“Pergi. Pergi kalian semua!”
=====
Pagi yang terasa dingin. Cahaya mendung masuk dengan lembut menembus tirai-tirai putih di sana. Pancaran langit yang meredup itu membaur satu dengan cahaya lampu tidur di ruangan itu.
Rasa hangat menyebar dalam kamar. Mengingat di luar masih turun salju, penghangat ruangan menjadi salah satu penyelamat pria yang sedang terbaring di ranjang. Menyelamatkan tubuhnya dari kedinginan yang membekukan semua benda di luar.
Rasa puas bermain di alam mimpi, membuat kelopak mata berbulu lentik yang terpejam itu bergerak. Jam persegi panjang kecil di atas nakas sudah menunjukkan pukul sebelas siang.
Dave membuka perlahan matanya, iris emerald yang indah langsung disambut cahaya dari luasnya langit, membuat sang pria mengerjapkan mata, terkejut dengan cahaya terang yang padahal tidak terlalu menyilaukan.
Melenguh berat seraya merasakan denyutan tidak nyaman di sekitar pelipis serta ubun-ubun kepalanya. Posisi tidur yang miring kini sudah berganti telentang.
Sekali lagi, Dave mengeluarkan suara atas sakit yang diberikan oleh kepalanya. Wajar, semalam ia sudah minum tiga botol mimuman keras dalam keadaan perut kosong. Bukan sedang mencoba untuk menyakiti ataupun bunuh diri melalui alkohol, melainkan ... kemarin adalah hari terburuknya.
"Ukh!" Putaran klise kejadian kemarin terulang jelas di otaknya, Dave seakan sedang menonton film perdana dirinya sendiri.
"Sudah bangun?" Sam yang baru membuka pintu langsung menyapa Dave yang sedang mencoba mendudukan dirinya.
Pria bertelanjang dada itu masih menekan pelipis yang seakan ingin jatuh dari cangkang kepalanya. Tidak lama, mata emerald indahnya memandang lekat wajah sahabat yang memar dengan sentuhan luka sobek di sudut bibir bawahnya.
Dave ingat, semalam ... ia memukuli Sam yang menemukan dirinya terduduk lemas di tepi trotoar. Tubuhnya gemetar bukan karena kedinginan dengan hujanan salju, melainkan karena ulah wanita asing yang dua kali menyentuh tubuhnya.
"Apa kamu berharap aku mati?" sarkas Dave. Balasannya mengundang tawa renyah Sam Owen yang bersandar santai pada kayu pintu.
"Come on, aku sudah menerima hukumanku. Jadi, berhentilah merajuk. Cepat cuci muka dan makan." Sam mendebas lalu tersenyum kecut seraya membuang pandangannya dari Dave. "Hm ... aku memang kelewat baik, mau saja merawat orang yang sudah memberikan luka di wajah tampanku."
"Dapat apa kamu dari wanita sialan itu, sampai berani mengkhianati teman sendiri," tandas Dave masih kesal dengan kejadian semalam--ralat--pagi buta.
Sam kembali memandang Dave. "Nah, itu belum aku pikirkan ... rencananya setelah mengurusmu, baru aku akan menagih bayaranku."
Baru menyelesaikan kalimat. Sebuah bantal terlempat tepat ke arahnya.
"Berengsek! Keluar dari rumahku!" emosi Dave. Ia kesal karena Sam menggunakan dirinya untuk mendekati wanita. Meski hal itu sering terjadi, tetapi Sam tidak pernah membuat wanita incarannya sampai mendekati Dave.
Kejadian semalam benar-benar tidak bisa dinegosiasikan. Meski sudah menghujani tinjuan pada Sam, hatinya masih kesal! Menerima sentuhan wanita asing saat tubuh dan emosinya tidak stabil, benar-benar membuatnya sesak dan ingin mati.
Untung saja semalam ada yang melerai hingga ia bisa kembali pada kewarasannya. Jika tidak, mungkin ia sudah akan menjadi pembunuh untuk pertama kalinya.
"Hei Brother, lihat sekelilingmu, berengsek! Ini rumahku!" kesal Sam kembali melemparkan bantal pada temannya. Semakin lama temperamen buruk Dave semakin liar.
