Setelah sebulanan diteror Cherish yang hampir setiap hari menelponnya untuk komat-kamit mantra kutukan biar Biba enggak dapet kerjaan, akhirnya harapan Cherish kesampaian. Kalau dihitung-hitung, kerja jadi nanny lumayan juga. Enggak perlu bingung tidur dan makan di mana.
Karena kata Cherish, fasilitasnya udah dipenuhi semua termasuk kamar pribadi untuk nanny. Jadi, Biba udah enggak perlu numpang Om dan Tantenya lagi, meski harus balik ke Jakarta. Di tambah, si bocah sembilan tahun itu memang kelihatan lucu dan menggemaskan dari foto yang dikirimkan Cherish sebagai umpan ke Biba, yang emang lemah dengan yang imut-imut. “Gue tunggu di Jakarta beibiiih!” Sorak ria Cherish dari seberang panggilan. Yang Biba lewatkan adalah tawa iblis seorang Cherish setelah menutup panggilan teleponnya. “HeheheuahaHAHA!” Tangan Biba mengepal rapat-rapat. Giginya gemeretak. Kupingnya menyembur merah seraya lipatan di keningnya menebal. Biba mengatur nafasnya satu-satu. Lalu mengambil nafas dalam-dalam sebelum meneriakkan; “CHERISH KALILI! ARGH!! anjingtahiasemsamahfucctustupidgubluk#$@#$!” Sumpah serapah Biba membabi buta kepada bulan sabit malam itu, yang seolah menertawakan nasib malangnya. . . . [24 jam sebelum Biba menyumpahi bulan sabit malam itu.] Kota Jakarta masih sama seperti saat Biba meninggalkannya. Masih sama padat, sesak, dan menyempitkan hati. Biba enggak nyangka dia akan kembali ke kota kelahirannya setelah bertahun-tahun dibuang ke Kota Malang. ‘Nggak pa-pa, nggak pa-pa. Jakarta kota gede, mustahil ketemu.’ Biba mengelus dadanya, menahan cemas. Begitu Biba tiba di pintu keluar Stasiun Jakarta, seorang pria berusia 50 tahunan berpakaian kemeja hitam rapi dan bersepatu pantofel mengilap, menghampirinya. Keluarga yang akan Biba layani bermarga Siahaya, pemilik Siastone Group yang punya tambang di mana-mana. Biba mengenal pria itu sebagai kepala pelayan keluarga Siahaya, atau th butler, setelah melakukan wawancara online dengan beliau. Ternyata Cherish enggak ngibul saat bilang kalau keluarga majikannya itu tajir melintir. Keluarga konglomerat yang kekayaannya masuk ke dalam golongan 1% di seluruh negara. Pantas aja spesifikasi untuk jadi seorang nanny pun harus sarjana. Kini mobil yang dikendarai oleh supir pribadi keluarga telah tiba di depan sebuah gerbang megah. ‘Whoa. Kayak mau masuk Dufan.’ Setelah melewati pemeriksaan identitas di pos satpam, Biba disambut dengan rindangnya pepohonan di sepanjang kiri dan kanan jalan, seperti menjelajah ke dalam hutan. Bikin Biba terpana karena ingat kalau area ini masih dilingkup Kota Jakarta yang metropolis. ‘Woah, di Jakarta masih ada yang asri-asri begini?’ Enggak berselang lama, mereka melewati sebuah rumah megah dengan pilar tinggi bak istana. “Ini kediaman utama. Yang tinggal di sini adalah Bu Presdir Siastone, atau neneknya tuan muda Ares. Kalau tuan muda Ares sendiri, tinggal di rumah lain karena beliau suka tempat yang sepi. Juga bagus untuk proses penyembuhan.” Tutur Pak Darwin, sedang Biba kesulitan menelan ludahnya saking gugupnya. ‘Ah iya bener, nama bocahnya Ares. Namanya cantik. Gitu Cherish selalu nyebut dia ‘bocah’, jadi kebawa deh.’ Degup jantungnya memburu, entah karena gugup atau karena excited. “Seperti yang sudah Mbak Biba dengar dari Nanny Cherish. Tuan muda Ares koma di rumah sakit cukup lama sekali. Jadi, beliau butuh istirahat yang cukup. Jauh dari stres fisik maupun mental. Karena dalam kecelakaan tersebut, beliau kehilangan orang tua dan adik perempuannya sekaligus, jadi kondisi mentalnya sedikit…” Biba semakin iba mendengar cerita malang calon tuan mudanya. “Tugasnya Mbak Biba nanti ya secara garis besarnya membantu tuan muda pulih. Mohon dibantu agar tidak tertinggal dengan teman seusianya karena dunia semakin berkembang ya. Jadi saya harap, Mbak Biba yang pengalaman jadi guru bisa membantu Tuan Ares.” “Siap pak!” Mata Biba berkobar. “Oh iya pak, kalau boleh tahu, bagaimana kinerja teman saya Cherish selama ini?” Biba lumayan bangga pada temannya yang melakukan pekerjaan mulia ini. “Nanny Cherish itu ………………… baik.” Timpal Pak Darwin, tatapannya kosong. ‘Jedanya panjang amat. Cher, kamu abis ngapain aja?!’ “Ah … haha. Kalau begitu nanti saya akan belajar dulu dari Cherish mengikuti protokol yang sudah disediakan ya pak.” “Oh? Mbak Biba belum tahu? Nanny Cherish sudah keluar dari rumah ini sejak pagi tadi. Sepertinya ada hal mendesak.” “Hng, kok? Padahal tadi dia bilang bakal nunggu aku di rumah?” Biba heran, namun balik memandangi pemandangan di luar jendela mobil. Setelah melewati beberapa rumah besar lainnya, Biba akhirnya tiba di depan sebuah rumah kayu dua lantai bergaya Eropa. Ada tangga pendek menuju teras di bagian depan rumah serta balkon di lantai dua. Bangunannya berkarakter ketimbang rumah lainnya yang tampak moderen. Kata Pak Darwin, rumah ini jaraknya paling jauh dari rumah utama. Butuh sepuluh menit jalan kaki buat sampai ke rumah utama. Di titik ini, Biba enggak kaget kalau ada kebun binatang private di dalam wilayah kediaman mereka. Sekali lagi, Biba menahan mulutnya tertutup rapat biar enggak mangap-mangap mirip Ikan Koi saking takjubnya. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Biba berterimakasih ke Cherish. “Ini rumah yang paling lama berdiri di kediaman Siahaya, tapi berhubung Tuan Ares ingin menempati, jadi kami renovasi secepatnya. Jadi Mbak- ehm Nanny Biba tidak perlu kuatir akan kebocoran atau roboh.” Tutur Pak Darwin. Sepertinya Pak Darwin bisa baca pikiran Biba. Biba cuma mesem dan garuk kepala canggung mengekori Pak Darwin berjalan menuju pintu. Well, dibandingkan dengan bangunan rumah lainnya, hanya rumah ini yang enggak mengintimidasi jiwa miskin Biba. Jadi Biba sedikit merasa lega. Biba jadi enggak sabar untuk segera bertemu anak kecil mungil menggemaskan yang punya selera klasik gini. Pak Darwin mengetuk pintu tiga kali, namun tidak ada jawaban. “Sudah boleh masuk sekarang, mari Nanny Biba.” ‘Oh ya?! Apa cuma aku yang enggak denger ada jawaban dari dalem?’ Jerit batin Biba, senyuman Pak Darwin enggak bikin Biba lebih tenang. Enggak banyak perabotan mengisi ruangan di rumah ini. Malah terkesan kosong seperti rumah yang hendak ditinggal pergi empunya. Pak Darwin menuju sebuah kamar di lantai satu dekat anak tangga. “Ini kamar tuan muda Ares. Kalau belum dipersilahkan masuk, jangan masuk dulu.” Tutur lembut Pak Darwin, Biba manggut-manggut. Tok-tok-tok. Pak Darwin mengetuk pintu kamar tiga kali. Sama. Enggak ada jawaban dari dalam. “Tuan Ares, saya Darwin. Saya membawa nanny baru pengganti Nanny Cherish untuk menemani tuan bermain.” Masih enggak ada jawaban dari dalam, tapi Pak Darwin mengganggukkan kepala. “Baik tuan, saya mengerti.” ‘Sumpih?! Tuh bocah ngomong apaan?! Kok aku nggak denger ya? Apa kupingku bermasalah? Apa-apaan ini?!’ “Nanny Biba silahkan istirahat di kamar dulu aja. Sambil baca buku pedoman yang ada di meja laci kamar ya. Nanti kalau ada apa-apa, Tuan Ares akan menghubungi lewat interkom yang terpasang di kamar anda. Sampai sini, apa ada yang ditanyakan?” Biba menyipitkan matanya, sok jeli. “Apa ada ritual tertentu sebelum saya tidur di rumah ini?” “………. Haha, Nanny Biba lucu sekali. Baiklah, saya kembali ke posisi saya kalau tidak ada yang ditanyakan. Silahkan baca buku pedoman. Di sana, semua sudah jelas instruksi kerjanya. Jika ada pertanyaan silahkan hubungi saya lewat intercom juga. Mari.” Pak Darwin berpamitan. Setelah Pak Darwin menutup pintu rumah, suasananya menjadi hening. Biba menempelkan telinganya ke pintu kamar Ares. Tapi enggak ada satu suara pun tertangkap kupingnya. Yah masa bodoh lah. Biba segera menuju kamarnya di lantai dua dengan hati riang. Akhirnya dia punya kamar sendiri setelah sekian lama harus berbagi kamar dengan adik sepupunya. Kamar Biba seperti kamar di sebuah vila mewah – sekali lagi, Biba belum pernah ke sebuah vila, jadi ini hanya rasa takjubnya seorang. Kasurnya seempuk dan semulus marshmallow. Dengan lemari pakaian yang besar serta meja rias yang cantik di sampingnya. Ada kamar mandi juga di dalam kamar, serta balkon yang tadi terlihat dari luar. Biba jadi heran kenapa Cherish enggak betah kerja di sini. Atau karena Cherish udah biasa ya tinggal di rumah macem begini? Entahlah. Setelah mandi, berbenah, dan selfie-selfie kilat, Biba membaca buku pedoman instruksi kerja yang ada di atas meja rias. Sampulnya berlogo Kuda Laut warna emas, lambang keluarga Siahaya. Biba membolak-balikan halaman yang isinya tuh profil orang-orang yang terlibat dalam hidupnya Ares. Ada guru science, guru sosial, guru seni, om, tante, neneknya, juga dia, di halaman paling belakang. Biba manggut-manggut puas dengan info yang tertulis tentang dirinya. Kecuali dengan foto profilnya yang kebetulan pas Biba gemukan, jadi pipinya tuh ambyar kemana-mana. Anyway, bagian intelejen informasi mereka bekerja sangat baik. Mungkin karena pertama kalinya selonjoran di kasur empuk nan mulus, tubuhnya jadi manja. Bawaannya jadi pengen tidur aja di bawah dekapan selimut halus itu. Enggak perlu lama dilema, Biba langsung nyungsep ke bawah selimut dan tertidur. Dengan niat akan bangun setengah jam lagi, yang nyatanya kebablasan. Langit mengganti jubahnya menjadi gelap. Biba masih mangap dan ngiler di atas kasur. Dia enggak sadar kalau ada bayangan jatuh di atasnya. Bayangan itu menetap di tempatnya dalam waktu yang lumayan lama. Cukup lama sampai Biba mulai tersadar dan spontan membanting sosok itu ke atas kasur. “Siapa?!” Serbu Biba, tangannya sibuk mengunci pergerakan kaki pria itu serta menahan kepala sosok itu terkubur di kasur.