“Ugh! Uph! Huuup!”
Sosok itu meronta-ronta, hendak bicara namun Biba lebih dulu menyumpel mulutnya dengan kaos kaki yang baru saja ia copot. ‘Sial! Baru juga semalem di sini, langsung ada yang nerobos gini?! Keluarga tajir emang beda dramanya.’ Batin Biba kesal, seluruh tubuhnya sibuk menahan, memukul dan membekuk sosok pria di hadapannya. Biba jadi teringat pesan singkat Pak Darwin tadi siang. Kalau Biba harus jeli dan gesit dalam melindungi Ares dari pihak yang berniat menyakiti Ares. Wanita itu membanting tubuhnya ke atas si penyusup. Membiarkan bobot tubuhnya melakukan fungsinya: meremukkan rusuk si penyusup. Si penyusup meronta. Berusaha meloloskan diri, tapi di mata Biba dia lebih mirip kayak cacing digaramin. Biba menyeringai iblis. Bola mata si penyusup gemetar panik. Bergerak ke segala penjuru ruangan seolah mencari pertolongan, yang tentu saja: enggak ada. Biba bergegas menuju interkom. “Gila! Siapapun situ, enggak akan aku biarin nyakitin tuan muda, dasar sinting! Ke anak kecil aja sampek ngirimin preman gini segala. Apa lo lihat-lihat?! Mau gue cungkil tuh mata?” Ancam Biba sok garang saat kedua mata saling bertemu. “Halo, Pak Darwin? Pak, ada penyusup masuk ke rumah tuan Ares, tolong segera diamankan.” Dengan segera bala bantuan berupa barisan pengawal berbadan kekar datang menyerbu rumah kayu itu. Langkah mereka gegabah. Kalau boleh hiperbola dikit, lantai rumah kayu itu bergetar kayak ada gempa. “Itu penyusupnya!” Biba menunjuk sosok yang kini pasrah terikat di atas kasur. Para pengawal berbadan kekar itu hanya diam melongo. Memandangi satu sama lain dengan muka bingung. Lalu serempak mendelik ke Biba. “Tuan Ares!” Seru delapan pengawal bersamaan bak paduan suara, tapi lebih terdengar horor, lalu bergegas mengendorkan ikatan si penyusup. “Hmm? Tuan Ares?” Biba miringin kepala. Dari belakangnya, ia merasakan aura membunuh yang kuat. “Nanny Biba, bisa tolong jelaskan kenapa tuan muda Ares digulung, diikat, lalu mulutnya disumpel dengan kaos kaki?!” Hardik Pak Darwin melalui sela-sela giginya yang gemeretak, kepada Biba yang menciut di pojokan kamar. ‘Itu … tuan muda Ares?! Mana ada dia bocah sembilan tahun?!’ Jeritan batin Biba bikin Cherish merinding di manapun dia berada saat ini. *** Sejak kapan bocah umur sembilan tahun punya badan sebongsor itu? Perasaan, terakhir kali Biba ngecek bocah umur sembilan tahun di jalanan, mereka masih kecil dan menggemaskan. Masih haha-hihi enggak jelas sambil ngayunin sebungkus batagor di tangan. Apa Biba ketinggalan berita kalau jaman sekarang bocah umur sembilan tahun lebih cepat dewasa? Atau karena dia anak Jakarta, makanya kelihatan lebih dewasa daripada anak kota pinggiran? Masa sih? Perasaan, di foto yang Cherish kasih, si bocah masih kelihatan kayak anak umur sembilan tahun pada umumnya. Masih lucu menggemaskan dengan badan yang mungil. Bukan yang tinggi dan jakunnya nonjol banget. Apa Biba keliru menangkap informasi dari Cherish? Perasaan ya enggak kok. Apalagi Biba sudah mengonfirmasi dengan Pak Darwin kalau yang akan Biba asuh adalah anak berusia sembilan tahun yang sempat koma lumayan lama di rumah sakit. “Bentar,” Kalau dipikir-pikir, Cherish lumayan sering ngedumel soal anak asuhnya yang kelakuannya masih kayak