Dave menghela napas sambil menyandarkan kepalanya ke dinding. Ia sadar dengan emosi yang salah tempat dan kelewat batas itu.
Kedua matanya menerawang langit-langit di sana, memikirkan bagaimana caranya agar ia bisa terbebas dari rasa yang semakin lama semakin menggerogoti jiwanya itu.
Psikoterapi yang ia lakukan sejak usia tiga belas tahun, rasanya percuma. Dave baru bisa menerima keberadaan ibunya serta menggunakan bantuan obat-obatan anti cemas jika ingin bertemu wanita atau keluar rumah.
Dave benar-benar frustasi dengan kelemahannya itu. Mengidap fobia yang selalu merasa takut dan cemas saat berhadapan ataupun melihat wanita. Fobia aneh yang lebih dikenal dengan sebutan gynophobia.
"Apa tidak sebaiknya kamu bertemu psikolog lagi? Jangan terus-terusan mengandalkan obat, se--"
"Berisik."
Sam menghela napas pasrah. Dave benar-benar keras kepala. Karena sikapnya itulah yang membuat Sam nekat mendekatkan Dave dengan Estelle. Setidaknya, ia kenal Estelle meskipun wanita itu tidak mengenalnya.
"Semalam, kamu apakan Elle? Kenapa bisa ada di pinggir jalan? Tidak mungkin 'kan, Elle yang mengusirmu dari taksi," rentetan tanya yang sejak semalam sudah sangat membuat Sam penasaran akhirnya bisa ia keluarkan.
Dave menarik satu alisnya. "Elle?"
"Iya, Elle temanku. Wanita yang aku suruh untuk mengantarmu pulang."
Dave terkekeh mendengar penuturan Sam yang sudah terlihat sekali kebohongannya. "Temanmu atau incaranmu? Terlebih, sejak kapan tipe wanitamu berubah seperti itu?" Dave tertawa mengejek. "Leluconmu kali ini benar-benar sangat lucu! Kalau kamu sedang berusaha menilainya, biar aku beritahu, dia, sama seperti wanita lainnya. Cih, mengingat bagaimana dia berani menyentuhku, rasanya menjijikan!"
Kening Sam mengerut samar. Tidak percaya pada cerita Dave. "Terserah, kamu mau bilang apa. Bagaimanapun kamu menilai, Elle tetap temanku dan dia tidak sama seperti apa yang kamu bayangkan! Sudahlah, cepat turun dan isi perutmu!" gerutu Sam, kembali menutup pintu kamar tamu, meninggalkan Dave yang sepertinya akan duduk lama di atas kasur.
Sebenarnya, semalam bisa saja ia membawa Dave pulang. Namun, temannya itu malah pulas saat dalam perjalanan. Salah Dave yang mengganti password pintunya, hanya karena dirinya terlalu sering berkunjung tanpa undangan, Dave jadi selalu mengganti password penthousenya. Sekarang, jika Dave mabuk Sam akan membawanya ke rumah atau ke kamar Nightbar.
"Apa lagi?" tanya Dave datar, saat pintu kembali terbuka sedikit dan melihat sembulan kepala Sam.
"Dari pada duduk tidak berguna seperti itu, sebaiknya cek emailmu, aku sudah mengirimkan laporan kerja sama."
"Laporan milik P atau Z?"
"Jangan bercanda! Aku sudah bilang, tidak akan mau membantumu di Polaris Hotel! Apa kamu mau membuatku muntah karena terus melihat wajahmu, hah! Cepat cek emailnya! Aku harus segera memutuskannya dua jam lagi!"
Dave mendebas lelah tepat setelah pintu kembali Sam tutup. Temannya itu memang sengaja menyiksa dirinya. Setiap gynophobia-nya kambuh, Sam akan memberikan setumpuk pekerjaan! Padahal, tanpa diberikan pun ia sudah cukup sibuk.
"Elle? Jika aku bilang, aku mencekik wanitanya, apa dia akan mencekikku juga?" Dave menyugar rambutnya seraya beranjak dari ranjang. "Apa tipenya sudah berganti? Dilihat sekilas saja, wanita itu tipe yang merepotkan!"
Baru ingin melangkah ke bathroom, benda pipih di atas nakas berbunyi, tampilan layar menunjukkan identitas si pemanggil.
