"Elle ... aku tahu kamu itu pintar, aku juga tidak peduli kamu mau menganggapku apa. Aku hanya mau kamu balas budi sedikit, oke? Aku tunggu kabar baik darimu, teman tersayangku."
=====Estelle Clarice mendebas keras setelah menghempaskan tubuhnya ke sofa tempat yang beberapa menit lalu Julia duduki. Duduk dengan tubuh sedikit membungkuk. Kedua tangannya ia letakan pada pelipis dengan siku yang bertengger di atas paha. Beberapa jemarinya bergerak memijat pelan area yang berdenyut. Setelahnya, Estelle mengusap kasar wajahnya.Ucapan-ucapan tidak masuk akal dari Julia membuat kepalanya ingin meledak. Jika saja cincin itu hanyalah benda tanpa memiliki arti, tentu sekarang dirinya tidak akan berada di tempat gaduh ini. Pun tidak akan dimanfaatkan oleh wanita ular itu.
"Berengsek! Sial! Haruskah aku merelakan cincin itu?" gumam Estelle. Bibirnya tertutup rapat dengan mata yang menatap lantai.
Tidak. Dirinya tidak boleh kehilangan benda itu. Cincin itu adalah cincin tunangannya. Benda yang menurutnya sakral seperti cincin pernikahan. Sudah setahun ia memakai benda itu. Estelle menyesal, harusnya tadi sore ia tidak melepas sembarangan dan harusnya, ia menaruh cincin itu di saku.
Wanita dengan bentuk mata almond itu menghela napas. Kini tubuhnya di sandarkan ke sofa. Dingin dari permukaan bahan kulit itu langsung menembus punggung yang tertutup kemeja dan blazer greynya. Alasan mengapa ia melepaskan cincinnya, adalah karena benda itu beberapa kali ingin terlepas dari jemarinya.
Berat badannya turun, membuat cincin itu jadi melonggar.
Niatnya, ingin disatukan dengan kalung. Namun, karena ada telepon masuk yang menyebabkan ia berbincang lama dengan sang adik, Estelle jadi lupa dengan cincin yang sudah ia taruh di atas wastafel.
"Argh! Julia itu, benar-benar gila! Bagaimana bisa aku mendatangi pria itu kemudian menanyakan hal pribadinya? Apa sih, yang dia rencanakan?!"
"Nona, boleh aku duduk di sini?"
Suara bass pria membuat gerutuan hatinya berhenti. Estelle melirik malas pada pria berambut pirang yang tersenyum hangat padanya. Sejenak, ia lupa kalau dirinya sedang berada di tempat paling berbahaya ke dua di dunia ini.
Pria itu tetap duduk meskipun belum diizinkan, bahkan terlihat tidak peduli pada tatapan tidak suka dari Estelle.
"Sepertinya, Nona baru pertama kali datang ke sini," Basa basi sang pria.
Sebenarnya, sejak awal pria tersebut sudah memperhatikan Estelle dan Julia dari jauh. Namun, sayangnya ia tidak bisa mendengar percakapan mereka. Pakaian yang berbeda jauh dengan Julia, ditambah wajah merengut Estelle sejak masuk ke diskotek ini, membuat dirinya yakin kalau wanita dengan rambut ikat asal itu baru pertama kali datang ke tempat ini.
Estelle tidak menanggapinya. Matanya lurus melihat ke arah pria yang Julia incar. Pria itu sedang diam sambil meneguk minumannya, meski beberapa detik lalu Estelle melihatnya berbicara pada bartender yang kemudian entah sudah keberapa kali menuangkan minuman ke gelas cantik di sana.
"Hm, seleramu tinggi juga." Estelle melirik sinis pada pria yang baru saja kembali menatap dirinya. Bisa ia tebak kalau pria berjaket beledu gelap itu telah menelusuri arah pandangnya. "Yah, wajar saja ... Dave memang selalu menarik perhatian di sini tapi sayang, setiap wanita yang tertarik dengannya hanya bisa memandangnya seperti ini," lanjutnya diakhiri dengan senyum miring.
