Halo semuanya, selamat menikmati kisah konyol menegangkan antara Biba dan Ares di seri ini ya. Jangan lupa untuk tinggalkan komen dan beri vote jika teman-teman pembaca suka cerita ini~
“Haa!” Ares terlentang di atas ranjang, tubuhnya gemetar panik. Kedua telapak tangan menutupi wajahnya yang menyembur merah. Sensasi asing nan nikmat yang menjalar di seluruh tubuhnya membuatnya hampir hilang akal. Dibawa oleh darah muda yang mendesir mesra. “Haa … jangan berhenti,” Ares terisak memohon, tangannya mencekeram erat sprei ranjang. Ares kelelahan, namun hatinya enggan menghentikan kenikmatan ini. Perlahan ia membuka matanya yang selama ini dipejamkan lantaran malu. Pandangan matanya yang masih kabur mulai menangkap pemandangan di mana sepasang tangan lembut dengan jari lentik memainkan miliknya. “Lebih cepet Kak … hmm… jangan ngendor.” Ares memohon lagi, kali ini dengan menatap kedua mata Biba yang berlinang air mata. “Argh! Udah cukup Bang Ares! Kenapa Kak Biba yang harus beresin barangnya Bang Ares?! Bang Ares bisa beresin sendiri!” Semprot wanita itu, mukanya memerah tomat saking malunya melihat kondisi tangannya yang basah enggak karuan. “Ogah! Ares ogah mega
“Apa alasannya, Pak?” Tanya Biba kepada seorang Bapak berjenggot tipis, yakni Pak Kepsek. “Masa Bu Biba enggak tahu? Yang Bu Biba pukulin itu, anak kepala yayasan!” Biba melangkah keluar ruangan, lalu berhenti sejenak buat mengacungkan jari tengahnya ke hadapan Pak Kepsek yang mendelik kaget. Kalau dipikir-pikir, sudah lima tahun Biba bekerja di sekolah ini tapi dia enggak merasakan ikatan emosional sama sekali ke tempat itu. Selain karena punya Kepala Sekolah yang suka grepe-grepe tubuhnya, serta kolega yang acuh terhadapnya, Biba juga kecewa karena ternyata sekolah bukan tempat sakral seperti dalam bayangannya. Biba berpapasan dengan wanita selingkuhan tunangannya – ups, mantannya. Wanita itu tersenyum kepada Biba seolah enggak tahu menahu tentang apa yang terjadi kepada dirinya. “Bu Biba, sayang sekali Bu Biba harus pergi. Semoga baik-baik saja ya Bu.” Tuturnya lembut, senyumnya bagai rubah. Biba mendengus. Dia melewatinya tanpa menggubris wanita itu. Tapi semakin ia pikir, se
Setelah sebulanan diteror Cherish yang hampir setiap hari menelponnya untuk komat-kamit mantra kutukan biar Biba enggak dapet kerjaan, akhirnya harapan Cherish kesampaian. Kalau dihitung-hitung, kerja jadi nanny lumayan juga. Enggak perlu bingung tidur dan makan di mana. Karena kata Cherish, fasilitasnya udah dipenuhi semua termasuk kamar pribadi untuk nanny. Jadi, Biba udah enggak perlu numpang Om dan Tantenya lagi, meski harus balik ke Jakarta. Di tambah, si bocah sembilan tahun itu memang kelihatan lucu dan menggemaskan dari foto yang dikirimkan Cherish sebagai umpan ke Biba, yang emang lemah dengan yang imut-imut. “Gue tunggu di Jakarta beibiiih!” Sorak ria Cherish dari seberang panggilan. Yang Biba lewatkan adalah tawa iblis seorang Cherish setelah menutup panggilan teleponnya. “HeheheuahaHAHA!” Tangan Biba mengepal rapat-rapat. Giginya gemeretak. Kupingnya menyembur merah seraya lipatan di keningnya menebal. Biba mengatur nafasnya satu-satu. Lalu mengambil nafas
