“Apa alasannya, Pak?” Tanya Biba kepada seorang Bapak berjenggot tipis, yakni Pak Kepsek.
“Masa Bu Biba enggak tahu? Yang Bu Biba pukulin itu, anak kepala yayasan!” Biba melangkah keluar ruangan, lalu berhenti sejenak buat mengacungkan jari tengahnya ke hadapan Pak Kepsek yang mendelik kaget. Kalau dipikir-pikir, sudah lima tahun Biba bekerja di sekolah ini tapi dia enggak merasakan ikatan emosional sama sekali ke tempat itu. Selain karena punya Kepala Sekolah yang suka grepe-grepe tubuhnya, serta kolega yang acuh terhadapnya, Biba juga kecewa karena ternyata sekolah bukan tempat sakral seperti dalam bayangannya. Biba berpapasan dengan wanita selingkuhan tunangannya – ups, mantannya. Wanita itu tersenyum kepada Biba seolah enggak tahu menahu tentang apa yang terjadi kepada dirinya. “Bu Biba, sayang sekali Bu Biba harus pergi. Semoga baik-baik saja ya Bu.” Tuturnya lembut, senyumnya bagai rubah. Biba mendengus. Dia melewatinya tanpa menggubris wanita itu. Tapi semakin ia pikir, semakin mulutnya gatal. "Woy." Panggil Biba sok preman banget. Tangan berkacah pinggang dan mulut gerak-gerak kayak ngunyah permen karet. Si selingkuhan mantannya itu tampil sok berani, tapi enggak bisa menyembunyikan getaran di matanya. “Kalau dia memperlakukanmu begitu manis, dia belajar itu sama aku selama lima tahun. Tapi kalau dia tiba-tiba pindah ke cewek lain, cukup tahu aja, kalau dia belajar itu dari Anda.” Sedikit sarkasme mungkin bisa melegakan hatinya sedikit. Wajah wanita itu kelipet-lipet. Dan Biba enggak jauh lebih menikmati pemandangan siang hari itu. Tut. Tut. Tut ... “Cherish~ sahabatku sayang. Hari ini aku punya kabar baik dan kabar buruk. Mau denger yang mana dulu?” Biba mengapit ponselnya di antara telinga dan bahunya, sedang tangannya digunakan untuk melahap dua tusuk sempol sekaligus. “Wah, masih ada kabar baik setelah lo putus dari Dikma?” Sahut Cherish dari seberang panggilan telepon. “Ada dong,” “Oke. Kabar baik coba.” “Kabar baiknya adalah..... aku dipecat dari sekolahan! Hwahahaeheheh,” “Seriously? Akhirnya Bi! Kepsek cabul itu enggak bakal bisa macem-macemin lo lagi kan? Terus lo juga enggak perlu berurusan sama mantan lo yang tahi itu kan?” Cherish nyerocos abis. dari suaranya aja udah kedengaran kalau dia happy banget. “Udah enggak dong. Fyuh, lega rasanya.” “Terus terus … kabar buruknya apaan?” "....." “Ya... aku dipecat dari sekolahan, Cher.” Tutur Biba dengan intonasi datar. "....." “Ouch… terus, lo udah ada gambaran mau kerja di mana?” “Belum lah Cher.” “Pas banget Bi. Lo gantiin kerjaan gue sekarang ya Bi, plis~” Rengekan Cherish bikin kuping Biba gatel. “Emang kamu kerja apaan sekarang?” “Jadi nanny buat bocah laki-laki umur sembilan tahun, Bi.” “Woah! Hahahahaha, sumpah?! Seorang Cherish, jadi nanny? Lah sendirinya ngapain kerja jadi nanny kalau tau bakal enggak betah?” “Gue butuh duit lah. Duitnya lumayan bok,” Biba nyengir. “Anak keluarga konglomerat butuh duit?” “Anjir. Kan gue anak haram, lo tau sendiri gue enggak dikasih duit jatah bulanan setelah lulus kuliah” “Iya sori sori. Emang udah kerja berapa lama sih Cher?” “Hmm... semingguan.” "....." “….. gila. Ya udah dibetah-betahin aja dong! Baru juga seminggu!” Sembur Biba. “NGGAK BISA! Duh Bi, kepala gue rasanya pengen gue jedotin ke tembok delapan kali