"Daddyyy! Kak Sha mana?" rengek Silla, menyambut Dareen, yang masuk ke kamarnya. Bersamaan dengan Bi Minah yang melangkah keluar. Dareen celingukan. Dia tak menemukan tanda-tanda keberadaan Arisha di kamar itu. "Kak Sha belum ke sini?" Silla menggeleng. Dareen tercenung. 'Bukankah dia sudah berjanji untuk tidak akan pergi?' "Daddy … Silla mau ketemu sama Kak Sha!" Rengekan Silla mengembalikan jiwa Dareen ke dunia nyata. Walau hatinya terasa kecut, bibirnya tetap tersenyum kala membujuk Silla, "Silla tunggu di sini ya? Daddy akan panggilkan. Mungkin Kak Sha belum selesai mandi." "Tapi, Daddy jangan lama ya?" "Iya." "Janji?" "Janji!" Dareen bangkit, bergegas menyusul Bi Minah. "Bi! Bi Minah! Tunggu, Bi!" seru Dareen, menghentikan langkah Bi Minah yang nyaris mencapai bibir tangga. "Ya, Tuan?" "Um, Arisha mana? Kok Bi Minah yang melayani Silla?" Saat masuk ke kamar Silla di pagi hari, lelaki itu mendapati Bi Minah baru saja selesai menyuapi Silla sarapannya. "Tadi Non Ari
"Kak Sha!" Teriakan Silla mengalihkan perhatian Arisha dan Dareen dari sekumpulan Koi yang berenang di dalam kolam. "Sayang, kenapa ke sini?" Arisha menyerahkan makanan ikan di tangannya kepada Dareen, lalu melangkah cepat, menyongsong Silla. "Di sini dingin, Sayang." "Maaf, Non Arisha. Non Silla ngotot mau ketemu sama Non. Bibi nggak bisa cegah," lirih Bi Minah, merasa bersalah. Arisha segera menggendong Silla. "Ayo kembali ke kamar, Sayang!" Dareen termangu memandangi kotak berisi pakan ikan yang telah berpindah ke tangannya. "Ya, Tuhan! Aku justru seperti orang asing di hadapan keponakan sendiri." Dareen menertawakan dirinya yang kalah pamor dari Arisha di hati Silla. Nyaris ia meluapkan kekesalannya dengan melempar kotak makanan ikan tersebut, tetapi diurungkannya. Detik berikutnya ia justru mengelus permukaan kotak tersebut dengan bibir yang menyunggingkan senyum. "Wow! Sekarang apa pun yang pernah disentuh si nona aneh menjadi sangat berharga, heh?" "Dasar jailangkung!"
"Dari awal, si bebek jelek memang udah menetas sebagai angsa, Sayang. Dia hanya berada di tempat yang salah." "Aih, Silla tambah bingung deh!" Silla mengetuk-ngetuk pipinya dengan jari telunjuk, seakan-akan ia sedang memeras otak untuk mencari jalan keluar dari kebingungannya. "Begini lho, Sayang. Bebek itu menetas dari telur, nah … angsa juga dari telur—" "Aah, Silla ngerti sekarang," seru Silla bersemangat. "Telur angsanya ada yang mindahin ke telur bebek?" "Pintar!" Senyum lebar Arisha lenyap ketika melihat wajah murung Silla, padahal ia baru saja memuji gadis itu. "Kenapa Silla sedih lagi? Kan bebek jeleknya udah jadi cantik?" "Kasihan, Kak Sha! Dia nggak punya mommy, sama kayak Silla." Arisha merasa terenyuh. Segera ia mendekap Silla. "Tidak apa-apa. Sama seperti Silla, angsa malang itu telah menemukan keluarga baru yang menyayanginya." "Dia bahagia?" "Menurut Silla gimana?" Silla mengangguk mantap. "Dia pasti bahagia, sama seperti Silla setelah ketemu sama Kak Sha." "
"Kira-kira siapa ya, Non, yang bertamu menjelang magrib begini? Bibi jadi parno, hiii …." Bi Minah bergidik ngeri. Dareen tak pernah mengetuk pintu saat pulang kerja, apalagi sampai membunyikan bel. Lelaki itu selalu membawa kunci cadangan, dengan alasan merasa segan merepotkan penghuni rumah bila dia pulang terlambat. Arisha tersenyum geli melihat raut muka Bi Minah. "Ya udah deh, biar aku aja yang buka pintu. Bibi anterin minum Silla ya?" "Baik, Non. Hati-hati!" Arisha melafalkan doa perlindungan dan membaca Ayat Kursi sambil mengayun langkah menuju pintu. Ada sedikit rasa takut menggerogoti keberaniannya, mengingat bahwa ini untuk pertama kalinya tamu datang bertandang di senja hari, selama ia tinggal di rumah Dareen. Arisha menghela napas panjang sebelum membuka pintu. Setelah terbuka, sesaat ia menatap bisu pada sosok asing yang tegak di depan pintu. "Cari si—" "Minggir!" Arisha terjajar mundur saat sang tamu mendorong kuat daun pintu yang setengah tersibak. Dia adala
