Setelah kelas selesai, Kala langsung bergegas keluar untuk menemui Dira yang sudah menunggunya di kantin kampus. Namun baru saja kakinya melangkah keluar pintu, suara seseorang langsung menyambutnya.
“Kal,” panggilnya.
Kala menoleh, mencari sumber suara dan langsung menemukan Jevan yang tengah bersandar di dinding koridor. Hatinya merasa menghangat ketika mendengar Jevan menyebut namanya.
"Iya, Kak? Kenapa ya?" Tanya Kala.
"Gue perlu ngomong sama lo."
"Oke? Ngomong aja," Kata Kala.
Mata Jevan memutar, "Ya gak disini."
"Dimana?"
"Di mobil gue." Jevan menarik tangan Kala dan membuat gadis itu terkejut.
Kala melepaskan pegangan tangan Jevan karena beberapa tatapan aneh mulai mengerubunginya dan Jevan. "Hah? Aku ada janji sama Dira di kantin. Nanti aja ya?"
"Bawel banget sih, bersyukur kek gue masih mau ngajak lo ngomong." Jevan mendecak. "Kalau ngikutin kata hati juga gue ogah mau ngomong sama lo."
Bibir Kala mengerucut. Padahal mulut Jevan tidak sepedas ini kemarin saat terakhir kali mereka bertemu di rumah sakit. Diam - diam kala merasa sedikit kecewa dengan Jevan yang menjadi lebih ketus padanya. Harusnya kan Jevan menjadi lebih lembut karena ia akan menjadi istri Jevan di masa depan.
"Gak usah senyum - senyum. Perlu gue tarik atau gue gendong supaya lo mau ikut ngomong sama gue?" Cetus Jevan datar pada Kala.
"Aku udah bilang kalau aku ada janji sama Dira. Sebentar aja, ntar kalau udah selesai aku nyusul Kakak. Gimana?" Ucap Kala sebagai upaya membujuk Jevan. Ia berkedip - kedip lucu berharap Jevan luluh namun lelaki itu kembali memutar matanya malas.
"Denger ya, Kalandra." Jevan menghapus jarak di antara keduanya dan menunduk untuk menatap mata coklat milik Kala. "Gue gak suka nunggu kalau lo belum tau. Jadi tolong, kalau gue minta sekarang ya sekarang. Atau gue gak bakal ngomong sama lo lagi."
Kala mendengus. "Iya - iya, aku bilang sama Kala dulu aku gak jadi dateng."
Jevan mengangguk. Ia memandangi Kala dari atas sampai bawah yang hari itu menggunakan celana jeans serta kemeja putih. Gadis itu mengikat rambut sepunggungnya menjadi ponytail sembarangan namun tidak mengurangi kadar kecantikannya. Jevan tidak akan menampik bahwa Kalandra Elian memang merupakan gadis cantik yang baru - baru ini menjadi incaran para lelaki. Kalau saja gadis itu tidak menjadi calon istri paksaannya, Jevan akan dengan sangat senang hati didekati gadis itu.
"Yuk," ujar Kala setelah mengirimkan pesan pada Dira dan memasukkan handphonenya ke dalam tas.
Keduanya berjalan ke arah mobil Jevan yang terpampang jelas di parkiran. Saat hampir sampai tiba - tiba saja seseorang memanggil nama Jevan. Saat Kala menoleh, ada dua pria tampan yang salah satunya Kala lihat di depan ruang musik tadi pagi. Sementara pria satunya lagi, Kala hanya mengingat bahwa lelaki itu bernama Sangga dan merupakan salah satu panitia ospek kemarin.
"Eh ada adek tadi pagi, mau pulang sama Jevan ya?" Ujar lelaki tersebut sembari mengerling jahil.
Jevan mendecak, "Ngapain lo?"
"Cuma mau ngingetin nanti malam jangan lupa," jawab Sangga. Matanya lalu beralih ke Kala dan tersenyum. "Lo udah sehat?"
Kala yang bingung hanya mengangguk seadanya.