anak bermental sembilan tahun. Tapi keluhan Cherish itu Biba cuekin karena enggak masuk akal dan namanya juga anak-anak! Kecuali jika, dia bukan anak-anak. Dan barulah sekarang Biba memahami betul apa maksud keluhan Cherish, dan kenapa Cherish enggak bisa dihubungi dari tadi! “Tuan Ares koma di rumah sakit sejak usia sembilan tahun. Dan ketika beliau terbangun, beliau masih menganggap dirinya berusia sembilan tahun meskipun tubuhnya sudah berusia 22 tahun. Saya pikir Nanny Biba sudah paham dari informasi nanny Cherish, itu sebabnya saya tidak menjelaskan lebih detil.” Ungkap Pak Darwin, lalu menghela nafas. “Tubuh Tuan Ares masih rapuh. Masih perlu terapi di rumah sakit. Tapi beliau diperlakukan seperti itu,” Terdengar suara terisak dari mulut Pak Darwin. Hati nurani Biba kayak ditonjok. Keringat dingin mulai membasahi kulit kepalanya. “Apa Nanny Biba mau resign setelah tahu kalau Tuan Ares bukan anak-anak lagi?” “Itu..” Biba memutar otaknya. Dia enggak bisa balik lagi ke Malang karena uangnya telah habis untuk keperluan berangkat ke Jakarta. Dia juga enggak ada tempat tinggal, boro-boro makanan. Biba kudu bikin keputusan bijak. Biba menelan ludahnya. “Tidak pak, saya enggak akan resign. Saya akan menjalani tugas saya dengan baik. Jadi, mohon dimaafkan sekali ini saja pak! Enggak akan saya ulangi lagi pak.” Biba menundukkan kepala. “Pilihan yang tepat, Nanny Biba. Karena kalau Nanny Biba mau resign, harus membayar uang penalti kontrak. Ditambah biaya perawatan rumah sakit untuk Tuan Ares yang terluka gara-gara Nanny Biba.” Biba tersentak. Lalu ngelirik tipis-tipis ke pria yang disangkanya penyusup. “Jadi, dia Ares?” Tubuhnya tinggi kurus dengan punggung sedikit membungkuk. Wajahnya juga tampak lebih kurus dengan tulang pipi lebih pipih dan menonjol. Kulitnya yang putih pucat membuat warna ototnya lebih menonjol. Rambutnya berwarna hitam legam dengan potongan bergaya jamur dengan poni yang hampir menutupi mata. Meski sekilas, Biba sempat melihat warna bola mata Ares berwarna cokelat terang mendekati emas. Bola mata dengan tatapan dalam yang menenggelamkan. “Huh?” Biba tersentak saat matanya bertatapan langsung dengan mata indah Ares. Ares memelototinya tajam. Biba langsung membuang muka ke samping. Meski pandangan Biba dialihkan ke tempat lain, tapi dia bisa merasakan sorot mata Ares yang tajam kepadanya. Kalau tatapan bisa membunuh, mungkin Biba sudah dikubur sejak tadi. “Tuan Ares, saya sudah memanggil Dokter Jefri kemari untuk memastikan Tuan baik-baik saja. Mari saya antar ke kamar, Tuan.” Tuntun Pak Darwin. Biba terus menundukkan kepala. “Kalau mau mastiin Ares baik-baik aja, usir orang itu.” Ujarnya, dagu ditarik sombong ke atas. Biba semakin menundukkan pandangannya. “Saya akan bekerja lebih baik lagi, Tuan Ares. Tolong beri saya kesempatan sekali lagi!” Biba setengah berteriak, mengingat ini satu-satunya cara agar bulan ini dia enggak kelaperan dan tinggal di bawah kolong jembatan. Setelah Ares, Pak Darwin dan sekelompok pengawal turun ke lantai satu, Biba ambruk. Ia mengambil kembali nafasnya yang tersendat cemas. Menyesali perbuatannya yang asal percaya info dari Cherish tanpa mencari tahu kondisi lebih jelasnya. Juga menyesali perbuatannya pada Ares. Enggak seharusnya dia membanting atau menindihi tubuh Ares yang masih lemah. Biba menjitak kepalanya sendiri. Dia takut memprediksi apa yang akan keluarga tajir ini lakukan kepadanya kalau tahu ada goresan barang sedikit di tubuh Ares, cucu dari Presdir perusahaan besar. Tetap saja, Biba bersyukur Ares tidak membentak lalu menyeret paksa dirinya keluar dari rumah. ‘Bentar, tapi kenapa Ares ada di kamarku ya?’