"Pokoknya om tidak mau tahu! Kamu sudah menerima uangnya, jadi kamu harus segera mengirim gadis itu kepada om! Kalau tidak, kembalikan uang yang sudah om transfer ke kamu sepuluh kali lipat! Paham?!" "I–iya, Om. Saya janji akan segera memenuhi permintaan, Om. Beri saya tambahan waktu, Om!" "Oke. Om tunggu sampai besok!" Tut! Sambungan telepon terputus. Hanna mencengkeram ponsel di tangannya erat-erat. "Arisha, semua kesialan ini gara-gara kamu! Kalau kamu tidak kabur malam itu, Om Regar pasti tidak akan mengancamku!" Kebencian Hanna pada Arisha kian memuncak seiring dengan tuntutan ganti rugi dari salah satu pelanggan tetapnya. "Aku harus kembali ke Rumah Sakit itu! Aku yakin, yang kucium kemarin adalah wangi parfum Arisha." Hanna menyeringai licik. "Baguslah tempat kerja Arisha kebakaran. Dia lebih pantas jadi pengangguran!" Sejak kecil Hanna selalu iri dengan kemampuan Arisha, tapi dia sangat pandai menutupi perasaan itu dengan senyuman ramah dan ekspresi sepolos bayi tanpa
"Non Arisha, ada tamu buat, Non." "Siapa, Bi?" "Katanya sih keluarga Non." 'Keluarga? Perasaan aku nggak pernah menghubungi tante.' Arisha belum bergerak dari sofa. Ia masih terdiam, memikirkan informasi dari Bi Atun. Hatinya merasakan ada sesuatu yang aneh, tapi entah apa. "Jadi gimana, Non? Apa bibi suruh pulang aja?" "Eh, jangan, Bi! Aku akan turun sebentar lagi." Semenjak Bi Atun kembali dari kampung, Arisha tak lagi memupuk rasa sungkan untuk tinggal di rumah Rasyad. Bi Atun seumuran dengan Bi Minah. Arisha merasa seperti memiliki ibu baru lagi. 'Hanna? Ngapain dia ke sini? Kok dia tahu aku tinggal di sini?' Langkah Arisha menapak mundur setelah mengetahui siapa sosok yang duduk di ruang tamu. 'Kalau aku menghindar, dia pasti akan curiga bahwa aku mengetahui rencana busuknya.' Arisha menimbang-nimbang dan memikirkan jawaban yang tepat seandainya Hanna bertanya kenapa ia kabur malam itu. Hanna mendongak. Senyumnya semringah begitu melihat gadis yang berdiri cukup jauh
"Kamu bisa pesan apa aja. Aku yang traktir," kata Hanna, tersenyum manis pada Arisha. "Oh ya, ini uang kamu. Aku nggak bisa dan nggak mau nerima uang itu. Kamu udah kerja keras dan lagi kena musibah. Mana mungkin aku tega ngambil sesuatu dari kamu. Harusnya aku yang bantu kamu." "Tidak apa-apa. Ambil saja! Anggap sebagai ucapan terima kasih karena kamu sudah membantuku." "Tapi, Sha—" Arisha mendorong tangan Hanna. "Aku tidak mau ketemu kamu lagi kalau kamu menolak." Walau terlihat enggan, Hanna menyimpan juga uang pemberian Arisha ke dalam tas. Setelah memesan minuman, Hanna pamit, "Aku ke toilet sebentar ya?" Arisha mengangguk. Hanna meninggalkan meja, tapi tidak benar-benar ke toilet. Gadis itu justru menemui pelayan yang tadi menerima pesanan mereka. Ia menyerahkan sesuatu kepada pelayan itu sambil melirik kepada Arisha yang masih duduk menunggu. Pelayan itu mengikuti pandangan Hanna, lalu mengangguk setelah Hanna menyelipkan sesuatu ke dalam saku kemeja kerjanya. "Maaf ya
"Cantik, walau terlihat berbeda dari fotonya!" Lelaki paruh baya itu menyeringai, menatap wajah wanita muda yang berbaring di atas ranjang. Dialah Regar, pemesan jasa layanan gadis perawan. Jemari nakal Regar mulai membelai pipi mulus sang gadis. "Kulitnya juga halus." Darah Regar tiba-tiba memanas. Membangunkan sesuatu yang telah lama terlelap akibat tekanan dari beragam masalah yang dihadapinya. Sepertinya sekarang sesuatu yang terbangun itu menuntut waktu untuk bersenang-senang. "Mari kita mulai, Cantik!" Regar tegak, melepas satu per satu kancing kemeja yang dikenakannya, hingga yang tersisa di tubuhnya hanya celana boxer. Regar melakukan hal yang sama pada gadis itu. Bedanya, dia tak membiarkan sehelai benang pun menutupi kulit mulus sang gadis. "Benar-benar cantik … dan mulus!" Regar mulai menjalankan aksinya, menjelajahi wajah sang gadis dengan bibirnya. Sementara gadis itu tak sepenuhnya kehilangan kesadaran. Ia masih bisa merasakan setiap sentuhan Regar. Ia ingin membe