Refleks Estelle menegakkan punggungnya. "Kamu tahu pria yang duduk di konter bar sana? Pria yang lengan bajunya digulung ke atas itu? Siapa tadi namanya? Dave? Oh my God, kenapa tidak bilang dari tadi?!"
Si pria terbahak mendengar runtutan tanya Estelle setelah tadi terang-terangan mengacuhkan dirinya, sekarang bahkan berani, menyalahkannya? Wah ... untung saja ia pandai membaca situasi, jadi, telinganya bisa mendengar suara indah Estelle.
"Nona, tidak kenal siapa dia?" Estelle menggeleng pelan. "Mau aku beritahu soal, Dave?" Estelle mengangguk mantap. Pria itu terkekeh melihat tingkah Estelle. "Dia itu, tidak suka dengan wanita. Kalau Nona mau tetap berada di sini, sebaiknya urungkan saja niatmu yang ingin mendekatinya, dia--"
Bibir tipis di sana kini terbuka membentuk bulatan sama seperti matanya, tangan yang sempat meremas sofa sekarang malah menutupi mulutnya. Estelle cukup kaget mendengar informasi tersebut.
"Jadi, dia ... gay?" potong Estelle, rasa prihatin menjalar untuk Julia.
Gelegar tawa puas terdengar bersaing dengan dentuman musik di sana. "Ya tuhan, Dave memang tidak suka dengan wanita tapi, dia bukan gay! Ingat, bukan gay! Astaga, jangan sampai Dave mendengar ini, bisa-bisa jadi bumerang sendiri buatmu, Nona," sahutnya gemas. Estelle benar-benar lucu! Menyela ucapannya kemudian menyimpulkan seenaknya.
"Kalau begitu, aku bisa 'kan mendekatinya hanya untuk bertanya?"
"Nona benar-benar tidak tahu apapun, ya? Cari aman saja, sebaiknya jangan ganggu dia. Namun, lain cerita kalau Nona, seseorang yang cukup berkuasa."
Estelle mendebas frustasi. Ia benar-benar tidak mengerti, mengapa harus berbelit-belit seperti ini hanya untuk mendapatkan informasi? Sudah pusing dengan suara musik, pusing memikirkan harus bagaimana mendekati pria itu dan sekarang, pusing dengan orang yang berbicara setengah hati itu! Sebenarnya, pria itu ingin memberitahunya atau tidak, sih?! Kenapa harus bawa-bawa kekuasaan?
"Aku hanya orang biasa, oke? Jadi, tolong katakan saja dengan jelas, kenapa aku tidak boleh mendekat? Apa dia orang yang cukup berbahaya? Yakuza? Gengster? Argh! Pokoknya, berikan aku semua informasi yang kamu tahu tentang dia. Please ...."
Sang pria menyugar rambutnya, lalu menyandarkan punggung dengan kedua tangan yang terbentang ke samping kemudian ditenggerkan ke sofa. Melihat Estelle memberikan wajah memelas seperti anak kucing, membuat hatinya sedikit goyah. Namun, ia juga tidak mau sembarangan memberikan informasi soal Dave. Ia masih mau hidup.
"Haah, tidak semudah itu, Nona ... sekali lagi aku katakan, ini juga demi kebaikanmu. Lakukan seperti apa yang aku katakan tadi, jangan men-de-ka-ti-nya. Kalau ingin bermain, ada aku. Aku, juga pintar bermain ...."
Estelle langsung menatap sinis. Sepertinya, tidak akan mudah menggali informasi dari pria yang duduk di sampingnya itu. Melihat si pria malah tersenyum menjijikan, Estelle langsung mengalihkan pandangannya. Menatap pria yang menjadi target Julia.
"Apa dia sengaja minum sebanyak itu? Bagaimana kalau perutnya sakit? Apa dia sedang haus? Minuman yang baru dibuatkan, langsung habis dalam sekali teguk," batin Estelle, kini tubuhnya kembali bersandar. "Apa yang harus aku lakukan ... Julia sialan!" lanjutnya masih berbicara dalam hati.
"Apa yang ingin Nona ketahui dari Dave?"
