Arisha berdiri kaku di depan pintu. Pengusiran yang dilakukan oleh Nyonya Hart masih begitu membekas di hatinya. Ingatan itu menguat saat bertatapan langsung dengan wanita sepuh tersebut. "Selamat sore, Nyonya!" Arisha menyapa Nyonya Hart setelah berhasil mengesampingkan egonya yang sempat terluka. Nyonya Hart sadar dari bengongnya. "Ah, ayo masuk!" "Jangan takut! Oma udah jinak!" bisik Dareen, memberi kekuatan pada Arisha. Berkat bisikan itu, Arisha akhirnya melangkah masuk dan duduk di ruang tamu. "Mommy!" jerit Silla, turun dari gendongan James. Nyonya Hart terperanjat. "Mommy?" Arisha jadi kikuk. Dalam hati ia menggerundel, 'Aduh, Silla kenapa harus manggil mommy sih kalau lagi di rumah begini? Nyonya Hart bisa salah paham.' "Sini, Sayang! Pangku sama daddy!" panggil Dareen yang duduk di sebelah kanan Arisha. Silla tak menggubris permintaan Dareen. Ia malah melompat ke pangkuan Arisha dan mengalungkan lengannya pada leher Arisha. "Mommy, Silla kangen banget sama mommy. M
"Pokoknya om tidak mau tahu! Kamu sudah menerima uangnya, jadi kamu harus segera mengirim gadis itu kepada om! Kalau tidak, kembalikan uang yang sudah om transfer ke kamu sepuluh kali lipat! Paham?!" "I–iya, Om. Saya janji akan segera memenuhi permintaan, Om. Beri saya tambahan waktu, Om!" "Oke. Om tunggu sampai besok!" Tut! Sambungan telepon terputus. Hanna mencengkeram ponsel di tangannya erat-erat. "Arisha, semua kesialan ini gara-gara kamu! Kalau kamu tidak kabur malam itu, Om Regar pasti tidak akan mengancamku!" Kebencian Hanna pada Arisha kian memuncak seiring dengan tuntutan ganti rugi dari salah satu pelanggan tetapnya. "Aku harus kembali ke Rumah Sakit itu! Aku yakin, yang kucium kemarin adalah wangi parfum Arisha." Hanna menyeringai licik. "Baguslah tempat kerja Arisha kebakaran. Dia lebih pantas jadi pengangguran!" Sejak kecil Hanna selalu iri dengan kemampuan Arisha, tapi dia sangat pandai menutupi perasaan itu dengan senyuman ramah dan ekspresi sepolos bayi tanpa
"Non Arisha, ada tamu buat, Non." "Siapa, Bi?" "Katanya sih keluarga Non." 'Keluarga? Perasaan aku nggak pernah menghubungi tante.' Arisha belum bergerak dari sofa. Ia masih terdiam, memikirkan informasi dari Bi Atun. Hatinya merasakan ada sesuatu yang aneh, tapi entah apa. "Jadi gimana, Non? Apa bibi suruh pulang aja?" "Eh, jangan, Bi! Aku akan turun sebentar lagi." Semenjak Bi Atun kembali dari kampung, Arisha tak lagi memupuk rasa sungkan untuk tinggal di rumah Rasyad. Bi Atun seumuran dengan Bi Minah. Arisha merasa seperti memiliki ibu baru lagi. 'Hanna? Ngapain dia ke sini? Kok dia tahu aku tinggal di sini?' Langkah Arisha menapak mundur setelah mengetahui siapa sosok yang duduk di ruang tamu. 'Kalau aku menghindar, dia pasti akan curiga bahwa aku mengetahui rencana busuknya.' Arisha menimbang-nimbang dan memikirkan jawaban yang tepat seandainya Hanna bertanya kenapa ia kabur malam itu. Hanna mendongak. Senyumnya semringah begitu melihat gadis yang berdiri cukup jauh