"Lah, kok lo kenal, Ga? Gue doang nih yang gak dikenal dia?" Lelaki yang Kala tidak tau namanya itu menatap Jevan dan Sangga tak percaya.
"Ngapain harus kenal? Gak penting," balas Jevan. "Buruan masuk, gak usah diladenin tuh orang gila."
"Sabar dong Jev, gue belom memperkenalkan diri nih. Nama gue Brian Kaindra, panggil Brian aja. By juga boleh." Ujar Brian masih dengan kerlingan jahilnya.
Jevan menggeplak kepala Brian dengan tangannya dan membuat Kala tertawa.
"Aku Kalandra, salam kenal ya Kak Brian." Kata Kala sembari tersenyum.
Brian yang tadinya mengaduh kesakitan langsung tersenyum penuh pesona pada Kala. Namun belum sempat ia mengucapkan sepatah kata lagi, Jevan sudah terlebih dahulu menarik tangan Kala ke mobil. Kala yang ditarik hanya bisa mencebik, Jevan benar - benar menyebalkan. Lelaki itu masuk, menghidupkan mesin mobilnya dan langsung keluar dari area kampus.
"Gak usah deket - deket lo sama Brian atau Sangga," Jevan membuka topik.
Alis Kala mengenyit, "Kenapa?"
"Gak usah pokoknya, jangan banyak nanya." Jawab Jevan acuh. "Lo ngasi tau siapa aja soal hubungan kita?"
"Cuma Dira, kenapa?"
Jevan mengendikkan bahunya acuh. Saat mobil berhenti di lampu merah, Jevan meraih sebuah map berisi kertas dan memberikannya pada Kala.
"Baca, kalau gak setuju bilang dengan alasan yang jelas."
Kala menatap Jevan bingung lalu tanpa basa - basi membuka map tersebut dan membaca tulisan kertas diatasnya.
"Kontrak pernikahan– loh? Kok pakai kontrak?" Tanya Kalandra. Ia kembali meneliti isi kontrak tersebut dan meletakkannya ke atas dashboard begitu saja. "Kita nikah beneran, Kak Jev. Kenapa harus pakai kontrak? Aku gak merasa ada paksaan–"
"Lo emang gak merasa terpaksa, tapi gue?" Potong Jevan. "Lo tau syaratnya dimana lo gak bisa dan gak boleh membatasi gue melakukan apapun termasuk ngasi kontrak pernikahan ke lo. Pernikahan ini gak pernah gue inginkan dan gue harus jalanin ini semua dengan terpaksa kedepannya."
Beberapa menit Kala terdiam. Hatinya terasa sakit mendengar ucapan Jevan. Lelaki itu memang tidak pernah sadar bahwa Kala telah menyukainya sejak mereka masih kecil. Padahal Jevan selalu menyayanginya dulu ketika mereka masih kecil. Namun entah mengapa ketika Kala bertemu dengan Jevan di bangku SMA, lelaki itu menjadi cuek dan angkuh pada semua orang itu membuat ia tidak pernah menyadari kehadiran Kala meskipun mereka berada di sekolah yang sama. Saat Ayahnya– Reno, memutuskan untuk menjadikan Jevan sebagai calon suaminya, Kala merasa sangat terkejut dan tidak tau harus menyebut kejadian tersebut sebuah bencana atau anugrah mengingat sudah lama sekali ia menyukai Jevan dan ingin berdekatan lelaki itu.
Terakhir kali ia melihat Jevan tersenyum padanya adalah sehari sebelum Kala pindah dari rumahnya yang bersebelahan dengan rumah Jevan. Ketika mendengar kalimat Jevan akan menikahinya, ia merasa bahwa jiwa dan raganya terbang ke langit walaupun ia tau semua itu dilakukan Jevan dengan terpaksa. Kala tidak bisa membayangkan sebahagia apa dirinya jika bisa memanggil lelaki yang ia suka sedari kecil dengan sebutan suami.
Lamunan gadis itu terpecah saat Jevan kembali menyerahkan map yang tadi ia letakkan di dashboard. Kala menggeleng pelan sembari menatap Jevan.
