Menurut Kalandra, ketakutan terbesarnya adalah ruangan sempit yang gelap nan pengap, serta serangga dan hewan melata. Namun hari ini sepertinya ia akan menemukan sebuah ketakutan barunya, yaitu keramaian. Ini hari pertamanya ospek di kampus dan ia tanpa sengaja lupa membawa topi pantai yang sudah diperintahkan oleh panitia ospek untuk dibawa hari ini. Malang nasibnya, karena hal itu Kala– panggilan Kalandra, harus menggunakan topi yang terbuat dari baskom kecil. Hal itu membuatnya malu karena harus tampil beda. Ia diam – diam melirik barisan sahabatnya yang terletak agak jauh darinya. Dira– sahabatnya itu hanya memandang Kala dari tempatnya dengan tatapan iba.
Dalam hati, Kala merutuki dirinya yang sangat amat pelupa. Padahal ia sudah menyiapkan topi pantai itu sejak tiga hari yang lalu namun yang terjadi pagi ini malah di luar perkiraannya. Ia justru melengos begitu saja dari rumahnya dan melupakan topi tersebut yang tergeletak di atas meja ruang tamu. Alhasil saat ini ia harus kuat mental menahan malu karena menggunakan topi yang berbeda. Belum lagi ia disatukan di dalam barisan mahasiswa lain yang juga lupa membawa perlengkapan. Lagi – lagi Kala merutuk, kenapa harus ia sendiri yang lupa membawa topi sedangkan yang lainnya malah lupa membawa name tag sehingga ia harus terlihat beda sendiri?
“Untuk adik – adik yang lupa membawa name tag, boleh ikut Kak Waldo. Nah, untuk adik satu – satunya yang lupa bawa topi, boleh ikut Kak Jevan ya.” Ujar seorang panitia perempuan yang tengah berdiri sembari tertawa– diikuti oleh mahasiswa lain.
Bibir Kala mencebik, ia menendang pelan kerikil yang ada di depan sepatunya sembari menggerutu pelan. Hari pertama ospek seharusnya seru jika saja ia tidak mempermalukan diri sendiri. Kala masih saja menendang – nendang kerikil sampai akhirnya sebuah suara serta aroma wangi dari seseorang memecah lamunannya. Bau sitrus serta teh bercampur menjadi satu membuat Kala teringat aroma seseorang yang ia kenal. Karena penasaran, Kala mendongak dan mendapati seorang lelaki tampan sedang berdiri selangkah di depannya.
Mata Kala membulat sempurna, juga bibirnya yang sedikit terbuka menggumamkan sebuah nama, “Kak Jevan?”
“Iya, kenapa? Ganteng?” Sahutnya yang langsung membuat Kala berkedip. “Mau sampai kapan bengong?”
“Hah?” Gumam Kala.
“Cepetan ikut gue, lo harus dihukum.”
“Hah?”
Jevan memutar bola matanya jengah. Tangannya lalu menarik tangan Kala entah kemana karena yang jelas, Kala sedang kehilangan konsentrasi karena bau harum yang dihasilkan Jevan. Beberapa menit ia tidak menolak tangannya ditarik oleh Jevan hingga akhirnya ia sadar ia telah masuk ke dalam ruangan berdebu yang hanya mengandalkan ventilasi sebagai sumber cahaya. Reflek, Kala mundur selangkah. Ruangan itu jelas – jelas ketakutannya. Namun saat hendak lari tangannya justru dicekal oleh Jevan.
“Mau ke mana lo?” Tanya Jevan. Ia memandangi tingkah Kala yang terlihat tidak nyaman. Namun seolah tidak peduli, Jevan tetap tidak membiarkan Kala keluar selangkah pun.
“Kak, please hukum apa aja tapi jangan ini, aku gak bisa.” Pinta Kala.
Kepala Jevan menggeleng. “Gak, ini udah yang paling ringan.”Tangannya tetap mencekal pergelangan tangan Kala erat saat gadis itu mencoba melarikan diri. “Jangan cerewet, lo cuma disuruh bersihin dikit doang.”