"Mommy?" bisik Dave seraya mengambil gadgetnya kemudian menerima panggilan dari Sang Ibu.
Suara lembut yang menenangkan langsung menyambut telinganya. Hanya sebentar saja hati Dave merasa tenang, karena semenit kemudian sang Ibu, Callie Jasmeen mengabarkan sesuatu yang membuat raut wajahnya menegang.
Callie mengatakan bahwa dirinya sudah menyiapkan pasangan untuk Dave. Seorang wanita yang akan menemani Dave ke pesta parter bisnis Polaris Hotel.
"Halo? Dave? Apa kamu bisa mendengar suara Mommy? Dave?"
Suara Callie yang telah memanggilnya dua kali baru bisa menyadarkan Dave dari kegelisahannya. Bagaimana tidak gelisah? Dua tahun lalu, ia mengatakan pada orang tuanya kalau dirinya sudah sembuh total, karena itulah ia tidak pernah lagi mengunjungi psikolog. Dave hanya tidak ingin melihat orang tuanya sedih apalagi memandangi dirinya dengan tatapan kasihan.
"Aku mendengarmu, Mom. Nanti kita bicarakan hal ini lagi, oke?"
"Dave, apa fobiamu benar-benar sudah hilang? Atau terkadang kambuh? Kalau kamu merasakan gejalanya lagi, sebaiknya kamu jangan me--"
"Mommy, it's okay. Aku sudah baik-baik saja. Kalau fobiaku kambuh, sudah pasti Daddy akan mengetahuinya. Lagi pula, Mommy tahu sendiri 'kan, dalam sehari aku harus menemui banyak wanita di hotel? Dan lihat? Sampai sekarang aku baik-baik saja 'kan?" sela Dave diakhiri dengan senyuman getir, untung saja Callie tidak bisa melihatnya.
Bisa Dave dengar kalau di seberang sambungan, Callie menghembuskan napas lega. Ya ... ini sudah benar. Kebohongan ini juga sebagai motivasi untuk membuat dirinya lebih berusaha menghilangkan fobianya. Terakhir konseling, psikolog menyarankan untuk sering berkomunikasi dengan wanita. Namun, setiap ingin mencoba, banyak wanita yang malah menyalahartikan tindakannya.
Dave sudah dikenal sebagai orang yang angkuh dan kejam. Jadi, jika ia membuka suara banyak kepada para wanita, mereka akan menganggap bahwa diri mereka itu spesial.
Bersambung ...."Kurang ajar! Dasar ular! Argh! Kenapa jadi sulit begini, sih?! Itu cincinku! Milikku! Kenapa harus susah payah hanya untuk mengambilnya kembali?" gerutu Estelle, tubuhnya terbungkus rapat dengan coat merah bata dan mafela yang melingkar di leher.Tujuan memakai pakaian hangat agar dirinya tidak kedinginan di tengah hamparan salju, tetapi rasanya percuma karena sepertinya, tanpa baju-baju itu pun tubuh Estelle bisa tetap hangat bahkan kepanasan sebab bara amarah di hatinya semakin meningkat.Entah sudah berapa kali wanita dengan tinggi badan 164 sentimeter itu menghembuskan napas demi meredakan amarahnya. Namun, rasa geram hatinya tidak juga kunjung mereda ... dan semua itu karena ulah Julia.Hari ini, Estelle datang menemui Julia untuk meminta kembali cincinnya, sekaligus menolak permintaan yang menyuruhnya untuk mencari informasi tentang Dave, tetapi semua itu sia-sia saja. Julia tidak mau mengembalikan barang miliknya sebelum ia memberikan informa
"Bukankah akan lebih cepat kalau tuan mau menyebutkan nama daripada bermain tebak menebak seperti ini?"=====Bloom Florist, Queens-New York."Ah ... maaf, Elle, ini aku--" Bibirnya langsung merapat ketika melihat Estelle yang tiba-tiba saja menjulurkan lengan kanannya. Telapak tangannya terbuka dan berdiri tegak, tanda agar dirinya berhenti bicara."Em, Sam?" Sam mengangguk membenarkan, hati yang senang tidak bisa ia sembunyikan. Binar dari mata yang bernaung di bawah dua alis tebal sudah menampakkannya dengan jelas. Sam senang Estelle bisa mengingatnya.Tebakkannya dibenarkan, Estelle pun langsung membekap mulutnya. Sedikit tidak percaya kalau orang di hadapannya adalah orang yang membantunya semalam. Auranya benar-benar berbeda."Ya Tuhan, ternyata benar ya, kesan pertama seseorang itu tergantung dari penampilan."Sam hanya bisa tersenyum mendengarnya. Apa segitu berbedanya? Dan lagi, kesan pertama seperti apa, dirinya