sehari." "Coba aja sih." "Anjir. Hidup gue aja semrawut, ini malah disuruh ngurusin hidup orang lain. Mana gue enggak sabaran juga kan Bi orangnya.” “Salah sendiri.” “Iya memang. Huh! Gue pikir, gue bukan orang yang sulit Bi. Tapi kenapa ya gue selalu enggak betah sama kerjaan yang gue lakuin?” Biba menelan sisa sempol di mulutnya, lalu ngomong. “Kamu bukan orang yang sulit kok Cher. Kamu itu … cuma enggak paham realita.” “Ouch.” “Terus, kenapa aku yang diminta ngegantiin?” Tanya Biba sambil melahap sempol terakhir. “Kan lo suka anak-anak, Bi. Terus di kontrak kerja bilangnya gini Bi, kalau gue mau resign, kudu cari nanny pengganti yang speknya sama kayak gue. Atau kalau enggak bisa, gue kudu bayar tiga kali lipat gaji satu bulan gue di sini … hing! Gue duit dari mana?!” “Kan anda anak keluarga tajir.” “Kan gue anak haram! Anjir lo suka banget ngeledekin gue gini!” Cherish merajuk. “Sori.” “Lagian gue enggak ada temen lain yang bisa atau mau ngegantiin posisi gue, Bi. Come on~” “Ya iya lah enggak ada. Kan temenmu cuma aku, Cher.” Biba cengengesan, akan lebih menghibur kalau dia bisa lihat muka sahabatnya secara langsung. “Ouch. Anyway! Apa lo enggak pengen menghidupkan kembali mimpi lo untuk ngurus anak-anak gemesin?” “Pengen sih. Tapi Cher, kerjaanmu ini di Jakarta kan?” “Yoi.” “Nah itu yang susah.” “Balik ke Jakarta deh Bi,” “Enggak deh. Di Malang aja.” “Lo sedemen itu sama Kota Malang? Lebih demen Malang ketimbang gue?!” Cherish lumayan sering membanding-bandingkan dirinya dengan sesuatu kepada Biba. Pernah ada masa di saat Cherish membandingkan dirinya dengan pecel lele, karena pada saat itu Biba sedang terobsesi dengan pecel lele. “Bi, nih bocah tuh imut banget. Ngegemesin gitu. Anaknya aktif banget dan demen banget belajar. Lah gue kan gubluk, ditanyain ini-itu gue enggak paham. Makanya Bi, gantiin gue, pliiis~” “Hmm ... pengen sih. Bisa enggak tuh bocah pindahin ke Malang aja, bakal aku rawat sepenuh hati!” “Gila ya, tetep kekeuh loh enggak mau balik ke Jakarta.” “Ya lebih enak di sini Cher. Sambil bantuin om dan tante.” “Dua belas juta Bi … sebulan.” “Wih itu gajiku lima bulan kerja jadi guru, Cher.” “Lumayan, kan? Makanya gantiin gue. Come on!” Rengekan Cherish makin menjadi-jadi. “Kok ngotot? Lagian, mencurigakan tahu. Apa gajinya enggak kegedean cuma buat jadi nanny? Takutnya ada apa-apa lagi,” Biba menyipitkan matanya sok jeli. “Plis deh Bi. Ini tuh keluarga yang punya Siastone, duit segitu bisa didapetin balik dalam semenit atau sedetik. pokoknya se-tajir itu bok.” Bibia menyesap udara. “Ouch. Aku tertarik sih Cher, tapi Jakarta itu lho yang… haa. Kayaknya enggak deh Cher. Semangat kerja di sana ya, aku bakal cari kerjaan di sini aja. Pasti ada dong kerjaan buat aku, hehe.” “Tapi Bi-” Tut. Tut. Tuuuut… Berbanding terbalik dengan harapannya. Biba menganggur selama sebulan lamanya! Kerjaannya hanya lontang-lantung di jalanan Kota Malang. Sesekali duduk di halte bus buat ngelihatin plat nomor kendaraan yang lewat. Saking nganggurnya. Siang itu dia baru selesai wawancara kerja untuk yang kesekian kalinya dalam minggu ini. Tapi firasatnya mengatakan kalau dia enggak akan diterima di tempat barusan. Biba meringis kecut. Membayangkan kembali bagaimana wawancaranya tadi berjalan. “Bu Biba Berlianti, hmm 29 tahun ya? Sudah