"Dari awal, si bebek jelek memang udah menetas sebagai angsa, Sayang. Dia hanya berada di tempat yang salah." "Aih, Silla tambah bingung deh!" Silla mengetuk-ngetuk pipinya dengan jari telunjuk, seakan-akan ia sedang memeras otak untuk mencari jalan keluar dari kebingungannya. "Begini lho, Sayang. Bebek itu menetas dari telur, nah … angsa juga dari telur—" "Aah, Silla ngerti sekarang," seru Silla bersemangat. "Telur angsanya ada yang mindahin ke telur bebek?" "Pintar!" Senyum lebar Arisha lenyap ketika melihat wajah murung Silla, padahal ia baru saja memuji gadis itu. "Kenapa Silla sedih lagi? Kan bebek jeleknya udah jadi cantik?" "Kasihan, Kak Sha! Dia nggak punya mommy, sama kayak Silla." Arisha merasa terenyuh. Segera ia mendekap Silla. "Tidak apa-apa. Sama seperti Silla, angsa malang itu telah menemukan keluarga baru yang menyayanginya." "Dia bahagia?" "Menurut Silla gimana?" Silla mengangguk mantap. "Dia pasti bahagia, sama seperti Silla setelah ketemu sama Kak Sha." "
"Kira-kira siapa ya, Non, yang bertamu menjelang magrib begini? Bibi jadi parno, hiii …." Bi Minah bergidik ngeri. Dareen tak pernah mengetuk pintu saat pulang kerja, apalagi sampai membunyikan bel. Lelaki itu selalu membawa kunci cadangan, dengan alasan merasa segan merepotkan penghuni rumah bila dia pulang terlambat. Arisha tersenyum geli melihat raut muka Bi Minah. "Ya udah deh, biar aku aja yang buka pintu. Bibi anterin minum Silla ya?" "Baik, Non. Hati-hati!" Arisha melafalkan doa perlindungan dan membaca Ayat Kursi sambil mengayun langkah menuju pintu. Ada sedikit rasa takut menggerogoti keberaniannya, mengingat bahwa ini untuk pertama kalinya tamu datang bertandang di senja hari, selama ia tinggal di rumah Dareen. Arisha menghela napas panjang sebelum membuka pintu. Setelah terbuka, sesaat ia menatap bisu pada sosok asing yang tegak di depan pintu. "Cari si—" "Minggir!" Arisha terjajar mundur saat sang tamu mendorong kuat daun pintu yang setengah tersibak. Dia adala
"Nyonya Hart, tolong … jangan biarkan Nona Arisha pergi! Kasihan Non Silla." Bi Minah memohon dengan perasaan gelisah pada nenek Dareen. Mentari telah kembali ke peraduan. Arisha tak punya keluarga di kota ini. Ada terlalu banyak bahaya untuk gadis secantik Arisha di luar sana. Di sisi lain, Silla akan terguncang bila mengetahui kepergian Arisha. Gadis kecil itu telah bergantung kepada Arisha. "Biar saja dia pergi! Dia hanya akan membuat cucuku jatuh bangkrut." "Astagfirullah, Nyonya! Itu tidak benar. Non Arisha bukan wanita seperti itu." Nyonya Hart menatap tak suka pada Bi Minah. "Apa kau mengenalnya cukup lama? Tidak, 'kan? Bulan lalu aku masih ke sini dan dia belum ada di rumah ini. "Jangan terlalu naif, Bi Minah! Bahkan, orang yang sudah dikenal lama dan sangat baik pun bisa menipu, apalagi wanita yang kabur dari rumah dan sengaja meninggalkan anak serta suaminya demi mengasuh putri orang lain. "Menurutmu, apa yang menjadi tujuan wanita seperti itu selain menjadikan Silla