“Ugh! Uph! Huuup!” Sosok itu meronta-ronta, hendak bicara namun Biba lebih dulu menyumpel mulutnya dengan kaos kaki yang baru saja ia copot. ‘Sial! Baru juga semalem di sini, langsung ada yang nerobos gini?! Keluarga tajir emang beda dramanya.’ Batin Biba kesal, seluruh tubuhnya sibuk menahan, memukul dan membekuk sosok pria di hadapannya. Biba jadi teringat pesan singkat Pak Darwin tadi siang. Kalau Biba harus jeli dan gesit dalam melindungi Ares dari pihak yang berniat menyakiti Ares. Wanita itu membanting tubuhnya ke atas si penyusup. Membiarkan bobot tubuhnya melakukan fungsinya: meremukkan rusuk si penyusup. Si penyusup meronta. Berusaha meloloskan diri, tapi di mata Biba dia lebih mirip kayak cacing digaramin. Biba menyeringai iblis. Bola mata si penyusup gemetar panik. Bergerak ke segala penjuru ruangan seolah mencari pertolongan, yang tentu saja: enggak ada. Biba bergegas menuju interkom. “Gila! Siapapun situ, enggak akan aku biarin nyakitin tuan muda, dasar
“Jangan mikir yang jorok-jorok, ini urusan kesehatan. Kamu dibayar untuk momong Ares kan? Sekarang itu, mental Ares masih sama kayak anak usia sembilan tahun. Dia masih terguncang akibat kecelakaan, juga karena pas bangun tubuhnya udah beda. Bisa bayangin enggak tiba-tiba tubuhmu terasa beda dari biasanya? Kondisi Ares sekarang begitu. Jadi saya, dan kamu ini tugasnya bikin Ares bisa beradaptasi dengan tubuhnya sekarang.” Dokter Jefri mengetuk-etuk gagang kursinya. “Ini juga perintah Bu Presdir, biar Ares, CEO Siastone, bisa menghasilkan keturunan. Paham? Apalagi setelah 5 bulan bangun, cuma bagian seksualnya aja yang belum terangsang. Jadi, kamu kudu kerja sesuai bayaranmu.” Dokter Jefri kayak lagi nge-rap. Degup jantung Chelsea memburu. Perutnya melilit. “Buat sekarang ini, kamu perlu bikin barangnya Ares berdiri dulu lah. Itu dulu.” “Gimana caranya…. ?” Pertanyaan polos dari Chelsea bikin Pak Darwin dan Dokter Jefri tertegun. Keduanya saling melirik kikuk pada satu sama lain
Pak Darwin bilang kalau Ares itu rewel soal makan. Apalagi kalau moodnya lagi jelek. Beuh, susahnya pol-polan. Dan sialnya, mood Ares hari ini lagi jelek gara-gara insiden tadi malam. Biba udah nunggu Ares di depan kamarnya sejak Dokter Jefri dan Pak Darwin pamit. Tapi sampai hari berganti dan bahkan menjelang tengah hari, Ares enggak keluar-keluar dari kamar. Padahal sarapan udah nyampek dari tadi pagi. Biba ketok-ketok pintu tapi enggak ada jawaban. Biba nempelin kuping ke pintu pun enggak ada suara kedengaran. Karena kuatir, Biba nyoba buka pintu. “Permisi Tuan Ares, saya masuk ya?” Cklek. Cklek. Eh pintu dikunci dong dari dalem. ‘Gaaaah!’ Setahu Biba, tadi malam Ares juga enggak makan karena makanan kemarin malam masih utuh di meja makan. Semuanya emang gara-gara Biba yang ketiduran! ‘Jangan-jangan kemarin dia ke kamarku karena laper kali ya? Bego! Bego! Bisa-bisanya aku ketiduran terus nganggurin Ares? Pakai dibanting segala lagi! Waduuuh.’ Biba menjitaki kepalanya.
