Sepulangnya Jevan dari rumah sakit, Kala mendadak murung.Hal itu pun disadari oleh Yola yang saat itu sedang mengupas buah – buahan. Senyum tipis terbit dari bibir wanita paruh baya itu. Ia lalu berjalan mendekati Kala lalu duduk di samping gadis itu.
“Kala, mau buah lagi?” Tanya Yola.
Dengan cepat Kala menggeleng. “Gak ah, Bun. Kala kenyang.”
Yola terkikik kecil melihat putri satu – satunya yang selalu ceriwis mendadak murung. Ia mengelus rambut Kala pelan. “Nanti gak cantik loh, kalau cemberut.”
“Kala gak cemberut, Bunda. Muka Kala emang gini.” Balas Kala yang membuat Yola terkekeh. “Lagian ngapain Kala harus cemberut?”
“Gara – gara Jevan pulang kali?” Tebak Yola.
“Mana ada!” Elak Kala.
“Beneran juga gapapa kok. Bunda tau kamu kangen sama Jevan.”
Reflek, Kala mencebik. “Kak Jevan kok gak inget sama Kala ya?”
“Nanti lama – lama juga inget, kamu harus semangat makanya supaya Jevan bisa inget kamu. Jangan cemberut lagi, oke?” Hibur Yola.
Kepala Kala mengangguk. Ingatannya terbang pada seorang anak lelaki tampan yang lebih tua tiga tahun darinya. Anak lelaki itu tersenyum lebar padanya hingga matanya hilang dan menampilkan bulan sabit. Kala kecil membalas senyuman itu dengan semangat. Kenangan indah Kala, itu sebutan Kala pada memori itu. Diam – diam ia tersenyum kecil mengingat kenangan lain yang terukir jelas di otaknya. Bagaimana anak lelaki itu menggandeng tangannya saat berjalan bersama, bagaimana anak lelaki itu mengelus kepalanya ketika ia menangis, serta ucapan anak lelaki itu yang selalu ia ingat : Aku sayang Kala.
Di sisi lain, Jevan yang tengah menyetir menuju rumahnya kembali merasa resah. Hari sudah mulai sore dan ia tidak punya pilihan selain pulang ke rumah karena apartemen Brian yang harusnya bisa jadi tempat ia menumpang tiba – tiba saja dipakai oleh sepupu sahabatnya itu. Hal itulah yang membuat kembaliJevan merutuki kesialan bertubi – tubi yang terjadi padanya hari ini. Hingga akhirnya, Jevan memarkirkan mobilnya di garasi rumahnya dengan terpaksa alias pulang ke rumah.
Saat pintu rumah terbuka, tampaklah Kisa dengan wajah sinisnya menyambut Jevan.
“Kok pulang? Gak ada tempat tinggal ya?” Sindir Kisa.
Jevan menghela napasnya. “Ma, aku capek, butuh istirahat. Debatnya nanti lagi ya?”
“Heh!” Kisa menarik kerah baju Jevan. “Gak sopan banget sih!Izin dulu lah sama Mama kamu mau numpang tidur.”
“Tapi ini kan rumah aku juga, Ma.” Desah Jevan putus asa.
“Siapa bilang? Mama lagi ngurus surat – surat buat pencoretan nama kamu dari kartu keluarga.”
Kedua mata Jevan terbelalak. Ia melompat ke sofa di samping Kisa dan merampas kertas yang ada di tangan Kisa. Ia menatap Kisa tak percaya. “Ma, apa – apaan sih? Gak lucu.”
“Emang Mama gak ngelawak,” cetus Kisa lalu kembali merampas kertas di tangan Jevan. “Kamu kan gak mau dengerin kata Mama lagi, jadi lebih baik di coret aja.”
Tangan Jevan menjambak rambutnya sembari mengerangfrustasi. Kepalanya seakan ingin meledak mendengar ucapan – ucapan yang keluar dari mulut Kisa. “Mau Mama apa sih?”
“Kamu nikah, sama Kala.”
“Ma, aku sama Kala gak saling kenal!” Ujar Jevan kesal. “Dia masih muda banget buat nikah, aku juga belum punya pekerjaan tetap. Kalau aku nikah sama dia, kita makan apa?”
Kertas – kertas yang tadinya Kisa pegang, ia hempaskan begitu saja ke atas meja. “Ketika kamu nikah sama Kala, kamu otomatis jadi pewaris perusahaan mereka. Dan Mama juga bakal kasi sebagian saham perusahaan kita ke kamu.”
“Ma–“
“Tetep gak mau, kan?” Potong Kisa. Ia mengendikkan bahunya. “Gak ada pilihan lain.”
