Menunggu. Siapa pun pasti tidak menyukai hal itu. Terlebih lagi menunggu hal tidak pasti, seperti yang sedang dilakukan Anindira Tasya Kirania. Gadis ini sedang duduk menunggu ditemani rasa bosan dan kantuk. Ponselnya sudah kehabisan daya dari lima belas menit yang lalu. Jadi tidak ada yang bisa dia lakukan selain meratapi nasib.
Semalam, orang yang tidak ingin Tasya sebutkan namanya, mengirimnya pesan. Orang menyebalkan itu memintanya untuk datang pukul tiga sore ke kantornya. Namun sekarang, jam besar di dinding dekat dengan meja resepsionis menujukan pukul lima lewat sepuluh menit, dan orang yang mengajaknya bertemu belum menunjukkan batang hidungnya. Kampret memang.
Saat Tasya bertanya pada resepsionis, wanita itu memang memberi tahu kalau Radhika sedang rapat. Tetapi, seharusnya Radhika memberi kabar sebelumnya, jadi dia tidak akan datang dengan terburu-buru seperti tadi. Bahkan, saat perjalanan kemari Tasya meminta supir ojek online memacu kecepatan, alias ngebut.
Namun pada akhirnya, Tasya tetap harus merasa bersyukur. Dengan inisiatif Radhika mengajaknya bertemu, itu sudah kemajuan yang sangat pesat dan perlu melakukan syukuran. Tetapi tentu saja hal itu tidak akan Tasya lakukan, masih terlalu dini untuk senang.
“Tasya….” Seorang pria paruh baya menghampirinya, bisa diperkirakan berumur sekitar empat puluh lima tahun. “Saya Yoga, sekretaris Pak Radhika. Mari saya antar.”
Tasya mengangguk lalu berdiri. Dia sedikit memperbaiki penampilannya. Bertemu dengan Radhika memang selalu membuatnya gugup, padahal jika Tasya sendirian, dia sering mengatakan hal-hal buruk tentang Radhika dalam hati.
Sekarang adalah jam pulang kantor, jadi saat menuju ke ruangan Radhika. Tasya berpapasan dengan karyawan-karyawan yang bekerja di sini. Sebagian besar orang yang berpapasan dengannya adalah laki-laki. Mungkin karena ini adalah perusahaan yang bergerak di dunia gaming.
Kini Tasya dan Yoga sedang berada di lift, hanya ada mereka berdua. Yoga menekan angka sembilan. Lift mulai bergerak. Tasya mengamati layar kecil di samping deretan angka, yang terus berubah. Sekarang angka tersebut menunjukkan angka tujuh. Hal itu membuat perasaan Tasya semakin tidak keruan.
Tasya mendengar suara dentingan, tak lama setelah itu, lift terbuka. Jantung Tasya berdegup kencang, dan Yoga hanya terus berjalan, tanpa ada niat untuk membantunya menenangkan diri.
Sebenarnya Tasya juga tidak mengerti kenapa dia harus gugup. Radhika jelas lebih muda darinya, selisih usia mereka adalah lima tahun. Di bandingkan dengan dirinya, Radhika itu masih seperti bocah bau kencur.
Karena Tasya terlalu sibuk dengan pikirannya, dia tidak sadar kalau sekarang dirinya sedang berdiri di depan sebuah pintu besar. Ada sebuah papan bertuliskan nama lengkap Radhika serta jabatannya.
Yoga mengetuk pintu sebanyak tiga kali. Perasaan gugup Tasya meningkat saat dia mendengar sebuah suara yang menyuruh mereka masuk
Yoga membuka pintu dan dia bisa melihat Radhika sedang duduk di meja kerjanya. Dia tidak melihat ke arah mereka. Jam kantor sudah selesai, tetapi Radhika masih sibuk. Matanya fokus pada sesuatu yang ada di meja kerjanya, sedangkan tangan kirinya memengang bolpoin dan beberapa kali bergerak seperti sedang mencorat-coret kertas.
Tasya baru mengetahui satu hal yang menarik, ternyata Radhika itu kidal.
"Duduklah." Tangan Radhika menunjuk sebuah sofa putih di sebelah kiri Tasya.