"Lo harusnya sadar ini berat buat gue makanya gue ngasi lo kontrak."
Ucapan Jevan membuat Kala tersadar. Jevan tidak menyukainya. Maka dari itu pernikahan impian yang Kala pikir indah justru merupakan sebuah mimpi buruk bagi Jevan. Dengan berat hati, Kala kembali membaca isi kontrak tersebut yang berisi :
1. Dilarang memberitahukan siapapun selain pihak keluarga.
2. Dilarang mengurusi urusan pribadi.
3. Jika ada yang bertanya soal hubungan kita, maka harus dijawab dengan : hanya anak teman orang tua.
4. Dilarang berdekatan kalau gak memiliki keperluan.
5. Dilarang ngerepotin.
6. Jangan ada kontak fisik di antara kita kalau gak diperlukan.
7. Dilarang protes.
8. Dilarang sok dekat.
9. Dilarang membatasi atau melarang apapun yang mau gue lakukan.
10. Jangan. Pernah. Ngadu.
Kala mendecak frustasi setelah membaca sepuluh syarat tersebut yang dibawahnya sudah ditempeli materai. Rasanya hal ini agak tidak adil dengan perasaannya yang sudah terlanjur menyukai Jevan sedari dulu.
"Ada satu yang lupa gue ketik, tapi tetep berlaku dan lo harus inget." Ucap Jevan. "Dilarang saling suka."
Mata Kala membelalak. "Gak bisa gitu dong, kalau nanti ada salah satu dari kita yang suka gimana?"
"Ya urusan masing - masing. Gue susah buat suka sama orang. Dan kalau lo emang suka sama gue, sorry gue gak peduli." Jawab Jevan tajam.
Hari ini entah untuk yang keberapa kalinya, Jevan kembali mengucapkan sesuatu yang membuat dada Kala terasa sesak. Padahal itu bukan salah Jevan mengingat lelaki itu tidak mengetahui perasaannya. Kala masih diam, memikirkan bagaimana agar Jevan membatalkan kontrak yang akan ada di antara mereka itu.
"Udah gak bisa diganggu gugat," ucap Jevan seolah tau isi hati Jevan. "Gue tau kecelakaan lo beberapa hari lalu emang sepenuhnya salah gue. Tapi masa gue harus nikahin lo juga karena balas budi atas bantuan orang tua lo ke orang tua gue di masa lalu?"
"Kalau soal itu aku minta maaf, keputusan Ayah memang gak bisa diganggu gugat. Ayah bilang Papa Kak Jevan yang bilang kita emang bakal dinikahin walaupun aku gak kecelakaan hari itu." Jawab Kala. "Sekiranya Kak Jevan masih keberatan, Kakak boleh kok dateng ke rumah dan ngomong lagi sama Ayah."
Jevan mendecak kasar, "Buang - buang tenaga. Walaupun Ayah lo batalin pernikahan kita, akhirnya gue juga bakal tetep mampus karena Mama gue yang maksa gue tanggung jawab buat jagain lo setelah kemaren gue bikin lo hampir mati."
"Maaf ya, Kak Jevan."
Mendengar permintaan maaf yang keluar dari mulut Kala, Jevan sedikit tersentak. Zaman sekarang, orang - orang sulit sekali menyebut kata maaf. Namun entah mengapa gadis bernama Kalandra yang berada di sampingnya ini sangat ringan untuk mengatakan hal tersebut.
"Minta maaf mulu, lo pikir lebaran?"
"Bukan gitu, aku merasa bersalah aja Kakak harus terpaksa nikahin aku padahal Kakak gak tau menau soal perjanjian orang tua kita dulu. Pasti berat ya?" Kata Kala. Gadis itu menatap Jevan dengan tatapan tulus yang membuat konsentrasi Jevan goyah.
Lelaki itu menepikan mobilnya ke tepi jalan lalu menatap Kala yang masih menatapnya. "Jangan ngerasa kasian sama gue. Walau gue gak suka sama jenis tanggung jawab yang satu ini, gue tetap laki - laki. Lo gak perlu ngerasa bersalah atau minta maaf lagi sama gue karena itu gak buat gue luluh sama lo, kalau lo mau tau."