"Daddy!" Silla berteriak memanggil Dareen sambil tertatih-tatih menuruni tangga.Mendugas Dareen menyongsong Silla, khawatir gadis kecil itu kehilangan keseimbangan dan jatuh."Silla, kenapa turun sendiri, Sayang? Kak Sha mana?" Dareen melempar pandang ke lantai atas, mencari sosok Arisha yang mungkin saja menyusul Silla."Nggak tahu. Dari tadi Silla manggil, tapi Kak Sha nggak nongol juga," keluh Silla dengan mata berkaca-kaca.Segera Dareen menggendong Silla. "Sudah ya … jangan nangis lagi! Kita cari Kak Sha sama-sama.""Ngapain kalian mencari wanita itu?" tanya Nyonya Hart. Nada suaranya yang terdengar ketus membuat kening Dareen berkerut."Apa maksud Oma bertanya seperti itu?" Perasaan Dareen mendadak tidak enak. Firasatnya membunyikan alarm bawah sadarnya bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi pada Arisha."Tidak ada maksud apa-apa," timpal Nyonya Hart, acuh tak acuh, kemudian melangkah ke ruang tengah.Wanita sepuh itu duduk di atas sofa dengan santai, tak peduli pada roman muka
"Ya, Allah … aku rida dengan segala takdirmu. Hanya saja, aku takut. Aku takut hatiku tak cukup lapang untuk menampung pahitnya asam garam kehidupan yang Engkau suguhkan untukku."Aku takut imanku tak cukup kuat untuk terus melangkah lurus di jalan-Mu. Aku hanyalah seorang hamba-Mu yang lemah, Ya Allah. Bagaimana kalau perisai prasangka baikku pada-Mu tak cukup tebal untuk melindungi keyakinanku pada–Mu?"Hidupku di dunia telah Engkau hiasi dengan derita, sungguh aku tak ingin lebih tersiksa pada kehidupan selanjutnya." Arisha menadahkan tangan dengan bersimbah air mata, mengadukan semua kegundahannya pada Sang Pemilik semesta. "Karena itu, aku mohon pada-Mu, Ya Allah … anugerahkanlah kepadaku bahu yang kuat untuk memikul semua beban hidup, yang Engkau berikan. Luaskanlah kesabaranku, melebihi luasnya samudera. Aku mohon, Ya Allah …."Arisha menutup rangkaian doanya dengan selawat. Setelah mencurahkan segala isi hatinya pada Sang Maha Pembolak-balik hati, ia merasa lega. Beban di pund
"Cih! Ada manusia bodoh yang sok jadi pahlawan kesiangan!" Si cungkring mendorong Arisha ke arah si plontos setelah mengode si jenggot tipis untuk menurunkan gadis itu. Arisha tersungkur, tapi dipaksa bangkit oleh sebuah tarikan kencang dari jemari kokoh si plontos. Lelaki itu menyeretnya masuk ke mobil. Dalam hitungan detik, decit ban yang bergesekan dengan permukaan jalan menjadi ucapan selamat tinggal untuk si cungkring dan si jenggot tipis. Keduanya tengah bertarung dengan lelaki asing yang berniat untuk menyelamatkan Arisha. Kedua anak buah si plontos tak bisa dianggap remeh, terutama si cungkring. Gerakannya sangat gesit dan lincah. Tubuhnya yang lebih ringan meloncat ke sana kemari, menghindari serangan lawan. Bugh! "Akh!" Tendangan bertenaga penuh mendarat di dada lelaki asing itu. Bibirnya spontan mengeluarkan rintih kesakitan saat ia terhuyung dan terjajar mundur. "Hahaha, kau bukan tandingan kami bocah ingusan! Menyerahlah dan enyah dari sini!" ledek si cungkring, t
"Bos! Berhenti, Bos!" pekik si jenggot tipis seraya melambaikan tangan ke arah jendela mobil di sisi sopir. Si plontos menoleh sekilas. Sayang cahaya yang remang-remang mengaburkan pandangannya. Telinganya pun tak dapat menangkap dengan jelas panggilan si jenggot tipis, lantaran kaca yang tertutup. Motor yang dikendarai si cungkring meliuk-liuk, mengimbangi kecepatan laju mobil si plontos. Beruntung si cungkring sangat mengenal seluk-beluk kota itu. Ia memilih melewati jalan tikus sehingga dapat dengan segera menyusul si plontos. Si jenggot tipis terus melambaikan tangan seraya berteriak memanggil si plontos. "Siapa sih? Mau cari gara-gara mereka?" gerutu si plontos. Namun, ketika cahaya lampu mobil dari arah depan menerangi dua orang yang berada di atas motor itu, si plontos refleks menginjak rem dengan kuat. Si cungkring berhenti di depan mobil Plontos, kemudian bergegas turun dari motor. Ia meninggalkan motor yang telah berjasa tersebut begitu saja di tepi jalan. Tangannya sig