“Gak bisa, Kak Jevan. Aku takut–“
“Takut apa? Tikus?” Tanya Jevan yang disambut gelengan oleh Kala. “Yaudah jangan banyak protes atau lo kena poin.” Ia melepaskan cekalannya dari tangan Kala lalu mendorong gadis itu masuk ke dalam ruangan itu tanpa basa – basi.
Dari dalam, Kala menggedor pintu tersebut sekuat tenaga. Keringat dingin mulai mengalir di seluruh tubuh hingga pelipisnya. Pasokan udara mulai berkurang hingga napasnya terjengah – jengah. Namun ia masih belum menyerah, ia masih saja menggedor pintu yang dikunci Jevan dari luar. Lama kelamaan, suara gedoran pintu mulai melemah. Jevan menghela napasnya lega karena berpikir Kala tidak lagi memberontak. Ia mengeluarkan handphonenya lalu mulai bermain game o****e selama beberapa menit sebelum akhirnya sebuah suara benda jatuh memecah konsentrasinya.
Tangannya bergerak membuka kunci pintu ruangan tersebut. “Pelan – pelan dong kalau rusak–“ Mata Jevan melotot saat melihat Kala jatuh terbaring tepat di belakang pintu dan menghalangi jalan Jevan. Pupil mata lelaki itu bergetar panik. Ia berteriak memanggil Sangga– temannya, yang kebetulan berada di ujung lorong. Melihat Jevan yang berteriak panik, Sangga berlari dan bereaksi sama seperti Jevan saat melihat tubuh dan wajah Kala yang pucat pasi.
“Loh kenapa nih? Lo apain?!”
“Tadi gue hukum dia buat bersihin ruangan–“
“Goblok ya lo? Kalau dia fobia ruangan gelap gimana? Lo gak nanya dulu?” Omel Sangga. “Ini kalau ketahuan yang lain bisa mampus panitia ospek!”
Jevan mengacak rambutnya. “Mendingan sekarang lo bantu gue buka pintu supaya bisa ngeluarin dia.”
“Terus gimana? Kalau lo bawa ke ruang kesehatan ntar malah–“
“Biar gue bawa ke rumah sakit.” Sela Jevan. “Lo bantu gue sembunyiin dari anak – anak. Bisa?”
***
Kedua mata Jevan mengawasi pintu ruangan rumah sakit dengan was – was. Sedari tadi ia hanya mondar – mandir sembari menggigit bibir bawahnya gugup. Sebuah tepukan di pundak membuat Jevan menoleh. Ia mendapati seorang pria dan wanita paruh baya sedang menatapnya cemas. Hal itu membuat Jevan merasa bersalah seketika. Ia tak seharusnya menguncikan Kala di dalam ruangan gelap nan pengap itu di hari pertama ospeknya.
“Kamu yang nelepon kami?” Tanya pria itu.
Jevan mengangguk. “Pak, Bu, saya mohon maaf sebesar – besarnya atas kesalahan saya pada Kalandra. Saya berniat ngasi hukuman buat Kalandra atas kesalahannya tapi malah bikin dia begini. Saya mohon jangan laporkan pada pihak kampus karena ini sepenuhnya salah saya.” Kepala Jevan menunduk penuh penyesalan.
Pria dan wanita paruh baya yang merupakan orang tua Kalandra saling menatap satu sama lain lalu tersenyum lembut pada Jevan. “Gak apa – apa, nak. Boleh kami tau nama kamu siapa?” Tanya Yola–Bunda Kala.
“Jevan, Bu.”
“Untuk masalah ini kamu, kami maafkan. Tapi boleh kami hubungi orang tua atau wali kamu?” Ujar Reno– Ayah Kala.
Jevan yang tadinya hendak bernapas lega langsung membelalak panik. “Harus orang tua, Pak?”
“Anak – anak seumuran kalian memang harus dihubungkan dengan orang tua untuk masalah seperti ini. Bisa kami minta kontak orang tua kamu, Jevan? Atau kamu mau hubungi sendiri?” Tanya Reno.
Dengan ragu Jevan menelepon orang tuanya dan sudah dapat ditebak, Mamanya mengomel sepanjang panggilan. Telinga Jevan terasa panas hingga ia diam – diam merutuki kesialannya hari ini. Sembari menunggu Kisa– Mama Jevan datang, kedua orang tua Kala masuk ke dalam ruangan tanpa Jevan. Ia masih punya muka untuk masuk ke sana. Rasanya agak tidak pantas dan memalukan jika ia harus masuk ke dalam ruangan tempat gadis yang tanpa sengaja ia celakai.