menikah?” Tanya ibu-ibu dengan tahi lalat gede mempesona di pipinya. “Belum menikah bu. Juga tidak ada pacar dan tidak ada niatan menikah dalam waktu dekat.” Jawab Biba antusias biar dinilai sebagai orang yang bisa fokus kerja. “Mhm. Kok belum menikah? Ada yang enggak beres kali ya?” Gumam si ibu itu sambil mandangin Biba dari kepala sampai kaki. Sepertinya Biba harus mulai program diet deh. Apalagi ditambah faktor usia yang enggak kebilang muda lagi sebagai wanita, kesempatan kerjanya jadi semakin sempit. Biba membuka dan menutup buku tabungannya yang angkanya miris. “Haha.. kerja lima tahun, di tabungan cuma ada lima ratus ribu. Woah, fantastik banget hidupku.” Biba tepuk tangan sambil ketawa kecut. Gajinya sebagai guru memang kecil, apalagi selama lima tahun kerja gajinya enggak pernah naik. Boro-boro naik, bonus aja enggak dapet. Ini semua gara-gara Kepsek sialan itu tuh. Tapi Biba enggak pernah mengeluh kekurangan, malah memberikan sebagian gajinya kepada Om dan Tante yang sudah merawatnya sejak dulu. Tapi setelah lihat keadaan tabungannya sekarang, hatinya jadi goyah. Ditambah, kemarin dia dengar percakapan keluarga Om dan Tantenya tentang dirinya. “Ma, Pah, Kak Biba itu sampe kapan mau ikut kita terus? Sekarang nganggur pisan.” Oceh adik sepupunya kepada om dan tantenya. “Hush. Mbak Biba nyari kerja gitu lho. Juga suka bantuin warung papa mama, kamu jangan ngomong gitu tah nduk. Nanti kalau Mbak Biba denger gimana?” Tukas Omnya sambil mengacak-acak lembut rambut putri semata wayangnya. “Huh! Tapi sampai kapan pah? Aku pengen punya kamar sendiri.” “Tapi ya pah, Biba itu enggak dinikahin aja tah? Apa papa enggak punya kenalan yang punya anak laki baik?” Tantenya menimpali. Obrolan itu terngiang di kepala Biba sampai keesokan harinya. Selama ini, tantenya akan selalu bilang ke Biba kalau mereka adalah keluarganya. Jadi Biba diminta untuk enggak sungkan. Dan karena ucapan itu, Biba dengan muka tebal tetap berada di antara ketiganya. Bermain keluarga sampai batas waktu tertentu. Sebab sendirinya pun sadar kalau dia enggak akan jadi bagian dari keluarga mereka seutuhnya. Di tengah kegamangannya - masih sambil ngelihatin plat nomor kendaraan yang lewat dan menebak dari mana asal kendaraan itu, ponselnya berdering. Biba mendengus kesal. “Apa lagi sih Cher?” “Enggak keterima kerja ya kan? Ya dong? Ya kan?” Biba sempat heran kenapa dia bisa bersahabat dengan cewek macam Cherish yang sumringah banget mendengar kabar buruk temannya. “Oke Cher. Aku gantiin posisimu.” Biba mengibarkan bendera putih. Sampai saat itu, dia enggak membayangkan kehidupan macam apa yang akan menimpanya.Setelah sebulanan diteror Cherish yang hampir setiap hari menelponnya untuk komat-kamit mantra kutukan biar Biba enggak dapet kerjaan, akhirnya harapan Cherish kesampaian. Kalau dihitung-hitung, kerja jadi nanny lumayan juga. Enggak perlu bingung tidur dan makan di mana. Karena kata Cherish, fasilitasnya udah dipenuhi semua termasuk kamar pribadi untuk nanny. Jadi, Biba udah enggak perlu numpang Om dan Tantenya lagi, meski harus balik ke Jakarta. Di tambah, si bocah sembilan tahun itu memang kelihatan lucu dan menggemaskan dari foto yang dikirimkan Cherish sebagai umpan ke Biba, yang emang lemah dengan yang imut-imut. “Gue tunggu di Jakarta beibiiih!” Sorak ria Cherish dari seberang panggilan. Yang Biba lewatkan adalah tawa iblis seorang Cherish setelah menutup panggilan teleponnya. “HeheheuahaHAHA!” Tangan Biba mengepal rapat-rapat. Giginya gemeretak. Kupingnya menyembur merah seraya lipatan di keningnya menebal. Biba mengatur nafasnya satu-satu. Lalu mengambil nafas
