Ravin diminta untuk mengganti pakaiannya. Ia memakai pakaian serba putih. Segala persiapannya, seolah-olah sudah diatur atau direncanakan sangat matang. Tidak ada bau dari pakaian yang Ravin kenakan. Hal itu membuat Ravin sedikit berfikiran buruk.
“Apa kau siap? Bawa ini bersamamu!” perintah Tuan Don sembari memberikan pisau didada Ravin.
“Sebenarnya, tugas apa yang Ayah berikan untukku?” tanya Ravin. Ia berusaha tenang. Ia tidak ingin dicurigai dan menghancurkan rencana Rael yang sudah tersusun rapi.
“Buat pakaian yang kau pakai dan pisau yang kau pegang dipenuhi oleh darah.”
Deg...
“Ayah menginginkan aku membunuh seseorang?” tanya Ravin.
Tuan Don mendekat. “Buat Rael semakin cacat!” bisik Tuan Don.
***
Ra
Pak Aaron mengobati luka Rael bersama dokter pribadi yang setia bekerja dibawah kuasa Rael. Lukanya cukup dalam. Ditambah lagi, sayatan pada tubuhnya yang tidak terhitung jumlahnya. Andai saja Rael tidak menekan alarm darurat yang Pak Aaron berikan, mungkin Rael akan mati kehabisan darah. Pak Aaron, dia adalah pria misterius yang terkadang bersikap gila. Namun, dia patuh pada perintah Rael. Menjaga mulutnya untuk menutup rapat-rapat rahasia yang ia ketahui. Pak Aaron berada dipihak Rael. Tapi, posisinya sama dengan Rael. Ia tidak bisa melakukan apapun dibawah ancaman Tuan Don.“Akh!” teriak Rael. Sakit pada telinganya tidak terasa lagi. Namun, sekencang apapun dia berteriak, suaranya tidak dapat ia dengar. Indra milik Rael seakan-akan mati. Ia meraba apa saja yang bisa ia pegang. Namun, tidak terasa apa-apa. Tidak ada objek yan
Rael mencoba turun dari atas ranjang. Ia sama sekali tidak bisa merasakan apapaun, bahkan lantai yang dingin tidak terasa ditelapak kakinya. Tidak ingat, apakah ia mengenakan alas kaki atau tidak. Rael tertatih-tatih berjalan dan meraba dinding untuk menemukan pintu. Semua indranya mati untuk beberapa saat. Namun, setelah istirahat selama satu jam, indranya belum juga pulih.Duak!“Akh!” pekik Rael. Ia menabrak dinding. Entah karena perabanya tidak berfungsi, sehingga ia tidak bisa menemukan letak pintu, atau karena semua indranya mati, Rael tidak tahu apakah arah yang ia lalui benar atau hanya berputar disatu titik tanpa perubahan.“Selalu saja seperti ini. Apa aku tidak bisa lebih kuat sedikit saja?” gumam Rael. Di mana letak ton
Sam, Gracia, Delice, Naura, Loid dan Aretha, mereka berdiri tegap berjajar di depan pintu utama menunggu anak-anak kembali dengan gelisah. Sebagai seorang ibu, tentu saja mereka lebih cemas karena permainan di atas darah hanya diketahui oleh para ayah.“Apa kalian tidak akan mempertimbangkan tentang hal ini? Bukankah ini terlalu mengerikan untuk dunia anak-anak?” tanya Aretha.“Aku juga sependapat dengan Aretha,” sahut Gracia. Naura juga cemas tapi ia tidak bisa membantah kenyataan karena anak-anak memang harus melakukannya. Masuk ke dalam dunia yang selalu membuat nyawa mereka berada dalam ujung jurang kematian.“Naura, kenapa kau diam saja? Apa kau tidak mengkhawatirkan mereka?” tanya Gracia.“Memangnya, aku harus berpendapat apa? Kalau memang kalian tidak ingin anak-anak dalam bahaya, seharusnya kalian nenikah d