Tak berapa lama, Kisa datang dengan wajah panik sekaligus marah. “Jevan! Kamu tuh dari dulu nakal banget sih? Sehariii aja Mama minta gak usah bikin masalah. Bisa gak?”
“Aku gak sengaja, Ma.”
“Gak sengaja apanya! Bikin anak orang masuk rumah sakit sampai orang tuanya manggil Mama. Malu – maluin Mama ajakamu tuh!” Omel Kisa. “Awas ya kalau sampai anaknya kenapa – napa, gak usah pulang kamu!”
“Tapi–” Kesah Jevan.
Kisa menatap Jevan tajam. “Jawab lagi Mama ngomong? Mama jewer telinga kamu.”
***
“Ma, kalau mau hukum aku jangan gini dong. Kan banyak cara lain,” keluh Jevan di perjalanan menuju parkiran mobil. Iamencoba menyamakan jalannya dengan Kisa. Ia tidak peduli jika ada orang yang menertawakannya karena apa yang barusan terjadi justru lebih gawat daripada wajah memelasnya sekarang.“Cara lain emang banyak tapi gak ada yang mempan. Biar kamu tau rasa deh Jev, Mama capek besarin kamu sampai begini tapi bandelnya gak kelar – kelar. Mau sampai kapan kamu tuh gini terus?” Omel Kisa. Ia berkali – kali menghempaskan tangan Jevan yang sedari tadi mencoba m
"Bri, minjem apart.”“Hah–“ Tut.Jevan memutuskan panggilan teleponnya pada Brian secara sepihak. Dirinya sudah terlanjur pusing dengan serangkaian kejadian hari ini jika harus mendengar ocehan sahabatnya itu.Sesampainya di depan apartemen Brian, ia langsung memasukkan password dan masuk ke dalamnya. Belum rasa pusingnya hilang, sebuah notifikasi dari nomor tidak dikenal muncul di layar handphonenya.From : +62821xxxxxKak Jevan, ini Kala. Save ya.Reflek, Jevan membanting handphonenya ke sofa terdekat. Tanpa bertanya pun
Sepulangnya Jevan dari rumah sakit, Kala mendadak murung.Hal itu pun disadari oleh Yola yang saat itu sedang mengupas buah – buahan. Senyum tipis terbit dari bibir wanita paruh baya itu. Ia lalu berjalan mendekati Kala lalu duduk di samping gadis itu.“Kala, mau buah lagi?” Tanya Yola.Dengan cepat Kala menggeleng. “Gak ah, Bun. Kala kenyang.”Yola terkikik kecil melihat putri satu – satunya yang selalu ceriwis mendadak murung. Ia mengelus rambut Kala pelan. “Nanti gak cantik loh, kalau cemberut.”“Kala gak cemberut, Bunda. Muka Kala e
Teriakan yang berasal dari kamar inap Kala membuat seorang perawat masuk dengan wajah khawatir dan membuat Kala hanya menyengir ketika menemukan Kala hanya terkekeh malu padanya. Hal yang sama terjadi pada Dira yang saat itu duduk tepat di samping ranjang Kala. Ia memandangi Kala penasaran karena gadis itu tiba – tiba saja berteriak setelah membaca notifikasi pesan yang muncul di layar handphonenya.“Kal, kenapa sih? Gue kaget tau lo tiba – tiba teriak gitu. Mana perawat pake masuk lagi. Malu nih gue,” gerutu Dira.Kala kembali terkekeh. “Gue ada berita bahagia tau, Dir.”“Kenap
Setelah kelas selesai, Kala langsung bergegas keluar untuk menemui Dira yang sudah menunggunya di kantin kampus. Namun baru saja kakinya melangkah keluar pintu, suara seseorang langsung menyambutnya.“Kal,” panggilnya.Kala menoleh, mencari sumber suara dan langsung menemukan Jevan yang tengah bersandar di dinding koridor. Hatinya merasa menghangat ketika mendengar Jevan menyebut namanya."Iya, Kak? Kenapa ya?" Tanya Kala."Gue perlu ngomong sama lo.""Oke? Ngomong aja," Kata Kala.Mata Jevan memutar, "Ya gak disini.""Dimana?""Di mobil gue." Jevan menarik tangan Kala dan membuat gadis itu terkejut.Kala melepaskan pegangan tangan Jevan karena beberapa tatapan aneh mulai mengerubunginya dan Jevan. "Hah? Aku ada janji sama Dira di kantin. Nanti aja ya?""Bawel banget sih, bersyukur kek gue masih mau ngajak lo ngomong." Jevan mendecak. "Kalau ngikutin kata hati juga gue ogah mau ngomong sama lo."Bibir Kala mengerucut.