“Ugh! Uph! Huuup!” Sosok itu meronta-ronta, hendak bicara namun Biba lebih dulu menyumpel mulutnya dengan kaos kaki yang baru saja ia copot. ‘Sial! Baru juga semalem di sini, langsung ada yang nerobos gini?! Keluarga tajir emang beda dramanya.’ Batin Biba kesal, seluruh tubuhnya sibuk menahan, memukul dan membekuk sosok pria di hadapannya. Biba jadi teringat pesan singkat Pak Darwin tadi siang. Kalau Biba harus jeli dan gesit dalam melindungi Ares dari pihak yang berniat menyakiti Ares. Wanita itu membanting tubuhnya ke atas si penyusup. Membiarkan bobot tubuhnya melakukan fungsinya: meremukkan rusuk si penyusup. Si penyusup meronta. Berusaha meloloskan diri, tapi di mata Biba dia lebih mirip kayak cacing digaramin. Biba menyeringai iblis. Bola mata si penyusup gemetar panik. Bergerak ke segala penjuru ruangan seolah mencari pertolongan, yang tentu saja: enggak ada. Biba bergegas menuju interkom. “Gila! Siapapun situ, enggak akan aku biarin nyakitin tuan muda, dasar
“Jangan mikir yang jorok-jorok, ini urusan kesehatan. Kamu dibayar untuk momong Ares kan? Sekarang itu, mental Ares masih sama kayak anak usia sembilan tahun. Dia masih terguncang akibat kecelakaan, juga karena pas bangun tubuhnya udah beda. Bisa bayangin enggak tiba-tiba tubuhmu terasa beda dari biasanya? Kondisi Ares sekarang begitu. Jadi saya, dan kamu ini tugasnya bikin Ares bisa beradaptasi dengan tubuhnya sekarang.” Dokter Jefri mengetuk-etuk gagang kursinya. “Ini juga perintah Bu Presdir, biar Ares, CEO Siastone, bisa menghasilkan keturunan. Paham? Apalagi setelah 5 bulan bangun, cuma bagian seksualnya aja yang belum terangsang. Jadi, kamu kudu kerja sesuai bayaranmu.” Dokter Jefri kayak lagi nge-rap. Degup jantung Chelsea memburu. Perutnya melilit. “Buat sekarang ini, kamu perlu bikin barangnya Ares berdiri dulu lah. Itu dulu.” “Gimana caranya…. ?” Pertanyaan polos dari Chelsea bikin Pak Darwin dan Dokter Jefri tertegun. Keduanya saling melirik kikuk pada satu sama lain
Pak Darwin bilang kalau Ares itu rewel soal makan. Apalagi kalau moodnya lagi jelek. Beuh, susahnya pol-polan. Dan sialnya, mood Ares hari ini lagi jelek gara-gara insiden tadi malam. Biba udah nunggu Ares di depan kamarnya sejak Dokter Jefri dan Pak Darwin pamit. Tapi sampai hari berganti dan bahkan menjelang tengah hari, Ares enggak keluar-keluar dari kamar. Padahal sarapan udah nyampek dari tadi pagi. Biba ketok-ketok pintu tapi enggak ada jawaban. Biba nempelin kuping ke pintu pun enggak ada suara kedengaran. Karena kuatir, Biba nyoba buka pintu. “Permisi Tuan Ares, saya masuk ya?” Cklek. Cklek. Eh pintu dikunci dong dari dalem. ‘Gaaaah!’ Setahu Biba, tadi malam Ares juga enggak makan karena makanan kemarin malam masih utuh di meja makan. Semuanya emang gara-gara Biba yang ketiduran! ‘Jangan-jangan kemarin dia ke kamarku karena laper kali ya? Bego! Bego! Bisa-bisanya aku ketiduran terus nganggurin Ares? Pakai dibanting segala lagi! Waduuuh.’ Biba menjitaki kepalanya.
