"Bri, minjem apart.”
“Hah–“
Tut.
Jevan memutuskan panggilan teleponnya pada Brian secara sepihak. Dirinya sudah terlanjur pusing dengan serangkaian kejadian hari ini jika harus mendengar ocehan sahabatnya itu.Sesampainya di depan apartemen Brian, ia langsung memasukkan password dan masuk ke dalamnya. Belum rasa pusingnya hilang, sebuah notifikasi dari nomor tidak dikenal muncul di layar handphonenya.
From : +62821xxxxx
Kak Jevan, ini Kala. Save ya.
Reflek, Jevan membanting handphonenya ke sofa terdekat. Tanpa bertanya pun ia sudah tau siapa pelaku di balik penyebaran nomor teleponnya. Tanpa basa – basi, Jevan menekan nomor Kisa dan menelepon Mamanya itu.
“Kenapa?”
“Ma, kok nomor aku dikasi ke Kala sih? Aku kan belum setuju buat nikahin dia.” Protes Jevan.
Di ujung sana, Kisa menghela napasnya. “Mama ngasi nomor kamu sebagai pihak orang tua yang bertanggung jawab atas kecelakaan yang diakibatkan anak Mama sendiri. Protes mulu hidup kamu tuh. Masalah kita yang tadi belom kelar. Jadijangan bikin Mama tambah marah.”
“Gak usah pakai ngasi nomor aku kan bisa,” ujar Jevan yang mencoba agar Kisa dapat melunak.
“Mama gak mau denger alasan lagi. Kamu sekarang dimana?Jangan coba – coba kabur, kartu kredit kamu udah Mama blokir. Apartemen juga Mama ganti password.”
“Udah tau, hafal aku kebiasaan Mama kalau marah.”
“Bagus, kalau gitu sekarang kamu ke rumah sakit tempat Kalandra dirawat. Kamu bicara baik – baik sama dia pokoknya.”
“Bicarain apa lagi sih, Ma?”
“Ya kamu minta maaf lah, Jevano. Kamu itu laki – laki bukan sih? Harusnya kamu tau kalau kamu punya salah itu kamu harus apa. Bukannya malah nunggu Mama suruh minta maaf baru minta maaf. Berasa gagal Mama besarin kamu, Jev.” Dumel Kisa. “Gak ada penolakan, atau Mama gak akan kasi balik kartu kredit dan apartemen kamu.”
“Iya – iya, ini aku ke sana.” Jevan mematikan panggilannya lalu menendang sofa di hadapannya. “Jevan goblokkk bikin masalah mulu.” Makinya pada diri sendiri sembari mengacak rambutnya kasar.
Ia meraih kunci mobil yang tergeletak di atas sofa lalu keluar dari apartemen Brian dengan wajah luar biasa kusut. Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, Jevan tak henti – henti merutuki dirinya sendiri. Sedari kecil, apa yang ia mau akan selalu dituruti oleh Kisa dan mendiang Papanya yang meninggal lima tahun lalu. Ia lahir sebagai anak tunggal yang selalu dimanjakan. Apapun yang ia lakukan akan selalu didukung oleh kedua orang tuanya walaupun ia memang nakal. Apalagi setelah kepergian Papanya, Jevan semakin tak bisa diatur membuat Kisa pusing mengurus anak lelaki satu – satunya itu.
Selama ini Kisa memang marah padanya apabila ia membuat masalah atau kekacauan. Tapi Kisa tidak pernah semarah ini sebelumnya dan hal itu membuat Jevan sangat amat resah. Pikirannya kacau balau ketika mendengar kedua orang tua Kala dulunya pernah membantu perusahaan Papanya yang hampir bangkrut ketika Papanya sakit. Jevan tidak pernah tau dan ia merasa marah karena merasa menjadi anak yang tidak berguna sampai – sampai masalah bangkrutnya perusahaan Papanya ia tak pernah tau. Apalagi ia tau ketika pagi tadi tanpa sengaja Kisa bertemu kedua orang tua Kala yang ‘berjasa’ dulunya. Pantas saja wanita itu mati – matian menyuruh Jevan menikahi Kala yang bahkan belum ia kenal.
