tersenyum miring. "Kamu enggak punya hak buat ngatur saya."
Tasya kesal setengah mati saat mendengar ucapan Radhika. Tapi tidak ada yang bisa dia lakukan selain bersabar. Tasya menghela napas. Jika dengan ancaman tidak mempan, maka Tasya harus menunjukkan ketidakberdayaannya.
"Dhika, please," pinta Tasya memelas. Persetan dengan harga dirinya. Dia tidak bisa membiarkan ayahnya tahu kalau dia sudah menjadi seorang pengangguran sekarang.
"Menurutlah."
Percakapan mereka terpotong karena ayah Tasya datang membawa makanan dibantu oleh Andi.
"Mudah-mudahan kamu suka."
"Terima kasih Om, maaf merepotkan."
"Eh, enggak … makan yang banyak." Ayah Tasya mengambilkan piring dan mengisinya dengan nasi lalu dia juga mengambil udang dan daging sapi.
Radhika menerima piring yang diberikan oleh ayah Tasya. Dia mengucapkan terima kasih, dan ayah Tasya mengangguk dan menyuruhnya untuk makan yang banyak. Masakan yang dibuat ayah Tasya benar-benar enak. Walau menunya sangat sederhana tapi dia menyukainya.
Tidak ada percakapan diantara mereka. Masing-masing fokus pada kegiatan makannya, sedangkan Tasya tidak berselera, dia makan dengan perlahan. Karena perasaannya tidak keruan sekarang. Radhika selesai menyantap makan malamnya, dan itu membuat Tasya panik.
“Terima kasih Om, ini enak," ucap Radhika, sudah lama sekali dia tidak memakan masakan Om Robi. Rasanya masih sama.
"Kalau gitu sering-sering ke sini."
Radhika mengangguk. "Omong-omong, saya ada hal yang mau didiskusikan sama Om.”
“Apa itu?”
Radhika melirik Tasya, lalu tersenyum. Dan kini Tasya merasa sedang bermimpi buruk. Melihat raut wajah Radhika seperti itu, pasti dia merencanakan hal busuk di kepalanya.
“Apa Om mengizinkan Tasya bekerja di kantor saya?”
Radhika melirik Tasya, lalu tersenyum. Dan kini Tasya merasa sedang bermimpi buruk. Melihat raut wajah Radhika seperti itu, pasti dia merencanakan hal busuk di kepalanya.“Apa Om mengizinkan Tasya bekerja di kantor saya?”Tasya ingin sekali menyumpal mulut Radhika dengan kain lap yang tadi dia gunakan untuk mengelap meja. Tasya melirik ayahnya, dia ingin tahu reaksi ayahnya. Namun, ayahnya hanya diam, tidak ada ekspresi yang berarti, jadi Tasya tidak tahu apa yang sedang ayahnya pikirkan.“Tasya udah setuju.” Radhika tersenyum pada Tasya. Sedangkan Tasya hanya melongo. “Hanya tinggal minta izin dari Om Robi. Tapi, kalau misalnya om Robi keberatan, enggak apa-apa. Saya enggak akan maksa.”Ternyata Radhika pandai berakting. Seharusnya dia bermain film saja. Selain pintar berakting dia juga pintar mengarang cerita. Seharusnya dia jadi penulis skenario atau penulis novel saja, daripada mengganggu kedamaian hidupnya. Sekaran
"Aca, ayo makan." Tasya mendengar ayahnya berteriak dari luar kamarnya."Iya, Yah. Bentar lagi turun." Tasya meletakkan sisir di meja riasnya, dia baru selesai mandi. Segera saja dia keluar dari kamarnya.Saat sudah hampir sampai ke ruang makan, Tasya mencium aroma masakan yang sangat harum. Ayahnya benar-benar sangat pintar memasak, tidak heran jika kedai milik ayahnya selalu ramai."Ayah bawa bahan makanan dari kedai, kalau dimasak besok rasanya pasti kurang enak. Jadi inilah mahakarya, Ayah." Ayah Tasya membuka tutup panci, dan seketika aroma yang sungguh enak memenuhi indra penciuman Tasya."Ini pasti enak." Tasya segera mengambil piring dan mengisinya dengan nasi."Iya dong. Kan, Ayah masaknya pakai cinta." Ayah Tasya meletakan beberapa potong daging ke piring Tasya. "Awas panas."Tasya meniup-niup makanannya dan mulai mengunyahnya. Ini benar-benar enak, memang masakan rumah itu selalu menjadi yang terbaik, apalagi jika orang yang