“Aneh sekali mendengarmu berkata seperti itu,” ujar Dave yang baru keluar dari liftkemudian berjalan ke tempat mobilnya terparkir. Sejak kemarin ia sudah kembali ke Winter penthousenya setelah menyelesaikan beberapa tugas pekerjaaan yang diberikan Sam. Kira-kira sudah satu menit tangan kirinya itu menggerayangi area belakang leher, memberikan pijatan singkat untuk otot-otot yang terasa kaku. Jujur saja, sekarang badannya terasa sangat lelah,padahal ia sudah tidurselamalima jam. Semalam, Dave masih harus menyelesaikan beberapa berkas laporan yang berakhir hinggapukul dua dini hari dan paginya, ia juga masih harus mengerjakan urusan lain. Kesibukannya bukan tanpa alasan, bukan hanya karena ia seorang calon pewaris Hotel Polaris. Namun, karena ada sesuatu yang harus ia lindungi. “Jangan terlalu berpikir rumit, aku ‘kan hanya bertanya,apa obatmu sudah diminumatau belum?”
Estelle menggenggam erat tali tas yang tergantung pada bahu kirinya. Menggigit bibir dalam, bukan karena dingin dari bekas hujan salju yang turun deras semalam, melainkan karena sedang menahan rasa lelah dan kesal. Sudah beberapa hari ini ia dihadapkan masalah sepele yang menguras emosinya dan semua itu hanya karena sebuah cincin.“Ya Tuhan, semuanya benar-benar menyebalkan ... dari awal semua ini memang tidak masuk akal!” gerutu Estelle.Wanita bermake up tipis itu berjalan dengan cepat sambil mengingat kejadian kemarin. Di mana dirinya ditinggal begitu saja oleh Dave setelah menunjukkan reaksi yang membuat dirinya sedikit tersinggung, pria itu pergi membawa mobil besarnya.Entah kenapa akhir-akhir ini, ia merasa seperti orang bodoh. “Apa sih yang sedang aku lakukan? Menambah masalah hidup saja!” lanjutnya, kemudian menyeruput kopi hangat yang ia beli di kafe dekat halte bus.Tidak lama kemudian, Estelle berhenti di depan sebuah g
“Apa? Operasi?”=====“Sudah kubilang, aku tidak melakukan apa pun padanya! Jadi, berhenti memikirkan wanita itu dan bekerjalah dengan benar!” geram Dave pada ponselnya.Berdiri bertumpu pada kaki kiri dengan satu tangan bertolak pinggang, pria itu mendebas kesal. Entah sudah berapa kali Sam meneleponnya hanya untuk menanyakan hal yang sama. Sam bertanya, apa yang sudah ia lakukan pada teman wanita yang bahkan namanya saja tidak ia ingat meski sudah diucapkan berkali-kali dalam perbincangan mereka.“Sial, memangnya jadi salahku kalau wanita itu tidak mau menerima teleponmu,” lanjutnya menggerutu, menatap layar ponsel yang masih menyala. Ini sudah yang keempat kalinya ia memutuskan sepihak panggilan dari Sam. Kemarin, saat bertemu mereka tidak membahas hal ini. Dave tidak bilang apa pun pada Sam tentang apa yang terjadi di basementnya. Toh, itu tidak penting, pikirn
“Dengar Tuan, aku sungguh tidak tahu apa yang membuatmu marah, tapi aku harus pergi sekarang, permisi,” ujar Estelle=====“Mau pergi ke mana kamu, hm? Kamu pikir aku akan diam dan melepasmu lagi, hah?!” tukas Dave, tangannya langsung ditepis Estelle.“Terserah Anda mau berpikir atau berbicara apa, aku-tidak-peduli!” balas Estelle, kemudian berbalik pergi. Sungguh, dirinya sedang tidak ingin menghadapi pria itu, meski sejak beberapa jam lalu hatinya terus mengutuk Dave.“Hei penguntit! Apa sekarang kamu mau berpura-pura suci karena sudah tertangkap basah olehku, hah?!” teriak Dave, suara yang menggema di lorong membuat langkah Estelle terhenti.Mata Estelle terpejam seraya menekan semua gigi-giginya. Tangan putihnya juga ikut terkepal erat, ia benar-benar tidak suka pada tingkah ke kanak-kanakan Dave.Belum terlalu siang, tetapi kesabarannya sudah melewati garis maksimal