. Kedatangan Dokter Jefri membuat Biba semakin bertekad untuk melayani Ares dengan baik. Namun sebelum Dokter Jefri masuk ke kamar Ares, dia memerhatikan Biba dari ujung kepala sampai kaki. Lalu mendengus. “Nanny baru?” Tanya lelaki itu, Biba mengangguk kikuk. Setelah pertemuan pertama yang mengintimidasi abis, Dokter Jefri masuk ke kamar Ares. Di buku pedoman tertulis, kalau Dokter Jefri adalah teman semasa kecil Ares yang lebih tua tiga tahun darinya. Bu Presdir sendiri yang memilih Dokter Jefri sebagai dokter pribadi Ares karena kemampuannya, serta hubungan dekatnya dengan Ares. Pintu kamar terbuka. Dokter Jefri keluar dari dalam sambil mengacak-acak rambutnya. “Kamu, duduk dulu.” Perintah Dokter Jefri kepada Biba yang duduk dengan kikuk di sisi Pak Darwin. “Hah, saya enggak bermaksud ngebully ya. Tapi dengan bobot badannya kamu, itu tulang Ares bisa remuk. Bisa membahayakan organ dalamnya semacam paru-paru, jantung dan lain-lain. Jadi saya minta tolong ya lain kali buat mikir sebelum bertindak.” Biba mingkem semingkem-mingkemnya. “Besok pagi kamu pastikan Ares makan. Coba buku laporan yang paling belakang itu dilihat. Di situ ada tabel, kamu harus nulis semua yang dimakan Ares, baik itu nasi atau cemilan. Paham?” Biba mengangguk keras. “Terus di halaman yang ada pembatas pink itu, kamu juga isi frekuensi aktifitas seksualnya Ares dalam seminggu itu ngapain aja. Hah, padahal motorik kasarnya udah hampir stabil, tapi kenapa cuma organ seksualnya yang enggak bekerja ya?” “Apa perlu diperiksakan lagi, Dok? Barangkali karena kecelakaan itu, Tuan Ares jadi…” Pak Darwin menimpali dengan dahi berkerut. “Itu udah diperiksa dari awal, Pak Darwin. Enggak ada yang cedera dibagian itunya. Ini perihal psikologisnya. Heran deh, kenapa enggak pernah berdiri sama sekali? Padahal menurut laporan nanny sebelumnya, Ares udah dikasih banyak stimulus, ya kan Pak Darwin?” Pak Darwin mengangguk. “Kata nanny yang sebelumnya, memang demikian Dok. Lalu apa kami perlu mengadakan terapi seksual khusus agar Tuan Ares segera pulih?” Pak Darwin menerawang, sedangkan Biba ngawang sengawang-ngawangnya. “Kamu, nanny baru. Dengar instruksi saya yang tadi kan?” Biba melongo, lalu memiringkan kepalanya dengan muka penuh tanda tanya. “Hey, denger. Salah satu tugas kamu lainnya, itu memastikan alat seksual Ares berfungsi lagi.” “Hah?!” Biba melotot ngeri.