"Kamu bisa pesan apa aja. Aku yang traktir," kata Hanna, tersenyum manis pada Arisha. "Oh ya, ini uang kamu. Aku nggak bisa dan nggak mau nerima uang itu. Kamu udah kerja keras dan lagi kena musibah. Mana mungkin aku tega ngambil sesuatu dari kamu. Harusnya aku yang bantu kamu." "Tidak apa-apa. Ambil saja! Anggap sebagai ucapan terima kasih karena kamu sudah membantuku." "Tapi, Sha—" Arisha mendorong tangan Hanna. "Aku tidak mau ketemu kamu lagi kalau kamu menolak." Walau terlihat enggan, Hanna menyimpan juga uang pemberian Arisha ke dalam tas. Setelah memesan minuman, Hanna pamit, "Aku ke toilet sebentar ya?" Arisha mengangguk. Hanna meninggalkan meja, tapi tidak benar-benar ke toilet. Gadis itu justru menemui pelayan yang tadi menerima pesanan mereka. Ia menyerahkan sesuatu kepada pelayan itu sambil melirik kepada Arisha yang masih duduk menunggu. Pelayan itu mengikuti pandangan Hanna, lalu mengangguk setelah Hanna menyelipkan sesuatu ke dalam saku kemeja kerjanya. "Maaf ya
"Cantik, walau terlihat berbeda dari fotonya!" Lelaki paruh baya itu menyeringai, menatap wajah wanita muda yang berbaring di atas ranjang. Dialah Regar, pemesan jasa layanan gadis perawan. Jemari nakal Regar mulai membelai pipi mulus sang gadis. "Kulitnya juga halus." Darah Regar tiba-tiba memanas. Membangunkan sesuatu yang telah lama terlelap akibat tekanan dari beragam masalah yang dihadapinya. Sepertinya sekarang sesuatu yang terbangun itu menuntut waktu untuk bersenang-senang. "Mari kita mulai, Cantik!" Regar tegak, melepas satu per satu kancing kemeja yang dikenakannya, hingga yang tersisa di tubuhnya hanya celana boxer. Regar melakukan hal yang sama pada gadis itu. Bedanya, dia tak membiarkan sehelai benang pun menutupi kulit mulus sang gadis. "Benar-benar cantik … dan mulus!" Regar mulai menjalankan aksinya, menjelajahi wajah sang gadis dengan bibirnya. Sementara gadis itu tak sepenuhnya kehilangan kesadaran. Ia masih bisa merasakan setiap sentuhan Regar. Ia ingin membe
"Mama!" Fano meronta turun dari gendongan pengasuhnya, berlari menyongsong Nadine seraya merentangkan tangan, minta dipeluk. Mata Nadine berkaca-kaca kala mendekap penuh kerinduan putra kecilnya itu. "Maafkan mama, Sayang. Mama janji nggak akan pergi lagi." Fano tidak memahami alasan di balik kepergian mamanya yang cukup lama. Bocah lugu itu pun tak bertanya kenapa. Baginya, melihat mamanya pulang saja sudah membuatnya bahagia. "Tidak ada yang datang mencariku, Sus?" "Tidak, Nyonya." "Termasuk papa?" "Maaf, Nyonya." "Ya sudah. Siapkan makanan untukku. Aku lapar." "Baik, Nyonya." Nadine membawa Fano untuk duduk di ruang keluarga. Bocah itu berceloteh dengan riangnya sambil mengajak Nadine bermain. 'Kasihan sekali kamu, Nak.' Nadine membelai pipi Fano. 'Papa kandungmu bahkan tak menginginkanmu. Mama yang berdosa, tapi kamu ikut merasakan akibatnya. Maafkan mama, Nak!' Selama mendekam di balik jeruji besi, tak sekali pun Alfian datang membesuknya. Lelaki itu hanya menampakkan
"Mulai hari ini kamu akan kembali ke rumahku." "Apa? Anda tidak bisa membuat keputusan secara sepihak, Tuan Hart." Arisha mendelik tak suka pada sosok Dareen yang berada di belakang roda kemudi. "Aku tidak terima penolakan!" Dareen mengoper gigi, lalu berbelok ke kiri. Arisha terdiam, menahan dongkol. "Kamu tidak perlu khawatir. Aku yang akan menghubungi Tuan Rasyad." "Kenapa?" Dareen melirik sekilas pada Arisha. "Bukankah kamu harus pamit dan berterima kasih padanya?" "Bukan itu. Kenapa Anda melakukan semua ini? Bukankah lebih baik jika aku tak kembali?" "Arisha, aku sedang tidak ingin berdebat sekarang." Keduanya terdiam. Walau jengkel setengah mati pada sikap Dareen yang mau enaknya sendiri, tak dipungkiri, Arisha juga merindukan rumah itu. Rumah di mana ia bisa tertawa lepas bersama Silla. "Mommy!" Sila berlari menyongsong kedatangan Arisha. Keduanya berpelukan erat. Menikmati kedekatan mereka dengan bibir tersenyum dan perasaan hangat. Pun saling mengusap punggung. "A