“Ke-keluar!” Sembur Ares gelagapan sambil menarik kakinya mundur. “Hatchi! Hatchi!” Biba bersin-bersin. Lalu matanya menyapu setiap jengkal ruangan. Hidungnya menangkap bau asam aneh yang menusuk-nusuk indera penciumannya. Di sisi kirinya, ada Ares yang masih berdiri gemetaran sambil pegang gagang interkom, canggung. Mukanya berangsur pucat. Biba buru-buru tiarap, sedang Ares tersentak. “Tuan Ares, nama saya Biba. Saya minta maaf soal kejadian semalam. Saya mohon maaf ya Tuan Ares. Saya bener-bener menyesal loh. Saya kira yang kemarin malem masuk kamar saya itu maling atau rampok. Makanya saya spontan melindungi diri. Mungkin Tuan Ares pikir saya ini banyak alasan, tapi saya mohon jangan pecat saya. Saya enggak punya rumah buat kembali, jadi saya mohon maafkan saya ya Tuan.” Biba mengemis. Biba masih di posisi setengah bersujud. Pandangan ditundukkan. Menggesekkan tangannya kayak mau bikin api di atas kepalanya. Memohon ampun. Ares kelimpungan. Baru pertama kali ini ada ora
‘Wait. Ares kudu gimana ini? Kalau Ares turun, takutnya kecoak bakal ngiterin Ares. Tapi kalau tetep di posisi ini, MALU! Gimana ini? Gimana ini?’ Biba memandangi Ares yang kelihatan gusar. Lalu garuk-garuk kepalanya canggung. Dia pikir Ares bakal turun dari tubuhnya. Tapi Ares tetap di posisinya; menindihi Biba sambil mengacak-acak rambutnya sendiri. ‘Ini sampai kapan dia bakal ada di atasku? Apa dia enggak paham ya kalau posisi ini sensual banget? Haaa.’ Karena cowok di hadapannya punya mental anak usia sembilan tahun, Biba enggak bisa serampangan menoyor tubuh Ares. Jadi Biba diem aja sampai Ares sendiri yang berinisiatif minggir. Hitung-hitung ngajarin Ares peka lah. Eh, kok Ares malah menurunkan tubuhnya. Mendekatkan wajahnya ke wajah Biba sedang Ares perlahan memejamkan matanya, dan Biba mendelik kebingungan. Hidungnya kembang kempis dengan nafas berat. Di sela-sela kebingungannya, Biba masih sempat mengagumi wajah Ares yang putih mulus tanpa bercak. Tetap saja tangannya
Ares menghentikan kecupannya. Bola matanya gemetar panik seraya tatapannya bertemu tatapan Biba. Saat Biba mengangkat tangannya ke udara, Ares tersentak. Ares pikir, Biba akan memukul atau membantingnya. Tapi tangan Biba malah singgah di pipi Ares dengan lembut. Lalu membelainya. Mata Ares kedip-kedip. ‘Ngapain dia? Kenapa enggak marah?’ Meskipun Ares tahu kalau perbuatannya bisa bikin Biba marah besar, tapi dia enggak bisa berhenti. Ares terlanjur menikmati aktivitas ini yang bikin dia merasa jantan banget di depan Biba – yang dasarnya jantan(?). Ares merasa bangga aja bisa bikin orang nyeremin macem preman gini enggak berdaya dan tersaji pasrah di bawahnya. Saat Ares membelai pipi Biba, wanita itu tersipu, memancarkan senyum menggemaskan yang bikin Ares semakin hilang kendali. Ares menelan ludahnya. ‘Damn! Screw it!’ Ares kembali memagut bibir Biba. Cup. Cup. “Buka mulutmu,” Ares memerintahnya dengan suara rendah. Biba tampak malu, tapi pada akhirnya ia membiarkan bibir
Ares terkesiap. Matanya mengerjap-erjap. Jarinya menelusuri bibirnya yang dingin dan kosong, kontras banget dengan momen hangat yang baru saja ia rasakan. Badannya terasa enteng, udah enggak bunyi kriyek-kriyek lagi pas bangun. Ares garuk-garuk kepalanya. Dia enggak menyangka kalau akan ada malam yang bikin dia bisa terlelap. Tanpa mimpi buruk kecelakaan waktu itu. Yaa, meskipun berubah jadi mimpi aneh yang bikin dadanya semriwing geli sampai sekarang. Tapi, lumayanlah. ‘Woah. Untung cuma mimpi, Ares enggak mau barang Ares bengkak kayak gitu lagi. Hii.. tapi kok pantat Ares kayak basah ya?’ Pas Ares cek celana pendeknya. Dia tertegun. ‘Kok bengkak?! Hush hush.. kok barang Ares kaku kayak yang pas di mimpi? Apa ada yang sakit?! Aduh.. mama, papa, tolong Ares,’ Ares pikir dengan niupin barangnya bisa bikin bentuknya kembali menyusut seperti semula. Perkiraannya meleset. Selain menjumpai barangnya yang nunjuk dan bengkak, Ares juga lihat ada bekas air membentuk pulau di bagian
Biba mondar-mandir di depan kamar mandi. Udah hampir setengah jam sejak Ares ngibrit ke kamar mandi buat mandiin barangnya dengan air dingin lagi, tapi Ares belum juga keluar. Biba heran, karena kata Dokter Jefri dan Pak Darwin, barang Ares enggak pernah berdiri sebelumnya. Tapi baru dua hari dia di sana, barang Ares udah tegang dua kali kok. Biba pikir mungkin ada laporan yang keliru, jadi dia telpon Pak Darwin lewat interkom. Eh enggak ada jawaban. Biba telepon Dokter Jefri, juga ditolak. Dia juga coba telepon Cherish dengan harapan biar dapet pencerahan dari senior. Tapi Cherish enggak ngangkat-ngangkat. ‘Ini cewek, pas ada maunya aja cepet banget angkat telepon. Huh!’ Di dalam kamar mandi, Ares merendam dirinya dengan air dingin di bathtub. Dia enggak ngerti lagi gimana caranya bikin barangnya yang bermasalah(?) ini bisa balik lagi seperti semula. Padahal tadi pagi, cukup di-showerin aja udah langsung balik. Nah ini udah lama di-showerin, tapi makin kedutan dan semakin sakit.