Jevan menggenggam tangannya kuat – kuat guna menahan amarahnya. “Aku belum siap nikah, Ma. Bahkan aku gak pernah pacaran dengan serius gimana aku–“
“Makanya nikah sama Kala supaya kamu bisa serius, bisa tanggung jawab!” Potong Kisa lagi. “Apa lagi sih keluhan kamu tuh, Jev? Pekerjaan dapet, uang dapet, kehormatan dapet, istri cantik dapet. Apanya yang kurang?”
“Kebebasan.”
Kisa mendecih. “Yang selama ini Mama kasih ke kamu itu apa? Bukan kebebasan? Mama biarin kamu milih jurusan yang kamu mau, Mama biarin kamu berbuat sesuka kamu, tinggal dimana pun yang kamu mau. Itu bukan kebebasan kah, Jevano Adirangga?”
“Aku–“
“Pilihannya cuma dua,” desis Kisa. “Nikahin Kala atau kamu terpaksa dicoret dari keluarga Adirangga.”
“Mama, dengerin aku–“
“Pilih, Jevan.” Kisa menekan kata – kata yang keluar dari mulutnya.
Suasana terasa panas, Jevan mengusap wajahnya kasar. Dari sekian banyaknya konflik kehidupan, kenapa ia harus dihadapkan dengan pilihan sulit seperti saat ini? Umurnya masih di awal kepala dua dan ia harus menikahi seorang gadis yang masih berumur belasan? Ia bahkan belum pernah berpacaran dengan serius lalu bagaimana ia bisa memperlakukan Kala sebagai istri dengan benar?
Banyak sekali kemungkinan – kemungkinan yang muncul di benak Jevan. Ia berpikir bagaimana jika suatu saat ia dan Kala bercerai? Sungguh, Jevan tidak ingin menikah lebih dari sekali.Ia tidak mau dirinya menjadi duda.
“Jevano! Kamu dengerin Mama gak sih?!”
Badan Jevan berbalik, ia memijit pelipisnya pelan. “Satu pertanyaan, apa Kala tau kalau aku harus nikah sama dia?”
Kisa mengangguk mantap membuat Jevan kembali mengusap wajahnya pelan. Ternyata Kala tau dan ia sama sekali tidak bersikap aneh pada Jevan tadi yang berarti tidak ada penolakan sedikit pun dari gadis itu membuat pikiran Jevan semakin keruh.
“Oke,” ucap Jevan membuat Kisa menatapnya penuh harap.“Aku bakal nikahin Kala.”
Mata Kisa terbelalak. “SERIUS?!”
“Tapi dengan syarat dia gak boleh membatasi aku,” ujar Jevan final.
Teriakan yang berasal dari kamar inap Kala membuat seorang perawat masuk dengan wajah khawatir dan membuat Kala hanya menyengir ketika menemukan Kala hanya terkekeh malu padanya. Hal yang sama terjadi pada Dira yang saat itu duduk tepat di samping ranjang Kala. Ia memandangi Kala penasaran karena gadis itu tiba – tiba saja berteriak setelah membaca notifikasi pesan yang muncul di layar handphonenya.“Kal, kenapa sih? Gue kaget tau lo tiba – tiba teriak gitu. Mana perawat pake masuk lagi. Malu nih gue,” gerutu Dira.Kala kembali terkekeh. “Gue ada berita bahagia tau, Dir.”“Kenap
Setelah kelas selesai, Kala langsung bergegas keluar untuk menemui Dira yang sudah menunggunya di kantin kampus. Namun baru saja kakinya melangkah keluar pintu, suara seseorang langsung menyambutnya.“Kal,” panggilnya.Kala menoleh, mencari sumber suara dan langsung menemukan Jevan yang tengah bersandar di dinding koridor. Hatinya merasa menghangat ketika mendengar Jevan menyebut namanya."Iya, Kak? Kenapa ya?" Tanya Kala."Gue perlu ngomong sama lo.""Oke? Ngomong aja," Kata Kala.Mata Jevan memutar, "Ya gak disini.""Dimana?""Di mobil gue." Jevan menarik tangan Kala dan membuat gadis itu terkejut.Kala melepaskan pegangan tangan Jevan karena beberapa tatapan aneh mulai mengerubunginya dan Jevan. "Hah? Aku ada janji sama Dira di kantin. Nanti aja ya?""Bawel banget sih, bersyukur kek gue masih mau ngajak lo ngomong." Jevan mendecak. "Kalau ngikutin kata hati juga gue ogah mau ngomong sama lo."Bibir Kala mengerucut.