"Dasar cabul! Keluar!" Arisha melempar apa saja yang dapat dijangkaunya kepada Dareen dan semua itu mendarat dengan sempurna pada sasarannya. "Akh! Aduh! Aduh!" Dareen tak sempat mengelak. Ia terlalu terpana pada pemandangan indah di depannya. Sosok Arisha yang baru selesai mandi. Hanya berbalut sehelai handuk, hingga mempertontonkan betis nan mulus serta leher jenjang dengan tulang selangka yang menawan. Sebagai lelaki dewasa yang normal, tentu darah Dareen berdesir melihat pesona keindahan itu, apalagi biasanya seluruh tubuh Arisha tertutup rapat. "Akan kubuat matamu buta kalau terus berdiam diri di sana!" Arisha mulai kehilangan kontrol diri karena rasa malu yang luar biasa. "Iya, iya. Aku keluar!" Dareen bergegas meraih gagang pintu. Arisha terduduk lemas di atas ranjang. "Aish, sial! Kesucian tubuhku ternoda oleh mata mesum lelaki menyebalkan itu!" Dareen juga tersandar lemas di balik pintu sambil mengelus dada. Berulang kali ia mengembuskan napas kencang seraya berjuang m
"Sayang, kamu kembali? Aku mencemaskanmu." Dareen melesat menyongsong Arisha begitu mendengar derit pintu dibuka. "Jangan menyentuhku!" Arisha menepis tangan Dareen yang ingin memeluknya. "Ya Allah, Sayang … aku sudah mandi lho …." Arisha mendelik. "Mandi sana! Atau kamu tidur di sofa!" Dareen garuk-garuk kepala. Wanita kalau cemburu, semua jadi salah. "Ini sudah malam banget, Sayang. Nanti kalau aku masuk angin, bagaimana?" Arisha menulikan telinga. Ia naik ke atas kasur, lalu bersandar di kepala ranjang sambil bersedekap tangan. Tatapan tajamnya menembus manik kelabu milik Dareen. Dareen merasa semakin serba salah. "Serius … aku harus mandi lagi nih?" "Terserah. Aku nggak maksa." Dareen tersenyum lebar. Mudah sekali membujuk Arisha. "Terima kasih, Sayang!" "Tidur di sofa!" Arisha melempar bantal. Senyum Dareen lenyap. Terlalu cepat ia melakukan selebrasi. Ah, ternyata dia salah memahami makna kata terserah yang terucap dari bibir Arisha. "Ya, ya. Aku mandi lagi." Dareen
"Heh, siapa yang menggoda suamimu? Della? Tidak mungkin. Dia bukan wanita murahan dan bodoh seperti kamu!"Ratih tak terima putri semata wayangnya dianggap sebagai wanita penggoda."Oh ya? Terus apa namanya kalau perempuan masuk ke kamar orang lain dan memeluk laki-laki yang bukan suaminya? Perempuan terhormat tidak akan menyerahkan diri pada laki-laki yang baru dikenal, Tante." Arisha menyeringai sinis. "Dia bahkan dengan tak tahu malu memanggil suamiku sayang. Apa begini hasil didikan, Tante?"Ratih mengeritkan gigi. Kesal lantaran Arisha kini berani melawan kata-katanya."Setelah meninggalkan hotel ini besok, Tante, terutama putri kesayangan Tante ini, jangan pernah muncul lagi di hadapanku!""Sombong kamu sekarang ya! Kamu lupa siapa yang merawat dan membesarkanmu selama ini? Kalau bukan karena tante yang menampungmu, kamu sudah jadi gembel di jalanan."Arisha mencebik. "Tentu aku tidak pernah lupa, Tante. A—""Bagus kalau kamu sadar. Pikirkan juga bagaimana caranya kamu membalas