“Ke-keluar!” Sembur Ares gelagapan sambil menarik kakinya mundur. “Hatchi! Hatchi!” Biba bersin-bersin. Lalu matanya menyapu setiap jengkal ruangan. Hidungnya menangkap bau asam aneh yang menusuk-nusuk indera penciumannya. Di sisi kirinya, ada Ares yang masih berdiri gemetaran sambil pegang gagang interkom, canggung. Mukanya berangsur pucat. Biba buru-buru tiarap, sedang Ares tersentak. “Tuan Ares, nama saya Biba. Saya minta maaf soal kejadian semalam. Saya mohon maaf ya Tuan Ares. Saya bener-bener menyesal loh. Saya kira yang kemarin malem masuk kamar saya itu maling atau rampok. Makanya saya spontan melindungi diri. Mungkin Tuan Ares pikir saya ini banyak alasan, tapi saya mohon jangan pecat saya. Saya enggak punya rumah buat kembali, jadi saya mohon maafkan saya ya Tuan.” Biba mengemis. Biba masih di posisi setengah bersujud. Pandangan ditundukkan. Menggesekkan tangannya kayak mau bikin api di atas kepalanya. Memohon ampun. Ares kelimpungan. Baru pertama kali ini ada ora
‘Wait. Ares kudu gimana ini? Kalau Ares turun, takutnya kecoak bakal ngiterin Ares. Tapi kalau tetep di posisi ini, MALU! Gimana ini? Gimana ini?’ Biba memandangi Ares yang kelihatan gusar. Lalu garuk-garuk kepalanya canggung. Dia pikir Ares bakal turun dari tubuhnya. Tapi Ares tetap di posisinya; menindihi Biba sambil mengacak-acak rambutnya sendiri. ‘Ini sampai kapan dia bakal ada di atasku? Apa dia enggak paham ya kalau posisi ini sensual banget? Haaa.’ Karena cowok di hadapannya punya mental anak usia sembilan tahun, Biba enggak bisa serampangan menoyor tubuh Ares. Jadi Biba diem aja sampai Ares sendiri yang berinisiatif minggir. Hitung-hitung ngajarin Ares peka lah. Eh, kok Ares malah menurunkan tubuhnya. Mendekatkan wajahnya ke wajah Biba sedang Ares perlahan memejamkan matanya, dan Biba mendelik kebingungan. Hidungnya kembang kempis dengan nafas berat. Di sela-sela kebingungannya, Biba masih sempat mengagumi wajah Ares yang putih mulus tanpa bercak. Tetap saja tangannya
Ares emang enggak seberapa suka Pak Darwin. Tapi malam itu Ares jauh lebih enggak suka sekali banget dengan Pak Darwin! Dia tiba-tiba nyelonong masuk ke kamar Ares. Sok akrab ke Ares dengan nepuk pundak Ares. Lalu duduk di sofa sambil merhatiin setiap sudut kamar Ares. “Yang tadi itu… ng.. saya bisa jelaskan, Pak,” Kak Biba kelihatan gugup, Ares enggak tahu kenapa dia begitu. “Yang tadi? Memangnya tadi ada apa? Yang Nanny Biba jumpalitan terus sampai nyium lantai gitu?” “Ah.. oh.. uhm.. itu… Pak Darwin haha… apa enggak lihat?” suara Kak Biba jadi nyandet-nyandet terus menciut. “Enggak ada apa-apa kok Pak. Iya enggak ada apapun, haha..ha,” sekarang Kak Biba ketawa canggung sambil garuk-garuk pahanya. Tuh kan, tuh kan, gelagat Kak Biba jadi aneh. Ngapain dia berlutut di lantai gitu? Ares menajamkan tatapan ke Pak Darwin biar dia peka kalau kedatangannya enggak Ares inginkan sama sekali! Kak Biba juga sama, dia juga enggak suka dengan adanya Pak Darwin yang bikin kita stop ciuma
“Ih, bentar Bang Ares, Kak Biba mau ngecek siapa yang nutup pintu itu.” Biba menggeliat, mencoba lepas dari pelukan Ares yang tanpa sepengetahuannya semakin erat. “Halah, paling juga siapa. Pelayan dari rumah utama kali. Mana pipi satunya belum Kak Biba.” Ares merengek terus monyong-monyongin bibir untuk mencium pipi lainnya. “Astaga, bentar. Cek ke depan dulu, kalau orang asing yang masuk gimana?” Ares menyeringai. “Bukan bukan, emang siapa yang berani masuk rumah ini?” Omongan Ares ada benarnya. Enggak mudah menyusup ke rumah ini yang pengamanannya super ketat. Dan sekalinya masuk pun, keluarnya enggak gampang. Jadi siapapun yang buka pintu barusan mungkin adalah pegawai yang nganter makan malam seperti biasanya. Hanya saja kali ini pintunya kebanting. Mungkin karena angin atau lagi terburu-buru? Semoga hanya karena itu. Cuma, firasat Biba tuh enggak enak banget. Kayak ada yang ngeganjel di hati. Dan firasat buruknya tuh selalu kejadian gitu. Makanya Biba was-was, apalagi s