“Jangan mikir yang jorok-jorok, ini urusan kesehatan. Kamu dibayar untuk momong Ares kan? Sekarang itu, mental Ares masih sama kayak anak usia sembilan tahun. Dia masih terguncang akibat kecelakaan, juga karena pas bangun tubuhnya udah beda. Bisa bayangin enggak tiba-tiba tubuhmu terasa beda dari biasanya? Kondisi Ares sekarang begitu. Jadi saya, dan kamu ini tugasnya bikin Ares bisa beradaptasi dengan tubuhnya sekarang.” Dokter Jefri mengetuk-etuk gagang kursinya. “Ini juga perintah Bu Presdir, biar Ares, CEO Siastone, bisa menghasilkan keturunan. Paham? Apalagi setelah 5 bulan bangun, cuma bagian seksualnya aja yang belum terangsang. Jadi, kamu kudu kerja sesuai bayaranmu.” Dokter Jefri kayak lagi nge-rap. Degup jantung Chelsea memburu. Perutnya melilit. “Buat sekarang ini, kamu perlu bikin barangnya Ares berdiri dulu lah. Itu dulu.” “Gimana caranya…. ?” Pertanyaan polos dari Chelsea bikin Pak Darwin dan Dokter Jefri tertegun. Keduanya saling melirik kikuk pada satu sama lain
Pak Darwin bilang kalau Ares itu rewel soal makan. Apalagi kalau moodnya lagi jelek. Beuh, susahnya pol-polan. Dan sialnya, mood Ares hari ini lagi jelek gara-gara insiden tadi malam. Biba udah nunggu Ares di depan kamarnya sejak Dokter Jefri dan Pak Darwin pamit. Tapi sampai hari berganti dan bahkan menjelang tengah hari, Ares enggak keluar-keluar dari kamar. Padahal sarapan udah nyampek dari tadi pagi. Biba ketok-ketok pintu tapi enggak ada jawaban. Biba nempelin kuping ke pintu pun enggak ada suara kedengaran. Karena kuatir, Biba nyoba buka pintu. “Permisi Tuan Ares, saya masuk ya?” Cklek. Cklek. Eh pintu dikunci dong dari dalem. ‘Gaaaah!’ Setahu Biba, tadi malam Ares juga enggak makan karena makanan kemarin malam masih utuh di meja makan. Semuanya emang gara-gara Biba yang ketiduran! ‘Jangan-jangan kemarin dia ke kamarku karena laper kali ya? Bego! Bego! Bisa-bisanya aku ketiduran terus nganggurin Ares? Pakai dibanting segala lagi! Waduuuh.’ Biba menjitaki kepalanya.
“Ke-keluar!” Sembur Ares gelagapan sambil menarik kakinya mundur. “Hatchi! Hatchi!” Biba bersin-bersin. Lalu matanya menyapu setiap jengkal ruangan. Hidungnya menangkap bau asam aneh yang menusuk-nusuk indera penciumannya. Di sisi kirinya, ada Ares yang masih berdiri gemetaran sambil pegang gagang interkom, canggung. Mukanya berangsur pucat. Biba buru-buru tiarap, sedang Ares tersentak. “Tuan Ares, nama saya Biba. Saya minta maaf soal kejadian semalam. Saya mohon maaf ya Tuan Ares. Saya bener-bener menyesal loh. Saya kira yang kemarin malem masuk kamar saya itu maling atau rampok. Makanya saya spontan melindungi diri. Mungkin Tuan Ares pikir saya ini banyak alasan, tapi saya mohon jangan pecat saya. Saya enggak punya rumah buat kembali, jadi saya mohon maafkan saya ya Tuan.” Biba mengemis. Biba masih di posisi setengah bersujud. Pandangan ditundukkan. Menggesekkan tangannya kayak mau bikin api di atas kepalanya. Memohon ampun. Ares kelimpungan. Baru pertama kali ini ada ora
‘Wait. Ares kudu gimana ini? Kalau Ares turun, takutnya kecoak bakal ngiterin Ares. Tapi kalau tetep di posisi ini, MALU! Gimana ini? Gimana ini?’ Biba memandangi Ares yang kelihatan gusar. Lalu garuk-garuk kepalanya canggung. Dia pikir Ares bakal turun dari tubuhnya. Tapi Ares tetap di posisinya; menindihi Biba sambil mengacak-acak rambutnya sendiri. ‘Ini sampai kapan dia bakal ada di atasku? Apa dia enggak paham ya kalau posisi ini sensual banget? Haaa.’ Karena cowok di hadapannya punya mental anak usia sembilan tahun, Biba enggak bisa serampangan menoyor tubuh Ares. Jadi Biba diem aja sampai Ares sendiri yang berinisiatif minggir. Hitung-hitung ngajarin Ares peka lah. Eh, kok Ares malah menurunkan tubuhnya. Mendekatkan wajahnya ke wajah Biba sedang Ares perlahan memejamkan matanya, dan Biba mendelik kebingungan. Hidungnya kembang kempis dengan nafas berat. Di sela-sela kebingungannya, Biba masih sempat mengagumi wajah Ares yang putih mulus tanpa bercak. Tetap saja tangannya