Estelle melirik kemudian kembali memandang Dave. "Rahasia. Kamu tidak perlu tahu," balasnya, bagaimana bisa ia mengatakan kalau apa yang ingin dicarinya adalah, kesukaan, kelemahan dan tipe wanita Dave. Estelle tidak mau di anggap aneh.
"Hmm, Nona ingin membayar berapa jika aku bisa menyediakan waktu untuk Nona berbicara dengannya?"
Ini kesempatan bagus, harusnya Estelle senang ada yang menawarkan bantuan. Namun, wajah wanita itu malah terlihat muram. "Jangan bermain dengan uang. Aku tidak punya uang banyak untuk membeli informasi darimu." Estelle bangkit dari sofa. "Sudahlah, lupakan perbincangan kita tadi. Aku pergi."
"Hei." Sang pria menyambar lengan Estelle. "Aku tidak janji untuk membuatmu bisa berbicara dengannya tapi, akan aku usahakan. Juga, tidak semua kebaikanku dibayar dengan uang. Jadi, tunggu di sini sampai aku memberikan tanda."
Estelle tergugu, memandang pria pirang itu mendatangi Dave. Banyak pikiran yang harus segera ia analisis. Kenapa pria itu mau membantunya? Apa yang akan pria itu lakukan pada Dave? Dari obrolan mereka tadi sepertinya Dave orang yang berbahaya. Terlebih, apa maksudnya tidak semua dibayar dengan uang? Apa ia harus membayar dengan tubuh? Gila! Kalau begini, lebih baik ia kehilangan cincin itu!
Apa dirinya kabur, saja?
Bersambung ....
"Aku tidak janji untuk membuatmu bisa berbicara dengannya tapi, akan aku usahakan. Juga, tidak semua kebaikanku dibayar dengan uang. Jadi, tunggu di sini sampai aku memberikan tanda."====="Dengarkan aku Alan! Sekali saja, jangan tanyakan aku ada di mana. Aku meneleponmu karena takut kamu menungguku. Sudah, aku harus segera menyelesaikan urusanku. Jangan khawatirkan aku."Estelle menutup ponselnya kemudian menaruh di saku blazer. Memandang lantai dansa yang penduduknya semakin berkurang. Wajar, ini sudah jam tiga pagi. Ia juga sudah menunggu selama enam jam di tempat itu. Beruntung hari ini dirinya sedang mendapat jatah libur. Yah ... sejak kemarin hanya bagian itu yang bisa ia sebut beruntung. Julia benar-benar wanita pembawa sial.Rasanya mau muntah, padahal ia tidak minum apa pun di sana. Sejak lahir sampai sekarang, kakinya baru menginjak lantai diskotek, tempat yang teramat ia benci.Estelle mendengkus kesal. Menonton pria pirang yang e
“Pergi. Pergi kalian semua!”=====Pagi yang terasa dingin. Cahaya mendung masuk dengan lembut menembus tirai-tirai putih di sana. Pancaran langit yang meredup itu membaur satu dengan cahaya lampu tidur di ruangan itu.Rasa hangat menyebar dalam kamar. Mengingat di luar masih turun salju, penghangat ruangan menjadi salah satu penyelamat pria yang sedang terbaring di ranjang. Menyelamatkan tubuhnya dari kedinginan yang membekukan semua benda di luar.Rasa puas bermain di alam mimpi, membuat kelopak mata berbulu lentik yang terpejam itu bergerak. Jam persegi panjang kecil di atas nakas sudah menunjukkan pukul sebelas siang.Dave membuka perlahan matanya, iris emerald yang indah langsung disambut cahaya dari luasnya langit, membuat sang pria mengerjapkan mata, terkejut dengan cahaya terang yang padahal tidak terlalu menyilaukan.Melenguh berat seraya merasakan denyutan tidak nyaman di sekitar pelipis serta ubun-ubun kepalanya. Posis