Mereka saling pandang cukup lama. Tapi pandangan mereka instense banget, udah kayak mau perang aja. Ares sampai gugup karena dilihatin Biba dengan tegas banget. Cuma karena dia enggak mau kalah, dia juga tetap menatap Biba, sok berani gitu. Meskipun pada akhirnya dia kalah karena buang muka duluan akibat mukanya makin merah. “Kak Biba? Ayo ciuman!” “Tsk, Bang Ares ngajak ciuman atau ngajak berantem sih?! Enggak mau. Ciuman itu cuma dilakuin oleh dua orang yang saling suka. Jadi Kak Biba enggak mau.” “Jadi… Kak Biba enggak suka Ares? Selama ini Kak Biba bohong? Katanya suka Ares!” “Itu beda konteks –suka-. Ciuman itu buat dua orang yang saling cinta. Paham?” “Kak Biba enggak cinta Ares?” “Enggak lah. Kak Biba suka Ares, tapi enggak sampai cinta juga ih,” Ares cemberut. “Tahu dari mana? Kan Kak Biba belum ngecek! Kata Kak Cherish, cara ngeceknya ya dengan ciuman!” “Ih! Logika macam apa ya itu? Jangan mau dikibulin Cherish deh Bang Ares. Udah ayok cuci tangan - cuci kaki
“Belum telat Res, lu juga bisa kok terangsang karena cewek lain. Kita latihan mulai hari ini dengan nonton video-video yang gua kirim ke nomor lu.” Dokter Jefri nepuk pundak Ares prihatin. “Males ah. Entar ceritanya enggak nyambung semua.” “Bukan soal ceritanya o’on, tapi visualnya~!” Dokter Jefri mulai gemes. “Lah kenapa Ares cuma bisa terangsang karena Kak Biba doang?” “Itu-” “Karena cinta dong. Ares, lo itu jatuh cinta ke Biba makanya cuma bisa terangsang sama dia.” sahut Cherish yang nongol tiba-tiba. Cherish nyender di gagang pintu kamar Ares. Dengan kaki disilangkan dan sunglasses ditarik ke atas mirip bando. Enggak lupa dengan muter-muter tas mininya seraya jalan ke arah dua laki-laki yang bengong. Lagaknya udah kayak model papan atas. “Ehem.” Biba ngekorin Cherish yang masuk dengan pedenya. Telinga Biba nyembur merah. “Bukan Res! Lu lebih percaya gua daripada mantan nanny lu yang sinting ini kan?” jerit Dokter Jefri panik. Dia menggenggam tangan Ares den
Seenggaknya mereka cukup tahu diri dengan menghentikan pertarungan anjing mereka sebelum satpam rumah sakit menyeret mereka keluar dengan memalukan. Mereka pindah lokasi ke kafe kecil di dekat kafetaria rumah sakit. Ketiganya duduk melingkar sambil menyeruput minuman layaknya masyarakat beradab. “Ares, sejak kapan lo jadi anjing?” Celetuk Cherish. PWLAK! “Kok mukul tangan sih lo Bib?” “Ketimbang mukul muka hayo lho,” Biba kelihatan garangnya, sedang Ares hanya geleng-geleng kepala diapit oleh dua wanita heboh. “Ouch. Iya, jangan deh. Muka gue dipake buat kerja nih” Ares menyeruput jus melonnya, sok enggak terusik dengan keberadaan dua cewek yang lagi gontok-gontokan. Enggak lama duduk di kafe, Dokter Jefri tiba buat ngambil Ares pergi dari tempat itu. “Kak Biba ntar nyusul Ares kan?” “Iya dong. Kak Biba masih ada urusan sama orang ini, jadi Bang Ares duluan aja sama Dokter Jefri. Semangat Bang!” Hidung ares kembang-kempis lagi. Mesti kayak gitu kalau dia lagi malu. D