Ares menghentikan kecupannya. Bola matanya gemetar panik seraya tatapannya bertemu tatapan Biba. Saat Biba mengangkat tangannya ke udara, Ares tersentak. Ares pikir, Biba akan memukul atau membantingnya. Tapi tangan Biba malah singgah di pipi Ares dengan lembut. Lalu membelainya. Mata Ares kedip-kedip. ‘Ngapain dia? Kenapa enggak marah?’ Meskipun Ares tahu kalau perbuatannya bisa bikin Biba marah besar, tapi dia enggak bisa berhenti. Ares terlanjur menikmati aktivitas ini yang bikin dia merasa jantan banget di depan Biba – yang dasarnya jantan(?). Ares merasa bangga aja bisa bikin orang nyeremin macem preman gini enggak berdaya dan tersaji pasrah di bawahnya. Saat Ares membelai pipi Biba, wanita itu tersipu, memancarkan senyum menggemaskan yang bikin Ares semakin hilang kendali. Ares menelan ludahnya. ‘Damn! Screw it!’ Ares kembali memagut bibir Biba. Cup. Cup. “Buka mulutmu,” Ares memerintahnya dengan suara rendah. Biba tampak malu, tapi pada akhirnya ia membiarkan bibir
Ares terkesiap. Matanya mengerjap-erjap. Jarinya menelusuri bibirnya yang dingin dan kosong, kontras banget dengan momen hangat yang baru saja ia rasakan. Badannya terasa enteng, udah enggak bunyi kriyek-kriyek lagi pas bangun. Ares garuk-garuk kepalanya. Dia enggak menyangka kalau akan ada malam yang bikin dia bisa terlelap. Tanpa mimpi buruk kecelakaan waktu itu. Yaa, meskipun berubah jadi mimpi aneh yang bikin dadanya semriwing geli sampai sekarang. Tapi, lumayanlah. ‘Woah. Untung cuma mimpi, Ares enggak mau barang Ares bengkak kayak gitu lagi. Hii.. tapi kok pantat Ares kayak basah ya?’ Pas Ares cek celana pendeknya. Dia tertegun. ‘Kok bengkak?! Hush hush.. kok barang Ares kaku kayak yang pas di mimpi? Apa ada yang sakit?! Aduh.. mama, papa, tolong Ares,’ Ares pikir dengan niupin barangnya bisa bikin bentuknya kembali menyusut seperti semula. Perkiraannya meleset. Selain menjumpai barangnya yang nunjuk dan bengkak, Ares juga lihat ada bekas air membentuk pulau di bagian
Biba mondar-mandir di depan kamar mandi. Udah hampir setengah jam sejak Ares ngibrit ke kamar mandi buat mandiin barangnya dengan air dingin lagi, tapi Ares belum juga keluar. Biba heran, karena kata Dokter Jefri dan Pak Darwin, barang Ares enggak pernah berdiri sebelumnya. Tapi baru dua hari dia di sana, barang Ares udah tegang dua kali kok. Biba pikir mungkin ada laporan yang keliru, jadi dia telpon Pak Darwin lewat interkom. Eh enggak ada jawaban. Biba telepon Dokter Jefri, juga ditolak. Dia juga coba telepon Cherish dengan harapan biar dapet pencerahan dari senior. Tapi Cherish enggak ngangkat-ngangkat. ‘Ini cewek, pas ada maunya aja cepet banget angkat telepon. Huh!’ Di dalam kamar mandi, Ares merendam dirinya dengan air dingin di bathtub. Dia enggak ngerti lagi gimana caranya bikin barangnya yang bermasalah(?) ini bisa balik lagi seperti semula. Padahal tadi pagi, cukup di-showerin aja udah langsung balik. Nah ini udah lama di-showerin, tapi makin kedutan dan semakin sakit.