"Kurang ajar! Dasar ular! Argh! Kenapa jadi sulit begini, sih?! Itu cincinku! Milikku! Kenapa harus susah payah hanya untuk mengambilnya kembali?" gerutu Estelle, tubuhnya terbungkus rapat dengan coat merah bata dan mafela yang melingkar di leher.Tujuan memakai pakaian hangat agar dirinya tidak kedinginan di tengah hamparan salju, tetapi rasanya percuma karena sepertinya, tanpa baju-baju itu pun tubuh Estelle bisa tetap hangat bahkan kepanasan sebab bara amarah di hatinya semakin meningkat.Entah sudah berapa kali wanita dengan tinggi badan 164 sentimeter itu menghembuskan napas demi meredakan amarahnya. Namun, rasa geram hatinya tidak juga kunjung mereda ... dan semua itu karena ulah Julia.Hari ini, Estelle datang menemui Julia untuk meminta kembali cincinnya, sekaligus menolak permintaan yang menyuruhnya untuk mencari informasi tentang Dave, tetapi semua itu sia-sia saja. Julia tidak mau mengembalikan barang miliknya sebelum ia memberikan informa
"Bukankah akan lebih cepat kalau tuan mau menyebutkan nama daripada bermain tebak menebak seperti ini?"=====Bloom Florist, Queens-New York."Ah ... maaf, Elle, ini aku--" Bibirnya langsung merapat ketika melihat Estelle yang tiba-tiba saja menjulurkan lengan kanannya. Telapak tangannya terbuka dan berdiri tegak, tanda agar dirinya berhenti bicara."Em, Sam?" Sam mengangguk membenarkan, hati yang senang tidak bisa ia sembunyikan. Binar dari mata yang bernaung di bawah dua alis tebal sudah menampakkannya dengan jelas. Sam senang Estelle bisa mengingatnya.Tebakkannya dibenarkan, Estelle pun langsung membekap mulutnya. Sedikit tidak percaya kalau orang di hadapannya adalah orang yang membantunya semalam. Auranya benar-benar berbeda."Ya Tuhan, ternyata benar ya, kesan pertama seseorang itu tergantung dari penampilan."Sam hanya bisa tersenyum mendengarnya. Apa segitu berbedanya? Dan lagi, kesan pertama seperti apa, dirinya
“Aneh sekali mendengarmu berkata seperti itu,” ujar Dave yang baru keluar dari liftkemudian berjalan ke tempat mobilnya terparkir. Sejak kemarin ia sudah kembali ke Winter penthousenya setelah menyelesaikan beberapa tugas pekerjaaan yang diberikan Sam. Kira-kira sudah satu menit tangan kirinya itu menggerayangi area belakang leher, memberikan pijatan singkat untuk otot-otot yang terasa kaku. Jujur saja, sekarang badannya terasa sangat lelah,padahal ia sudah tidurselamalima jam. Semalam, Dave masih harus menyelesaikan beberapa berkas laporan yang berakhir hinggapukul dua dini hari dan paginya, ia juga masih harus mengerjakan urusan lain. Kesibukannya bukan tanpa alasan, bukan hanya karena ia seorang calon pewaris Hotel Polaris. Namun, karena ada sesuatu yang harus ia lindungi. “Jangan terlalu berpikir rumit, aku ‘kan hanya bertanya,apa obatmu sudah diminumatau belum?”