"Dave menyeringai. "Oke, aku terima saranmu. Secepatnya, aku akan membuat dia merasa malu. Hukum untuk seorang stalker di sini terlalu murah hati. Jadi, aku akan membuat hukuman sendiri untuknya."=====Meski dingin semakin menyengat kulit dan meski langit malam tidak berbintang, semua itu tetaplah terasa indah untuk Dave, bahkan tumpukan berkas yang ia kerjakan hari ini terasa menyenangkan.Sejak siang tadi, tidak lelah mulut berbingkai bibir tebal itu bersenandung, sudah seperti anak muda yang baru mendapatkan kekasih.Tidak peduli pada tatapan aneh serta heran yang ditunjukkan oleh para bawahannya. Entah sadar atau tidak, Dave yang selalu menjaga wibawa, kini ia lupakan. Wajah datar dengan tatapan intimidasi serta suaraketus belum terlihat sejak Dave menginjakkan kaki ke kantornya.Lebih tepatnya, setelah ia berbincang dengan andrew tadi pagi.
“Aku juga tidak tahu, Valeri bilang ada video tentangku yang sedang ramai di bicarakan sejak semalam.”=====Jalan terlihat lancar. Banyak orang-orang yang berjalan di tepi bahu, jalan khusus yang telah di sediakan untuk pejalan kaki. Biasanya, Estelle ada bersama di dalam kerumunan orang-orang di sana. Bersaing untuk berjalan lebih cepat, padahal tidak sedang mengikuti perlombaan. Yah ... setiap orang di berbagai negara, sudah pasti setiap pagi akan sibuk seperti ini 'kan?Beralih ke dalam mobil, dengan wajah muram Estelle diam menatap jalan. Di sampingnya, ada wanita bersurai pendek sebahu sedang mengemudi. Wanita dengan usia sama seperti Estelle itu sudah beberapa kali melirik ke samping."El, sebaiknya kamu izin saja, aku akan putar lagi mobilnya, oke?" ucap Valeri.Usai menceritakan tentang video yang tidak tahu kenapa bisa muncul dan menjadi trending topik. Valeri pun memutuskan untuk pergi ke kantor bersama setelah menganta
Happy reading! ------ Dave menjauhkan tangannya dari kepala Estelle, lalu membuat sebuah kepalan untuk menutupi mulutnya yang berdeham canggung. "Aku baru ingat kalau pengurus rumah pernah berbicara mengenai kantung berisi celana. Coba kamu periksa di kamarku dan carilah di dalam lemari kecil, sepertinya aku menyuruh dia menaruhnya di sana," ucap Dave. Ia sungguh baru teringat akan hal itu. Sebuah tas jinjing berisi celana. Waktu itu dirinya sedang bergegas untuk pergi, jadi tidak terlalu menaruh perhatian pada apa yang ditemukan pengurus rumahnya itu. "Benarkah? Tapi, apa tidak sebaiknya kamu saja yang mengambilkan barangku?" Dave sedikit menaikkan satu alis. "Aku bukan pesuruhmu," serunya sambil menangkup dan sedikit menekan kedua pipi Estelle, membuat bibir wanita itu mengerucut. "Ck! Ya sudah, kalau begitu aku pinjam kamarmu juga. Aku harus mengganti celanaku," seru Estelle setelah melerai kedua tangan yang mengapit