"Nyonya Hart, tolong … jangan biarkan Nona Arisha pergi! Kasihan Non Silla." Bi Minah memohon dengan perasaan gelisah pada nenek Dareen. Mentari telah kembali ke peraduan. Arisha tak punya keluarga di kota ini. Ada terlalu banyak bahaya untuk gadis secantik Arisha di luar sana. Di sisi lain, Silla akan terguncang bila mengetahui kepergian Arisha. Gadis kecil itu telah bergantung kepada Arisha. "Biar saja dia pergi! Dia hanya akan membuat cucuku jatuh bangkrut." "Astagfirullah, Nyonya! Itu tidak benar. Non Arisha bukan wanita seperti itu." Nyonya Hart menatap tak suka pada Bi Minah. "Apa kau mengenalnya cukup lama? Tidak, 'kan? Bulan lalu aku masih ke sini dan dia belum ada di rumah ini. "Jangan terlalu naif, Bi Minah! Bahkan, orang yang sudah dikenal lama dan sangat baik pun bisa menipu, apalagi wanita yang kabur dari rumah dan sengaja meninggalkan anak serta suaminya demi mengasuh putri orang lain. "Menurutmu, apa yang menjadi tujuan wanita seperti itu selain menjadikan Silla
"Daddy!" Silla berteriak memanggil Dareen sambil tertatih-tatih menuruni tangga.Mendugas Dareen menyongsong Silla, khawatir gadis kecil itu kehilangan keseimbangan dan jatuh."Silla, kenapa turun sendiri, Sayang? Kak Sha mana?" Dareen melempar pandang ke lantai atas, mencari sosok Arisha yang mungkin saja menyusul Silla."Nggak tahu. Dari tadi Silla manggil, tapi Kak Sha nggak nongol juga," keluh Silla dengan mata berkaca-kaca.Segera Dareen menggendong Silla. "Sudah ya … jangan nangis lagi! Kita cari Kak Sha sama-sama.""Ngapain kalian mencari wanita itu?" tanya Nyonya Hart. Nada suaranya yang terdengar ketus membuat kening Dareen berkerut."Apa maksud Oma bertanya seperti itu?" Perasaan Dareen mendadak tidak enak. Firasatnya membunyikan alarm bawah sadarnya bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi pada Arisha."Tidak ada maksud apa-apa," timpal Nyonya Hart, acuh tak acuh, kemudian melangkah ke ruang tengah.Wanita sepuh itu duduk di atas sofa dengan santai, tak peduli pada roman muka
"Ya, Allah … aku rida dengan segala takdirmu. Hanya saja, aku takut. Aku takut hatiku tak cukup lapang untuk menampung pahitnya asam garam kehidupan yang Engkau suguhkan untukku."Aku takut imanku tak cukup kuat untuk terus melangkah lurus di jalan-Mu. Aku hanyalah seorang hamba-Mu yang lemah, Ya Allah. Bagaimana kalau perisai prasangka baikku pada-Mu tak cukup tebal untuk melindungi keyakinanku pada–Mu?"Hidupku di dunia telah Engkau hiasi dengan derita, sungguh aku tak ingin lebih tersiksa pada kehidupan selanjutnya." Arisha menadahkan tangan dengan bersimbah air mata, mengadukan semua kegundahannya pada Sang Pemilik semesta. "Karena itu, aku mohon pada-Mu, Ya Allah … anugerahkanlah kepadaku bahu yang kuat untuk memikul semua beban hidup, yang Engkau berikan. Luaskanlah kesabaranku, melebihi luasnya samudera. Aku mohon, Ya Allah …."Arisha menutup rangkaian doanya dengan selawat. Setelah mencurahkan segala isi hatinya pada Sang Maha Pembolak-balik hati, ia merasa lega. Beban di pund
"Cih! Ada manusia bodoh yang sok jadi pahlawan kesiangan!" Si cungkring mendorong Arisha ke arah si plontos setelah mengode si jenggot tipis untuk menurunkan gadis itu. Arisha tersungkur, tapi dipaksa bangkit oleh sebuah tarikan kencang dari jemari kokoh si plontos. Lelaki itu menyeretnya masuk ke mobil. Dalam hitungan detik, decit ban yang bergesekan dengan permukaan jalan menjadi ucapan selamat tinggal untuk si cungkring dan si jenggot tipis. Keduanya tengah bertarung dengan lelaki asing yang berniat untuk menyelamatkan Arisha. Kedua anak buah si plontos tak bisa dianggap remeh, terutama si cungkring. Gerakannya sangat gesit dan lincah. Tubuhnya yang lebih ringan meloncat ke sana kemari, menghindari serangan lawan. Bugh! "Akh!" Tendangan bertenaga penuh mendarat di dada lelaki asing itu. Bibirnya spontan mengeluarkan rintih kesakitan saat ia terhuyung dan terjajar mundur. "Hahaha, kau bukan tandingan kami bocah ingusan! Menyerahlah dan enyah dari sini!" ledek si cungkring, t