Kala sedang asik berleha - leha di kamar tercintanya sembari menonton seri film yang akhir - akhir ini sedang naik daun. Hari ini ia tidak memiliki kelas apapun jadi daripada keluar rumah dan berkeliaran tanpa arah ia lebih baik menonton film saja. Jam sudah menunjukkan pukul dua dan ia belum mengisi perutnya dengan makanan apapun sejak pagi. Karena perutnya terasa keroncongan, Kala pun memutuskan untuk turun ke dapur mencari makanan yang bisa saja ia dapat untuk mengganjal perut kosongnya.Di awal, Kala menuruni tangga dengan santai dan perlahan sampai tiba - tiba ia menemukan Jevan tengah berdiri di ruang tengah rumahnya dan sedang berbicara dengan Yola. Kedua matanya membulat saat Jevan berbalik badan dan memandanginya datar dari atas sampai bawah. Kala yang saat itu hanya menggunakan kaus oblong dan celana kain pun langsung menutup wajahnya yang terasa memerah."Kala? Kok nutup muka gitu sih? Disapa dulu dong calon suaminya," ujar Yola membuat Kala meringis.
Lidah Kala mendadak kelu begitu mendengar ucapan Jevan. Kala menundukkan kepalanya penuh penyesalan sambil menggumamkan kata maaf pada Jevan yang justru dibalas dengan decakan oleh lelaki itu. "Kalau tujuan lo mau manggil gue buat nyusul ke bawah, lo gak perlu ngelakuin itu sampai harus masuk ke kamar gue, Kalandra. Gue bukan anak kecil yang harus dipanggil buat makan." Ucap Jevan tajam. "Tapi aku disuruh Mama, Kak. Aku juga tadi udah ngetuk pintu tapi Kakak gak jawab." Jevan mendecih. "Lo siapa sampai harus gue jawab?" Mata Kala mulai berkaca - kaca akibat sebuah kalimat yang keluar dari mulut Jevan. Hatinya terasa ditusuk - tusuk dengan benda tajam ketika mendengarnya. "Harusnya lo tau kalau gue gak buka pintu, itu berarti gue gak nerima siapapun." Kata Jevan sembari berjalan menjauh dari Kala. Ia meraih sebuah hoodie putih dan memakai benda tersebut ke badannya. "Ngapain masih di sini? Masih bisa jalan keluar kan?" "Aku ngerti
"Bun, Kala berangkat ya." Setelah berpamitan dengan Mama-nya, Kala berjalan keluar pintu rumah dan langsung menahan napasnya sejenak karena pemandangan yang ia dapati di halaman rumahnya. Di sana, Jevan sedang berdiri sembari berbincang dengan supir pribadi Kala. Hei, sejak kapan pria berkaus putih dilapisi kemeja flannel itu berada di sana? Belum lagi senyuman yang terukir di bibirnya itu. Kala saja tidak pernah mendapat senyumnya. Bagaimana bisa Pak Bayu– supir Kala itu bisa mendapatkannya hanya dalam hitungan menit? "Mbak Kala? Kok bengong? Ini Mas Jevan udah nungguin daritadi lho. Syukurnya saya temenin ngobrol, kalau gak Mbak Kala bisa ditinggalin." Ujar Pak Bayu pada Kala. Deretan gigi Kala terlihat saat ia menyengir. "Tadi Kala pikir bakal sama Bapak. Jadi Kala santai aja." "Yowes,Kalau kaya gitu berangkat sekarang ajato,Mas Jevan?" Tanya Pak Bayu pada Jevan Pula. Lelaki itu mengangguk.