PAKK! Sebuah buku setebal kamus Bahasa Inggris menghantam kepala wanita itu. Bibir bawahnya ia gigit seraya menahan erangan kesakitan. Dia enggak pengen kelihatan manja di sini, bahaya. “Lu pikir dengan loncat dari satu klub ke klub lain, lu bisa sembunyi dari mata seorang Kalili?” hardik pria itu. “Sori bang. Tapi gue nggak bisa kerja gituan,” “Ha! Dasar lonte. Lu emang lebih suka jual diri lu ketimbang jadi pembantu kan? Padahal lu tinggal jadi nanny di keluarga itu. Main sama bocah itu, terus lu dapet bayaran dari mereka. Gue kan juga bayar lu dungu! Malah kabur. Sekarang balikin duit gue karna lu udah batalin kesepakatan.” “Bang! Yang gantiin gue itu temen gue. Gue dapet informasi dari dia bang, makanya… sama aja kan? Gue bakal tetep jadi mata-mata lo lewat dia,” “Temen lu ngerti situasinya?” “Ngerti bang. Udah gue bilangin dianya. Jadi lo tenang aja, dia bakal kasih gue info,” Pria itu mengetukkan jarinya ke meja. “Oke. Karena itungannya lu masih adik gue, gue kasih
Ares emang enggak seberapa suka Pak Darwin. Tapi malam itu Ares jauh lebih enggak suka sekali banget dengan Pak Darwin! Dia tiba-tiba nyelonong masuk ke kamar Ares. Sok akrab ke Ares dengan nepuk pundak Ares. Lalu duduk di sofa sambil merhatiin setiap sudut kamar Ares. “Yang tadi itu… ng.. saya bisa jelaskan, Pak,” Kak Biba kelihatan gugup, Ares enggak tahu kenapa dia begitu. “Yang tadi? Memangnya tadi ada apa? Yang Nanny Biba jumpalitan terus sampai nyium lantai gitu?” “Ah.. oh.. uhm.. itu… Pak Darwin haha… apa enggak lihat?” suara Kak Biba jadi nyandet-nyandet terus menciut. “Enggak ada apa-apa kok Pak. Iya enggak ada apapun, haha..ha,” sekarang Kak Biba ketawa canggung sambil garuk-garuk pahanya. Tuh kan, tuh kan, gelagat Kak Biba jadi aneh. Ngapain dia berlutut di lantai gitu? Ares menajamkan tatapan ke Pak Darwin biar dia peka kalau kedatangannya enggak Ares inginkan sama sekali! Kak Biba juga sama, dia juga enggak suka dengan adanya Pak Darwin yang bikin kita stop ciuma
“Ih, bentar Bang Ares, Kak Biba mau ngecek siapa yang nutup pintu itu.” Biba menggeliat, mencoba lepas dari pelukan Ares yang tanpa sepengetahuannya semakin erat. “Halah, paling juga siapa. Pelayan dari rumah utama kali. Mana pipi satunya belum Kak Biba.” Ares merengek terus monyong-monyongin bibir untuk mencium pipi lainnya. “Astaga, bentar. Cek ke depan dulu, kalau orang asing yang masuk gimana?” Ares menyeringai. “Bukan bukan, emang siapa yang berani masuk rumah ini?” Omongan Ares ada benarnya. Enggak mudah menyusup ke rumah ini yang pengamanannya super ketat. Dan sekalinya masuk pun, keluarnya enggak gampang. Jadi siapapun yang buka pintu barusan mungkin adalah pegawai yang nganter makan malam seperti biasanya. Hanya saja kali ini pintunya kebanting. Mungkin karena angin atau lagi terburu-buru? Semoga hanya karena itu. Cuma, firasat Biba tuh enggak enak banget. Kayak ada yang ngeganjel di hati. Dan firasat buruknya tuh selalu kejadian gitu. Makanya Biba was-was, apalagi s