Ares emang enggak seberapa suka Pak Darwin. Tapi malam itu Ares jauh lebih enggak suka sekali banget dengan Pak Darwin! Dia tiba-tiba nyelonong masuk ke kamar Ares. Sok akrab ke Ares dengan nepuk pundak Ares. Lalu duduk di sofa sambil merhatiin setiap sudut kamar Ares. “Yang tadi itu… ng.. saya bisa jelaskan, Pak,” Kak Biba kelihatan gugup, Ares enggak tahu kenapa dia begitu. “Yang tadi? Memangnya tadi ada apa? Yang Nanny Biba jumpalitan terus sampai nyium lantai gitu?” “Ah.. oh.. uhm.. itu… Pak Darwin haha… apa enggak lihat?” suara Kak Biba jadi nyandet-nyandet terus menciut. “Enggak ada apa-apa kok Pak. Iya enggak ada apapun, haha..ha,” sekarang Kak Biba ketawa canggung sambil garuk-garuk pahanya. Tuh kan, tuh kan, gelagat Kak Biba jadi aneh. Ngapain dia berlutut di lantai gitu? Ares menajamkan tatapan ke Pak Darwin biar dia peka kalau kedatangannya enggak Ares inginkan sama sekali! Kak Biba juga sama, dia juga enggak suka dengan adanya Pak Darwin yang bikin kita stop ciuma
“Ih, bentar Bang Ares, Kak Biba mau ngecek siapa yang nutup pintu itu.” Biba menggeliat, mencoba lepas dari pelukan Ares yang tanpa sepengetahuannya semakin erat. “Halah, paling juga siapa. Pelayan dari rumah utama kali. Mana pipi satunya belum Kak Biba.” Ares merengek terus monyong-monyongin bibir untuk mencium pipi lainnya. “Astaga, bentar. Cek ke depan dulu, kalau orang asing yang masuk gimana?” Ares menyeringai. “Bukan bukan, emang siapa yang berani masuk rumah ini?” Omongan Ares ada benarnya. Enggak mudah menyusup ke rumah ini yang pengamanannya super ketat. Dan sekalinya masuk pun, keluarnya enggak gampang. Jadi siapapun yang buka pintu barusan mungkin adalah pegawai yang nganter makan malam seperti biasanya. Hanya saja kali ini pintunya kebanting. Mungkin karena angin atau lagi terburu-buru? Semoga hanya karena itu. Cuma, firasat Biba tuh enggak enak banget. Kayak ada yang ngeganjel di hati. Dan firasat buruknya tuh selalu kejadian gitu. Makanya Biba was-was, apalagi s
Mereka saling pandang cukup lama. Tapi pandangan mereka instense banget, udah kayak mau perang aja. Ares sampai gugup karena dilihatin Biba dengan tegas banget. Cuma karena dia enggak mau kalah, dia juga tetap menatap Biba, sok berani gitu. Meskipun pada akhirnya dia kalah karena buang muka duluan akibat mukanya makin merah. “Kak Biba? Ayo ciuman!” “Tsk, Bang Ares ngajak ciuman atau ngajak berantem sih?! Enggak mau. Ciuman itu cuma dilakuin oleh dua orang yang saling suka. Jadi Kak Biba enggak mau.” “Jadi… Kak Biba enggak suka Ares? Selama ini Kak Biba bohong? Katanya suka Ares!” “Itu beda konteks –suka-. Ciuman itu buat dua orang yang saling cinta. Paham?” “Kak Biba enggak cinta Ares?” “Enggak lah. Kak Biba suka Ares, tapi enggak sampai cinta juga ih,” Ares cemberut. “Tahu dari mana? Kan Kak Biba belum ngecek! Kata Kak Cherish, cara ngeceknya ya dengan ciuman!” “Ih! Logika macam apa ya itu? Jangan mau dikibulin Cherish deh Bang Ares. Udah ayok cuci tangan - cuci kaki