"Bun, Kala berangkat ya." Setelah berpamitan dengan Mama-nya, Kala berjalan keluar pintu rumah dan langsung menahan napasnya sejenak karena pemandangan yang ia dapati di halaman rumahnya. Di sana, Jevan sedang berdiri sembari berbincang dengan supir pribadi Kala. Hei, sejak kapan pria berkaus putih dilapisi kemeja flannel itu berada di sana? Belum lagi senyuman yang terukir di bibirnya itu. Kala saja tidak pernah mendapat senyumnya. Bagaimana bisa Pak Bayu– supir Kala itu bisa mendapatkannya hanya dalam hitungan menit? "Mbak Kala? Kok bengong? Ini Mas Jevan udah nungguin daritadi lho. Syukurnya saya temenin ngobrol, kalau gak Mbak Kala bisa ditinggalin." Ujar Pak Bayu pada Kala. Deretan gigi Kala terlihat saat ia menyengir. "Tadi Kala pikir bakal sama Bapak. Jadi Kala santai aja." "Yowes,Kalau kaya gitu berangkat sekarang ajato,Mas Jevan?" Tanya Pak Bayu pada Jevan Pula. Lelaki itu mengangguk.
Lidah Kala mendadak kelu begitu mendengar ucapan Jevan. Kala menundukkan kepalanya penuh penyesalan sambil menggumamkan kata maaf pada Jevan yang justru dibalas dengan decakan oleh lelaki itu. "Kalau tujuan lo mau manggil gue buat nyusul ke bawah, lo gak perlu ngelakuin itu sampai harus masuk ke kamar gue, Kalandra. Gue bukan anak kecil yang harus dipanggil buat makan." Ucap Jevan tajam. "Tapi aku disuruh Mama, Kak. Aku juga tadi udah ngetuk pintu tapi Kakak gak jawab." Jevan mendecih. "Lo siapa sampai harus gue jawab?" Mata Kala mulai berkaca - kaca akibat sebuah kalimat yang keluar dari mulut Jevan. Hatinya terasa ditusuk - tusuk dengan benda tajam ketika mendengarnya. "Harusnya lo tau kalau gue gak buka pintu, itu berarti gue gak nerima siapapun." Kata Jevan sembari berjalan menjauh dari Kala. Ia meraih sebuah hoodie putih dan memakai benda tersebut ke badannya. "Ngapain masih di sini? Masih bisa jalan keluar kan?" "Aku ngerti
Kala sedang asik berleha - leha di kamar tercintanya sembari menonton seri film yang akhir - akhir ini sedang naik daun. Hari ini ia tidak memiliki kelas apapun jadi daripada keluar rumah dan berkeliaran tanpa arah ia lebih baik menonton film saja. Jam sudah menunjukkan pukul dua dan ia belum mengisi perutnya dengan makanan apapun sejak pagi. Karena perutnya terasa keroncongan, Kala pun memutuskan untuk turun ke dapur mencari makanan yang bisa saja ia dapat untuk mengganjal perut kosongnya.Di awal, Kala menuruni tangga dengan santai dan perlahan sampai tiba - tiba ia menemukan Jevan tengah berdiri di ruang tengah rumahnya dan sedang berbicara dengan Yola. Kedua matanya membulat saat Jevan berbalik badan dan memandanginya datar dari atas sampai bawah. Kala yang saat itu hanya menggunakan kaus oblong dan celana kain pun langsung menutup wajahnya yang terasa memerah."Kala? Kok nutup muka gitu sih? Disapa dulu dong calon suaminya," ujar Yola membuat Kala meringis.