Sekarang sudah hari sabtu. Setelah makan malam dengan ayahnya semalam, Tasya langsung menghubungi Radhika, memintanya untuk bertemu. Setelah mendapat balasan dari Radhika, Tasyamalah menjadi tidak isa tidur. Dia ragu dengan keputusannya.Tasya menghela napas. Diakini menunggu Radhikadi sebuah kafedi pusat kota. Radhikabilang akan datang sekitar pukul sebelas, itu berarti seharusnya tidak lama lagi dia akan sampai. Benar saja, kini Tasya bisa melihat Radhika sedang berjalan ke arahnya.Tasyaheran, setiap kali dia meihat Radhika, dia selalu mengenakan pakaian formal bahkan di hari libur seperti ini. Dia berpikir apakah jadwal Radhikasangat padat sehingga membuatnya harus bertemu klien di hari libur juga."Jadi?""Eh itu.. enggak mau pesen dulu?" Tasyamenggeser menu kearah Radhika.Radhika terlalu to the point, Tasya kan belum siap."Enggak.""Oh, oke." Tasyam
“Saya bisa memberi tawaran yang menarik.”Tasya menyipitkan matanya. “Apa?”“Gaji dua kali lipat dari tempat kerja kamu sebelumnya.”“Dua kali lipat?” tanya Tasya terkejut. “Tapi bukannya kamu merasa aku enggak kompeten? Kamu bilang tadi enggak mau ngambil risiko.”“Memang, itulah sebabnya saya ngasih kamu tugas khusus, dan itu sangat gampang.”“Ini kamu lagi ngehina aku atau apa sih?” tanya Tasya kesal.“Dengar ya, Anindira. Saya mempekerjakan orang sesuai dengan kemampuannya. Kalau kamu bisa membuktikan kemampuan kamu yang lain, saya akan kasih tugas yang sesuai dengan kemampuan kamu itu.”Tasya terdiam. Benar juga sih yang dikatakan Radhika. Walau dia tidak tahu tugas macam apa yang akan diberikan Radhika, tapi dia setuju dengan pemikirannya. Dengan pengalamannya sekarang yang masih nol, entah kontribusi apa yang bisa ia berikan untuk pe
Tasyamenyentuh kening Radhika. Demamnya sudah mulai reda. Tadi dia sangat panik saat menemukan Radhikaduduk bersandar di bawah showeryang masih menyala. Wajahnya sangat pucat, sepertinya dia terlalu lama duduk di sana. Kini Radhikasedang tidur, sudah dari satu jam yang lalu setelah Tasyamemaksanya untuk makan lalu minum obat.Hari ini Tasya benar-benar memasak. Dia membuatkan bubur untuk Radhika. Dengan berbekal resep yang ia temukan di internet. Rasanya tidak buruk, bahkan bisa dibilang enak. Radhika juga tidak protes mengenai bubur buatannya. Tasya sekarang bisa sedikit berbangga diri. Akhirnya dia bisa membuat masakan dengan baik, walau hanya bubur. Setidaknya ada kemajuan.Tasyamenyentuh rambut milik Radhika, rambutnya sudah kering. Tasyaberharap Radhikatidak sakit kepala, karena dia tadi tidur dalam kondisi rambut yang masih basah. Karena di rumah ini tidak ada pengering rambut jadi Tasyahanya membantu
Keesokan harinya ternyata tidak sesuai dengan apa yang Tasya rencanakan. Padahal dia bangun subuh, lalu tidur lagi karena merasa mengantuk. Dan berakhir bangun pukul sembilan pagi. Jadi pagi ini dia belum mandi, dia ingin cepat-cepat pulang. Tapi saat dia keluar hendak pulang dia berpapasan dengan Radhika dan dia menyuruhnya sarapan terlebih dahulu.Jadi di sinilah dia sekarang, duduk di ruang makan sambil menyantap pancakesendirian. Dia tidak tau Radhikapergi ke mana. Setelah membawanya kemari, dia langsung pergi begitu saja.Pancake ini lumayan enak, dia tidak tau apakah Radhika membuatnya sendiri atau dia membelinya. Tapi menurutnya, Radhika pasti membelinya, karena dia merasa kemampuan masak Radhika pasti lebih buruk darinya.Setelah selesai makan, dia segera mencuci piring dan gelas yang tadi dia gunakan. Dia akan segera pergi setelah membereskannya."Abang?"Suara itu membuat Tasyamenghentikan pekerjaannya.