Estelle menggenggam erat tali tas yang tergantung pada bahu kirinya. Menggigit bibir dalam, bukan karena dingin dari bekas hujan salju yang turun deras semalam, melainkan karena sedang menahan rasa lelah dan kesal. Sudah beberapa hari ini ia dihadapkan masalah sepele yang menguras emosinya dan semua itu hanya karena sebuah cincin.“Ya Tuhan, semuanya benar-benar menyebalkan ... dari awal semua ini memang tidak masuk akal!” gerutu Estelle.Wanita bermake up tipis itu berjalan dengan cepat sambil mengingat kejadian kemarin. Di mana dirinya ditinggal begitu saja oleh Dave setelah menunjukkan reaksi yang membuat dirinya sedikit tersinggung, pria itu pergi membawa mobil besarnya.Entah kenapa akhir-akhir ini, ia merasa seperti orang bodoh. “Apa sih yang sedang aku lakukan? Menambah masalah hidup saja!” lanjutnya, kemudian menyeruput kopi hangat yang ia beli di kafe dekat halte bus.Tidak lama kemudian, Estelle berhenti di depan sebuah g
“Apa? Operasi?”=====“Sudah kubilang, aku tidak melakukan apa pun padanya! Jadi, berhenti memikirkan wanita itu dan bekerjalah dengan benar!” geram Dave pada ponselnya.Berdiri bertumpu pada kaki kiri dengan satu tangan bertolak pinggang, pria itu mendebas kesal. Entah sudah berapa kali Sam meneleponnya hanya untuk menanyakan hal yang sama. Sam bertanya, apa yang sudah ia lakukan pada teman wanita yang bahkan namanya saja tidak ia ingat meski sudah diucapkan berkali-kali dalam perbincangan mereka.“Sial, memangnya jadi salahku kalau wanita itu tidak mau menerima teleponmu,” lanjutnya menggerutu, menatap layar ponsel yang masih menyala. Ini sudah yang keempat kalinya ia memutuskan sepihak panggilan dari Sam. Kemarin, saat bertemu mereka tidak membahas hal ini. Dave tidak bilang apa pun pada Sam tentang apa yang terjadi di basementnya. Toh, itu tidak penting, pikirn
“Dengar Tuan, aku sungguh tidak tahu apa yang membuatmu marah, tapi aku harus pergi sekarang, permisi,” ujar Estelle=====“Mau pergi ke mana kamu, hm? Kamu pikir aku akan diam dan melepasmu lagi, hah?!” tukas Dave, tangannya langsung ditepis Estelle.“Terserah Anda mau berpikir atau berbicara apa, aku-tidak-peduli!” balas Estelle, kemudian berbalik pergi. Sungguh, dirinya sedang tidak ingin menghadapi pria itu, meski sejak beberapa jam lalu hatinya terus mengutuk Dave.“Hei penguntit! Apa sekarang kamu mau berpura-pura suci karena sudah tertangkap basah olehku, hah?!” teriak Dave, suara yang menggema di lorong membuat langkah Estelle terhenti.Mata Estelle terpejam seraya menekan semua gigi-giginya. Tangan putihnya juga ikut terkepal erat, ia benar-benar tidak suka pada tingkah ke kanak-kanakan Dave.Belum terlalu siang, tetapi kesabarannya sudah melewati garis maksimal
Happy reading! ------ Dave menjauhkan tangannya dari kepala Estelle, lalu membuat sebuah kepalan untuk menutupi mulutnya yang berdeham canggung. "Aku baru ingat kalau pengurus rumah pernah berbicara mengenai kantung berisi celana. Coba kamu periksa di kamarku dan carilah di dalam lemari kecil, sepertinya aku menyuruh dia menaruhnya di sana," ucap Dave. Ia sungguh baru teringat akan hal itu. Sebuah tas jinjing berisi celana. Waktu itu dirinya sedang bergegas untuk pergi, jadi tidak terlalu menaruh perhatian pada apa yang ditemukan pengurus rumahnya itu. "Benarkah? Tapi, apa tidak sebaiknya kamu saja yang mengambilkan barangku?" Dave sedikit menaikkan satu alis. "Aku bukan pesuruhmu," serunya sambil menangkup dan sedikit menekan kedua pipi Estelle, membuat bibir wanita itu mengerucut. "Ck! Ya sudah, kalau begitu aku pinjam kamarmu juga. Aku harus mengganti celanaku," seru Estelle setelah melerai kedua tangan yang mengapit