"Mama!" Fano meronta turun dari gendongan pengasuhnya, berlari menyongsong Nadine seraya merentangkan tangan, minta dipeluk. Mata Nadine berkaca-kaca kala mendekap penuh kerinduan putra kecilnya itu. "Maafkan mama, Sayang. Mama janji nggak akan pergi lagi." Fano tidak memahami alasan di balik kepergian mamanya yang cukup lama. Bocah lugu itu pun tak bertanya kenapa. Baginya, melihat mamanya pulang saja sudah membuatnya bahagia. "Tidak ada yang datang mencariku, Sus?" "Tidak, Nyonya." "Termasuk papa?" "Maaf, Nyonya." "Ya sudah. Siapkan makanan untukku. Aku lapar." "Baik, Nyonya." Nadine membawa Fano untuk duduk di ruang keluarga. Bocah itu berceloteh dengan riangnya sambil mengajak Nadine bermain. 'Kasihan sekali kamu, Nak.' Nadine membelai pipi Fano. 'Papa kandungmu bahkan tak menginginkanmu. Mama yang berdosa, tapi kamu ikut merasakan akibatnya. Maafkan mama, Nak!' Selama mendekam di balik jeruji besi, tak sekali pun Alfian datang membesuknya. Lelaki itu hanya menampakkan
"Mulai hari ini kamu akan kembali ke rumahku." "Apa? Anda tidak bisa membuat keputusan secara sepihak, Tuan Hart." Arisha mendelik tak suka pada sosok Dareen yang berada di belakang roda kemudi. "Aku tidak terima penolakan!" Dareen mengoper gigi, lalu berbelok ke kiri. Arisha terdiam, menahan dongkol. "Kamu tidak perlu khawatir. Aku yang akan menghubungi Tuan Rasyad." "Kenapa?" Dareen melirik sekilas pada Arisha. "Bukankah kamu harus pamit dan berterima kasih padanya?" "Bukan itu. Kenapa Anda melakukan semua ini? Bukankah lebih baik jika aku tak kembali?" "Arisha, aku sedang tidak ingin berdebat sekarang." Keduanya terdiam. Walau jengkel setengah mati pada sikap Dareen yang mau enaknya sendiri, tak dipungkiri, Arisha juga merindukan rumah itu. Rumah di mana ia bisa tertawa lepas bersama Silla. "Mommy!" Sila berlari menyongsong kedatangan Arisha. Keduanya berpelukan erat. Menikmati kedekatan mereka dengan bibir tersenyum dan perasaan hangat. Pun saling mengusap punggung. "A
"Dasar cabul! Keluar!" Arisha melempar apa saja yang dapat dijangkaunya kepada Dareen dan semua itu mendarat dengan sempurna pada sasarannya. "Akh! Aduh! Aduh!" Dareen tak sempat mengelak. Ia terlalu terpana pada pemandangan indah di depannya. Sosok Arisha yang baru selesai mandi. Hanya berbalut sehelai handuk, hingga mempertontonkan betis nan mulus serta leher jenjang dengan tulang selangka yang menawan. Sebagai lelaki dewasa yang normal, tentu darah Dareen berdesir melihat pesona keindahan itu, apalagi biasanya seluruh tubuh Arisha tertutup rapat. "Akan kubuat matamu buta kalau terus berdiam diri di sana!" Arisha mulai kehilangan kontrol diri karena rasa malu yang luar biasa. "Iya, iya. Aku keluar!" Dareen bergegas meraih gagang pintu. Arisha terduduk lemas di atas ranjang. "Aish, sial! Kesucian tubuhku ternoda oleh mata mesum lelaki menyebalkan itu!" Dareen juga tersandar lemas di balik pintu sambil mengelus dada. Berulang kali ia mengembuskan napas kencang seraya berjuang m
"Kau sibuk?" "Kamu bercanda? Kamu tahu aku baru saja kembali jadi pengangguran." Terdengar tawa sumbang dari seberang telepon. Arisha merasakan keanehan itu. "Ada apa?" "Bisa kita ketemu? Ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu." Hening sejenak. Arisha melirik jam dinding. Pukul sembilan pagi. Tidak terlalu mepet dengan jam makan siang. Masih sempat jika ia pergi keluar sebentar. Kalaupun ia pulang terlambat, Bi Minah tentu tak akan membiarkan keluarga Dareen kelaparan. "Baiklah. Di mana?" Dalam waktu kurang dari satu jam, Arisha tiba di sebuah kafe yang menjadi tempat janji temunya dengan Rasyad. [Kamu di mana?] [Aku baru saja masuk] Karena pengunjung sangat ramai, Arisha mengirimkan pesan kepada Rasyad dan langsung mendapat balasan. [VIP 2] Arisha naik ke lantai dua. Semua ruang VIP pada kafe tersebut ada di lantai dua. "Maaf, aku sempat terjebak macet." Arisha duduk berhadapan dengan Rasyad. "Tidak apa. Aku juga belum lama." Suhu udara dalam ruangan itu terasa m