“Jevan?” Panggil Yola– Bunda Kala yang memecah lamunan Jevan yang sedang berdiri di depan ruangan Kala.
Jevan tersenyum canggung. “Iya, Tante. Kala udah sadar?”
“Udah, kamu mau masuk?” Tanya Yola ramah membuat Jevan yang tadinya panas perlahan melunak karena melihat keramahan Yola.
“Saya boleh masuk?” Jevan bertanya ragu.
Yola tersenyum kecil. “Masuk aja, Tante ada perlu ketemu Dokter. Kamu bisa tolong jagain Kala sebentar?”
Kepala Jevan mengangguk pelan mengiyakan permintaan Yola. Setelah Yola pergi, dengan ragu Jevan membuka pintu ruangan dan menampakkan tubuh Kala yang sedang bersandar di ranjang rumah sakit sembari mengunyah apel di tangannya.
“Loh, Kak Jevan?” Ujar Kala yang melihatnya di muka pintu.
Ekspresi Kala yang tersenyum ramah membuat Jevan terperangah. Ia pikir Kala akan marah padanya, namun sebaliknya, gadis itu justru memanggil namanya untuk masuk dan duduk di samping ranjang.
“Lo gapapa?” Hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Jevan setelah beberapa menit terdiam.
Kunyahan Kala terhenti, gadis itu kembali tersenyum. “Gapapa, kok. Kak Jevan ngapain ke sini?”
Lagi – lagi Jevan terdiam, ia menatap kedua mata Kala yang berbinar lembut serta tangannya yang terpasang jarum infus. “Gue mau minta maaf.” Ucap Jevan. Ia membasahi bibirnya pelan. “Gue ngerasa bersalah karena ngasi lo hukuman yang parah banget kalau dipikir – pikir.”
Kala mengangguk pelan. “Sebenernya gak parah – parah banget sih. Akunya aja yang gak bisa dikasi hukuman begitu. Lagian,Kak Jevan kan gak tau.” Kata Kala. Ia lalu menoleh dan menatap Jevan. “Ngomong – ngomong, makasih ya Kak udah bawa aku ke rumah sakit.”
Untuk kedua kalinya Jevan terperangah, apa tadi katanya? Makasih?
“Lo gak salah bilang makasih ke gue? Gue hampir bikin lo mati loh.” Ujar Jevan. Alisnya mengernyit bingung dengan mata yang menatap Kala.
“Kan aku udah bilang, Kak Jevan gak sengaja. Kalau Kak Jevan sengaja, pasti Kakak biarin aku mati gak napas di ruangan tadi.” Jelas Kala masih dengan sisa apel di mulutnya. “Udah ah, gak usah dibahas lagi. Aku baik – baik aja nih sekarang, udah bisa makan apel.” Cengir Kala.
Ucapan Kala membuat Jevan mendadak tak bisa berkata – kata. Mulutnya seolah dibungkam sesuatu yang membuatnya tak bisa mengucapkan sepatah kata pun dari mulutnya. Senyuman Kala, kata – kata yang keluar dari mulutnya itulah penyebabnya. Jevan mendadak dibuat bingung, sihir apa yang Kala lakukan padanya sehingga ia menjadi seperti ini?
Ia tidak pernah merasa terbungkamkan oleh seseorang selain Mama dan mendiang Papanya. Rasanya terlalu tiba - tiba jika Kala— gadis yang Kisa bilang harus dinikahinya— bisa membungkamnya hanya dengan cengiran, senyuman, dan beberapa patah kata yang sebenarnya tidak seberapa.
Mata Jevan memandangi wajah Kala yang tetap cantik walau sedikit pucat. Kulitnya putih, bibirnya tipis, pipinya sedikit berisi walaupun bisa dibilang tirus. Hidungnya yang mancung, matanya yang bulat dibingkai dengan bulu mata lentik serta alis yang rapih membuat Jevan—sejujurnya— merasa betah menatap gadis itu. Namun mengingat lagi kata - kata Kisa beberapa saat lalu, Jevan rasanya ingin marah pada Kala yang sedang mengunyah apel tanpa rasa bersalah itu.