Tasya segera menuruti perkataan Radhika. Dia tidak menyadari bahwa Yoga sudah tidak ada di ruangan ini. Sepertinya dia terlalu memperhatikan Radhika sehingga dia baru sadar kalau sekarang mereka hanya tingal berdua.
Radhika berbangkit dari kursinya, dan segera menghampiri Tasya. Dia duduk di sofa kecil di samping kanan Tasya.
"Langsung aja." Radhika membuka pembicaraan. "Kita enggak punya urusan, jadi sebaiknya kamu enggak perlu datang dan ganggu hidup saya lagi."
Tasya mencerna setiap kata yang diucapkan Radhika. Butuh beberapa detik untuk memahami maksud perkataan Radhika. Dan setelah dia mengerti maksud perkataan Radhika, Tasya melotot.
'Apa-apaan ini?' batinnya,dia tidak bisa menerimanya. Setelah menunggu selama dua jam, dia malah mendapat sambutan yang sangat ‘hangat’. Tasya menarik napas, guna menenangkan diri.
"Maksudnya gimana?" Tasya bertanya dengan hati-hati. Takut-takut jika salah berbicara maka semua pengorbanan selama dua minggu ini akan sia-sia. Sabar adalah kunci untuk berhadapan dengan makhluk macam Radhika.
"Kita enggak perlu ketemu lagi." Radhika mengatakan hal itu dengan datar namun penuh penekanan di setiap kata yang dia ucapkan, seolah itu adalah sebuah perintah dan Tasya tidak boleh menolaknya.
"Tapi … kenapa?"
Tasya merasa dirinya tidak melakukan hal-hal buruk. Kecuali mengata-ngatai Radhika, tapi itu pun dia lakukan di dalam hati atau di depan sahabatnya. Tetapi, dia yakin Radhika tidak tahu itu. Karena Raka tidak mungkin mengatakannya pada Radhika, mereka tidak saling kenal.
"Saya udah bilang, kita ini enggak punya urusan apa pun." Radhika mulai merasa kesal. "Sekarang kamu boleh pergi." Radhika mengarahkan tangannya ke arah pintu, meminta Tasya keluar dari ruangannya.
Namun Tasya hanya diam. Dia tidak mengindahkan pengusiran dari Radhika. Dia masih mengingat-ingat kesalahan apa yang sudah dia perbuat, sehingga Radhika bersikap seperti ini. Yang dia ingat pertemuan terakhir mereka berakhir baik.
"Kenapa kamu diam aja?" Radhika semakin kesal melihat Tasya yang hanya bergeming di tempat duduknya.
Tasya tiba-tiba teringat sesuatu. “Dhika. Apa ini gara-gara hari itu aku ngirim SMS kemaleman? Aku minta maaf kalau aku enggak sopan.”
Beberapa waktu yang lalu Tasya mengirim pesan pada Radhika. Pesan absurd yang pikirkan selama tiga jam. Isi pesan itu adalah ‘Ini aku Tasya. Ayo kita berteman’. Tasya mengirimkan pesan itu pukul setengah dua belas malam. Dia menjadi malu sendiri.
“Aku kan udah kirim permintaan maaf juga. Kamu jangan dendam dong. Niat aku baik, kok. Cuman pengin temenan aja.”
"Temenan?" Radhika mendengus. Lucu sekali.
"Iya, temenan." Tasya berusaha memberikan senyum terbaik miliknya. Hal yang sering dia lakukan pada anak-anaknya ketika sedang ingin membujuk mereka.
"Kamu pikir, kamu siapa?"
Mata Tasya membulat mendengar respons dari Radhika. Dia merasa sakit hati. Apa yang membuatnya terlihat rendah di mata Radhika, Tasya tidak mengerti. Walaupun Tasya sebal pada bocah ini, bukankah di depan Radhika dia selalu bersikap baik, dan walaupun dia sering memaki Radhika dalam hati, tapi pada akhirnya dia selalu memaklumi sikapnya.
"Aku tau, kamu mungkin enggak suka aku. Tapi itu karena kita belum saling kenal, ya kan?" Tasya mencoba mengalah, membuang semua ego dan harga dirinya. Walau sakit hati, tapi dia mencoba untuk tetap tenang dan mengalah.
"Kamu butuh berapa?" Radhika berdiri dan menatap Tasya dengan pandangan meremehkan.