Kala tercenung lalu menunduk. Ia hanya bisa menatap ke arah luar jendela setelah Jevan kembali menjalankan mobilnya.
"Jangan lupa tanda tangan di atas materai," peringat Jevan. "Gue anter lo pulang. Ingat, jangan pernah ngomong apapun soal kontrak ke orang tua lo atau orang tua gue."
Kepala Kala hanya mengangguk pelan bersamaan dengan air matanya yang menetes. Ia memang bahagia jika bisa menikah dengan Jevan, namun jika sikap Jevan terus - menerus seperti ini apakah dirinya akan bertahan? Ia bisa saja meminta Ayahnya untuk membatalkan pernikahan ini. Namun rasa ingin dekat dengan Jevan lebih kuat dibanding apapun.
Tuhan, biarkan Kala egois sekali saja.
Kala sedang asik berleha - leha di kamar tercintanya sembari menonton seri film yang akhir - akhir ini sedang naik daun. Hari ini ia tidak memiliki kelas apapun jadi daripada keluar rumah dan berkeliaran tanpa arah ia lebih baik menonton film saja. Jam sudah menunjukkan pukul dua dan ia belum mengisi perutnya dengan makanan apapun sejak pagi. Karena perutnya terasa keroncongan, Kala pun memutuskan untuk turun ke dapur mencari makanan yang bisa saja ia dapat untuk mengganjal perut kosongnya.Di awal, Kala menuruni tangga dengan santai dan perlahan sampai tiba - tiba ia menemukan Jevan tengah berdiri di ruang tengah rumahnya dan sedang berbicara dengan Yola. Kedua matanya membulat saat Jevan berbalik badan dan memandanginya datar dari atas sampai bawah. Kala yang saat itu hanya menggunakan kaus oblong dan celana kain pun langsung menutup wajahnya yang terasa memerah."Kala? Kok nutup muka gitu sih? Disapa dulu dong calon suaminya," ujar Yola membuat Kala meringis.
Lidah Kala mendadak kelu begitu mendengar ucapan Jevan. Kala menundukkan kepalanya penuh penyesalan sambil menggumamkan kata maaf pada Jevan yang justru dibalas dengan decakan oleh lelaki itu. "Kalau tujuan lo mau manggil gue buat nyusul ke bawah, lo gak perlu ngelakuin itu sampai harus masuk ke kamar gue, Kalandra. Gue bukan anak kecil yang harus dipanggil buat makan." Ucap Jevan tajam. "Tapi aku disuruh Mama, Kak. Aku juga tadi udah ngetuk pintu tapi Kakak gak jawab." Jevan mendecih. "Lo siapa sampai harus gue jawab?" Mata Kala mulai berkaca - kaca akibat sebuah kalimat yang keluar dari mulut Jevan. Hatinya terasa ditusuk - tusuk dengan benda tajam ketika mendengarnya. "Harusnya lo tau kalau gue gak buka pintu, itu berarti gue gak nerima siapapun." Kata Jevan sembari berjalan menjauh dari Kala. Ia meraih sebuah hoodie putih dan memakai benda tersebut ke badannya. "Ngapain masih di sini? Masih bisa jalan keluar kan?" "Aku ngerti
"Bun, Kala berangkat ya." Setelah berpamitan dengan Mama-nya, Kala berjalan keluar pintu rumah dan langsung menahan napasnya sejenak karena pemandangan yang ia dapati di halaman rumahnya. Di sana, Jevan sedang berdiri sembari berbincang dengan supir pribadi Kala. Hei, sejak kapan pria berkaus putih dilapisi kemeja flannel itu berada di sana? Belum lagi senyuman yang terukir di bibirnya itu. Kala saja tidak pernah mendapat senyumnya. Bagaimana bisa Pak Bayu– supir Kala itu bisa mendapatkannya hanya dalam hitungan menit? "Mbak Kala? Kok bengong? Ini Mas Jevan udah nungguin daritadi lho. Syukurnya saya temenin ngobrol, kalau gak Mbak Kala bisa ditinggalin." Ujar Pak Bayu pada Kala. Deretan gigi Kala terlihat saat ia menyengir. "Tadi Kala pikir bakal sama Bapak. Jadi Kala santai aja." "Yowes,Kalau kaya gitu berangkat sekarang ajato,Mas Jevan?" Tanya Pak Bayu pada Jevan Pula. Lelaki itu mengangguk.