Entah kenapa, lapangan latihan yang biasanya menyenangkan dan menjadi tempat paling bercahaya, saat ini adalah tempat tersuram dari semua yang ada. Tidak hanya Zeki atau Leon, tapi semuanya mendapatkan bagiannya masing-masing. Sam mengawasi Zeki, Delice mengawasi Renza, Zavier dan Leon, Loid mengawasi dua pembuat onar, Eren dan Arta. Gracia maupun Aretha, mereka hanya duduk mengawasi pelatihan sembari bercengkrama. Lalu, Naura berjalan menuju gerbang utama untuk menunggu putrinya yang sampai detik ini, belum juga kembali.“Dimulai dari putaran lima puluh kali,” kata Delice.“Hah? Ayah!” pekik Renza. Delice memberikan tatapan mata yang tidak bisa dibantah. Semuanya langsung berlari seperti yang Delice perintahkan. Tubuh yang lelah, terluka, harus mendapatkan hukuman yang terbilang berat. Tidak. Melihat para pe
Tap… Tap… Tap… Teo menghadang ketua Aliansi dan ketua Crew beserta anggota yang menjadi pengikut mereka. Tepat ditengah-tengah perempatan jalan yang akan menjadi tempat perpisahan."Teo, apa yang kau inginkan?" tanya Yogas."Kau tidak ingin mengubah pertanyaanmu?" balas Teo. Yogas menaikkan sebelah alisnya. "Apa yang akan kau lakukan?""Pertanyaan bagus." Teo menyelipkan rokok diantara bibirnya. "Nyalakan!" pinta Teo."Kau pikir, apa statusmu sampai ingin memperbudakku, Presdir yang gagal!" seru Yogas."Saya akan menyalakannya," sahut Sofia. Teo menunjukkan aura baru. Ia menyeringai sembari sesekali menyemburkan asap dari mulutnya."Tuan besar memintaku mengajari kalian," ujar Teo. "Bisa-bisanya kalian dihajar habis tanpa perlawanan," imb
Hari akhirnya berlalu. Malam yang menyesakkan sudah terlewati. Indra yang sempat hilang dan menyakitkan berganti dengan rasa damai. Namun, kedamaian itu baru terasa sesaat.“Tuan Muda, Tuan besar menunggu Anda di meja makan,” ujar Pak Aaron. “Saya menyarankan pada Anda untuk tidak menemuinya saat ini,” imbuhnya.“Tidak apa-apa. Saya tidak akan mati begitu saja,” jawab Rael. Meski pak Aaron cemas, ia hanya bisa membiarkan Rael melakukan apa saja yang ia inginkan tanpa menahan emosi dalam dirinya. Entah memiliki niat apa, Tuan Don datang menemui Rael setelah semalam ia merencanakan penyerangan terhadap Rael menggunakan Ravin.“Hah!” Rael menghela nafasnya. “Ada apa kau sampai repot-repot menemuiku?” tanya Rael tanpa mengulur waktu. Rasa muak sangat enggan ia telan.“Apa aku tidak boleh datang
“Are!” bisik Loid sembari mengecup kecil tengkuk Aretha.“Jangan aneh-aneh!” Pintu kamar terbuka lebar. Loid mendekati Aretha dan memeluknya. Mansion milik Delice dibangun sangat besar dan luas. Bahkan untuk mencapai mansion harus melewati lebih dari seratus hektar tanah yang dijadikan taman dan hutan buatan. Setiap kepala rumah tangga dan anak-anak, memiliki satu kamar lengkap dalam satu lantai. Terdapat lift bagi yang enggan lelah naik melalui tangga.“Sayang, pintunya masih terbuka,” tolak Aretha.“Anak-anak juga tidak mungkin datang ke sini,” sungut Loid.“Mandi dulu sana,” pinta Aretha dengan suaranya yang terdengar manja.“Ayo mandi bersama,” ajak Loid.“Aku sudah mandi. Kau mandi saja sendiri. Aku akan membuatkan makanan yang enak.”“Sungguh? Tapi—“ Loid menatap Ar
Setelah bercengkrama ringan dengan Kiana, Delice kembali ke kamar atas permintaan Kiana untuk melihat keadaan Naura yang sempat terlihat pucat karena kedinginan. Naura sedang berdiri di balkon. Ia memakai handuk kimono. Rambutnya juga terbungkus handuk. Jelas, kalau Naura baru saja selesai mandi."Sayang!" Delice memeluk pinggang Naura dari belakang. Sangat manja dan suaranya terdengar lembut. Naura menoleh. Ia membalas pelukan Delice dan membenamkan wajahnya didada Delice."Dari mana saja? Kenapa baru datang?" tanya Naura.Deg... Deg... Deg... Sudah berapa lama Naura tidak manja seperti ini? Sikapnya berubah hangat, membuat Delice semakin berdebar."Aku mendengar sesuatu," ujar Naura.