Tasya mengerutkan keningnya. Dia tidak mengerti arah pembicaraan Radhika sekarang.
"Kamu butuh uang, kan? Sebutkan jumlahnya. Berapa pun enggak masalah, asal kamu pergi dari kehidupan─"
Perkataan Radhika terhenti karena sebuah tamparan mendarat di pipinya. Radhika terkejut saat Tasya menamparnya dengan cukup keras.
"Gue enggak butuh duit lo, berengsek!" Tasya berteriak. Air mata sudah berkumpul di pelupuk matanya.
Radhika melihat Tasya keluar dengan terburu-buru dan dia merasa senang. Dengan begini Tasya jelas akan membencinya dan tidak ada alasan untuk berurusan dengannya lagi.
Radhika memegangi pipinya yang terasa kebas. Tamparan Tasya cukup kuat sehingga kulitnya terasa panas. Dia mengusap perlahan pipi yang ditampar Tasya. Tiba-tiba dia merasa ada sesuatu yang ganjil.
Entah kenapa tubuhnya tidak beraksi apa-apa saat ditampar Tasya. Dia sempat berpikir hal ini disebabkan oleh rasa sakit di pipinya. Tapi jika dipikir lagi, itu tidak masuk akal.
"Apa mungkin .…" Radhika tertegun. Dia harus segera memastikannya.
Dengan segera Radhika menghampiri meja kerjanya. Dia berniat menelepon sekretarisnya. Dia sangat berharap dugaannya kali ini tidak salah. Karena jika benar begitu, dia akan sangat senang karena salah satu beban beratnya hilang.
"Om, tolong pesankan sebuah kamar dan seorang wanita untuk malam ini, jam tujuh." Setelah mendengar jawaban dari sekretarisnya, Radhika langsung menutup teleponnya.
'Semoga saja,' batinya.
Tasyaburu-buru keluar dari ruangan Radhika, dia menangis karena marah dan sakit hati. Dia sempat berpapasan dengan Yogayang menatap heran dan hendak bertanya padanya. Ada beberapa karyawan yang melihatnya dengan ekspresi ingin tahu. Namun Tasyamengabaikannya,dia hanya ingin segera keluar dari sini.Dia sangat marah karena Radhikamenghinanya seperti itu. Tasyabenar-benar tidak membutuhkan apa-apa dari Radhika, dia justru ingin membantunya, tapi Radhikamalah berkata seperti itu.Sangat tidak tahu diri.Keluarganya memang sederhana dan tidak sekaya Radhika, tapi Radhikatidak pantas berkata seperti itu. Terlebih lagi ayahnya sudah menolongnya dulu. Walaupun Om Prawirasudah membalasnya dengan membantu perekonomian keluarganya. Tetap saja Radhikatidak berhak menghinanya seperti itu.Detik ini dia sudah memutuskan, diatidak akan berurusan lagi dengan orang yang bernama Radhika. Persetan dengan janji
Hari ini Tasyasangat mengantuk. Bahkan tadi dia nyaris tertidur saat mengajar. Semalam Tasyahanya tidur tiga jam. Diatidak bisa tidur setelah membaca pesan yang dikirim Radhika. Radhika benar-benar out of the box. Tasya yakin, tidak ada satu orang pun yang bisa menebak jalan pikiran Radhika, kecuali Yang Maha Kuasa.Sungguh, Tasya tidak mengerti kenapa ada orang yang super duperlabil seperti Radhika. Dua hari yang lalu Radhikamemintanya untuk tidak berurusan dengannya. Dia bahkan menghinanya dan mengusirnya, tapi semalam dia ingin mengajaknya bertemu. Itu sangat tidak masuk akal. Apa kepala Radhika terbentur sesuatu sehingga kepalanya sedikit sengklek?Tasyamenyeruput MilkShake Strawberrynya dan bersandar pada sandaran kursi. Kini dia sedang berada di Oh Me Time!─kafe yang pertama kali ia kunjungi saat bertemu dengan Senja.Sebelumnyadia benar-benar
Radhikamelepaskan pelukannya. "Saya pesankantaksionlineuntukkamu." Radhikaberjalan ke mejanya hendak mengambil ponselnya.Tasyamengerjapkan matanya. Dia masih bingung dengan apa yang baru saja terjadi."Tunggu dulu... jelasin dulu yang tadi!" Tasyamenghampiri Radhika. "Kenapa kamu kaya gitu!?" Tasyamenggebrak meja dengan kedua lengannya, lalumenatap Radhikadengan kesal."Kamu enggakperlu tau alasannya. Sekarang sebaiknya kamu pulang."Perkataan Radhikasukses membuat kekesalan Tasyabertambah. Dia yang mengundangnya, lalu dia mengusirnya dengan seenaknya. Lelucon yang bagus."Dhika … kamu waras? Kayanya kamu emang bener-bener sableng ya. Kemarin ngusir seenak udel. Sekarang main peluk sembarangan. Denger ya, aku bukan cewek gampangan.”Radhikamenghela napas, dia memijit keningnya. "Kamu bikinkepalasayamau pecah."