Happy reading!------Satu tahun berlalu ...."Kemana yang lain?"Suara Dave menginterupsi ketenangan seorang wanita bersurai pixie yang sedang duduk di pinggir kolam, menengadah menikmati langit malam sambil menggoyang-goyangkan kakinya yang berada di dalam air."Kamu terlalu lama, Dave. Mereka sudah pulang," jawab malas Estelle, sekilas memandang Dave yang berdiri bersandar di tiang pintu, lalu kembali pada apa yang ia lihat sebelumnya.Secepat itu? Dave melirik jam tangannya, berpikir ini belum terlalu larut. Tidak lama kemudian, pria itu pun tersenyum kecil. Sepertinya, mereka mulai mengerti apa yang sedang ia butuhkan.Mereka yang di maksud adalah Valeri dan Sam. Akhir-akhir ini, mereka berempat sering menghabiskan waktu bersama, membuat Dave sedikit jengkel.Dave berjalan mendekat ke tempat di mana Estelle berada. "Maaf, aku tidak menyangka kalau urusanku ternyata memakan waktu sedikit lebih la
Happy reading!------Canggung.Itulah yang sedang dirasakan Dave sekarang. Berdiri di hadapan dua orang sambil menggendong rangkaian tulip putih sebagai pelengkap permintaan maafnya.Kemarin, Estelle menolak untuk diajak ke NightBar. Siang tadi pun wanita itu masih menolak ajakan Sam yang menawarkan untuk makan bersama Dave.Meski diri selalu beranggapan kalau tindakannya itu tidak melanggar aturan. Namun anehnya, hati malah merasa semakin bersalah, terlebih Sam terus mengatakan kalau dirinyalah yang salah.Karena perasaan itulah, malam ini Dave memutuskan untuk pergi mengunjungi rumah Estelle. Namun, Alan memberitahukan kalau sang kakak sedang berada di toko bunga.Estelle melirik bergantian pada buket kecil dan pada pemeluk bunga tulip putih itu. Tidak mengira kalau Dave akan mendatangi dirinya seperti ini.Meminta maaf pada teman saja bisa seromantis ini? Bagaimana jika dengan kekasihnya nanti? Pikir Est
Happy reading!------Tiga hari berlalu sejak hari kematian Louis dan Bertha.Tidak ada perubahan besar yang terjadi. Hanya saja, semua seolah terasa terlalu cepat dan sedikit tidak adil bagi Dave, sebagai korban. Dosa yang ditebus dengan kematian memang terlalu mudah. Namun ... entahlah, Dave sungguh tidak tahu harus bagaimana lagi.Setiap hari selalu dipenuhi pikiran kewaspadaan dan kecurigaan terhadap dua orang itu, tetapi sekarang tidak ada perasaan itu dan rasanya ... kosong. Meski kata ‘kosong’ itu masuk dalam artian baik. Hatinya tenang. Entah sejak kapan, tubuhnya terasa ringan seperti ini.Kepergian yang tidak menggerakkan hati, meski Dave akui dirinya begitu terkejut dengan kematian Louis, tambah terkejut lagi karena Callie ada dibalik kematian Bertha. Meski tidak membunuh secara langsung dengan tangannya, Callie tetaplah otak dari penyiksaan yang diterima Bertha. Begitu rapi pekerjaan sang ibu, hingga hukum ikut membung
Happy reading! ------ Sepasang kaki beralas sepatu hitam tergesa menghentak gelisah ke lantai. Dave memasuki rumah dengan sorot mata yang memandang ke arah ruangan, di mana sosok sang ibu baru saja mendudukkan tubuhnya. Menatap curiga pada Callie yang baru kali ini bisa ia kunjungi kembali setelah terbongkarnya sebuah rahasia tentang dirinya. Ingin hati, belum mau melihat wajah Callie, tetapi ada suatu hal yang perlu ia periksa. “Apa ini perbuatanmu?” todong Dave, berdiri angkuh di depan sang ibu yang tatapan yang sulit ia baca. Sosok ibu yang belum bisa Dave pahami--tidak--sejak dulu, Dave memang sulit memahami sikap dan sifat Callie. Setiap hari Dave hanya berusaha untuk memahami dan menjaga sang ibu dari suami yang licik. Melakukan itu semua, hanya karena wajah penuh kecemasan dan kekecewaan Callie masih tergambar jelas di kepalanya. Di mana, sang ibu menangis pilu dan terlihat hancur saat mengetahui dirinya mengidap
