Hari akhirnya berlalu. Malam yang menyesakkan sudah terlewati. Indra yang sempat hilang dan menyakitkan berganti dengan rasa damai. Namun, kedamaian itu baru terasa sesaat.
“Tuan Muda, Tuan besar menunggu Anda di meja makan,” ujar Pak Aaron. “Saya menyarankan pada Anda untuk tidak menemuinya saat ini,” imbuhnya.
“Tidak apa-apa. Saya tidak akan mati begitu saja,” jawab Rael.
Meski pak Aaron cemas, ia hanya bisa membiarkan Rael melakukan apa saja yang ia inginkan tanpa menahan emosi dalam dirinya. Entah memiliki niat apa, Tuan Don datang menemui Rael setelah semalam ia merencanakan penyerangan terhadap Rael menggunakan Ravin.
“Hah!” Rael menghela nafasnya. “Ada apa kau sampai repot-repot menemuiku?” tanya Rael tanpa mengulur waktu. Rasa muak sangat enggan ia telan.
“Apa aku tidak boleh datang
“Are!” bisik Loid sembari mengecup kecil tengkuk Aretha.“Jangan aneh-aneh!” Pintu kamar terbuka lebar. Loid mendekati Aretha dan memeluknya. Mansion milik Delice dibangun sangat besar dan luas. Bahkan untuk mencapai mansion harus melewati lebih dari seratus hektar tanah yang dijadikan taman dan hutan buatan. Setiap kepala rumah tangga dan anak-anak, memiliki satu kamar lengkap dalam satu lantai. Terdapat lift bagi yang enggan lelah naik melalui tangga.“Sayang, pintunya masih terbuka,” tolak Aretha.“Anak-anak juga tidak mungkin datang ke sini,” sungut Loid.“Mandi dulu sana,” pinta Aretha dengan suaranya yang terdengar manja.“Ayo mandi bersama,” ajak Loid.“Aku sudah mandi. Kau mandi saja sendiri. Aku akan membuatkan makanan yang enak.”“Sungguh? Tapi—“ Loid menatap Ar
Setelah bercengkrama ringan dengan Kiana, Delice kembali ke kamar atas permintaan Kiana untuk melihat keadaan Naura yang sempat terlihat pucat karena kedinginan. Naura sedang berdiri di balkon. Ia memakai handuk kimono. Rambutnya juga terbungkus handuk. Jelas, kalau Naura baru saja selesai mandi."Sayang!" Delice memeluk pinggang Naura dari belakang. Sangat manja dan suaranya terdengar lembut. Naura menoleh. Ia membalas pelukan Delice dan membenamkan wajahnya didada Delice."Dari mana saja? Kenapa baru datang?" tanya Naura.Deg... Deg... Deg... Sudah berapa lama Naura tidak manja seperti ini? Sikapnya berubah hangat, membuat Delice semakin berdebar."Aku mendengar sesuatu," ujar Naura.
Suasana kamar yang lain penuh cinta. Tapi, tidak dengan kamar Zeki. Kamar yang penuh rahasia karena ia tidak mengijinkan siapapun masuk dan membersihkannya. Zeki merawat kamarnya seorang diri. Kamar yang selalu ia anggap sebagai tempat naungan cinta dan kenyamanan saat ia merasa dipojokkan atau merasa tidak dipedulikan. Ketika ia berbaring di atas ranjang ingin memejamkan matanya sejenak untuk melepaskan penat dan lelah yang membebaninya, pintu kamarnya terbuka. Sandi yang ia buat sendiri, dibobol oleh seseorang. Zeki panik dan terperanjat kaget. Orang yang berhasil membobol keamanan kamarnya, tidak lain adalah Sam yang ternyata Ayahnya sendiri. Sam tidak kalah terkejut melihat isi kamar Zeki yang membuatnya naik pitam. Zeki tidak berkutik bukan karena ia takut tapi karena ia tidak memiliki wewenang apapun untuk bicara.“A