Menurut Kalandra, ketakutan terbesarnya adalah ruangan sempit yang gelap nan pengap, serta serangga dan hewan melata. Namun hari ini sepertinyaiaakan menemukan sebuah ketakutan barunya, yaitu keramaian. Ini hari pertamanya ospek di kampus dan ia tanpa sengaja lupa membawa topi pantai yang sudah diperintahkan oleh panitia ospek untuk dibawa hari ini. Malang nasibnya, karena hal itu Kala– panggilan Kalandra, harus menggunakan topi yang terbuat dari baskom kecil. Hal itu membuatnya malu karena harus tampil beda. Ia diam – diam melirik barisan sah
“Ma, kalau mau hukum aku jangan gini dong. Kan banyak cara lain,” keluh Jevan di perjalanan menuju parkiran mobil. Iamencoba menyamakan jalannya dengan Kisa. Ia tidak peduli jika ada orang yang menertawakannya karena apa yang barusan terjadi justru lebih gawat daripada wajah memelasnya sekarang.“Cara lain emang banyak tapi gak ada yang mempan. Biar kamu tau rasa deh Jev, Mama capek besarin kamu sampai begini tapi bandelnya gak kelar – kelar. Mau sampai kapan kamu tuh gini terus?” Omel Kisa. Ia berkali – kali menghempaskan tangan Jevan yang sedari tadi mencoba m
"Bri, minjem apart.”“Hah–“ Tut.Jevan memutuskan panggilan teleponnya pada Brian secara sepihak. Dirinya sudah terlanjur pusing dengan serangkaian kejadian hari ini jika harus mendengar ocehan sahabatnya itu.Sesampainya di depan apartemen Brian, ia langsung memasukkan password dan masuk ke dalamnya. Belum rasa pusingnya hilang, sebuah notifikasi dari nomor tidak dikenal muncul di layar handphonenya.From : +62821xxxxxKak Jevan, ini Kala. Save ya.Reflek, Jevan membanting handphonenya ke sofa terdekat. Tanpa bertanya pun
Sepulangnya Jevan dari rumah sakit, Kala mendadak murung.Hal itu pun disadari oleh Yola yang saat itu sedang mengupas buah – buahan. Senyum tipis terbit dari bibir wanita paruh baya itu. Ia lalu berjalan mendekati Kala lalu duduk di samping gadis itu.“Kala, mau buah lagi?” Tanya Yola.Dengan cepat Kala menggeleng. “Gak ah, Bun. Kala kenyang.”Yola terkikik kecil melihat putri satu – satunya yang selalu ceriwis mendadak murung. Ia mengelus rambut Kala pelan. “Nanti gak cantik loh, kalau cemberut.”“Kala gak cemberut, Bunda. Muka Kala e
Teriakan yang berasal dari kamar inap Kala membuat seorang perawat masuk dengan wajah khawatir dan membuat Kala hanya menyengir ketika menemukan Kala hanya terkekeh malu padanya. Hal yang sama terjadi pada Dira yang saat itu duduk tepat di samping ranjang Kala. Ia memandangi Kala penasaran karena gadis itu tiba – tiba saja berteriak setelah membaca notifikasi pesan yang muncul di layar handphonenya.“Kal, kenapa sih? Gue kaget tau lo tiba – tiba teriak gitu. Mana perawat pake masuk lagi. Malu nih gue,” gerutu Dira.Kala kembali terkekeh. “Gue ada berita bahagia tau, Dir.”“Kenap
"Bun, Kala berangkat ya." Setelah berpamitan dengan Mama-nya, Kala berjalan keluar pintu rumah dan langsung menahan napasnya sejenak karena pemandangan yang ia dapati di halaman rumahnya. Di sana, Jevan sedang berdiri sembari berbincang dengan supir pribadi Kala. Hei, sejak kapan pria berkaus putih dilapisi kemeja flannel itu berada di sana? Belum lagi senyuman yang terukir di bibirnya itu. Kala saja tidak pernah mendapat senyumnya. Bagaimana bisa Pak Bayu– supir Kala itu bisa mendapatkannya hanya dalam hitungan menit? "Mbak Kala? Kok bengong? Ini Mas Jevan udah nungguin daritadi lho. Syukurnya saya temenin ngobrol, kalau gak Mbak Kala bisa ditinggalin." Ujar Pak Bayu pada Kala. Deretan gigi Kala terlihat saat ia menyengir. "Tadi Kala pikir bakal sama Bapak. Jadi Kala santai aja." "Yowes,Kalau kaya gitu berangkat sekarang ajato,Mas Jevan?" Tanya Pak Bayu pada Jevan Pula. Lelaki itu mengangguk.