Deg! Deg! Deg!Jantung Arisha berdetak riuh, menyamai tabuhan genderang perang.Keringat membanjiri punggungnya di tengah dinginnya cuaca dan embusan angin malam.Bagaimana kalau mereka menemukannya? Akankah dia mengucapkan selamat tinggal pada dunia setelah kehilangan mahkota paling berharga, yang selama ini ia jaga?Berbagai pikiran buruk berkecamuk dalam kepala Arisha.'Tidak! Aku tidak boleh berpikir yang buruk-buruk.' Arisha geleng-geleng kepala, mengusir bayangan buruk yang berkelebat di benaknya. Dia pun menegur diri, 'Ingat Arisha! Allah tergantung prasangka hamba-Nya.'Akhirnya Arisha memasrahkan jiwa pada Sang Pemilik semesta. Ia tetap diam sambil komat-kamit membaca Ayat Kursi.Entah berapa lama Arisha terpaksa merelakan darahnya menjadi santapan nyamuk-nyamuk nakal."Ba!" teriak si cungkring, menyibak serumpun tanaman perdu, yang hanya berjarak dua langkah dari tempat Arisha bersembunyi.Detak jantung Arisha makin menggila, seiring dengan rasa takut yang kian mendera. Bahk
"Sayang, kamu kembali? Aku mencemaskanmu." Dareen melesat menyongsong Arisha begitu mendengar derit pintu dibuka. "Jangan menyentuhku!" Arisha menepis tangan Dareen yang ingin memeluknya. "Ya Allah, Sayang … aku sudah mandi lho …." Arisha mendelik. "Mandi sana! Atau kamu tidur di sofa!" Dareen garuk-garuk kepala. Wanita kalau cemburu, semua jadi salah. "Ini sudah malam banget, Sayang. Nanti kalau aku masuk angin, bagaimana?" Arisha menulikan telinga. Ia naik ke atas kasur, lalu bersandar di kepala ranjang sambil bersedekap tangan. Tatapan tajamnya menembus manik kelabu milik Dareen. Dareen merasa semakin serba salah. "Serius … aku harus mandi lagi nih?" "Terserah. Aku nggak maksa." Dareen tersenyum lebar. Mudah sekali membujuk Arisha. "Terima kasih, Sayang!" "Tidur di sofa!" Arisha melempar bantal. Senyum Dareen lenyap. Terlalu cepat ia melakukan selebrasi. Ah, ternyata dia salah memahami makna kata terserah yang terucap dari bibir Arisha. "Ya, ya. Aku mandi lagi." Dareen
"Heh, siapa yang menggoda suamimu? Della? Tidak mungkin. Dia bukan wanita murahan dan bodoh seperti kamu!"Ratih tak terima putri semata wayangnya dianggap sebagai wanita penggoda."Oh ya? Terus apa namanya kalau perempuan masuk ke kamar orang lain dan memeluk laki-laki yang bukan suaminya? Perempuan terhormat tidak akan menyerahkan diri pada laki-laki yang baru dikenal, Tante." Arisha menyeringai sinis. "Dia bahkan dengan tak tahu malu memanggil suamiku sayang. Apa begini hasil didikan, Tante?"Ratih mengeritkan gigi. Kesal lantaran Arisha kini berani melawan kata-katanya."Setelah meninggalkan hotel ini besok, Tante, terutama putri kesayangan Tante ini, jangan pernah muncul lagi di hadapanku!""Sombong kamu sekarang ya! Kamu lupa siapa yang merawat dan membesarkanmu selama ini? Kalau bukan karena tante yang menampungmu, kamu sudah jadi gembel di jalanan."Arisha mencebik. "Tentu aku tidak pernah lupa, Tante. A—""Bagus kalau kamu sadar. Pikirkan juga bagaimana caranya kamu membalas