Zeki memungut foto yang sudah seperti smpah. Pecahan kaca juga berserakan. Kamar yang sangat rapi berubah berantakan seperti terkena angin topan. "Zeki!" Zeki menoleh. "Paman Delice!" pekik Zeki. "Biarkan para pelayan yang membersihkannya. Kau ditunggu Kiana di kamarnya," ujar Delice. "Ah, tapi…" Delice mengedipkan sebelah matanya. "Siapa tahu Kiana ingin mengajakmu kencan," goda Delice. "Paman!" Zeki menganga mendengarnya. Antara malu, senang, sedih, bingung, beradu menjadi satu. "Paman tidak marah padaku? Bukankah Paman sudah melihat kamarku?" tanya Zeki. "Jangankan isi kamarmu. Isi hatimu saja, Paman tidak berhak marah setelah mengetahuinya." "Tapi, Ayahku…" Zeki tertunduk lesu."Jangan terlalu dipikirkan. Anggap saja Ayahmu sedang gila.""Paman, b
Tok… Tok… Tok… Zeki akhirnya mengetuk pintu kamar Kiana, setelah tiga puluh menit hanya berdiri mematung di sana. "Masuk!" teriak Kiana dari dalam kamar. Zeki membuka pintu kamar Kiana. Kiana sedang berada di balkon kamarnya. Angin yang bertiup, menerpa rambutnya yang tergerai. Wajahnya terlihat begitu manis. Keserakahan mulai menggerogoti hati Zeki. Namun, ia juga menahan diri karena sikap itu hanyalah sebuah keegoisan baginya. Zeki tidak ingin membuat Kiana kesulitan karenanya."Kak Zeki!" panggil Kiana sembari tersenyum dan menyelipkan rambutnya yang tergerai tersapu angin, ke belakang telinga."Kata Ayahmu, kau mencariku?" tanya Zeki. Kiana terdiam. 'Mencarinya?' batin Kiana bertanya-tanya."Iya. Ak
Ada perpustaan terbesar dipusat kota, tapi Zavier dan Eren memilih untuk pergi ke perpustakaan yang terletak di SMA HG. Meski hari libur, SMA HG tetap buka seperti hari biasa. Zavier dan Eren pergi menggunakan motor. Mereka benar-benar menikmati waktu santai. "Perpustakaannya ternyata sepi," ujar Eren. "Kau menggunakan nada bosan tapi ekspresimu bahagia seperti itu," sahut Zavier. Eren merangkul lengan Zavier dan menariknya masuk ke dalam perpustakaan. "Karena kalau bersamamu itu, enaknya ditempat sepi," bisik Eren. Zavier langsung mendorong wajah Eren menjauh. Telinga Zavier memerah. "Jangan berbisik," kata Zavier. "Kenapa sih?" sungut Eren. Zavier mengusap ujung kepala Eren. "Sudah, jangan marah lagi. Nan
“Zavier, coba kau perhatikan sekitar,” ucap Eren, lirih.“Kenapa perpustakaannya menjadi gudang?”“Bagaimana kalau kita kabur? Sepertinya, Kak Zaila itu wanita yang sangat menyeramkan,” bisik Eren.“Ayo kita kabur.” Mereka berdua kabur diam-diam. Langkah kaki mereka sama sekali tidak bersuara. Kiana tidak menyadari kepergian mereka berdua karena ia sedang sangat fokus memperhatikan tempat yang membuat sakit pada matanya. Arta melirik untuk melihat keberadaan Eren, tapi ia tidak menemukan sosok yang ia cari. Arta menoleh kanan dan kiri, bahkan memutar tubuhnya.“Hust!” bisik Arta. Arta menarik lengan Renza dan mendekatkan bibirnya ke telinga Renza. “Dengar! Dua cucunguk sialan itu sudah berhasil kabur. Kita juga harus kabur,” bisik Arta.“Kali ini aku setuju. Lagi pula, si
Dua orang yang terdiri dari satu wanita dan satu pria, tengah menikmati wine di dalam ruangan yang terlihat seperti ruang khusus pengamatan dan penelitian. Dinding ruangan itu dilapisi seperti layar khusus. Teknologi yang luar biasa sebagai penelitian modern."Kak Zaila, apa hubunganmu dengan pria yang di perpustakaan?" tanya Rai."Tidak ada!" jawab Zaila sembari meneguk wine."Kalian tampak akrab." Zaila menikmati pemandangan indah melalui dinding yang transparan. "Ada sedikit kesalahpahaman," jawab Zaila."Tentang apa?""Dia… Maksudku, pria itu mengira kalau aku salah satu dari anggota HG Group.""Kenapa dia perfikir seperti itu?""Mungkin karena dua kali pertemuan, disaat dia dan rekannya sedang menyusup.""Ah iya. Aku cukup mengerti," ujar Rai. &nbs