Lidah Kala mendadak kelu begitu mendengar ucapan Jevan. Kala menundukkan kepalanya penuh penyesalan sambil menggumamkan kata maaf pada Jevan yang justru dibalas dengan decakan oleh lelaki itu. "Kalau tujuan lo mau manggil gue buat nyusul ke bawah, lo gak perlu ngelakuin itu sampai harus masuk ke kamar gue, Kalandra. Gue bukan anak kecil yang harus dipanggil buat makan." Ucap Jevan tajam. "Tapi aku disuruh Mama, Kak. Aku juga tadi udah ngetuk pintu tapi Kakak gak jawab." Jevan mendecih. "Lo siapa sampai harus gue jawab?" Mata Kala mulai berkaca - kaca akibat sebuah kalimat yang keluar dari mulut Jevan. Hatinya terasa ditusuk - tusuk dengan benda tajam ketika mendengarnya. "Harusnya lo tau kalau gue gak buka pintu, itu berarti gue gak nerima siapapun." Kata Jevan sembari berjalan menjauh dari Kala. Ia meraih sebuah hoodie putih dan memakai benda tersebut ke badannya. "Ngapain masih di sini? Masih bisa jalan keluar kan?" "Aku ngerti
Kala sedang asik berleha - leha di kamar tercintanya sembari menonton seri film yang akhir - akhir ini sedang naik daun. Hari ini ia tidak memiliki kelas apapun jadi daripada keluar rumah dan berkeliaran tanpa arah ia lebih baik menonton film saja. Jam sudah menunjukkan pukul dua dan ia belum mengisi perutnya dengan makanan apapun sejak pagi. Karena perutnya terasa keroncongan, Kala pun memutuskan untuk turun ke dapur mencari makanan yang bisa saja ia dapat untuk mengganjal perut kosongnya.Di awal, Kala menuruni tangga dengan santai dan perlahan sampai tiba - tiba ia menemukan Jevan tengah berdiri di ruang tengah rumahnya dan sedang berbicara dengan Yola. Kedua matanya membulat saat Jevan berbalik badan dan memandanginya datar dari atas sampai bawah. Kala yang saat itu hanya menggunakan kaus oblong dan celana kain pun langsung menutup wajahnya yang terasa memerah."Kala? Kok nutup muka gitu sih? Disapa dulu dong calon suaminya," ujar Yola membuat Kala meringis.
Setelah kelas selesai, Kala langsung bergegas keluar untuk menemui Dira yang sudah menunggunya di kantin kampus. Namun baru saja kakinya melangkah keluar pintu, suara seseorang langsung menyambutnya.“Kal,” panggilnya.Kala menoleh, mencari sumber suara dan langsung menemukan Jevan yang tengah bersandar di dinding koridor. Hatinya merasa menghangat ketika mendengar Jevan menyebut namanya."Iya, Kak? Kenapa ya?" Tanya Kala."Gue perlu ngomong sama lo.""Oke? Ngomong aja," Kata Kala.Mata Jevan memutar, "Ya gak disini.""Dimana?""Di mobil gue." Jevan menarik tangan Kala dan membuat gadis itu terkejut.Kala melepaskan pegangan tangan Jevan karena beberapa tatapan aneh mulai mengerubunginya dan Jevan. "Hah? Aku ada janji sama Dira di kantin. Nanti aja ya?""Bawel banget sih, bersyukur kek gue masih mau ngajak lo ngomong." Jevan mendecak. "Kalau ngikutin kata hati juga gue ogah mau ngomong sama lo."Bibir Kala mengerucut.