“Ugh! Uph! Huuup!” Sosok itu meronta-ronta, hendak bicara namun Biba lebih dulu menyumpel mulutnya dengan kaos kaki yang baru saja ia copot. ‘Sial! Baru juga semalem di sini, langsung ada yang nerobos gini?! Keluarga tajir emang beda dramanya.’ Batin Biba kesal, seluruh tubuhnya sibuk menahan, memukul dan membekuk sosok pria di hadapannya. Biba jadi teringat pesan singkat Pak Darwin tadi siang. Kalau Biba harus jeli dan gesit dalam melindungi Ares dari pihak yang berniat menyakiti Ares. Wanita itu membanting tubuhnya ke atas si penyusup. Membiarkan bobot tubuhnya melakukan fungsinya: meremukkan rusuk si penyusup. Si penyusup meronta. Berusaha meloloskan diri, tapi di mata Biba dia lebih mirip kayak cacing digaramin. Biba menyeringai iblis. Bola mata si penyusup gemetar panik. Bergerak ke segala penjuru ruangan seolah mencari pertolongan, yang tentu saja: enggak ada. Biba bergegas menuju interkom. “Gila! Siapapun situ, enggak akan aku biarin nyakitin tuan muda, dasar
“Jangan mikir yang jorok-jorok, ini urusan kesehatan. Kamu dibayar untuk momong Ares kan? Sekarang itu, mental Ares masih sama kayak anak usia sembilan tahun. Dia masih terguncang akibat kecelakaan, juga karena pas bangun tubuhnya udah beda. Bisa bayangin enggak tiba-tiba tubuhmu terasa beda dari biasanya? Kondisi Ares sekarang begitu. Jadi saya, dan kamu ini tugasnya bikin Ares bisa beradaptasi dengan tubuhnya sekarang.” Dokter Jefri mengetuk-etuk gagang kursinya. “Ini juga perintah Bu Presdir, biar Ares, CEO Siastone, bisa menghasilkan keturunan. Paham? Apalagi setelah 5 bulan bangun, cuma bagian seksualnya aja yang belum terangsang. Jadi, kamu kudu kerja sesuai bayaranmu.” Dokter Jefri kayak lagi nge-rap. Degup jantung Chelsea memburu. Perutnya melilit. “Buat sekarang ini, kamu perlu bikin barangnya Ares berdiri dulu lah. Itu dulu.” “Gimana caranya…. ?” Pertanyaan polos dari Chelsea bikin Pak Darwin dan Dokter Jefri tertegun. Keduanya saling melirik kikuk pada satu sama lain
Pak Darwin bilang kalau Ares itu rewel soal makan. Apalagi kalau moodnya lagi jelek. Beuh, susahnya pol-polan. Dan sialnya, mood Ares hari ini lagi jelek gara-gara insiden tadi malam. Biba udah nunggu Ares di depan kamarnya sejak Dokter Jefri dan Pak Darwin pamit. Tapi sampai hari berganti dan bahkan menjelang tengah hari, Ares enggak keluar-keluar dari kamar. Padahal sarapan udah nyampek dari tadi pagi. Biba ketok-ketok pintu tapi enggak ada jawaban. Biba nempelin kuping ke pintu pun enggak ada suara kedengaran. Karena kuatir, Biba nyoba buka pintu. “Permisi Tuan Ares, saya masuk ya?” Cklek. Cklek. Eh pintu dikunci dong dari dalem. ‘Gaaaah!’ Setahu Biba, tadi malam Ares juga enggak makan karena makanan kemarin malam masih utuh di meja makan. Semuanya emang gara-gara Biba yang ketiduran! ‘Jangan-jangan kemarin dia ke kamarku karena laper kali ya? Bego! Bego! Bisa-bisanya aku ketiduran terus nganggurin Ares? Pakai dibanting segala lagi! Waduuuh.’ Biba menjitaki kepalanya.