Kurang lebih sepuluh menit kemudian, mereka sampai di sebuahkafe. Bisa dibilang kafe ini sangat populer akhir-akhir ini, tetapi Tasya belum pernah kemari. Karena sepertinya harga makanannya lumayan, tapi tempatnya nyaman dan sangat bagus untuk huntingfoto.Hujan sudah berhenti saat mereka masih dalam perjalanan menuju ke sini. Butuh sekitar empat puluh menit untuk sampai, karena jalanan macet.Radhikaberjalan duluan, sedangkan Tasyamengekor dibelakangnya.Mereka menaiki tangga melingkar. Setelah sampai di lantai dua, Tasya dibuat kagum dengan pemandangan yang disuguhkan.Karena kafe ini terletak di dataran tinggi, jadi dia bisa melihat pemandangan kota dari jendela kaca yang sangat besar."Duduk," ucap Radhikasetelah mereka sampai di meja yang telah ia pesan.Mereka duduk berhadapan. Kemudian seorang pelayan datang memberikan buku menu pada Radhikadan Tasya.Tasyamembuka satu pers
Tasya benar-benar kesal, dan dia marah sekarang, emosinya sudah sampai di ubun-ubun. Radhika sudah sangat keterlaluan. Bisa-bisanya dia berbuat seenaknya seperti itu. Lihat saja, Tasya akan memberi perhitungan padanya.Tasya kini berdiri tepat di depan pintu ruangan Radhika, dia diantar oleh Yoga. Tadi Yoga datang ke playgroup dan langsung membawanya kemari setelah Tasya berbicara dengan Ilham─pemilik playgroup tempatnya bekerja. Sebenarnya saat dalam perjalanan ke sini Tasya ingin sekali memarahi Yoga. Tapi ia urungkan, karena dalang dari masalahnya ini adalah si kutu kupret, Radhika Putra Prawira Sableng.Yoga mengetuk pintu lalu membawa Tasya masuk ke ruangan Radhika."Pak Dhika, Tasya sudah sampai, saya pamit." Yoga keluar dari ruangan setelah mendapat anggukan dari Radhika.Tasya menatap Radhika tajam. Sedangkan Radhika hanya meliriknya sekilas kemudian kembali fokus pada pekerjaannya, dia seakan tidak peduli dengan kehadiran Tasya.