Kala sedang asik berleha - leha di kamar tercintanya sembari menonton seri film yang akhir - akhir ini sedang naik daun. Hari ini ia tidak memiliki kelas apapun jadi daripada keluar rumah dan berkeliaran tanpa arah ia lebih baik menonton film saja. Jam sudah menunjukkan pukul dua dan ia belum mengisi perutnya dengan makanan apapun sejak pagi. Karena perutnya terasa keroncongan, Kala pun memutuskan untuk turun ke dapur mencari makanan yang bisa saja ia dapat untuk mengganjal perut kosongnya.Di awal, Kala menuruni tangga dengan santai dan perlahan sampai tiba - tiba ia menemukan Jevan tengah berdiri di ruang tengah rumahnya dan sedang berbicara dengan Yola. Kedua matanya membulat saat Jevan berbalik badan dan memandanginya datar dari atas sampai bawah. Kala yang saat itu hanya menggunakan kaus oblong dan celana kain pun langsung menutup wajahnya yang terasa memerah."Kala? Kok nutup muka gitu sih? Disapa dulu dong calon suaminya," ujar Yola membuat Kala meringis.
Lidah Kala mendadak kelu begitu mendengar ucapan Jevan. Kala menundukkan kepalanya penuh penyesalan sambil menggumamkan kata maaf pada Jevan yang justru dibalas dengan decakan oleh lelaki itu. "Kalau tujuan lo mau manggil gue buat nyusul ke bawah, lo gak perlu ngelakuin itu sampai harus masuk ke kamar gue, Kalandra. Gue bukan anak kecil yang harus dipanggil buat makan." Ucap Jevan tajam. "Tapi aku disuruh Mama, Kak. Aku juga tadi udah ngetuk pintu tapi Kakak gak jawab." Jevan mendecih. "Lo siapa sampai harus gue jawab?" Mata Kala mulai berkaca - kaca akibat sebuah kalimat yang keluar dari mulut Jevan. Hatinya terasa ditusuk - tusuk dengan benda tajam ketika mendengarnya. "Harusnya lo tau kalau gue gak buka pintu, itu berarti gue gak nerima siapapun." Kata Jevan sembari berjalan menjauh dari Kala. Ia meraih sebuah hoodie putih dan memakai benda tersebut ke badannya. "Ngapain masih di sini? Masih bisa jalan keluar kan?" "Aku ngerti
"Bun, Kala berangkat ya." Setelah berpamitan dengan Mama-nya, Kala berjalan keluar pintu rumah dan langsung menahan napasnya sejenak karena pemandangan yang ia dapati di halaman rumahnya. Di sana, Jevan sedang berdiri sembari berbincang dengan supir pribadi Kala. Hei, sejak kapan pria berkaus putih dilapisi kemeja flannel itu berada di sana? Belum lagi senyuman yang terukir di bibirnya itu. Kala saja tidak pernah mendapat senyumnya. Bagaimana bisa Pak Bayu– supir Kala itu bisa mendapatkannya hanya dalam hitungan menit? "Mbak Kala? Kok bengong? Ini Mas Jevan udah nungguin daritadi lho. Syukurnya saya temenin ngobrol, kalau gak Mbak Kala bisa ditinggalin." Ujar Pak Bayu pada Kala. Deretan gigi Kala terlihat saat ia menyengir. "Tadi Kala pikir bakal sama Bapak. Jadi Kala santai aja." "Yowes,Kalau kaya gitu berangkat sekarang ajato,Mas Jevan?" Tanya Pak Bayu pada Jevan Pula. Lelaki itu mengangguk.