JTAK! Kepala Ares kena jitakan maut Biba. Ares yakin Biba enggak menjitak pakai tangan, tapi batu! Sakit banget! “Ngapain kamu, Bang?” tanya Biba, mukanya horror. “Biar mata Kak Biba enggak sembab! Mama sering gituin Ares!” “Astaga… untung ke Kak Biba. Lain kali jangan asal kayak gitu ke orang lain loh Bang,” “Kenapa?!” “Ya karena bisa dijitak, Bang Ares.” tutur Biba kalem. “Lah Kak Biba juga jitak Ares!” “….. ouch, iya ya.” Ares meraba-raba kepalanya. Kalau di kartun Shinchan, biasanya langsung nongol benjolan di kepala. Ares ngeri aja kalau itu beneran terjadi ke dia. Sepanjang sembilan tahun hidupnya, dia enggak pernah dijitak orang, begitu batin Ares yang menggigit bagian dalam mulutnya, saking kesalnya dengan Biba. ‘Kenapa dia marah-marah gitu? Kan niat Ares baik. Mama juga sering nyium mata Ares kalau Ares habis nangis biar enggak sembab katanya. Tsk.’ “Apa Bang Ares khawatir kalau Kak Biba nangis gara-gara ditabok Oma?” Ares buang muka. Hidungnya kembang-ke
Biba terpaku di tempat, mengatur nafasnya. Kalau dia bisa, dia juga pengen mengatur ritme detak jantungnya yang berdegup kencang. Tapi sayang, dia enggak mampu. Tubuhnya gemetar, tapi ia coba menenangkan dirinya. Biba enggak ingin dirinya tampak menyedihkan di hadapan Ares. Bukan karena harga diri, tapi karena kuatir Ares jadi trauma menyaksikan kekerasan. Ini bukan kali pertamanya ditampar oleh ibu-ibu. Pipi sebelah kirinya sudah pernah merasakan tamparan, tapi, ini pertama kalinya dia ditampar pakai tas branded mahal! Apa ini sebuah pencapaian? Entahlah. “Kenapa anak ini masih di sini? Anak ini yang bikin Ares enggak sadar diri dua hari di rumah, kan? Sekarang dia juga bikin Ares pingsan, padahal waktunya kontrol!” suara menggelegar datang dari mulut seorang wanita paruh baya yang bertubuh mungil. “Saya mohon maaf, bu- Nyonya? Saya akan berusaha lebih baik lagi agar tuan Ares-” “Diem. Sekarang, kamu keluar.” Perintah Oma Deril. Padahal Biba lebih tinggi daripada Oma Deril,
Wait..wait. Kenapa paha Kak Biba jadi bantalan Ares rebahan begini? Pas Ares mau bangun, tangan Kak Biba nahan kepala Ares. Ada yang enggak beres deh. Perasaan tadi kita ada di rumah sakit buat kontrol sekalian ketemu Jenni. Tapi sekarang kok Ares di ayunan belakang rumah? Ares mandangin telapak tangan Ares. Jari-jari Ares balik pendek dan chubby kayak jari Ares biasanya! Wow! Ini bukan jari-jari panjang dan telapak tangan besar yang aneh. Ares raba muka Ares. Udah enggak ada rambut tajem-tajem di dagu. Pipi Ares juga tembem kayak pipi kesukaan mama dan papa. Mereka sering nguyel-nguyel pipi tembem Ares. Ha, syukurlah Ares balik ke tubuh Ares. Kak Biba senyum. Enggak tahu kenapa tapi setiap kali Kak Biba senyum, Ares jadi kayak sebel gitu. Ares sentuh bibir Kak Biba, terus Ares uyel-uyel biar enggak senyum-senyum lagi. Eh tiba-tiba Kak Biba mangap lalu gigit jari Ares, lah?! “Kak Biba?! Jari Ares enggak enak tahu!” “Ih enak tahu,” ralat Kak Biba yang lanjut nyiumin punggung t
Seumur-umur Ares enggak pernah rambutnya dijambak orang. Bahkan kalau berantem sama Gea pun, enggak pernah juga tuh sampai jambak rambut. Nah ini udah rambut dijambak, badan diseret-seret masuk ke dalem lift lagi sama Kak Biba! Ares enggak paham deh sama orang ini. Bukan cuma sekali, tapi berkali-kali Ares enggak paham sama kelakuan Kak Biba. Kenapa dia ngejauhin Ares dari Jenni, pacar Ares?! “Bang Ares, umurnya Jenni berapa?” “Dia bilang sebelas tahun!” “Arrgh!” Tuh kan, Kak Biba aneh. Dia nguyel-nguyel rambutnya sendiri sambil komat-kamit enggak jelas. Kalau dihitung-hitung, Kak Biba sering komat-kamit enggak jelas gitu. Eh sekarang dia malah pukul-pukul dinding lift sambil menggeliat kayak uget-uget. Apa dia enggak malu sama orang lain yang ada di lift? “Kak Biba, Ares pengen ketemu Jenni!” “Stop! Kita kudu ngobrol bentar, Bang Ares. Bisa bahaya kalau diterusin.” matanya Kak Biba kayak enggak fokus gitu sambil gigitin kukunya. Satu tangannya nahan lengan Ares. “Ogah! A