Esok harinya, Tasya merasa pusing sekali ketika dia bangun tidur. Semalam dia begadang sambil maraton drama sampai jam lima pagi. Benar-benar hidup seperti seorang pengangguran.Hari ini adalah hari keduanya sebagai seorang pengangguran. Ayahnya sudah berangkat ke kedai beberapa jam yang lalu. Tapi sebelumnya dia memarahi Tasya terlebih dahulu. Karena tadi dia sulit dibangunkan. Setelah mendapat nasihat dari ayahnya, Tasya kembali tidur dan baru bangun beberapa menit yang lalu.Tasyamenghela napaslalu membuka kulkas. Dia mengambil apel yang ada dikulkas lalu memakannya. Ayahnya belum tau kalau dia sudah dipecat. Yang ayahnya tau hari ini dia sedang cuti, karena semalam Rakamembantunya berbicara pada ayahnyabahwa dia akan cuti beberapa hari.Tasyapergi ke kamarnya untuk mengambil laptopnya, setelah itu dia pergi ke ruang tengah. Dia menyimpan laptopnya di meja lalu duduk bersila di karpet. Dia akan mencari pekerjaan di webs
Radhika melirik Tasya, lalu tersenyum. Dan kini Tasya merasa sedang bermimpi buruk. Melihat raut wajah Radhika seperti itu, pasti dia merencanakan hal busuk di kepalanya.“Apa Om mengizinkan Tasya bekerja di kantor saya?”Tasya ingin sekali menyumpal mulut Radhika dengan kain lap yang tadi dia gunakan untuk mengelap meja. Tasya melirik ayahnya, dia ingin tahu reaksi ayahnya. Namun, ayahnya hanya diam, tidak ada ekspresi yang berarti, jadi Tasya tidak tahu apa yang sedang ayahnya pikirkan.“Tasya udah setuju.” Radhika tersenyum pada Tasya. Sedangkan Tasya hanya melongo. “Hanya tinggal minta izin dari Om Robi. Tapi, kalau misalnya om Robi keberatan, enggak apa-apa. Saya enggak akan maksa.”Ternyata Radhika pandai berakting. Seharusnya dia bermain film saja. Selain pintar berakting dia juga pintar mengarang cerita. Seharusnya dia jadi penulis skenario atau penulis novel saja, daripada mengganggu kedamaian hidupnya. Sekaran
"Aca, ayo makan." Tasya mendengar ayahnya berteriak dari luar kamarnya."Iya, Yah. Bentar lagi turun." Tasya meletakkan sisir di meja riasnya, dia baru selesai mandi. Segera saja dia keluar dari kamarnya.Saat sudah hampir sampai ke ruang makan, Tasya mencium aroma masakan yang sangat harum. Ayahnya benar-benar sangat pintar memasak, tidak heran jika kedai milik ayahnya selalu ramai."Ayah bawa bahan makanan dari kedai, kalau dimasak besok rasanya pasti kurang enak. Jadi inilah mahakarya, Ayah." Ayah Tasya membuka tutup panci, dan seketika aroma yang sungguh enak memenuhi indra penciuman Tasya."Ini pasti enak." Tasya segera mengambil piring dan mengisinya dengan nasi."Iya dong. Kan, Ayah masaknya pakai cinta." Ayah Tasya meletakan beberapa potong daging ke piring Tasya. "Awas panas."Tasya meniup-niup makanannya dan mulai mengunyahnya. Ini benar-benar enak, memang masakan rumah itu selalu menjadi yang terbaik, apalagi jika orang yang
Minyak di wajan sepertinya sudah panas, karena sudah mulai mengeluarkan sedikit asap. Dengan perlahan Tasya menuangkan telur yang sudah ia beri garam dan potongan daun bawang ke dalam wajan tadi. Memasak telur seperti ini sangat mudah ternyata, dia juga sudah memasak nasi. Tadinya dia ingin membuat nasi goreng, tetapi dulu ibunya pernah bilang kalau membuat nasi goreng dari nasi yang masih panas itu pamali. Sebenarnya Tasya percaya, tidak percaya sih. Namun, saat dia browsing, hal itu memang tidak akan bagus, karena nasinya nanti akan menggumpal. Mungkin maksud dari pamaliyang diucapkan mendiang ibunya, mengarah ke arah situ. Sepertinya sudah saatnya membalik telur yang sedang ia goreng, Tasya mengambil spatula yang tidak jauh dari kompor. Perlahan-lahan Tasya mengangkat telur dalam wajan, namun dia merasa kesulitan. Tasya menghela napas, dengan sekali gerakan dia membalik telur tersebut, namun pada akhirnya telur itu tidak terbalik dengan sem