Menurut Kalandra, ketakutan terbesarnya adalah ruangan sempit yang gelap nan pengap, serta serangga dan hewan melata. Namun hari ini sepertinyaiaakan menemukan sebuah ketakutan barunya, yaitu keramaian. Ini hari pertamanya ospek di kampus dan ia tanpa sengaja lupa membawa topi pantai yang sudah diperintahkan oleh panitia ospek untuk dibawa hari ini. Malang nasibnya, karena hal itu Kala– panggilan Kalandra, harus menggunakan topi yang terbuat dari baskom kecil. Hal itu membuatnya malu karena harus tampil beda. Ia diam – diam melirik barisan sah
“Ma, kalau mau hukum aku jangan gini dong. Kan banyak cara lain,” keluh Jevan di perjalanan menuju parkiran mobil. Iamencoba menyamakan jalannya dengan Kisa. Ia tidak peduli jika ada orang yang menertawakannya karena apa yang barusan terjadi justru lebih gawat daripada wajah memelasnya sekarang.“Cara lain emang banyak tapi gak ada yang mempan. Biar kamu tau rasa deh Jev, Mama capek besarin kamu sampai begini tapi bandelnya gak kelar – kelar. Mau sampai kapan kamu tuh gini terus?” Omel Kisa. Ia berkali – kali menghempaskan tangan Jevan yang sedari tadi mencoba m
"Bri, minjem apart.”“Hah–“ Tut.Jevan memutuskan panggilan teleponnya pada Brian secara sepihak. Dirinya sudah terlanjur pusing dengan serangkaian kejadian hari ini jika harus mendengar ocehan sahabatnya itu.Sesampainya di depan apartemen Brian, ia langsung memasukkan password dan masuk ke dalamnya. Belum rasa pusingnya hilang, sebuah notifikasi dari nomor tidak dikenal muncul di layar handphonenya.From : +62821xxxxxKak Jevan, ini Kala. Save ya.Reflek, Jevan membanting handphonenya ke sofa terdekat. Tanpa bertanya pun
"Bun, Kala berangkat ya." Setelah berpamitan dengan Mama-nya, Kala berjalan keluar pintu rumah dan langsung menahan napasnya sejenak karena pemandangan yang ia dapati di halaman rumahnya. Di sana, Jevan sedang berdiri sembari berbincang dengan supir pribadi Kala. Hei, sejak kapan pria berkaus putih dilapisi kemeja flannel itu berada di sana? Belum lagi senyuman yang terukir di bibirnya itu. Kala saja tidak pernah mendapat senyumnya. Bagaimana bisa Pak Bayu– supir Kala itu bisa mendapatkannya hanya dalam hitungan menit? "Mbak Kala? Kok bengong? Ini Mas Jevan udah nungguin daritadi lho. Syukurnya saya temenin ngobrol, kalau gak Mbak Kala bisa ditinggalin." Ujar Pak Bayu pada Kala. Deretan gigi Kala terlihat saat ia menyengir. "Tadi Kala pikir bakal sama Bapak. Jadi Kala santai aja." "Yowes,Kalau kaya gitu berangkat sekarang ajato,Mas Jevan?" Tanya Pak Bayu pada Jevan Pula. Lelaki itu mengangguk.
Lidah Kala mendadak kelu begitu mendengar ucapan Jevan. Kala menundukkan kepalanya penuh penyesalan sambil menggumamkan kata maaf pada Jevan yang justru dibalas dengan decakan oleh lelaki itu. "Kalau tujuan lo mau manggil gue buat nyusul ke bawah, lo gak perlu ngelakuin itu sampai harus masuk ke kamar gue, Kalandra. Gue bukan anak kecil yang harus dipanggil buat makan." Ucap Jevan tajam. "Tapi aku disuruh Mama, Kak. Aku juga tadi udah ngetuk pintu tapi Kakak gak jawab." Jevan mendecih. "Lo siapa sampai harus gue jawab?" Mata Kala mulai berkaca - kaca akibat sebuah kalimat yang keluar dari mulut Jevan. Hatinya terasa ditusuk - tusuk dengan benda tajam ketika mendengarnya. "Harusnya lo tau kalau gue gak buka pintu, itu berarti gue gak nerima siapapun." Kata Jevan sembari berjalan menjauh dari Kala. Ia meraih sebuah hoodie putih dan memakai benda tersebut ke badannya. "Ngapain masih di sini? Masih bisa jalan keluar kan?" "Aku ngerti
Kala sedang asik berleha - leha di kamar tercintanya sembari menonton seri film yang akhir - akhir ini sedang naik daun. Hari ini ia tidak memiliki kelas apapun jadi daripada keluar rumah dan berkeliaran tanpa arah ia lebih baik menonton film saja. Jam sudah menunjukkan pukul dua dan ia belum mengisi perutnya dengan makanan apapun sejak pagi. Karena perutnya terasa keroncongan, Kala pun memutuskan untuk turun ke dapur mencari makanan yang bisa saja ia dapat untuk mengganjal perut kosongnya.Di awal, Kala menuruni tangga dengan santai dan perlahan sampai tiba - tiba ia menemukan Jevan tengah berdiri di ruang tengah rumahnya dan sedang berbicara dengan Yola. Kedua matanya membulat saat Jevan berbalik badan dan memandanginya datar dari atas sampai bawah. Kala yang saat itu hanya menggunakan kaus oblong dan celana kain pun langsung menutup wajahnya yang terasa memerah."Kala? Kok nutup muka gitu sih? Disapa dulu dong calon suaminya," ujar Yola membuat Kala meringis.