Happy reading!------Satu tahun berlalu ...."Kemana yang lain?"Suara Dave menginterupsi ketenangan seorang wanita bersurai pixie yang sedang duduk di pinggir kolam, menengadah menikmati langit malam sambil menggoyang-goyangkan kakinya yang berada di dalam air."Kamu terlalu lama, Dave. Mereka sudah pulang," jawab malas Estelle, sekilas memandang Dave yang berdiri bersandar di tiang pintu, lalu kembali pada apa yang ia lihat sebelumnya.Secepat itu? Dave melirik jam tangannya, berpikir ini belum terlalu larut. Tidak lama kemudian, pria itu pun tersenyum kecil. Sepertinya, mereka mulai mengerti apa yang sedang ia butuhkan.Mereka yang di maksud adalah Valeri dan Sam. Akhir-akhir ini, mereka berempat sering menghabiskan waktu bersama, membuat Dave sedikit jengkel.Dave berjalan mendekat ke tempat di mana Estelle berada. "Maaf, aku tidak menyangka kalau urusanku ternyata memakan waktu sedikit lebih la
Happy reading!------Canggung.Itulah yang sedang dirasakan Dave sekarang. Berdiri di hadapan dua orang sambil menggendong rangkaian tulip putih sebagai pelengkap permintaan maafnya.Kemarin, Estelle menolak untuk diajak ke NightBar. Siang tadi pun wanita itu masih menolak ajakan Sam yang menawarkan untuk makan bersama Dave.Meski diri selalu beranggapan kalau tindakannya itu tidak melanggar aturan. Namun anehnya, hati malah merasa semakin bersalah, terlebih Sam terus mengatakan kalau dirinyalah yang salah.Karena perasaan itulah, malam ini Dave memutuskan untuk pergi mengunjungi rumah Estelle. Namun, Alan memberitahukan kalau sang kakak sedang berada di toko bunga.Estelle melirik bergantian pada buket kecil dan pada pemeluk bunga tulip putih itu. Tidak mengira kalau Dave akan mendatangi dirinya seperti ini.Meminta maaf pada teman saja bisa seromantis ini? Bagaimana jika dengan kekasihnya nanti? Pikir Est
Happy reading!------Tiga hari berlalu sejak hari kematian Louis dan Bertha.Tidak ada perubahan besar yang terjadi. Hanya saja, semua seolah terasa terlalu cepat dan sedikit tidak adil bagi Dave, sebagai korban. Dosa yang ditebus dengan kematian memang terlalu mudah. Namun ... entahlah, Dave sungguh tidak tahu harus bagaimana lagi.Setiap hari selalu dipenuhi pikiran kewaspadaan dan kecurigaan terhadap dua orang itu, tetapi sekarang tidak ada perasaan itu dan rasanya ... kosong. Meski kata ‘kosong’ itu masuk dalam artian baik. Hatinya tenang. Entah sejak kapan, tubuhnya terasa ringan seperti ini.Kepergian yang tidak menggerakkan hati, meski Dave akui dirinya begitu terkejut dengan kematian Louis, tambah terkejut lagi karena Callie ada dibalik kematian Bertha. Meski tidak membunuh secara langsung dengan tangannya, Callie tetaplah otak dari penyiksaan yang diterima Bertha. Begitu rapi pekerjaan sang ibu, hingga hukum ikut membung
Happy reading! ------ Sepasang kaki beralas sepatu hitam tergesa menghentak gelisah ke lantai. Dave memasuki rumah dengan sorot mata yang memandang ke arah ruangan, di mana sosok sang ibu baru saja mendudukkan tubuhnya. Menatap curiga pada Callie yang baru kali ini bisa ia kunjungi kembali setelah terbongkarnya sebuah rahasia tentang dirinya. Ingin hati, belum mau melihat wajah Callie, tetapi ada suatu hal yang perlu ia periksa. “Apa ini perbuatanmu?” todong Dave, berdiri angkuh di depan sang ibu yang tatapan yang sulit ia baca. Sosok ibu yang belum bisa Dave pahami--tidak--sejak dulu, Dave memang sulit memahami sikap dan sifat Callie. Setiap hari Dave hanya berusaha untuk memahami dan menjaga sang ibu dari suami yang licik. Melakukan itu semua, hanya karena wajah penuh kecemasan dan kekecewaan Callie masih tergambar jelas di kepalanya. Di mana, sang ibu menangis pilu dan terlihat hancur saat mengetahui dirinya mengidap