“Ke-keluar!” Sembur Ares gelagapan sambil menarik kakinya mundur. “Hatchi! Hatchi!” Biba bersin-bersin. Lalu matanya menyapu setiap jengkal ruangan. Hidungnya menangkap bau asam aneh yang menusuk-nusuk indera penciumannya. Di sisi kirinya, ada Ares yang masih berdiri gemetaran sambil pegang gagang interkom, canggung. Mukanya berangsur pucat. Biba buru-buru tiarap, sedang Ares tersentak. “Tuan Ares, nama saya Biba. Saya minta maaf soal kejadian semalam. Saya mohon maaf ya Tuan Ares. Saya bener-bener menyesal loh. Saya kira yang kemarin malem masuk kamar saya itu maling atau rampok. Makanya saya spontan melindungi diri. Mungkin Tuan Ares pikir saya ini banyak alasan, tapi saya mohon jangan pecat saya. Saya enggak punya rumah buat kembali, jadi saya mohon maafkan saya ya Tuan.” Biba mengemis. Biba masih di posisi setengah bersujud. Pandangan ditundukkan. Menggesekkan tangannya kayak mau bikin api di atas kepalanya. Memohon ampun. Ares kelimpungan. Baru pertama kali ini ada ora
‘Wait. Ares kudu gimana ini? Kalau Ares turun, takutnya kecoak bakal ngiterin Ares. Tapi kalau tetep di posisi ini, MALU! Gimana ini? Gimana ini?’ Biba memandangi Ares yang kelihatan gusar. Lalu garuk-garuk kepalanya canggung. Dia pikir Ares bakal turun dari tubuhnya. Tapi Ares tetap di posisinya; menindihi Biba sambil mengacak-acak rambutnya sendiri. ‘Ini sampai kapan dia bakal ada di atasku? Apa dia enggak paham ya kalau posisi ini sensual banget? Haaa.’ Karena cowok di hadapannya punya mental anak usia sembilan tahun, Biba enggak bisa serampangan menoyor tubuh Ares. Jadi Biba diem aja sampai Ares sendiri yang berinisiatif minggir. Hitung-hitung ngajarin Ares peka lah. Eh, kok Ares malah menurunkan tubuhnya. Mendekatkan wajahnya ke wajah Biba sedang Ares perlahan memejamkan matanya, dan Biba mendelik kebingungan. Hidungnya kembang kempis dengan nafas berat. Di sela-sela kebingungannya, Biba masih sempat mengagumi wajah Ares yang putih mulus tanpa bercak. Tetap saja tangannya
Ares menghentikan kecupannya. Bola matanya gemetar panik seraya tatapannya bertemu tatapan Biba. Saat Biba mengangkat tangannya ke udara, Ares tersentak. Ares pikir, Biba akan memukul atau membantingnya. Tapi tangan Biba malah singgah di pipi Ares dengan lembut. Lalu membelainya. Mata Ares kedip-kedip. ‘Ngapain dia? Kenapa enggak marah?’ Meskipun Ares tahu kalau perbuatannya bisa bikin Biba marah besar, tapi dia enggak bisa berhenti. Ares terlanjur menikmati aktivitas ini yang bikin dia merasa jantan banget di depan Biba – yang dasarnya jantan(?). Ares merasa bangga aja bisa bikin orang nyeremin macem preman gini enggak berdaya dan tersaji pasrah di bawahnya. Saat Ares membelai pipi Biba, wanita itu tersipu, memancarkan senyum menggemaskan yang bikin Ares semakin hilang kendali. Ares menelan ludahnya. ‘Damn! Screw it!’ Ares kembali memagut bibir Biba. Cup. Cup. “Buka mulutmu,” Ares memerintahnya dengan suara rendah. Biba tampak malu, tapi pada akhirnya ia membiarkan bibir