“Kamu kenapa? Pucat banget, kan aku bilang apa. Jangan telat makan. Sakit, kan, jadinya. Udah kita balik lagi aja.”Ucapan Tasya membuatnya seperti tersedot lagi ke dunia nyata. Napasnya terengah-engah, tubuhnya terasa lemas sekali.Radhika bisa melihat pintu lift terbuka. Kedua wanita tadi keluar. Sedangkan Tasya menekan angka lima, mereka harus kembali lagi ke kamar.“Tahan sebentar, ya.” Tasya menggandeng lengan Radhika. “Sebentar lagi sampai.”Radhika mengangguk. Dia menarik napas panjang, lalu membuangnya perlahan. Dia menyandarkan punggungnya dan mencoba mengusir ingatan buruk itu.“Tahan, ya.” Tasya mengelus-elus punggung Radhika. Dan Radhika merasa sedikit tenang karena sentuhan itu.Radhika merasa waktu berlalu begitu lamban. Walau perasaannya sudah mulai tenang, tetapi ingatan buruk masih berputar-putar di kepalanya. Membuatnya, merasa tersiksa.“Udah dibilangin makan itu
“Malam ini saya akan pulang. Kamu sebagai ketua tim Alpha harus menyelesaikan masalah ini sebelum saya pulang. Karena besok, kita sudah mulai kerja keras lagi. Kita cuman punya waktu dua minggu untuk cari solusi.”“Oke, Pak. Saya akan bicara sama Taufik. Saya yakin, Taufik ngelakuin itu pasti ada alasannya. Taufik lagi diamanin sama anak-anak, Pak. Lagi usaha ngorek-ngorek informasi.”“Oke, saya percaya sama kamu. Saya tutup ya.”Radhika menyimpan ponselnya di meja. Dia lelah sekali. Rapatnya tadi siang tidak sepenuhnya bisa dibilang lancar. Karena, dewan direksi masih menekannya. Bahkan mereka mengancam, jika dalam dua minggu tidak mendapat memberikan solusi, maka Radhika harus melepaskan jabatannya. Pantas saja proyek ini sebelumnya lancar-lancar saja. Hambatannya hanya di awal saja. Ternyata mereka menyimpan kejutan di akhir.Waktu dua minggu, adalah waktu yang singkat. Jelas tidak mungkin mengubah gamep
“Buang itu, Tasya! Saya enggak mau liat!”Bingung, terkejut dan takut. Itulah yang Tasya rasakan sekarang. Dia tidak tahu, mengapa Radhika bereaksi berlebihan seperti itu. Tasya melirik ke arah Radhika. Sepertinya ada yang tidak beres. Wajah Radhika pucat dan tangannya bergetar. Apakah dia … takut?“Dhika.” Tasya menyentuh lengan Radhika, namun dia tidak merespons. “Kamu enggak apa-apa?” Lalu dia mencoba menarik lengannya, namun tetap tidak berhasil.Tangan Radhika mulai memegang kepalanya, hal itu membuat Tasya semakin panik. Mungkin mainan itu ada kaitannya dengan kasus penculikan lima belas tahun yang lalu. Ya, itu masuk akal. Karena saat diculik, Radhika masih anak-anak. Bisa jadi mainan ini dia bawa saat diculik. Dengan perlahan, Tasya menarik lengan Radhika, lalu memeluknya dan berbisik. “Ada aku di sini. Jangan takut.” Dia mengelus punggung Radhika, berharap sentuhannya bisa membuat Radh
Udara di Surabaya lebih panas daripada di Bandung. Namun, tidak sepanas di Jakarta. Tasya baru saja menyelesaikan sarapannya. Sekarang masih pukul delapan lebih. Sebelum kembali ke kamarnya, dia berencana untuk berkeliling di sekitaran hotel. Ini adalah pertama kalinya dia datang ke Surabaya, jadi dia tidak mungkin berkeliling jauh. Lagi pula, dia datang ke sini untuk bekerja, bukan untuk wisata.Tadinya Tasya ingin mengajak Radhika keluar, mencari udara segar, supaya dia bisa sedikit lebih rileks. Namun, chat darinya tidak dibalas. Mereka juga belum bertemu, sejak berpisah kemarin. Sepertinya Radhika sangat sibuk, Tasya tidak ingin mengganggunya.“Mbak.” Tasya terkejut saat bahunya tiba-tiba ditepuk. “Maaf, saya bikin kaget. Ini ada titipan untuk Pak Radhika, kurirnya bilang harus segera dibuka.”Tasya mengerutkan kening. Mengapa tiba-tiba ada kiriman untuk Radhika? Dan kenapa laki-laki di hadapannya tahu kalau dia adalah kenalan Radhika
Ada masalah besar. Dan masalah itu terjadi di kantornya. Ternyata ini masalah yang membuat Radhika kemarin buru-buru pergi. Sekarang situasi di kantor sangat kacau.Dari yang ia dengar, ada dua masalah yang datang bersamaan. Pertama sebuah perusahaan star up, baru saja merilis game yang sangat mirip, hampir 95% dari game Fire and Gun. Kedua, Athena’s diserang cheater lagi, dan sekarang lebih parah dari sebelumnya, karena memengaruhi keseimbangan dalam game, sehingga merugikan pemain lain.Diduga salah satu anggota tim Alpha ada yang membocorkan data. Sampai sekarang sepertinya kasus itu sedang diselidiki secara rahasia oleh Yoga, itu yang dikatakan oleh RadhikaTasya bingung, ingin membantu, tetapi tidak tahu harus melakukan apa. Apalagi bulan depan game ini sudah harus rilis. Dia hanya berharap semua akan baik-baik saja, dan Radhika bisa menemukan jalan keluarnya.Tasya menghela napas dan menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi.