“Belum telat Res, lu juga bisa kok terangsang karena cewek lain. Kita latihan mulai hari ini dengan nonton video-video yang gua kirim ke nomor lu.” Dokter Jefri nepuk pundak Ares prihatin. “Males ah. Entar ceritanya enggak nyambung semua.” “Bukan soal ceritanya o’on, tapi visualnya~!” Dokter Jefri mulai gemes. “Lah kenapa Ares cuma bisa terangsang karena Kak Biba doang?” “Itu-” “Karena cinta dong. Ares, lo itu jatuh cinta ke Biba makanya cuma bisa terangsang sama dia.” sahut Cherish yang nongol tiba-tiba. Cherish nyender di gagang pintu kamar Ares. Dengan kaki disilangkan dan sunglasses ditarik ke atas mirip bando. Enggak lupa dengan muter-muter tas mininya seraya jalan ke arah dua laki-laki yang bengong. Lagaknya udah kayak model papan atas. “Ehem.” Biba ngekorin Cherish yang masuk dengan pedenya. Telinga Biba nyembur merah. “Bukan Res! Lu lebih percaya gua daripada mantan nanny lu yang sinting ini kan?” jerit Dokter Jefri panik. Dia menggenggam tangan Ares den
Seenggaknya mereka cukup tahu diri dengan menghentikan pertarungan anjing mereka sebelum satpam rumah sakit menyeret mereka keluar dengan memalukan. Mereka pindah lokasi ke kafe kecil di dekat kafetaria rumah sakit. Ketiganya duduk melingkar sambil menyeruput minuman layaknya masyarakat beradab. “Ares, sejak kapan lo jadi anjing?” Celetuk Cherish. PWLAK! “Kok mukul tangan sih lo Bib?” “Ketimbang mukul muka hayo lho,” Biba kelihatan garangnya, sedang Ares hanya geleng-geleng kepala diapit oleh dua wanita heboh. “Ouch. Iya, jangan deh. Muka gue dipake buat kerja nih” Ares menyeruput jus melonnya, sok enggak terusik dengan keberadaan dua cewek yang lagi gontok-gontokan. Enggak lama duduk di kafe, Dokter Jefri tiba buat ngambil Ares pergi dari tempat itu. “Kak Biba ntar nyusul Ares kan?” “Iya dong. Kak Biba masih ada urusan sama orang ini, jadi Bang Ares duluan aja sama Dokter Jefri. Semangat Bang!” Hidung ares kembang-kempis lagi. Mesti kayak gitu kalau dia lagi malu. D
JTAK! Kepala Ares kena jitakan maut Biba. Ares yakin Biba enggak menjitak pakai tangan, tapi batu! Sakit banget! “Ngapain kamu, Bang?” tanya Biba, mukanya horror. “Biar mata Kak Biba enggak sembab! Mama sering gituin Ares!” “Astaga… untung ke Kak Biba. Lain kali jangan asal kayak gitu ke orang lain loh Bang,” “Kenapa?!” “Ya karena bisa dijitak, Bang Ares.” tutur Biba kalem. “Lah Kak Biba juga jitak Ares!” “….. ouch, iya ya.” Ares meraba-raba kepalanya. Kalau di kartun Shinchan, biasanya langsung nongol benjolan di kepala. Ares ngeri aja kalau itu beneran terjadi ke dia. Sepanjang sembilan tahun hidupnya, dia enggak pernah dijitak orang, begitu batin Ares yang menggigit bagian dalam mulutnya, saking kesalnya dengan Biba. ‘Kenapa dia marah-marah gitu? Kan niat Ares baik. Mama juga sering nyium mata Ares kalau Ares habis nangis biar enggak sembab katanya. Tsk.’ “Apa Bang Ares khawatir kalau Kak Biba nangis gara-gara ditabok Oma?” Ares buang muka. Hidungnya kembang-ke