Ares terkesiap. Matanya mengerjap-erjap. Jarinya menelusuri bibirnya yang dingin dan kosong, kontras banget dengan momen hangat yang baru saja ia rasakan. Badannya terasa enteng, udah enggak bunyi kriyek-kriyek lagi pas bangun. Ares garuk-garuk kepalanya. Dia enggak menyangka kalau akan ada malam yang bikin dia bisa terlelap. Tanpa mimpi buruk kecelakaan waktu itu. Yaa, meskipun berubah jadi mimpi aneh yang bikin dadanya semriwing geli sampai sekarang. Tapi, lumayanlah. ‘Woah. Untung cuma mimpi, Ares enggak mau barang Ares bengkak kayak gitu lagi. Hii.. tapi kok pantat Ares kayak basah ya?’ Pas Ares cek celana pendeknya. Dia tertegun. ‘Kok bengkak?! Hush hush.. kok barang Ares kaku kayak yang pas di mimpi? Apa ada yang sakit?! Aduh.. mama, papa, tolong Ares,’ Ares pikir dengan niupin barangnya bisa bikin bentuknya kembali menyusut seperti semula. Perkiraannya meleset. Selain menjumpai barangnya yang nunjuk dan bengkak, Ares juga lihat ada bekas air membentuk pulau di bagian
Ares emang enggak seberapa suka Pak Darwin. Tapi malam itu Ares jauh lebih enggak suka sekali banget dengan Pak Darwin! Dia tiba-tiba nyelonong masuk ke kamar Ares. Sok akrab ke Ares dengan nepuk pundak Ares. Lalu duduk di sofa sambil merhatiin setiap sudut kamar Ares. “Yang tadi itu… ng.. saya bisa jelaskan, Pak,” Kak Biba kelihatan gugup, Ares enggak tahu kenapa dia begitu. “Yang tadi? Memangnya tadi ada apa? Yang Nanny Biba jumpalitan terus sampai nyium lantai gitu?” “Ah.. oh.. uhm.. itu… Pak Darwin haha… apa enggak lihat?” suara Kak Biba jadi nyandet-nyandet terus menciut. “Enggak ada apa-apa kok Pak. Iya enggak ada apapun, haha..ha,” sekarang Kak Biba ketawa canggung sambil garuk-garuk pahanya. Tuh kan, tuh kan, gelagat Kak Biba jadi aneh. Ngapain dia berlutut di lantai gitu? Ares menajamkan tatapan ke Pak Darwin biar dia peka kalau kedatangannya enggak Ares inginkan sama sekali! Kak Biba juga sama, dia juga enggak suka dengan adanya Pak Darwin yang bikin kita stop ciuma
“Ih, bentar Bang Ares, Kak Biba mau ngecek siapa yang nutup pintu itu.” Biba menggeliat, mencoba lepas dari pelukan Ares yang tanpa sepengetahuannya semakin erat. “Halah, paling juga siapa. Pelayan dari rumah utama kali. Mana pipi satunya belum Kak Biba.” Ares merengek terus monyong-monyongin bibir untuk mencium pipi lainnya. “Astaga, bentar. Cek ke depan dulu, kalau orang asing yang masuk gimana?” Ares menyeringai. “Bukan bukan, emang siapa yang berani masuk rumah ini?” Omongan Ares ada benarnya. Enggak mudah menyusup ke rumah ini yang pengamanannya super ketat. Dan sekalinya masuk pun, keluarnya enggak gampang. Jadi siapapun yang buka pintu barusan mungkin adalah pegawai yang nganter makan malam seperti biasanya. Hanya saja kali ini pintunya kebanting. Mungkin karena angin atau lagi terburu-buru? Semoga hanya karena itu. Cuma, firasat Biba tuh enggak enak banget. Kayak ada yang ngeganjel di hati. Dan firasat buruknya tuh selalu kejadian gitu. Makanya Biba was-was, apalagi s