Mereka saling pandang cukup lama. Tapi pandangan mereka instense banget, udah kayak mau perang aja. Ares sampai gugup karena dilihatin Biba dengan tegas banget. Cuma karena dia enggak mau kalah, dia juga tetap menatap Biba, sok berani gitu. Meskipun pada akhirnya dia kalah karena buang muka duluan akibat mukanya makin merah. “Kak Biba? Ayo ciuman!” “Tsk, Bang Ares ngajak ciuman atau ngajak berantem sih?! Enggak mau. Ciuman itu cuma dilakuin oleh dua orang yang saling suka. Jadi Kak Biba enggak mau.” “Jadi… Kak Biba enggak suka Ares? Selama ini Kak Biba bohong? Katanya suka Ares!” “Itu beda konteks –suka-. Ciuman itu buat dua orang yang saling cinta. Paham?” “Kak Biba enggak cinta Ares?” “Enggak lah. Kak Biba suka Ares, tapi enggak sampai cinta juga ih,” Ares cemberut. “Tahu dari mana? Kan Kak Biba belum ngecek! Kata Kak Cherish, cara ngeceknya ya dengan ciuman!” “Ih! Logika macam apa ya itu? Jangan mau dikibulin Cherish deh Bang Ares. Udah ayok cuci tangan - cuci kaki
“Belum telat Res, lu juga bisa kok terangsang karena cewek lain. Kita latihan mulai hari ini dengan nonton video-video yang gua kirim ke nomor lu.” Dokter Jefri nepuk pundak Ares prihatin. “Males ah. Entar ceritanya enggak nyambung semua.” “Bukan soal ceritanya o’on, tapi visualnya~!” Dokter Jefri mulai gemes. “Lah kenapa Ares cuma bisa terangsang karena Kak Biba doang?” “Itu-” “Karena cinta dong. Ares, lo itu jatuh cinta ke Biba makanya cuma bisa terangsang sama dia.” sahut Cherish yang nongol tiba-tiba. Cherish nyender di gagang pintu kamar Ares. Dengan kaki disilangkan dan sunglasses ditarik ke atas mirip bando. Enggak lupa dengan muter-muter tas mininya seraya jalan ke arah dua laki-laki yang bengong. Lagaknya udah kayak model papan atas. “Ehem.” Biba ngekorin Cherish yang masuk dengan pedenya. Telinga Biba nyembur merah. “Bukan Res! Lu lebih percaya gua daripada mantan nanny lu yang sinting ini kan?” jerit Dokter Jefri panik. Dia menggenggam tangan Ares den
Seenggaknya mereka cukup tahu diri dengan menghentikan pertarungan anjing mereka sebelum satpam rumah sakit menyeret mereka keluar dengan memalukan. Mereka pindah lokasi ke kafe kecil di dekat kafetaria rumah sakit. Ketiganya duduk melingkar sambil menyeruput minuman layaknya masyarakat beradab. “Ares, sejak kapan lo jadi anjing?” Celetuk Cherish. PWLAK! “Kok mukul tangan sih lo Bib?” “Ketimbang mukul muka hayo lho,” Biba kelihatan garangnya, sedang Ares hanya geleng-geleng kepala diapit oleh dua wanita heboh. “Ouch. Iya, jangan deh. Muka gue dipake buat kerja nih” Ares menyeruput jus melonnya, sok enggak terusik dengan keberadaan dua cewek yang lagi gontok-gontokan. Enggak lama duduk di kafe, Dokter Jefri tiba buat ngambil Ares pergi dari tempat itu. “Kak Biba ntar nyusul Ares kan?” “Iya dong. Kak Biba masih ada urusan sama orang ini, jadi Bang Ares duluan aja sama Dokter Jefri. Semangat Bang!” Hidung ares kembang-kempis lagi. Mesti kayak gitu kalau dia lagi malu. D
JTAK! Kepala Ares kena jitakan maut Biba. Ares yakin Biba enggak menjitak pakai tangan, tapi batu! Sakit banget! “Ngapain kamu, Bang?” tanya Biba, mukanya horror. “Biar mata Kak Biba enggak sembab! Mama sering gituin Ares!” “Astaga… untung ke Kak Biba. Lain kali jangan asal kayak gitu ke orang lain loh Bang,” “Kenapa?!” “Ya karena bisa dijitak, Bang Ares.” tutur Biba kalem. “Lah Kak Biba juga jitak Ares!” “….. ouch, iya ya.” Ares meraba-raba kepalanya. Kalau di kartun Shinchan, biasanya langsung nongol benjolan di kepala. Ares ngeri aja kalau itu beneran terjadi ke dia. Sepanjang sembilan tahun hidupnya, dia enggak pernah dijitak orang, begitu batin Ares yang menggigit bagian dalam mulutnya, saking kesalnya dengan Biba. ‘Kenapa dia marah-marah gitu? Kan niat Ares baik. Mama juga sering nyium mata Ares kalau Ares habis nangis biar enggak sembab katanya. Tsk.’ “Apa Bang Ares khawatir kalau Kak Biba nangis gara-gara ditabok Oma?” Ares buang muka. Hidungnya kembang-ke