"K–kamu mengusir kami? Keluarga istri kamu sendiri?"Kenyataan yang terjadi tak semanis impian Ratih. Sungguh ia tak percaya Dareen akan mengusir dirinya dan Della."Saya rasa apa yang saya katakan sangat jelas. Ayo!" Dareen bangkit dan mulai mengayun langkah menuju pintu."Ma, bagaimana ini? Masa kita balik lagi ke kampung?" rengek Della, berbisik resah di telinga Ratih."Sudah. Ikuti saja dulu! Rencana selanjutnya bisa kita pikirkan nanti."Meski enggan, Ratih dan Della tak punya pilihan selain mengikuti Dareen ke hotel."Wah, Ma … akhirnya kita bisa merasakan tidur di hotel." Della tersenyum semringah, duduk mengempas-empaskan pantatnya pada permukaan kasur."Iya, tapi cuma malam ini," keluh Ratih dengan muka ditekuk masam. "Pasti anak pembawa sial itu menjelek-jelekkan kita di hadapan suaminya. Kalau tidak, mana mungkin suaminya itu mengusir kita. Argh, padahal mama sudah membayangkan hidup enak jadi nyonya besar."Ratih menjatuhkan bobot tubuhnya ke atas kasur. "Eh, benaran empuk
Dua minggu kemudian, Arisha baru saja selesai dirias."Waah, Non Arisha cantik banget," puji Bi Minah dengan pupil yang membesar. "Tuan bakal makin klepek-klepek ini mah.""Apaan sih, Bi. Nggak jelas banget." Pipi Arisha merona merah jambu."Ho oh, Mommy. Mommy kayak princess. Sumpah!" Silla ikut mengacungkan dua jempol."Apakah pengantin wanita sudah siap keluar?" Seorang wanita masuk ke ruangan itu. "Acara akan segera dimulai.""Siap! Siap! Aman!" sahut sang penata rias.Arisha melangkah pelan dengan kepala tertunduk malu ketika MC memanggil dirinya dan Dareen untuk keluar dan naik ke pelaminan."Angkat kepalamu! Saatnya kamu bangga dengan diri sendiri," bisik Dareen, menghadirkan rasa geli di telinga Arisha. "Kamu wanita hebatku. I love you!"Tiga kata terakhir dari Dareen mampu memantik rasa percaya diri Arisha yang sempat tenggelam dilindas hinaan dan cacian oleh orang-orang di sekitarnya.Senyum lebar merekah di bibir Dareen. Menyaksikan Arisha mulai menerima diri sendiri sunggu
"Sayang, Silla anak yang kuat. Silla akan sembuh." "Tapi … Mommy kok nangis? Semua orang juga pada nangis. Silla takut mati, Mommy." Arisha memeluk Silla dengan sebelah tangannya yang bisa bergerak bebas. "Cup, cup. Silla salah paham, Sayang. Mommy … dan semua yang ada di sini nangis, itu … karena terharu Silla akhirnya sadar dan akan segera sembuh." "Benarkah?" Silla memandangi wajah orang yang mengelilinginya satu per satu. Mereka kompak mengangguk tanpa sanggup mengucapkan kata-kata. Arisha mengambil gelang di tangan Dareen. "Lihat! Mommy punya dua gelang. Satu untuk mommy, satu untuk Silla. Silla mau?" "Mau, mau!" Silla menjawab antusias, lupa akan kesedihannya barusan. Sejenak Arisha memilah gelang mana yang akan diberikannya pada Silla. Akhirnya, ia memakaikan gelang bernama Arisha Ayuningtyas kepada Silla. "Di balik gelang ini, terukir nama mommy. Nanti, walaupun Silla nggak bisa melihat mommy karena terhalang jarak dan waktu, percayalah … mommy selalu ada di dekat Sil
"Silla takut." Silla menarik tangan Dareen. Sementara matanya tertuju pada Bian. "Lho, kenapa takut, Sayang? Om itu bukan orang jahat kok. Justru Om itu telah mendonorkan darahnya untuk menyelamatkan Silla." Dareen mengelus lembut punggung jangan Silla. "Benarkah?" "Iya. Om itu saudara mommy." Silla kembali tenang dan memberanikan diri untuk membalas senyum Bian. "T–terima kasih, Om," ujar Silla, sedikit gugup. "Iya. Anak manis. Cepat sembuh ya …." Bola mata Bian terus bergerak memindai wajah Silla dan Arisha. Otaknya berpikir keras. Tidak mungkin ada begitu banyak kebetulan tentang kemiripan Silla dan Arisha. "Tuan Hart, bisakah kita bicara empat mata?" "Tentu. Mari kita ngobrol sambil minum kopi, tapi … tunggu sampai omaku tiba di sini. Tidak mungkin kita meninggalkan mereka berdua, bukan?" "Oh. Oke." Sepuluh menit berselang, Nyonya Hart datang dengan langkah tergesa-gesa. "Silla, Sayang. Oma senang kamu akhirnya sadar. Terima kasih. Kamu anak yang kuat!" Nyonya Hart men