Setelah kelas selesai, Kala langsung bergegas keluar untuk menemui Dira yang sudah menunggunya di kantin kampus. Namun baru saja kakinya melangkah keluar pintu, suara seseorang langsung menyambutnya.“Kal,” panggilnya.Kala menoleh, mencari sumber suara dan langsung menemukan Jevan yang tengah bersandar di dinding koridor. Hatinya merasa menghangat ketika mendengar Jevan menyebut namanya."Iya, Kak? Kenapa ya?" Tanya Kala."Gue perlu ngomong sama lo.""Oke? Ngomong aja," Kata Kala.Mata Jevan memutar, "Ya gak disini.""Dimana?""Di mobil gue." Jevan menarik tangan Kala dan membuat gadis itu terkejut.Kala melepaskan pegangan tangan Jevan karena beberapa tatapan aneh mulai mengerubunginya dan Jevan. "Hah? Aku ada janji sama Dira di kantin. Nanti aja ya?""Bawel banget sih, bersyukur kek gue masih mau ngajak lo ngomong." Jevan mendecak. "Kalau ngikutin kata hati juga gue ogah mau ngomong sama lo."Bibir Kala mengerucut.
Teriakan yang berasal dari kamar inap Kala membuat seorang perawat masuk dengan wajah khawatir dan membuat Kala hanya menyengir ketika menemukan Kala hanya terkekeh malu padanya. Hal yang sama terjadi pada Dira yang saat itu duduk tepat di samping ranjang Kala. Ia memandangi Kala penasaran karena gadis itu tiba – tiba saja berteriak setelah membaca notifikasi pesan yang muncul di layar handphonenya.“Kal, kenapa sih? Gue kaget tau lo tiba – tiba teriak gitu. Mana perawat pake masuk lagi. Malu nih gue,” gerutu Dira.Kala kembali terkekeh. “Gue ada berita bahagia tau, Dir.”“Kenap
Sepulangnya Jevan dari rumah sakit, Kala mendadak murung.Hal itu pun disadari oleh Yola yang saat itu sedang mengupas buah – buahan. Senyum tipis terbit dari bibir wanita paruh baya itu. Ia lalu berjalan mendekati Kala lalu duduk di samping gadis itu.“Kala, mau buah lagi?” Tanya Yola.Dengan cepat Kala menggeleng. “Gak ah, Bun. Kala kenyang.”Yola terkikik kecil melihat putri satu – satunya yang selalu ceriwis mendadak murung. Ia mengelus rambut Kala pelan. “Nanti gak cantik loh, kalau cemberut.”“Kala gak cemberut, Bunda. Muka Kala e
"Bri, minjem apart.”“Hah–“ Tut.Jevan memutuskan panggilan teleponnya pada Brian secara sepihak. Dirinya sudah terlanjur pusing dengan serangkaian kejadian hari ini jika harus mendengar ocehan sahabatnya itu.Sesampainya di depan apartemen Brian, ia langsung memasukkan password dan masuk ke dalamnya. Belum rasa pusingnya hilang, sebuah notifikasi dari nomor tidak dikenal muncul di layar handphonenya.From : +62821xxxxxKak Jevan, ini Kala. Save ya.Reflek, Jevan membanting handphonenya ke sofa terdekat. Tanpa bertanya pun
“Ma, kalau mau hukum aku jangan gini dong. Kan banyak cara lain,” keluh Jevan di perjalanan menuju parkiran mobil. Iamencoba menyamakan jalannya dengan Kisa. Ia tidak peduli jika ada orang yang menertawakannya karena apa yang barusan terjadi justru lebih gawat daripada wajah memelasnya sekarang.“Cara lain emang banyak tapi gak ada yang mempan. Biar kamu tau rasa deh Jev, Mama capek besarin kamu sampai begini tapi bandelnya gak kelar – kelar. Mau sampai kapan kamu tuh gini terus?” Omel Kisa. Ia berkali – kali menghempaskan tangan Jevan yang sedari tadi mencoba m
Menurut Kalandra, ketakutan terbesarnya adalah ruangan sempit yang gelap nan pengap, serta serangga dan hewan melata. Namun hari ini sepertinyaiaakan menemukan sebuah ketakutan barunya, yaitu keramaian. Ini hari pertamanya ospek di kampus dan ia tanpa sengaja lupa membawa topi pantai yang sudah diperintahkan oleh panitia ospek untuk dibawa hari ini. Malang nasibnya, karena hal itu Kala– panggilan Kalandra, harus menggunakan topi yang terbuat dari baskom kecil. Hal itu membuatnya malu karena harus tampil beda. Ia diam – diam melirik barisan sah