Happy reading!------“Em, ini bukan rumahku, Dave,” ujar Estelle dengan mata bergerak bingung memandang ke arah luar. Dave bilang mereka akan pulang, tetapi malah berhenti di depan sebuah bangunan bertingkat tiga yang cukup besar dan luas.Sejenak sebuah kolam air mancur yang meluncur indahmenarik atensinya, tidak lama kemudian kembali melirik pada bangunan, Estelle memandang kaca-kaca tembus pandang yang menampilkan beberapa sepatu cantik dengan background desain dalam toko yang terkesan hangat dan elegan.“Cepat turun,” titah Dave sambil melepaskan seatbelt dan keluar dari mobil.Estelle menghela lalu merengut. Tangannya membuka sabuk pengaman hitam itubersamaan dengan mata yang mengekori tubuh Dave yang menghilang masuk ke dalam toko sepatu di sana. Sungguh, ia sudah sangat lelah dan ingin segera merebahkan diri, tetapi sepertinya Dave masih ingin berpetualang di jalan.Usai keluar dari m
Happy reading!------Estelle menjejakkan kaki telanjangnya di atas pasir putih dingin yang lembut. Berjalan di tepi pantai sambil mendengarkan debur ombak malam yang terdengar merdu dan menenangkan di telinga. Memejamkan mata, melangkah santai dengan dua sepatu bertali yang ia jinjing dibalik belakang tubuhnya.Membiarkan raganya diterjang angin laut yang dingin. Menghirup segar udara malam kemudian menghembuskannya perlahan, udara karbon dioksida yang keluar bersamaan dengan luncuran air hangat yang terjun dari mata yang terpejam.Tidak terdengar isakan dari bibir yang bergetar rapat itu. Tubuhnya terasa panas, meski bisa ia pastikan seluruh kulitnya sudah mendingin.Suasana nyaman dan damai di sana membuat wanita itu teringat akan percakapan dirinya dengan sang mantan beberapa menit lalu.“Harusnya, aku tidak mengangkat panggilannya,” sesal Estelle dalam hati.Sejak ia mengirimkan pesan untuk mempertegas h
Happy reading!------Empat hari berlalu ....“Lalu, apa keputusanmu?” ucap Andrew, terlihat tenang saat melayangkan pertanyaan setelah mendengarkan cerita Dave tentang kedua orang tuanya. Telunjuk kirinya mengetuk-ngetuk pelan meja kerja. Pun posisi punggung yang bersandar, statement yang cukup menguatkan bahwa dirinya sedang menanti pasien sekaligus temannya itu untuk membuat keputusan. Sebuah keputusan yang terkait erat pada asal mula fobia Dave.Tatapan yang sejak tadi terpaku memandang jemari yang saling terkait di atas pangkuan, mulai naik dan membingkai wajah sang dokter dari kejauhan lima langkah. Binar keraguan juga kebingungan jelas terpancar dari mata emerald itu. Dua suara yang sejak satu jam lalu saling bersahutan kini meredam cukup lama.Beberapa kali Dave mengeratkan rahang juga membuka sedikit bingkai mulutnya. Namun, selalu berakhir sama. Suara untuk jawaban dari pertanyaan Andrew enggan kelu
Happy reading!------Riuh angin malam menemani hati yang muram. Dave melempar pandang jauh ke tengah laut. Seakan ikut terbuai pada ayunan ombak yang menderu di sana, Dave puas melayangkan pikiran.Tidak ada yang mengganggu, urusan pekerjaan ia singkirkan. Sangat tidak bertanggung jawab--benar--dan Dave tidak peduli akan anggapan seperti itu. Hidupnya sudah kacau, untuk apa bertanggung jawab pada hal yang sudah mati-matian ia pertahankan? Yang pada akhirnya, semua terasa sia-sia.Dirinya hanyalah objek pembalasan dendam. Apa mereka pikir dirinya ini adalah manusia tanpa hati? Tidak mengertikah mereka bagaimana ia menjalani hidup selama ini? Bertahan dalam sebuah ancaman yang berakhir dengan menanggung rasa sakit. Ingin mengasihani diri sendiri, tetapi suara tawalah yang keluar membaur bersama riuh angin.Dave tidak tahu harus bagaimana lagi. Ia cukup kagum dengan Callie yang begitu tega menyimpan fakta sepenting ini dan muncul pertan