"Kamu masih marah? Maaf, aku tidak bermaksud untuk membohongimu. Aku … hanya belum menemukan waktu yang pas untuk menceritakan semuanya." Dada Dareen terasa sesak mendapat perlakuan tak acuh dari Arisha. Semenjak kejadian di dekat ruang ICU, Arisha masih melakukan aksi tutup mulut dengannya. Sekarang saja Arisha berbaring sambil membuang muka. Gadis itu bahkan menjauhkan tangannya saat merasakan jemari Dareen menyentuh kulitnya. "Arisha, kamu boleh memakiku, tapi tolong … jangan mendiamkanku. Aku akui aku salah karena tidak jujur sejak awal." Arisha mengerti Dareen tentu memiliki alasan untuk menyimpan jati diri Silla dari dirinya. Hanya saja, ia tetap merasa kecewa. "Kalau kamu tidak bisa memercayaiku, tidak ada alasan untuk mempertahankan pernikahan ini." Akhirnya Arisha mau juga bicara. Kepercayaan terhadap pasangan merupakan salah satu pilar utama bagi kokohnya mahligai rumah tangga, selain kejujuran, saling menyayangi, dan menjaga komunikasi. "Arisha, aku belum memberitah
"James, kumpulkan karyawan yang sehat dan biasa mendonorkan darah! Silla butuh darah cepat." "Siap, Bro. Golongan darah apa?" "B negatif." "Kok bisa sama ya?" celetuk James dengan kening mengerut. "Apanya yang sama?" "Itu … golongan darah Silla. Kok sama dengan Arisha. Kebetulan yang aneh." Dareen termangu. Kenapa dia bisa lupa bahwa Arisha juga memiliki golongan darah B negatif. "Jangan ngaco! Walaupun golongan darah mereka sama, aku tidak mungkin meminta Arisha untuk mendonorkan darahnya. Dia bahkan masih dirawat." "Siapa yang butuh darah Arisha?" Dareen dan James menoleh kaget. "Tuan Bian," ucap keduanya serentak. "Ya. Aku sempat mendengar kalian menyebut nama Arisha." Bian menatap Dareen dan James bergantian. Akhirnya Dareen yang menjawab. "Putriku kritis dan butuh darah. Kebetulan golongan darahnya sama dengan Arisha." "Kalau begitu, izinkan aku membantu." "Tapi, Tuan … Anda belum lama mendonorkan darah pada Arisha." "Tidak masalah. Waktu itu cuma satu kantong. Lag
"Aku berhasil mendapatkan rekaman CCTV dari bangunan di seberang sekolah," lapor James seraya menyodorkan ponselnya pada Dareen, yang sedang sibuk di belakang meja kerjanya. "Lihat ini! Hanya saja, gambarnya tidak begitu jelas." Dareen mengambil ponsel dari tangan James. Matanya menyipit, memperhatikan setiap detail gerak yang terekam dalam potongan video tersebut. "Aku seperti mengenali postur tubuh wanita yang mendekati Silla," komentar James, terlihat berpikir. "Tapi, aku tidak yakin tebakanku benar." "Anggita!" seru Dareen, terlonjak tegak. Mukanya menegang. "Aku yakin wanita dalam rekaman ini adalah Anggita. Walaupun dia memakai seribu topeng, aku tidak akan pernah salah mengenalinya." "Ah, pantas saja aku merasa tidak asing. Eh, bukankah kalian sudah putus?" "Dia gila!" Dareen mengirimkan rekaman tersebut ke ponselnya, lalu mengembalikan gawai milik James. "Ayo, ikut aku!" "Rasanya, tidak mungkin Anggita membawa Silla ke apartemennya." James meneleng seraya menggeleng tak