Biba terpaku di tempat, mengatur nafasnya. Kalau dia bisa, dia juga pengen mengatur ritme detak jantungnya yang berdegup kencang. Tapi sayang, dia enggak mampu. Tubuhnya gemetar, tapi ia coba menenangkan dirinya. Biba enggak ingin dirinya tampak menyedihkan di hadapan Ares. Bukan karena harga diri, tapi karena kuatir Ares jadi trauma menyaksikan kekerasan. Ini bukan kali pertamanya ditampar oleh ibu-ibu. Pipi sebelah kirinya sudah pernah merasakan tamparan, tapi, ini pertama kalinya dia ditampar pakai tas branded mahal! Apa ini sebuah pencapaian? Entahlah. “Kenapa anak ini masih di sini? Anak ini yang bikin Ares enggak sadar diri dua hari di rumah, kan? Sekarang dia juga bikin Ares pingsan, padahal waktunya kontrol!” suara menggelegar datang dari mulut seorang wanita paruh baya yang bertubuh mungil. “Saya mohon maaf, bu- Nyonya? Saya akan berusaha lebih baik lagi agar tuan Ares-” “Diem. Sekarang, kamu keluar.” Perintah Oma Deril. Padahal Biba lebih tinggi daripada Oma Deril,
Wait..wait. Kenapa paha Kak Biba jadi bantalan Ares rebahan begini? Pas Ares mau bangun, tangan Kak Biba nahan kepala Ares. Ada yang enggak beres deh. Perasaan tadi kita ada di rumah sakit buat kontrol sekalian ketemu Jenni. Tapi sekarang kok Ares di ayunan belakang rumah? Ares mandangin telapak tangan Ares. Jari-jari Ares balik pendek dan chubby kayak jari Ares biasanya! Wow! Ini bukan jari-jari panjang dan telapak tangan besar yang aneh. Ares raba muka Ares. Udah enggak ada rambut tajem-tajem di dagu. Pipi Ares juga tembem kayak pipi kesukaan mama dan papa. Mereka sering nguyel-nguyel pipi tembem Ares. Ha, syukurlah Ares balik ke tubuh Ares. Kak Biba senyum. Enggak tahu kenapa tapi setiap kali Kak Biba senyum, Ares jadi kayak sebel gitu. Ares sentuh bibir Kak Biba, terus Ares uyel-uyel biar enggak senyum-senyum lagi. Eh tiba-tiba Kak Biba mangap lalu gigit jari Ares, lah?! “Kak Biba?! Jari Ares enggak enak tahu!” “Ih enak tahu,” ralat Kak Biba yang lanjut nyiumin punggung t
Seumur-umur Ares enggak pernah rambutnya dijambak orang. Bahkan kalau berantem sama Gea pun, enggak pernah juga tuh sampai jambak rambut. Nah ini udah rambut dijambak, badan diseret-seret masuk ke dalem lift lagi sama Kak Biba! Ares enggak paham deh sama orang ini. Bukan cuma sekali, tapi berkali-kali Ares enggak paham sama kelakuan Kak Biba. Kenapa dia ngejauhin Ares dari Jenni, pacar Ares?! “Bang Ares, umurnya Jenni berapa?” “Dia bilang sebelas tahun!” “Arrgh!” Tuh kan, Kak Biba aneh. Dia nguyel-nguyel rambutnya sendiri sambil komat-kamit enggak jelas. Kalau dihitung-hitung, Kak Biba sering komat-kamit enggak jelas gitu. Eh sekarang dia malah pukul-pukul dinding lift sambil menggeliat kayak uget-uget. Apa dia enggak malu sama orang lain yang ada di lift? “Kak Biba, Ares pengen ketemu Jenni!” “Stop! Kita kudu ngobrol bentar, Bang Ares. Bisa bahaya kalau diterusin.” matanya Kak Biba kayak enggak fokus gitu sambil gigitin kukunya. Satu tangannya nahan lengan Ares. “Ogah! A