Radhikamenghela napas. Ini masih pagi dan Senjasudah merecokinya dengan mengirimbeberapa pesan diwaktu yang bersamaan. Sebenarnya inti dari pesan itu hanya menanyakan kondisi Radhikasaat ini. Tapi Senjamemberikannya banyak pertanyaan sehingga membuat Radhikamalas untuk membalas pesan tersebut. Tapi jika tidak dibalas Senjapasti akan terus menerornya.Abangudah sehat danlagi kerjasekarang.Itulah pesan yang Radhikakirimkan pada Senja. Sebenarnya Radhikatahu kalau Senjamelakukan itu karena peduli padanya. Dan Radhikasangat bersyukur memiliki Senjadisisinya. Tapi terkadang dia merasa tidak terbiasa mendapatkan perhatian seperti itu, hal itulah yang membuatnya terkadang kesal saat seseorang terlalu memberinya perhatian.Kemarin Radhikaterkena flutapi tidak terlalu parah. Namun Senja&nbs
Kapan mereka sampai di sana?Seingatnya saat pagi tadi, dia sama sekali tidak melihatnya. Tapi yang jadi perhatian Tasyasekarang adalah mereka bekerja di ruangan yang sama. Tasyamenelan ludah, ini serius?Dia tidak tau bagaimana bisa hal ini terjadi. Yang diatahu asisten atau sekretarismemang harus selalu berada didekat atasannya.Tapi, masa sih mereka harus menggunakan ruangan yang sama.Tasyatidak yakin dia akan sanggup mengatasinya.Bisa botak kepalanya! "Kamu enggak maududuk?" Pertanyaan Radhikaterdengar seperti sebuah ejekan ditelinganya, dan Tasya tidak menyukai itu. Buru-buru saja dia duduk dan menyalakan komputer. Lalu ia mulai membaca ulang dokumen yang diberikan, karena dia tidak tau apa yang harus ia lakukan sekarang. Tadi Yogabilang hari ini dia hanya mengerjakan pekerjaan yang diberikan oleh Radhikasaja. Jadi sekarang dia harus menunggu perintah dari bosnya
Minyak di wajan sepertinya sudah panas, karena sudah mulai mengeluarkan sedikit asap. Dengan perlahan Tasya menuangkan telur yang sudah ia beri garam dan potongan daun bawang ke dalam wajan tadi. Memasak telur seperti ini sangat mudah ternyata, dia juga sudah memasak nasi. Tadinya dia ingin membuat nasi goreng, tetapi dulu ibunya pernah bilang kalau membuat nasi goreng dari nasi yang masih panas itu pamali. Sebenarnya Tasya percaya, tidak percaya sih. Namun, saat dia browsing, hal itu memang tidak akan bagus, karena nasinya nanti akan menggumpal. Mungkin maksud dari pamaliyang diucapkan mendiang ibunya, mengarah ke arah situ. Sepertinya sudah saatnya membalik telur yang sedang ia goreng, Tasya mengambil spatula yang tidak jauh dari kompor. Perlahan-lahan Tasya mengangkat telur dalam wajan, namun dia merasa kesulitan. Tasya menghela napas, dengan sekali gerakan dia membalik telur tersebut, namun pada akhirnya telur itu tidak terbalik dengan sem
“Kamu kenapa? Pucat banget, kan aku bilang apa. Jangan telat makan. Sakit, kan, jadinya. Udah kita balik lagi aja.”Ucapan Tasya membuatnya seperti tersedot lagi ke dunia nyata. Napasnya terengah-engah, tubuhnya terasa lemas sekali.Radhika bisa melihat pintu lift terbuka. Kedua wanita tadi keluar. Sedangkan Tasya menekan angka lima, mereka harus kembali lagi ke kamar.“Tahan sebentar, ya.” Tasya menggandeng lengan Radhika. “Sebentar lagi sampai.”Radhika mengangguk. Dia menarik napas panjang, lalu membuangnya perlahan. Dia menyandarkan punggungnya dan mencoba mengusir ingatan buruk itu.“Tahan, ya.” Tasya mengelus-elus punggung Radhika. Dan Radhika merasa sedikit tenang karena sentuhan itu.Radhika merasa waktu berlalu begitu lamban. Walau perasaannya sudah mulai tenang, tetapi ingatan buruk masih berputar-putar di kepalanya. Membuatnya, merasa tersiksa.“Udah dibilangin makan itu