Mereka saling pandang cukup lama. Tapi pandangan mereka instense banget, udah kayak mau perang aja. Ares sampai gugup karena dilihatin Biba dengan tegas banget. Cuma karena dia enggak mau kalah, dia juga tetap menatap Biba, sok berani gitu. Meskipun pada akhirnya dia kalah karena buang muka duluan akibat mukanya makin merah. “Kak Biba? Ayo ciuman!” “Tsk, Bang Ares ngajak ciuman atau ngajak berantem sih?! Enggak mau. Ciuman itu cuma dilakuin oleh dua orang yang saling suka. Jadi Kak Biba enggak mau.” “Jadi… Kak Biba enggak suka Ares? Selama ini Kak Biba bohong? Katanya suka Ares!” “Itu beda konteks –suka-. Ciuman itu buat dua orang yang saling cinta. Paham?” “Kak Biba enggak cinta Ares?” “Enggak lah. Kak Biba suka Ares, tapi enggak sampai cinta juga ih,” Ares cemberut. “Tahu dari mana? Kan Kak Biba belum ngecek! Kata Kak Cherish, cara ngeceknya ya dengan ciuman!” “Ih! Logika macam apa ya itu? Jangan mau dikibulin Cherish deh Bang Ares. Udah ayok cuci tangan - cuci kaki
“Belum telat Res, lu juga bisa kok terangsang karena cewek lain. Kita latihan mulai hari ini dengan nonton video-video yang gua kirim ke nomor lu.” Dokter Jefri nepuk pundak Ares prihatin. “Males ah. Entar ceritanya enggak nyambung semua.” “Bukan soal ceritanya o’on, tapi visualnya~!” Dokter Jefri mulai gemes. “Lah kenapa Ares cuma bisa terangsang karena Kak Biba doang?” “Itu-” “Karena cinta dong. Ares, lo itu jatuh cinta ke Biba makanya cuma bisa terangsang sama dia.” sahut Cherish yang nongol tiba-tiba. Cherish nyender di gagang pintu kamar Ares. Dengan kaki disilangkan dan sunglasses ditarik ke atas mirip bando. Enggak lupa dengan muter-muter tas mininya seraya jalan ke arah dua laki-laki yang bengong. Lagaknya udah kayak model papan atas. “Ehem.” Biba ngekorin Cherish yang masuk dengan pedenya. Telinga Biba nyembur merah. “Bukan Res! Lu lebih percaya gua daripada mantan nanny lu yang sinting ini kan?” jerit Dokter Jefri panik. Dia menggenggam tangan Ares den
Seenggaknya mereka cukup tahu diri dengan menghentikan pertarungan anjing mereka sebelum satpam rumah sakit menyeret mereka keluar dengan memalukan. Mereka pindah lokasi ke kafe kecil di dekat kafetaria rumah sakit. Ketiganya duduk melingkar sambil menyeruput minuman layaknya masyarakat beradab. “Ares, sejak kapan lo jadi anjing?” Celetuk Cherish. PWLAK! “Kok mukul tangan sih lo Bib?” “Ketimbang mukul muka hayo lho,” Biba kelihatan garangnya, sedang Ares hanya geleng-geleng kepala diapit oleh dua wanita heboh. “Ouch. Iya, jangan deh. Muka gue dipake buat kerja nih” Ares menyeruput jus melonnya, sok enggak terusik dengan keberadaan dua cewek yang lagi gontok-gontokan. Enggak lama duduk di kafe, Dokter Jefri tiba buat ngambil Ares pergi dari tempat itu. “Kak Biba ntar nyusul Ares kan?” “Iya dong. Kak Biba masih ada urusan sama orang ini, jadi Bang Ares duluan aja sama Dokter Jefri. Semangat Bang!” Hidung ares kembang-kempis lagi. Mesti kayak gitu kalau dia lagi malu. D
JTAK! Kepala Ares kena jitakan maut Biba. Ares yakin Biba enggak menjitak pakai tangan, tapi batu! Sakit banget! “Ngapain kamu, Bang?” tanya Biba, mukanya horror. “Biar mata Kak Biba enggak sembab! Mama sering gituin Ares!” “Astaga… untung ke Kak Biba. Lain kali jangan asal kayak gitu ke orang lain loh Bang,” “Kenapa?!” “Ya karena bisa dijitak, Bang Ares.” tutur Biba kalem. “Lah Kak Biba juga jitak Ares!” “….. ouch, iya ya.” Ares meraba-raba kepalanya. Kalau di kartun Shinchan, biasanya langsung nongol benjolan di kepala. Ares ngeri aja kalau itu beneran terjadi ke dia. Sepanjang sembilan tahun hidupnya, dia enggak pernah dijitak orang, begitu batin Ares yang menggigit bagian dalam mulutnya, saking kesalnya dengan Biba. ‘Kenapa dia marah-marah gitu? Kan niat Ares baik. Mama juga sering nyium mata Ares kalau Ares habis nangis biar enggak sembab katanya. Tsk.’ “Apa Bang Ares khawatir kalau Kak Biba nangis gara-gara ditabok Oma?” Ares buang muka. Hidungnya kembang-ke