Teriakan yang berasal dari kamar inap Kala membuat seorang perawat masuk dengan wajah khawatir dan membuat Kala hanya menyengir ketika menemukan Kala hanya terkekeh malu padanya. Hal yang sama terjadi pada Dira yang saat itu duduk tepat di samping ranjang Kala. Ia memandangi Kala penasaran karena gadis itu tiba – tiba saja berteriak setelah membaca notifikasi pesan yang muncul di layar handphonenya.“Kal, kenapa sih? Gue kaget tau lo tiba – tiba teriak gitu. Mana perawat pake masuk lagi. Malu nih gue,” gerutu Dira.Kala kembali terkekeh. “Gue ada berita bahagia tau, Dir.”“Kenap
Sepulangnya Jevan dari rumah sakit, Kala mendadak murung.Hal itu pun disadari oleh Yola yang saat itu sedang mengupas buah – buahan. Senyum tipis terbit dari bibir wanita paruh baya itu. Ia lalu berjalan mendekati Kala lalu duduk di samping gadis itu.“Kala, mau buah lagi?” Tanya Yola.Dengan cepat Kala menggeleng. “Gak ah, Bun. Kala kenyang.”Yola terkikik kecil melihat putri satu – satunya yang selalu ceriwis mendadak murung. Ia mengelus rambut Kala pelan. “Nanti gak cantik loh, kalau cemberut.”“Kala gak cemberut, Bunda. Muka Kala e
"Bri, minjem apart.”“Hah–“ Tut.Jevan memutuskan panggilan teleponnya pada Brian secara sepihak. Dirinya sudah terlanjur pusing dengan serangkaian kejadian hari ini jika harus mendengar ocehan sahabatnya itu.Sesampainya di depan apartemen Brian, ia langsung memasukkan password dan masuk ke dalamnya. Belum rasa pusingnya hilang, sebuah notifikasi dari nomor tidak dikenal muncul di layar handphonenya.From : +62821xxxxxKak Jevan, ini Kala. Save ya.Reflek, Jevan membanting handphonenya ke sofa terdekat. Tanpa bertanya pun
“Ma, kalau mau hukum aku jangan gini dong. Kan banyak cara lain,” keluh Jevan di perjalanan menuju parkiran mobil. Iamencoba menyamakan jalannya dengan Kisa. Ia tidak peduli jika ada orang yang menertawakannya karena apa yang barusan terjadi justru lebih gawat daripada wajah memelasnya sekarang.“Cara lain emang banyak tapi gak ada yang mempan. Biar kamu tau rasa deh Jev, Mama capek besarin kamu sampai begini tapi bandelnya gak kelar – kelar. Mau sampai kapan kamu tuh gini terus?” Omel Kisa. Ia berkali – kali menghempaskan tangan Jevan yang sedari tadi mencoba m
Menurut Kalandra, ketakutan terbesarnya adalah ruangan sempit yang gelap nan pengap, serta serangga dan hewan melata. Namun hari ini sepertinyaiaakan menemukan sebuah ketakutan barunya, yaitu keramaian. Ini hari pertamanya ospek di kampus dan ia tanpa sengaja lupa membawa topi pantai yang sudah diperintahkan oleh panitia ospek untuk dibawa hari ini. Malang nasibnya, karena hal itu Kala– panggilan Kalandra, harus menggunakan topi yang terbuat dari baskom kecil. Hal itu membuatnya malu karena harus tampil beda. Ia diam – diam melirik barisan sah