Setelah kelas selesai, Kala langsung bergegas keluar untuk menemui Dira yang sudah menunggunya di kantin kampus. Namun baru saja kakinya melangkah keluar pintu, suara seseorang langsung menyambutnya.“Kal,” panggilnya.Kala menoleh, mencari sumber suara dan langsung menemukan Jevan yang tengah bersandar di dinding koridor. Hatinya merasa menghangat ketika mendengar Jevan menyebut namanya."Iya, Kak? Kenapa ya?" Tanya Kala."Gue perlu ngomong sama lo.""Oke? Ngomong aja," Kata Kala.Mata Jevan memutar, "Ya gak disini.""Dimana?""Di mobil gue." Jevan menarik tangan Kala dan membuat gadis itu terkejut.Kala melepaskan pegangan tangan Jevan karena beberapa tatapan aneh mulai mengerubunginya dan Jevan. "Hah? Aku ada janji sama Dira di kantin. Nanti aja ya?""Bawel banget sih, bersyukur kek gue masih mau ngajak lo ngomong." Jevan mendecak. "Kalau ngikutin kata hati juga gue ogah mau ngomong sama lo."Bibir Kala mengerucut.
Teriakan yang berasal dari kamar inap Kala membuat seorang perawat masuk dengan wajah khawatir dan membuat Kala hanya menyengir ketika menemukan Kala hanya terkekeh malu padanya. Hal yang sama terjadi pada Dira yang saat itu duduk tepat di samping ranjang Kala. Ia memandangi Kala penasaran karena gadis itu tiba – tiba saja berteriak setelah membaca notifikasi pesan yang muncul di layar handphonenya.“Kal, kenapa sih? Gue kaget tau lo tiba – tiba teriak gitu. Mana perawat pake masuk lagi. Malu nih gue,” gerutu Dira.Kala kembali terkekeh. “Gue ada berita bahagia tau, Dir.”“Kenap
Sepulangnya Jevan dari rumah sakit, Kala mendadak murung.Hal itu pun disadari oleh Yola yang saat itu sedang mengupas buah – buahan. Senyum tipis terbit dari bibir wanita paruh baya itu. Ia lalu berjalan mendekati Kala lalu duduk di samping gadis itu.“Kala, mau buah lagi?” Tanya Yola.Dengan cepat Kala menggeleng. “Gak ah, Bun. Kala kenyang.”Yola terkikik kecil melihat putri satu – satunya yang selalu ceriwis mendadak murung. Ia mengelus rambut Kala pelan. “Nanti gak cantik loh, kalau cemberut.”“Kala gak cemberut, Bunda. Muka Kala e
"Bri, minjem apart.”“Hah–“ Tut.Jevan memutuskan panggilan teleponnya pada Brian secara sepihak. Dirinya sudah terlanjur pusing dengan serangkaian kejadian hari ini jika harus mendengar ocehan sahabatnya itu.Sesampainya di depan apartemen Brian, ia langsung memasukkan password dan masuk ke dalamnya. Belum rasa pusingnya hilang, sebuah notifikasi dari nomor tidak dikenal muncul di layar handphonenya.From : +62821xxxxxKak Jevan, ini Kala. Save ya.Reflek, Jevan membanting handphonenya ke sofa terdekat. Tanpa bertanya pun
“Ma, kalau mau hukum aku jangan gini dong. Kan banyak cara lain,” keluh Jevan di perjalanan menuju parkiran mobil. Iamencoba menyamakan jalannya dengan Kisa. Ia tidak peduli jika ada orang yang menertawakannya karena apa yang barusan terjadi justru lebih gawat daripada wajah memelasnya sekarang.“Cara lain emang banyak tapi gak ada yang mempan. Biar kamu tau rasa deh Jev, Mama capek besarin kamu sampai begini tapi bandelnya gak kelar – kelar. Mau sampai kapan kamu tuh gini terus?” Omel Kisa. Ia berkali – kali menghempaskan tangan Jevan yang sedari tadi mencoba m
Menurut Kalandra, ketakutan terbesarnya adalah ruangan sempit yang gelap nan pengap, serta serangga dan hewan melata. Namun hari ini sepertinyaiaakan menemukan sebuah ketakutan barunya, yaitu keramaian. Ini hari pertamanya ospek di kampus dan ia tanpa sengaja lupa membawa topi pantai yang sudah diperintahkan oleh panitia ospek untuk dibawa hari ini. Malang nasibnya, karena hal itu Kala– panggilan Kalandra, harus menggunakan topi yang terbuat dari baskom kecil. Hal itu membuatnya malu karena harus tampil beda. Ia diam – diam melirik barisan sah