Biba terpaku di tempat, mengatur nafasnya. Kalau dia bisa, dia juga pengen mengatur ritme detak jantungnya yang berdegup kencang. Tapi sayang, dia enggak mampu. Tubuhnya gemetar, tapi ia coba menenangkan dirinya. Biba enggak ingin dirinya tampak menyedihkan di hadapan Ares. Bukan karena harga diri, tapi karena kuatir Ares jadi trauma menyaksikan kekerasan. Ini bukan kali pertamanya ditampar oleh ibu-ibu. Pipi sebelah kirinya sudah pernah merasakan tamparan, tapi, ini pertama kalinya dia ditampar pakai tas branded mahal! Apa ini sebuah pencapaian? Entahlah. “Kenapa anak ini masih di sini? Anak ini yang bikin Ares enggak sadar diri dua hari di rumah, kan? Sekarang dia juga bikin Ares pingsan, padahal waktunya kontrol!” suara menggelegar datang dari mulut seorang wanita paruh baya yang bertubuh mungil. “Saya mohon maaf, bu- Nyonya? Saya akan berusaha lebih baik lagi agar tuan Ares-” “Diem. Sekarang, kamu keluar.” Perintah Oma Deril. Padahal Biba lebih tinggi daripada Oma Deril,
Wait..wait. Kenapa paha Kak Biba jadi bantalan Ares rebahan begini? Pas Ares mau bangun, tangan Kak Biba nahan kepala Ares. Ada yang enggak beres deh. Perasaan tadi kita ada di rumah sakit buat kontrol sekalian ketemu Jenni. Tapi sekarang kok Ares di ayunan belakang rumah? Ares mandangin telapak tangan Ares. Jari-jari Ares balik pendek dan chubby kayak jari Ares biasanya! Wow! Ini bukan jari-jari panjang dan telapak tangan besar yang aneh. Ares raba muka Ares. Udah enggak ada rambut tajem-tajem di dagu. Pipi Ares juga tembem kayak pipi kesukaan mama dan papa. Mereka sering nguyel-nguyel pipi tembem Ares. Ha, syukurlah Ares balik ke tubuh Ares. Kak Biba senyum. Enggak tahu kenapa tapi setiap kali Kak Biba senyum, Ares jadi kayak sebel gitu. Ares sentuh bibir Kak Biba, terus Ares uyel-uyel biar enggak senyum-senyum lagi. Eh tiba-tiba Kak Biba mangap lalu gigit jari Ares, lah?! “Kak Biba?! Jari Ares enggak enak tahu!” “Ih enak tahu,” ralat Kak Biba yang lanjut nyiumin punggung t
Seumur-umur Ares enggak pernah rambutnya dijambak orang. Bahkan kalau berantem sama Gea pun, enggak pernah juga tuh sampai jambak rambut. Nah ini udah rambut dijambak, badan diseret-seret masuk ke dalem lift lagi sama Kak Biba! Ares enggak paham deh sama orang ini. Bukan cuma sekali, tapi berkali-kali Ares enggak paham sama kelakuan Kak Biba. Kenapa dia ngejauhin Ares dari Jenni, pacar Ares?! “Bang Ares, umurnya Jenni berapa?” “Dia bilang sebelas tahun!” “Arrgh!” Tuh kan, Kak Biba aneh. Dia nguyel-nguyel rambutnya sendiri sambil komat-kamit enggak jelas. Kalau dihitung-hitung, Kak Biba sering komat-kamit enggak jelas gitu. Eh sekarang dia malah pukul-pukul dinding lift sambil menggeliat kayak uget-uget. Apa dia enggak malu sama orang lain yang ada di lift? “Kak Biba, Ares pengen ketemu Jenni!” “Stop! Kita kudu ngobrol bentar, Bang Ares. Bisa bahaya kalau diterusin.” matanya Kak Biba kayak enggak fokus gitu sambil gigitin kukunya. Satu tangannya nahan lengan Ares. “Ogah! A