Rael mencoba turun dari atas ranjang. Ia sama sekali tidak bisa merasakan apapaun, bahkan lantai yang dingin tidak terasa ditelapak kakinya. Tidak ingat, apakah ia mengenakan alas kaki atau tidak.
Rael tertatih-tatih berjalan dan meraba dinding untuk menemukan pintu. Semua indranya mati untuk beberapa saat. Namun, setelah istirahat selama satu jam, indranya belum juga pulih.
Duak!
“Akh!” pekik Rael.Ia menabrak dinding. Entah karena perabanya tidak berfungsi, sehingga ia tidak bisa menemukan letak pintu, atau karena semua indranya mati, Rael tidak tahu apakah arah yang ia lalui benar atau hanya berputar disatu titik tanpa perubahan.
“Selalu saja seperti ini. Apa aku tidak bisa lebih kuat sedikit saja?” gumam Rael.
Di mana letak ton
Sam, Gracia, Delice, Naura, Loid dan Aretha, mereka berdiri tegap berjajar di depan pintu utama menunggu anak-anak kembali dengan gelisah. Sebagai seorang ibu, tentu saja mereka lebih cemas karena permainan di atas darah hanya diketahui oleh para ayah.“Apa kalian tidak akan mempertimbangkan tentang hal ini? Bukankah ini terlalu mengerikan untuk dunia anak-anak?” tanya Aretha.“Aku juga sependapat dengan Aretha,” sahut Gracia. Naura juga cemas tapi ia tidak bisa membantah kenyataan karena anak-anak memang harus melakukannya. Masuk ke dalam dunia yang selalu membuat nyawa mereka berada dalam ujung jurang kematian.“Naura, kenapa kau diam saja? Apa kau tidak mengkhawatirkan mereka?” tanya Gracia.“Memangnya, aku harus berpendapat apa? Kalau memang kalian tidak ingin anak-anak dalam bahaya, seharusnya kalian nenikah d
Entah kenapa, lapangan latihan yang biasanya menyenangkan dan menjadi tempat paling bercahaya, saat ini adalah tempat tersuram dari semua yang ada. Tidak hanya Zeki atau Leon, tapi semuanya mendapatkan bagiannya masing-masing. Sam mengawasi Zeki, Delice mengawasi Renza, Zavier dan Leon, Loid mengawasi dua pembuat onar, Eren dan Arta. Gracia maupun Aretha, mereka hanya duduk mengawasi pelatihan sembari bercengkrama. Lalu, Naura berjalan menuju gerbang utama untuk menunggu putrinya yang sampai detik ini, belum juga kembali.“Dimulai dari putaran lima puluh kali,” kata Delice.“Hah? Ayah!” pekik Renza. Delice memberikan tatapan mata yang tidak bisa dibantah. Semuanya langsung berlari seperti yang Delice perintahkan. Tubuh yang lelah, terluka, harus mendapatkan hukuman yang terbilang berat. Tidak. Melihat para pe
Tap… Tap… Tap… Teo menghadang ketua Aliansi dan ketua Crew beserta anggota yang menjadi pengikut mereka. Tepat ditengah-tengah perempatan jalan yang akan menjadi tempat perpisahan."Teo, apa yang kau inginkan?" tanya Yogas."Kau tidak ingin mengubah pertanyaanmu?" balas Teo. Yogas menaikkan sebelah alisnya. "Apa yang akan kau lakukan?""Pertanyaan bagus." Teo menyelipkan rokok diantara bibirnya. "Nyalakan!" pinta Teo."Kau pikir, apa statusmu sampai ingin memperbudakku, Presdir yang gagal!" seru Yogas."Saya akan menyalakannya," sahut Sofia. Teo menunjukkan aura baru. Ia menyeringai sembari sesekali menyemburkan asap dari mulutnya."Tuan besar memintaku mengajari kalian," ujar Teo. "Bisa-bisanya kalian dihajar habis tanpa perlawanan," imb