"K–kamu mengusir kami? Keluarga istri kamu sendiri?"Kenyataan yang terjadi tak semanis impian Ratih. Sungguh ia tak percaya Dareen akan mengusir dirinya dan Della."Saya rasa apa yang saya katakan sangat jelas. Ayo!" Dareen bangkit dan mulai mengayun langkah menuju pintu."Ma, bagaimana ini? Masa kita balik lagi ke kampung?" rengek Della, berbisik resah di telinga Ratih."Sudah. Ikuti saja dulu! Rencana selanjutnya bisa kita pikirkan nanti."Meski enggan, Ratih dan Della tak punya pilihan selain mengikuti Dareen ke hotel."Wah, Ma … akhirnya kita bisa merasakan tidur di hotel." Della tersenyum semringah, duduk mengempas-empaskan pantatnya pada permukaan kasur."Iya, tapi cuma malam ini," keluh Ratih dengan muka ditekuk masam. "Pasti anak pembawa sial itu menjelek-jelekkan kita di hadapan suaminya. Kalau tidak, mana mungkin suaminya itu mengusir kita. Argh, padahal mama sudah membayangkan hidup enak jadi nyonya besar."Ratih menjatuhkan bobot tubuhnya ke atas kasur. "Eh, benaran empuk
Dua minggu kemudian, Arisha baru saja selesai dirias."Waah, Non Arisha cantik banget," puji Bi Minah dengan pupil yang membesar. "Tuan bakal makin klepek-klepek ini mah.""Apaan sih, Bi. Nggak jelas banget." Pipi Arisha merona merah jambu."Ho oh, Mommy. Mommy kayak princess. Sumpah!" Silla ikut mengacungkan dua jempol."Apakah pengantin wanita sudah siap keluar?" Seorang wanita masuk ke ruangan itu. "Acara akan segera dimulai.""Siap! Siap! Aman!" sahut sang penata rias.Arisha melangkah pelan dengan kepala tertunduk malu ketika MC memanggil dirinya dan Dareen untuk keluar dan naik ke pelaminan."Angkat kepalamu! Saatnya kamu bangga dengan diri sendiri," bisik Dareen, menghadirkan rasa geli di telinga Arisha. "Kamu wanita hebatku. I love you!"Tiga kata terakhir dari Dareen mampu memantik rasa percaya diri Arisha yang sempat tenggelam dilindas hinaan dan cacian oleh orang-orang di sekitarnya.Senyum lebar merekah di bibir Dareen. Menyaksikan Arisha mulai menerima diri sendiri sunggu
"Sayang, Silla anak yang kuat. Silla akan sembuh." "Tapi … Mommy kok nangis? Semua orang juga pada nangis. Silla takut mati, Mommy." Arisha memeluk Silla dengan sebelah tangannya yang bisa bergerak bebas. "Cup, cup. Silla salah paham, Sayang. Mommy … dan semua yang ada di sini nangis, itu … karena terharu Silla akhirnya sadar dan akan segera sembuh." "Benarkah?" Silla memandangi wajah orang yang mengelilinginya satu per satu. Mereka kompak mengangguk tanpa sanggup mengucapkan kata-kata. Arisha mengambil gelang di tangan Dareen. "Lihat! Mommy punya dua gelang. Satu untuk mommy, satu untuk Silla. Silla mau?" "Mau, mau!" Silla menjawab antusias, lupa akan kesedihannya barusan. Sejenak Arisha memilah gelang mana yang akan diberikannya pada Silla. Akhirnya, ia memakaikan gelang bernama Arisha Ayuningtyas kepada Silla. "Di balik gelang ini, terukir nama mommy. Nanti, walaupun Silla nggak bisa melihat mommy karena terhalang jarak dan waktu, percayalah … mommy selalu ada di dekat Sil
"Silla takut." Silla menarik tangan Dareen. Sementara matanya tertuju pada Bian. "Lho, kenapa takut, Sayang? Om itu bukan orang jahat kok. Justru Om itu telah mendonorkan darahnya untuk menyelamatkan Silla." Dareen mengelus lembut punggung jangan Silla. "Benarkah?" "Iya. Om itu saudara mommy." Silla kembali tenang dan memberanikan diri untuk membalas senyum Bian. "T–terima kasih, Om," ujar Silla, sedikit gugup. "Iya. Anak manis. Cepat sembuh ya …." Bola mata Bian terus bergerak memindai wajah Silla dan Arisha. Otaknya berpikir keras. Tidak mungkin ada begitu banyak kebetulan tentang kemiripan Silla dan Arisha. "Tuan Hart, bisakah kita bicara empat mata?" "Tentu. Mari kita ngobrol sambil minum kopi, tapi … tunggu sampai omaku tiba di sini. Tidak mungkin kita meninggalkan mereka berdua, bukan?" "Oh. Oke." Sepuluh menit berselang, Nyonya Hart datang dengan langkah tergesa-gesa. "Silla, Sayang. Oma senang kamu akhirnya sadar. Terima kasih. Kamu anak yang kuat!" Nyonya Hart men