"Kala," panggil Jevan.
Dua bola mata berbinar itu menatap Jevan dan lagi - lagi Jevan terdiam. Dua bola mata itu terasa familiar bagi Jevan. Tapi—ah Jevan mengalihkan pandangannya.
***
Sepulangnya Jevan dari rumah sakit, Kala mendadak murung.Hal itu pun disadari oleh Yola yang saat itu sedang mengupas buah – buahan. Senyum tipis terbit dari bibir wanita paruh baya itu. Ia lalu berjalan mendekati Kala lalu duduk di samping gadis itu.“Kala, mau buah lagi?” Tanya Yola.Dengan cepat Kala menggeleng. “Gak ah, Bun. Kala kenyang.”Yola terkikik kecil melihat putri satu – satunya yang selalu ceriwis mendadak murung. Ia mengelus rambut Kala pelan. “Nanti gak cantik loh, kalau cemberut.”“Kala gak cemberut, Bunda. Muka Kala e
Teriakan yang berasal dari kamar inap Kala membuat seorang perawat masuk dengan wajah khawatir dan membuat Kala hanya menyengir ketika menemukan Kala hanya terkekeh malu padanya. Hal yang sama terjadi pada Dira yang saat itu duduk tepat di samping ranjang Kala. Ia memandangi Kala penasaran karena gadis itu tiba – tiba saja berteriak setelah membaca notifikasi pesan yang muncul di layar handphonenya.“Kal, kenapa sih? Gue kaget tau lo tiba – tiba teriak gitu. Mana perawat pake masuk lagi. Malu nih gue,” gerutu Dira.Kala kembali terkekeh. “Gue ada berita bahagia tau, Dir.”“Kenap
Setelah kelas selesai, Kala langsung bergegas keluar untuk menemui Dira yang sudah menunggunya di kantin kampus. Namun baru saja kakinya melangkah keluar pintu, suara seseorang langsung menyambutnya.“Kal,” panggilnya.Kala menoleh, mencari sumber suara dan langsung menemukan Jevan yang tengah bersandar di dinding koridor. Hatinya merasa menghangat ketika mendengar Jevan menyebut namanya."Iya, Kak? Kenapa ya?" Tanya Kala."Gue perlu ngomong sama lo.""Oke? Ngomong aja," Kata Kala.Mata Jevan memutar, "Ya gak disini.""Dimana?""Di mobil gue." Jevan menarik tangan Kala dan membuat gadis itu terkejut.Kala melepaskan pegangan tangan Jevan karena beberapa tatapan aneh mulai mengerubunginya dan Jevan. "Hah? Aku ada janji sama Dira di kantin. Nanti aja ya?""Bawel banget sih, bersyukur kek gue masih mau ngajak lo ngomong." Jevan mendecak. "Kalau ngikutin kata hati juga gue ogah mau ngomong sama lo."Bibir Kala mengerucut.
Kala sedang asik berleha - leha di kamar tercintanya sembari menonton seri film yang akhir - akhir ini sedang naik daun. Hari ini ia tidak memiliki kelas apapun jadi daripada keluar rumah dan berkeliaran tanpa arah ia lebih baik menonton film saja. Jam sudah menunjukkan pukul dua dan ia belum mengisi perutnya dengan makanan apapun sejak pagi. Karena perutnya terasa keroncongan, Kala pun memutuskan untuk turun ke dapur mencari makanan yang bisa saja ia dapat untuk mengganjal perut kosongnya.Di awal, Kala menuruni tangga dengan santai dan perlahan sampai tiba - tiba ia menemukan Jevan tengah berdiri di ruang tengah rumahnya dan sedang berbicara dengan Yola. Kedua matanya membulat saat Jevan berbalik badan dan memandanginya datar dari atas sampai bawah. Kala yang saat itu hanya menggunakan kaus oblong dan celana kain pun langsung menutup wajahnya yang terasa memerah."Kala? Kok nutup muka gitu sih? Disapa dulu dong calon suaminya," ujar Yola membuat Kala meringis.