“Malam ini saya akan pulang. Kamu sebagai ketua tim Alpha harus menyelesaikan masalah ini sebelum saya pulang. Karena besok, kita sudah mulai kerja keras lagi. Kita cuman punya waktu dua minggu untuk cari solusi.”“Oke, Pak. Saya akan bicara sama Taufik. Saya yakin, Taufik ngelakuin itu pasti ada alasannya. Taufik lagi diamanin sama anak-anak, Pak. Lagi usaha ngorek-ngorek informasi.”“Oke, saya percaya sama kamu. Saya tutup ya.”Radhika menyimpan ponselnya di meja. Dia lelah sekali. Rapatnya tadi siang tidak sepenuhnya bisa dibilang lancar. Karena, dewan direksi masih menekannya. Bahkan mereka mengancam, jika dalam dua minggu tidak mendapat memberikan solusi, maka Radhika harus melepaskan jabatannya. Pantas saja proyek ini sebelumnya lancar-lancar saja. Hambatannya hanya di awal saja. Ternyata mereka menyimpan kejutan di akhir.Waktu dua minggu, adalah waktu yang singkat. Jelas tidak mungkin mengubah gamep
“Buang itu, Tasya! Saya enggak mau liat!”Bingung, terkejut dan takut. Itulah yang Tasya rasakan sekarang. Dia tidak tahu, mengapa Radhika bereaksi berlebihan seperti itu. Tasya melirik ke arah Radhika. Sepertinya ada yang tidak beres. Wajah Radhika pucat dan tangannya bergetar. Apakah dia … takut?“Dhika.” Tasya menyentuh lengan Radhika, namun dia tidak merespons. “Kamu enggak apa-apa?” Lalu dia mencoba menarik lengannya, namun tetap tidak berhasil.Tangan Radhika mulai memegang kepalanya, hal itu membuat Tasya semakin panik. Mungkin mainan itu ada kaitannya dengan kasus penculikan lima belas tahun yang lalu. Ya, itu masuk akal. Karena saat diculik, Radhika masih anak-anak. Bisa jadi mainan ini dia bawa saat diculik. Dengan perlahan, Tasya menarik lengan Radhika, lalu memeluknya dan berbisik. “Ada aku di sini. Jangan takut.” Dia mengelus punggung Radhika, berharap sentuhannya bisa membuat Radh
Udara di Surabaya lebih panas daripada di Bandung. Namun, tidak sepanas di Jakarta. Tasya baru saja menyelesaikan sarapannya. Sekarang masih pukul delapan lebih. Sebelum kembali ke kamarnya, dia berencana untuk berkeliling di sekitaran hotel. Ini adalah pertama kalinya dia datang ke Surabaya, jadi dia tidak mungkin berkeliling jauh. Lagi pula, dia datang ke sini untuk bekerja, bukan untuk wisata.Tadinya Tasya ingin mengajak Radhika keluar, mencari udara segar, supaya dia bisa sedikit lebih rileks. Namun, chat darinya tidak dibalas. Mereka juga belum bertemu, sejak berpisah kemarin. Sepertinya Radhika sangat sibuk, Tasya tidak ingin mengganggunya.“Mbak.” Tasya terkejut saat bahunya tiba-tiba ditepuk. “Maaf, saya bikin kaget. Ini ada titipan untuk Pak Radhika, kurirnya bilang harus segera dibuka.”Tasya mengerutkan kening. Mengapa tiba-tiba ada kiriman untuk Radhika? Dan kenapa laki-laki di hadapannya tahu kalau dia adalah kenalan Radhika
Ada masalah besar. Dan masalah itu terjadi di kantornya. Ternyata ini masalah yang membuat Radhika kemarin buru-buru pergi. Sekarang situasi di kantor sangat kacau.Dari yang ia dengar, ada dua masalah yang datang bersamaan. Pertama sebuah perusahaan star up, baru saja merilis game yang sangat mirip, hampir 95% dari game Fire and Gun. Kedua, Athena’s diserang cheater lagi, dan sekarang lebih parah dari sebelumnya, karena memengaruhi keseimbangan dalam game, sehingga merugikan pemain lain.Diduga salah satu anggota tim Alpha ada yang membocorkan data. Sampai sekarang sepertinya kasus itu sedang diselidiki secara rahasia oleh Yoga, itu yang dikatakan oleh RadhikaTasya bingung, ingin membantu, tetapi tidak tahu harus melakukan apa. Apalagi bulan depan game ini sudah harus rilis. Dia hanya berharap semua akan baik-baik saja, dan Radhika bisa menemukan jalan keluarnya.Tasya menghela napas dan menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi.