Biba terpaku di tempat, mengatur nafasnya. Kalau dia bisa, dia juga pengen mengatur ritme detak jantungnya yang berdegup kencang. Tapi sayang, dia enggak mampu. Tubuhnya gemetar, tapi ia coba menenangkan dirinya. Biba enggak ingin dirinya tampak menyedihkan di hadapan Ares. Bukan karena harga diri, tapi karena kuatir Ares jadi trauma menyaksikan kekerasan. Ini bukan kali pertamanya ditampar oleh ibu-ibu. Pipi sebelah kirinya sudah pernah merasakan tamparan, tapi, ini pertama kalinya dia ditampar pakai tas branded mahal! Apa ini sebuah pencapaian? Entahlah. “Kenapa anak ini masih di sini? Anak ini yang bikin Ares enggak sadar diri dua hari di rumah, kan? Sekarang dia juga bikin Ares pingsan, padahal waktunya kontrol!” suara menggelegar datang dari mulut seorang wanita paruh baya yang bertubuh mungil. “Saya mohon maaf, bu- Nyonya? Saya akan berusaha lebih baik lagi agar tuan Ares-” “Diem. Sekarang, kamu keluar.” Perintah Oma Deril. Padahal Biba lebih tinggi daripada Oma Deril,
Wait..wait. Kenapa paha Kak Biba jadi bantalan Ares rebahan begini? Pas Ares mau bangun, tangan Kak Biba nahan kepala Ares. Ada yang enggak beres deh. Perasaan tadi kita ada di rumah sakit buat kontrol sekalian ketemu Jenni. Tapi sekarang kok Ares di ayunan belakang rumah? Ares mandangin telapak tangan Ares. Jari-jari Ares balik pendek dan chubby kayak jari Ares biasanya! Wow! Ini bukan jari-jari panjang dan telapak tangan besar yang aneh. Ares raba muka Ares. Udah enggak ada rambut tajem-tajem di dagu. Pipi Ares juga tembem kayak pipi kesukaan mama dan papa. Mereka sering nguyel-nguyel pipi tembem Ares. Ha, syukurlah Ares balik ke tubuh Ares. Kak Biba senyum. Enggak tahu kenapa tapi setiap kali Kak Biba senyum, Ares jadi kayak sebel gitu. Ares sentuh bibir Kak Biba, terus Ares uyel-uyel biar enggak senyum-senyum lagi. Eh tiba-tiba Kak Biba mangap lalu gigit jari Ares, lah?! “Kak Biba?! Jari Ares enggak enak tahu!” “Ih enak tahu,” ralat Kak Biba yang lanjut nyiumin punggung t
Seumur-umur Ares enggak pernah rambutnya dijambak orang. Bahkan kalau berantem sama Gea pun, enggak pernah juga tuh sampai jambak rambut. Nah ini udah rambut dijambak, badan diseret-seret masuk ke dalem lift lagi sama Kak Biba! Ares enggak paham deh sama orang ini. Bukan cuma sekali, tapi berkali-kali Ares enggak paham sama kelakuan Kak Biba. Kenapa dia ngejauhin Ares dari Jenni, pacar Ares?! “Bang Ares, umurnya Jenni berapa?” “Dia bilang sebelas tahun!” “Arrgh!” Tuh kan, Kak Biba aneh. Dia nguyel-nguyel rambutnya sendiri sambil komat-kamit enggak jelas. Kalau dihitung-hitung, Kak Biba sering komat-kamit enggak jelas gitu. Eh sekarang dia malah pukul-pukul dinding lift sambil menggeliat kayak uget-uget. Apa dia enggak malu sama orang lain yang ada di lift? “Kak Biba, Ares pengen ketemu Jenni!” “Stop! Kita kudu ngobrol bentar, Bang Ares. Bisa bahaya kalau diterusin.” matanya Kak Biba kayak enggak fokus gitu sambil gigitin kukunya. Satu tangannya nahan lengan Ares. “Ogah! A