Lidah Kala mendadak kelu begitu mendengar ucapan Jevan. Kala menundukkan kepalanya penuh penyesalan sambil menggumamkan kata maaf pada Jevan yang justru dibalas dengan decakan oleh lelaki itu. "Kalau tujuan lo mau manggil gue buat nyusul ke bawah, lo gak perlu ngelakuin itu sampai harus masuk ke kamar gue, Kalandra. Gue bukan anak kecil yang harus dipanggil buat makan." Ucap Jevan tajam. "Tapi aku disuruh Mama, Kak. Aku juga tadi udah ngetuk pintu tapi Kakak gak jawab." Jevan mendecih. "Lo siapa sampai harus gue jawab?" Mata Kala mulai berkaca - kaca akibat sebuah kalimat yang keluar dari mulut Jevan. Hatinya terasa ditusuk - tusuk dengan benda tajam ketika mendengarnya. "Harusnya lo tau kalau gue gak buka pintu, itu berarti gue gak nerima siapapun." Kata Jevan sembari berjalan menjauh dari Kala. Ia meraih sebuah hoodie putih dan memakai benda tersebut ke badannya. "Ngapain masih di sini? Masih bisa jalan keluar kan?" "Aku ngerti
"Bun, Kala berangkat ya." Setelah berpamitan dengan Mama-nya, Kala berjalan keluar pintu rumah dan langsung menahan napasnya sejenak karena pemandangan yang ia dapati di halaman rumahnya. Di sana, Jevan sedang berdiri sembari berbincang dengan supir pribadi Kala. Hei, sejak kapan pria berkaus putih dilapisi kemeja flannel itu berada di sana? Belum lagi senyuman yang terukir di bibirnya itu. Kala saja tidak pernah mendapat senyumnya. Bagaimana bisa Pak Bayu– supir Kala itu bisa mendapatkannya hanya dalam hitungan menit? "Mbak Kala? Kok bengong? Ini Mas Jevan udah nungguin daritadi lho. Syukurnya saya temenin ngobrol, kalau gak Mbak Kala bisa ditinggalin." Ujar Pak Bayu pada Kala. Deretan gigi Kala terlihat saat ia menyengir. "Tadi Kala pikir bakal sama Bapak. Jadi Kala santai aja." "Yowes,Kalau kaya gitu berangkat sekarang ajato,Mas Jevan?" Tanya Pak Bayu pada Jevan Pula. Lelaki itu mengangguk.
Menurut Kalandra, ketakutan terbesarnya adalah ruangan sempit yang gelap nan pengap, serta serangga dan hewan melata. Namun hari ini sepertinyaiaakan menemukan sebuah ketakutan barunya, yaitu keramaian. Ini hari pertamanya ospek di kampus dan ia tanpa sengaja lupa membawa topi pantai yang sudah diperintahkan oleh panitia ospek untuk dibawa hari ini. Malang nasibnya, karena hal itu Kala– panggilan Kalandra, harus menggunakan topi yang terbuat dari baskom kecil. Hal itu membuatnya malu karena harus tampil beda. Ia diam – diam melirik barisan sah
“Ma, kalau mau hukum aku jangan gini dong. Kan banyak cara lain,” keluh Jevan di perjalanan menuju parkiran mobil. Iamencoba menyamakan jalannya dengan Kisa. Ia tidak peduli jika ada orang yang menertawakannya karena apa yang barusan terjadi justru lebih gawat daripada wajah memelasnya sekarang.“Cara lain emang banyak tapi gak ada yang mempan. Biar kamu tau rasa deh Jev, Mama capek besarin kamu sampai begini tapi bandelnya gak kelar – kelar. Mau sampai kapan kamu tuh gini terus?” Omel Kisa. Ia berkali – kali menghempaskan tangan Jevan yang sedari tadi mencoba m
"Bun, Kala berangkat ya." Setelah berpamitan dengan Mama-nya, Kala berjalan keluar pintu rumah dan langsung menahan napasnya sejenak karena pemandangan yang ia dapati di halaman rumahnya. Di sana, Jevan sedang berdiri sembari berbincang dengan supir pribadi Kala. Hei, sejak kapan pria berkaus putih dilapisi kemeja flannel itu berada di sana? Belum lagi senyuman yang terukir di bibirnya itu. Kala saja tidak pernah mendapat senyumnya. Bagaimana bisa Pak Bayu– supir Kala itu bisa mendapatkannya hanya dalam hitungan menit? "Mbak Kala? Kok bengong? Ini Mas Jevan udah nungguin daritadi lho. Syukurnya saya temenin ngobrol, kalau gak Mbak Kala bisa ditinggalin." Ujar Pak Bayu pada Kala. Deretan gigi Kala terlihat saat ia menyengir. "Tadi Kala pikir bakal sama Bapak. Jadi Kala santai aja." "Yowes,Kalau kaya gitu berangkat sekarang ajato,Mas Jevan?" Tanya Pak Bayu pada Jevan Pula. Lelaki itu mengangguk.