"Kamu masih marah? Maaf, aku tidak bermaksud untuk membohongimu. Aku … hanya belum menemukan waktu yang pas untuk menceritakan semuanya." Dada Dareen terasa sesak mendapat perlakuan tak acuh dari Arisha. Semenjak kejadian di dekat ruang ICU, Arisha masih melakukan aksi tutup mulut dengannya. Sekarang saja Arisha berbaring sambil membuang muka. Gadis itu bahkan menjauhkan tangannya saat merasakan jemari Dareen menyentuh kulitnya. "Arisha, kamu boleh memakiku, tapi tolong … jangan mendiamkanku. Aku akui aku salah karena tidak jujur sejak awal." Arisha mengerti Dareen tentu memiliki alasan untuk menyimpan jati diri Silla dari dirinya. Hanya saja, ia tetap merasa kecewa. "Kalau kamu tidak bisa memercayaiku, tidak ada alasan untuk mempertahankan pernikahan ini." Akhirnya Arisha mau juga bicara. Kepercayaan terhadap pasangan merupakan salah satu pilar utama bagi kokohnya mahligai rumah tangga, selain kejujuran, saling menyayangi, dan menjaga komunikasi. "Arisha, aku belum memberitah
"James, kumpulkan karyawan yang sehat dan biasa mendonorkan darah! Silla butuh darah cepat." "Siap, Bro. Golongan darah apa?" "B negatif." "Kok bisa sama ya?" celetuk James dengan kening mengerut. "Apanya yang sama?" "Itu … golongan darah Silla. Kok sama dengan Arisha. Kebetulan yang aneh." Dareen termangu. Kenapa dia bisa lupa bahwa Arisha juga memiliki golongan darah B negatif. "Jangan ngaco! Walaupun golongan darah mereka sama, aku tidak mungkin meminta Arisha untuk mendonorkan darahnya. Dia bahkan masih dirawat." "Siapa yang butuh darah Arisha?" Dareen dan James menoleh kaget. "Tuan Bian," ucap keduanya serentak. "Ya. Aku sempat mendengar kalian menyebut nama Arisha." Bian menatap Dareen dan James bergantian. Akhirnya Dareen yang menjawab. "Putriku kritis dan butuh darah. Kebetulan golongan darahnya sama dengan Arisha." "Kalau begitu, izinkan aku membantu." "Tapi, Tuan … Anda belum lama mendonorkan darah pada Arisha." "Tidak masalah. Waktu itu cuma satu kantong. Lag
"Aku berhasil mendapatkan rekaman CCTV dari bangunan di seberang sekolah," lapor James seraya menyodorkan ponselnya pada Dareen, yang sedang sibuk di belakang meja kerjanya. "Lihat ini! Hanya saja, gambarnya tidak begitu jelas." Dareen mengambil ponsel dari tangan James. Matanya menyipit, memperhatikan setiap detail gerak yang terekam dalam potongan video tersebut. "Aku seperti mengenali postur tubuh wanita yang mendekati Silla," komentar James, terlihat berpikir. "Tapi, aku tidak yakin tebakanku benar." "Anggita!" seru Dareen, terlonjak tegak. Mukanya menegang. "Aku yakin wanita dalam rekaman ini adalah Anggita. Walaupun dia memakai seribu topeng, aku tidak akan pernah salah mengenalinya." "Ah, pantas saja aku merasa tidak asing. Eh, bukankah kalian sudah putus?" "Dia gila!" Dareen mengirimkan rekaman tersebut ke ponselnya, lalu mengembalikan gawai milik James. "Ayo, ikut aku!" "Rasanya, tidak mungkin Anggita membawa Silla ke apartemennya." James meneleng seraya menggeleng tak