Happy reading!------“Em, ini bukan rumahku, Dave,” ujar Estelle dengan mata bergerak bingung memandang ke arah luar. Dave bilang mereka akan pulang, tetapi malah berhenti di depan sebuah bangunan bertingkat tiga yang cukup besar dan luas.Sejenak sebuah kolam air mancur yang meluncur indahmenarik atensinya, tidak lama kemudian kembali melirik pada bangunan, Estelle memandang kaca-kaca tembus pandang yang menampilkan beberapa sepatu cantik dengan background desain dalam toko yang terkesan hangat dan elegan.“Cepat turun,” titah Dave sambil melepaskan seatbelt dan keluar dari mobil.Estelle menghela lalu merengut. Tangannya membuka sabuk pengaman hitam itubersamaan dengan mata yang mengekori tubuh Dave yang menghilang masuk ke dalam toko sepatu di sana. Sungguh, ia sudah sangat lelah dan ingin segera merebahkan diri, tetapi sepertinya Dave masih ingin berpetualang di jalan.Usai keluar dari m
Happy reading!------Estelle menjejakkan kaki telanjangnya di atas pasir putih dingin yang lembut. Berjalan di tepi pantai sambil mendengarkan debur ombak malam yang terdengar merdu dan menenangkan di telinga. Memejamkan mata, melangkah santai dengan dua sepatu bertali yang ia jinjing dibalik belakang tubuhnya.Membiarkan raganya diterjang angin laut yang dingin. Menghirup segar udara malam kemudian menghembuskannya perlahan, udara karbon dioksida yang keluar bersamaan dengan luncuran air hangat yang terjun dari mata yang terpejam.Tidak terdengar isakan dari bibir yang bergetar rapat itu. Tubuhnya terasa panas, meski bisa ia pastikan seluruh kulitnya sudah mendingin.Suasana nyaman dan damai di sana membuat wanita itu teringat akan percakapan dirinya dengan sang mantan beberapa menit lalu.“Harusnya, aku tidak mengangkat panggilannya,” sesal Estelle dalam hati.Sejak ia mengirimkan pesan untuk mempertegas h
Happy reading!------Empat hari berlalu ....“Lalu, apa keputusanmu?” ucap Andrew, terlihat tenang saat melayangkan pertanyaan setelah mendengarkan cerita Dave tentang kedua orang tuanya. Telunjuk kirinya mengetuk-ngetuk pelan meja kerja. Pun posisi punggung yang bersandar, statement yang cukup menguatkan bahwa dirinya sedang menanti pasien sekaligus temannya itu untuk membuat keputusan. Sebuah keputusan yang terkait erat pada asal mula fobia Dave.Tatapan yang sejak tadi terpaku memandang jemari yang saling terkait di atas pangkuan, mulai naik dan membingkai wajah sang dokter dari kejauhan lima langkah. Binar keraguan juga kebingungan jelas terpancar dari mata emerald itu. Dua suara yang sejak satu jam lalu saling bersahutan kini meredam cukup lama.Beberapa kali Dave mengeratkan rahang juga membuka sedikit bingkai mulutnya. Namun, selalu berakhir sama. Suara untuk jawaban dari pertanyaan Andrew enggan kelu
Happy reading!------Riuh angin malam menemani hati yang muram. Dave melempar pandang jauh ke tengah laut. Seakan ikut terbuai pada ayunan ombak yang menderu di sana, Dave puas melayangkan pikiran.Tidak ada yang mengganggu, urusan pekerjaan ia singkirkan. Sangat tidak bertanggung jawab--benar--dan Dave tidak peduli akan anggapan seperti itu. Hidupnya sudah kacau, untuk apa bertanggung jawab pada hal yang sudah mati-matian ia pertahankan? Yang pada akhirnya, semua terasa sia-sia.Dirinya hanyalah objek pembalasan dendam. Apa mereka pikir dirinya ini adalah manusia tanpa hati? Tidak mengertikah mereka bagaimana ia menjalani hidup selama ini? Bertahan dalam sebuah ancaman yang berakhir dengan menanggung rasa sakit. Ingin mengasihani diri sendiri, tetapi suara tawalah yang keluar membaur bersama riuh angin.Dave tidak tahu harus bagaimana lagi. Ia cukup kagum dengan Callie yang begitu tega menyimpan fakta sepenting ini dan muncul pertan