Lidah Kala mendadak kelu begitu mendengar ucapan Jevan. Kala menundukkan kepalanya penuh penyesalan sambil menggumamkan kata maaf pada Jevan yang justru dibalas dengan decakan oleh lelaki itu. "Kalau tujuan lo mau manggil gue buat nyusul ke bawah, lo gak perlu ngelakuin itu sampai harus masuk ke kamar gue, Kalandra. Gue bukan anak kecil yang harus dipanggil buat makan." Ucap Jevan tajam. "Tapi aku disuruh Mama, Kak. Aku juga tadi udah ngetuk pintu tapi Kakak gak jawab." Jevan mendecih. "Lo siapa sampai harus gue jawab?" Mata Kala mulai berkaca - kaca akibat sebuah kalimat yang keluar dari mulut Jevan. Hatinya terasa ditusuk - tusuk dengan benda tajam ketika mendengarnya. "Harusnya lo tau kalau gue gak buka pintu, itu berarti gue gak nerima siapapun." Kata Jevan sembari berjalan menjauh dari Kala. Ia meraih sebuah hoodie putih dan memakai benda tersebut ke badannya. "Ngapain masih di sini? Masih bisa jalan keluar kan?" "Aku ngerti
Kala sedang asik berleha - leha di kamar tercintanya sembari menonton seri film yang akhir - akhir ini sedang naik daun. Hari ini ia tidak memiliki kelas apapun jadi daripada keluar rumah dan berkeliaran tanpa arah ia lebih baik menonton film saja. Jam sudah menunjukkan pukul dua dan ia belum mengisi perutnya dengan makanan apapun sejak pagi. Karena perutnya terasa keroncongan, Kala pun memutuskan untuk turun ke dapur mencari makanan yang bisa saja ia dapat untuk mengganjal perut kosongnya.Di awal, Kala menuruni tangga dengan santai dan perlahan sampai tiba - tiba ia menemukan Jevan tengah berdiri di ruang tengah rumahnya dan sedang berbicara dengan Yola. Kedua matanya membulat saat Jevan berbalik badan dan memandanginya datar dari atas sampai bawah. Kala yang saat itu hanya menggunakan kaus oblong dan celana kain pun langsung menutup wajahnya yang terasa memerah."Kala? Kok nutup muka gitu sih? Disapa dulu dong calon suaminya," ujar Yola membuat Kala meringis.
Setelah kelas selesai, Kala langsung bergegas keluar untuk menemui Dira yang sudah menunggunya di kantin kampus. Namun baru saja kakinya melangkah keluar pintu, suara seseorang langsung menyambutnya.“Kal,” panggilnya.Kala menoleh, mencari sumber suara dan langsung menemukan Jevan yang tengah bersandar di dinding koridor. Hatinya merasa menghangat ketika mendengar Jevan menyebut namanya."Iya, Kak? Kenapa ya?" Tanya Kala."Gue perlu ngomong sama lo.""Oke? Ngomong aja," Kata Kala.Mata Jevan memutar, "Ya gak disini.""Dimana?""Di mobil gue." Jevan menarik tangan Kala dan membuat gadis itu terkejut.Kala melepaskan pegangan tangan Jevan karena beberapa tatapan aneh mulai mengerubunginya dan Jevan. "Hah? Aku ada janji sama Dira di kantin. Nanti aja ya?""Bawel banget sih, bersyukur kek gue masih mau ngajak lo ngomong." Jevan mendecak. "Kalau ngikutin kata hati juga gue ogah mau ngomong sama lo."Bibir Kala mengerucut.