Hari akhirnya berlalu. Malam yang menyesakkan sudah terlewati. Indra yang sempat hilang dan menyakitkan berganti dengan rasa damai. Namun, kedamaian itu baru terasa sesaat.“Tuan Muda, Tuan besar menunggu Anda di meja makan,” ujar Pak Aaron. “Saya menyarankan pada Anda untuk tidak menemuinya saat ini,” imbuhnya.“Tidak apa-apa. Saya tidak akan mati begitu saja,” jawab Rael. Meski pak Aaron cemas, ia hanya bisa membiarkan Rael melakukan apa saja yang ia inginkan tanpa menahan emosi dalam dirinya. Entah memiliki niat apa, Tuan Don datang menemui Rael setelah semalam ia merencanakan penyerangan terhadap Rael menggunakan Ravin.“Hah!” Rael menghela nafasnya. “Ada apa kau sampai repot-repot menemuiku?” tanya Rael tanpa mengulur waktu. Rasa muak sangat enggan ia telan.“Apa aku tidak boleh datang
“Are!” bisik Loid sembari mengecup kecil tengkuk Aretha.“Jangan aneh-aneh!” Pintu kamar terbuka lebar. Loid mendekati Aretha dan memeluknya. Mansion milik Delice dibangun sangat besar dan luas. Bahkan untuk mencapai mansion harus melewati lebih dari seratus hektar tanah yang dijadikan taman dan hutan buatan. Setiap kepala rumah tangga dan anak-anak, memiliki satu kamar lengkap dalam satu lantai. Terdapat lift bagi yang enggan lelah naik melalui tangga.“Sayang, pintunya masih terbuka,” tolak Aretha.“Anak-anak juga tidak mungkin datang ke sini,” sungut Loid.“Mandi dulu sana,” pinta Aretha dengan suaranya yang terdengar manja.“Ayo mandi bersama,” ajak Loid.“Aku sudah mandi. Kau mandi saja sendiri. Aku akan membuatkan makanan yang enak.”“Sungguh? Tapi—“ Loid menatap Ar
Setelah bercengkrama ringan dengan Kiana, Delice kembali ke kamar atas permintaan Kiana untuk melihat keadaan Naura yang sempat terlihat pucat karena kedinginan. Naura sedang berdiri di balkon. Ia memakai handuk kimono. Rambutnya juga terbungkus handuk. Jelas, kalau Naura baru saja selesai mandi."Sayang!" Delice memeluk pinggang Naura dari belakang. Sangat manja dan suaranya terdengar lembut. Naura menoleh. Ia membalas pelukan Delice dan membenamkan wajahnya didada Delice."Dari mana saja? Kenapa baru datang?" tanya Naura.Deg... Deg... Deg... Sudah berapa lama Naura tidak manja seperti ini? Sikapnya berubah hangat, membuat Delice semakin berdebar."Aku mendengar sesuatu," ujar Naura.
Suasana kamar yang lain penuh cinta. Tapi, tidak dengan kamar Zeki. Kamar yang penuh rahasia karena ia tidak mengijinkan siapapun masuk dan membersihkannya. Zeki merawat kamarnya seorang diri. Kamar yang selalu ia anggap sebagai tempat naungan cinta dan kenyamanan saat ia merasa dipojokkan atau merasa tidak dipedulikan. Ketika ia berbaring di atas ranjang ingin memejamkan matanya sejenak untuk melepaskan penat dan lelah yang membebaninya, pintu kamarnya terbuka. Sandi yang ia buat sendiri, dibobol oleh seseorang. Zeki panik dan terperanjat kaget. Orang yang berhasil membobol keamanan kamarnya, tidak lain adalah Sam yang ternyata Ayahnya sendiri. Sam tidak kalah terkejut melihat isi kamar Zeki yang membuatnya naik pitam. Zeki tidak berkutik bukan karena ia takut tapi karena ia tidak memiliki wewenang apapun untuk bicara.“A
Zeki memungut foto yang sudah seperti smpah. Pecahan kaca juga berserakan. Kamar yang sangat rapi berubah berantakan seperti terkena angin topan. "Zeki!" Zeki menoleh. "Paman Delice!" pekik Zeki. "Biarkan para pelayan yang membersihkannya. Kau ditunggu Kiana di kamarnya," ujar Delice. "Ah, tapi…" Delice mengedipkan sebelah matanya. "Siapa tahu Kiana ingin mengajakmu kencan," goda Delice. "Paman!" Zeki menganga mendengarnya. Antara malu, senang, sedih, bingung, beradu menjadi satu. "Paman tidak marah padaku? Bukankah Paman sudah melihat kamarku?" tanya Zeki. "Jangankan isi kamarmu. Isi hatimu saja, Paman tidak berhak marah setelah mengetahuinya." "Tapi, Ayahku…" Zeki tertunduk lesu."Jangan terlalu dipikirkan. Anggap saja Ayahmu sedang gila.""Paman, b