Tasya mengaduk-aduk minuman cola dengan sedotan. Dia tidak mengerti dengan situasinya sekarang. Awalnya dia hanya ingin mengantar Raka membeli hadiah, lalu makan dan pulang. Tetapi sekarang, entah apa yang akan mereka lakukan setelah keluar dari sini.Setelah menutup telepon, Radhika memintanya untuk menunggu sampai dia sampai. Jadi Tasya mengajak Raka untuk makan terlebih dahulu. Sekarang, Radhika dan Senja sudah bergabung bersama mereka.“Jadi kalian habis ngapain?” tanya Senja pada Raka.Raka yang sedang fokus pada ponselnya, kini menatap ke arah Senja. “Oh, tadi kita abis beli hadiah buat ibu saya.”“Ibu kamu ulang tahun?”Raka menggeleng. “Bukan, cuman lagi ingin kasih aja.”“Oh gitu. Aku juga jadi pengin kasih hadiah buat mama sama papa.” Senja berdiri dari kursinya. “Bang minta kartu.” Gadis itu mengulurkan tangannya ke arah Radhika.Radhika mengambil dompe
Tasya berguling di atas kasur nya. Sekarang dia sudah berada di rumahnya dan bersiap untuk tidur. Soal permintaan Radhika tadi, jelas saja dia menolaknya. Tidak ada alasan untuk bermalam di sana. Terlebih lagi, hal itu tidak terlalu baik. Mengingat hubungan mereka sekarang, walaupun sebenarnya masih tidak jelas, tetapi tetap saja mereka adalah sepasang kekasih.Gadis itu mengecek jam di layar ponselnya. Sudah satu jam lebih, tetapi Radhika belum mengabarinya. Padahal laki-laki itu sendiri yang mengatakan jika dirinya sudah sampai, maka dia akan memberi kabar. Jarak rumah mereka juga tidak terlalu jauh, bisa ditempuh kurang lebih empat puluh menit. Lalulintas juga tidak terlalu ramai, jadi Radhika tidak mungkin terjebak macet.“Apa gue tanya aja ya?” Tasya buru-buru menggeleng. “Enggak, enggak … kalau kayak gini, nanti gue dikira nungguin kabar dari dia.”Tasya menyimpan ponselnya lagi di samping kepalanya, lalu menatap langit-langi
Tasya sedang duduk di ruang tengah, tangannya sibuk memencet tombol remote TV, mencari saluran yang menurutnya menarik. Radhika sepertinya berlangganan TV kabel, karena banyak sekali salurannya. Tasya yang terbiasa menonton saluran lokal menjadi bingung sendiri.Sebenarnya Tasya juga tidak terlalu ingin menonton, dia juga sudah jarang menonton televisi. Hanya saja, dia cukup bosan menunggu Radhika yang sedang mencuci piring.Akhirnya Tasya menyerah, dia menyimpan remote TV di meja. Dia membiarkan TV memutar acara binatang yang hidup di alam liar. Tasya memperbaiki posisi duduknya, lalu mengambil bantal dan menaruhnya di atas paha.“Kamu suka acara kayak gini?”Tasya melirik ke arah Radhika yang kini duduk di sampingnya. “Enggak juga, cuman bingung aja.”“Mau coba nonton film?”Tasya berpikir sejenak. Menonton akan memakan waktu yang cukup panjang, minimal satu jam. Dia berencana pulang sekitar pukul sembil