Teriakan yang berasal dari kamar inap Kala membuat seorang perawat masuk dengan wajah khawatir dan membuat Kala hanya menyengir ketika menemukan Kala hanya terkekeh malu padanya. Hal yang sama terjadi pada Dira yang saat itu duduk tepat di samping ranjang Kala. Ia memandangi Kala penasaran karena gadis itu tiba – tiba saja berteriak setelah membaca notifikasi pesan yang muncul di layar handphonenya.“Kal, kenapa sih? Gue kaget tau lo tiba – tiba teriak gitu. Mana perawat pake masuk lagi. Malu nih gue,” gerutu Dira.Kala kembali terkekeh. “Gue ada berita bahagia tau, Dir.”“Kenap
Sepulangnya Jevan dari rumah sakit, Kala mendadak murung.Hal itu pun disadari oleh Yola yang saat itu sedang mengupas buah – buahan. Senyum tipis terbit dari bibir wanita paruh baya itu. Ia lalu berjalan mendekati Kala lalu duduk di samping gadis itu.“Kala, mau buah lagi?” Tanya Yola.Dengan cepat Kala menggeleng. “Gak ah, Bun. Kala kenyang.”Yola terkikik kecil melihat putri satu – satunya yang selalu ceriwis mendadak murung. Ia mengelus rambut Kala pelan. “Nanti gak cantik loh, kalau cemberut.”“Kala gak cemberut, Bunda. Muka Kala e
"Bri, minjem apart.”“Hah–“ Tut.Jevan memutuskan panggilan teleponnya pada Brian secara sepihak. Dirinya sudah terlanjur pusing dengan serangkaian kejadian hari ini jika harus mendengar ocehan sahabatnya itu.Sesampainya di depan apartemen Brian, ia langsung memasukkan password dan masuk ke dalamnya. Belum rasa pusingnya hilang, sebuah notifikasi dari nomor tidak dikenal muncul di layar handphonenya.From : +62821xxxxxKak Jevan, ini Kala. Save ya.Reflek, Jevan membanting handphonenya ke sofa terdekat. Tanpa bertanya pun
“Ma, kalau mau hukum aku jangan gini dong. Kan banyak cara lain,” keluh Jevan di perjalanan menuju parkiran mobil. Iamencoba menyamakan jalannya dengan Kisa. Ia tidak peduli jika ada orang yang menertawakannya karena apa yang barusan terjadi justru lebih gawat daripada wajah memelasnya sekarang.“Cara lain emang banyak tapi gak ada yang mempan. Biar kamu tau rasa deh Jev, Mama capek besarin kamu sampai begini tapi bandelnya gak kelar – kelar. Mau sampai kapan kamu tuh gini terus?” Omel Kisa. Ia berkali – kali menghempaskan tangan Jevan yang sedari tadi mencoba m
Menurut Kalandra, ketakutan terbesarnya adalah ruangan sempit yang gelap nan pengap, serta serangga dan hewan melata. Namun hari ini sepertinyaiaakan menemukan sebuah ketakutan barunya, yaitu keramaian. Ini hari pertamanya ospek di kampus dan ia tanpa sengaja lupa membawa topi pantai yang sudah diperintahkan oleh panitia ospek untuk dibawa hari ini. Malang nasibnya, karena hal itu Kala– panggilan Kalandra, harus menggunakan topi yang terbuat dari baskom kecil. Hal itu membuatnya malu karena harus tampil beda. Ia diam – diam melirik barisan sah