Tasya mengaduk-aduk minuman cola dengan sedotan. Dia tidak mengerti dengan situasinya sekarang. Awalnya dia hanya ingin mengantar Raka membeli hadiah, lalu makan dan pulang. Tetapi sekarang, entah apa yang akan mereka lakukan setelah keluar dari sini.Setelah menutup telepon, Radhika memintanya untuk menunggu sampai dia sampai. Jadi Tasya mengajak Raka untuk makan terlebih dahulu. Sekarang, Radhika dan Senja sudah bergabung bersama mereka.“Jadi kalian habis ngapain?” tanya Senja pada Raka.Raka yang sedang fokus pada ponselnya, kini menatap ke arah Senja. “Oh, tadi kita abis beli hadiah buat ibu saya.”“Ibu kamu ulang tahun?”Raka menggeleng. “Bukan, cuman lagi ingin kasih aja.”“Oh gitu. Aku juga jadi pengin kasih hadiah buat mama sama papa.” Senja berdiri dari kursinya. “Bang minta kartu.” Gadis itu mengulurkan tangannya ke arah Radhika.Radhika mengambil dompe
Tasya berguling di atas kasur nya. Sekarang dia sudah berada di rumahnya dan bersiap untuk tidur. Soal permintaan Radhika tadi, jelas saja dia menolaknya. Tidak ada alasan untuk bermalam di sana. Terlebih lagi, hal itu tidak terlalu baik. Mengingat hubungan mereka sekarang, walaupun sebenarnya masih tidak jelas, tetapi tetap saja mereka adalah sepasang kekasih.Gadis itu mengecek jam di layar ponselnya. Sudah satu jam lebih, tetapi Radhika belum mengabarinya. Padahal laki-laki itu sendiri yang mengatakan jika dirinya sudah sampai, maka dia akan memberi kabar. Jarak rumah mereka juga tidak terlalu jauh, bisa ditempuh kurang lebih empat puluh menit. Lalulintas juga tidak terlalu ramai, jadi Radhika tidak mungkin terjebak macet.“Apa gue tanya aja ya?” Tasya buru-buru menggeleng. “Enggak, enggak … kalau kayak gini, nanti gue dikira nungguin kabar dari dia.”Tasya menyimpan ponselnya lagi di samping kepalanya, lalu menatap langit-langi
Tasya sedang duduk di ruang tengah, tangannya sibuk memencet tombol remote TV, mencari saluran yang menurutnya menarik. Radhika sepertinya berlangganan TV kabel, karena banyak sekali salurannya. Tasya yang terbiasa menonton saluran lokal menjadi bingung sendiri.Sebenarnya Tasya juga tidak terlalu ingin menonton, dia juga sudah jarang menonton televisi. Hanya saja, dia cukup bosan menunggu Radhika yang sedang mencuci piring.Akhirnya Tasya menyerah, dia menyimpan remote TV di meja. Dia membiarkan TV memutar acara binatang yang hidup di alam liar. Tasya memperbaiki posisi duduknya, lalu mengambil bantal dan menaruhnya di atas paha.“Kamu suka acara kayak gini?”Tasya melirik ke arah Radhika yang kini duduk di sampingnya. “Enggak juga, cuman bingung aja.”“Mau coba nonton film?”Tasya berpikir sejenak. Menonton akan memakan waktu yang cukup panjang, minimal satu jam. Dia berencana pulang sekitar pukul sembil