"Daddy!" Silla berteriak memanggil Dareen sambil tertatih-tatih menuruni tangga.Mendugas Dareen menyongsong Silla, khawatir gadis kecil itu kehilangan keseimbangan dan jatuh."Silla, kenapa turun sendiri, Sayang? Kak Sha mana?" Dareen melempar pandang ke lantai atas, mencari sosok Arisha yang mungkin saja menyusul Silla."Nggak tahu. Dari tadi Silla manggil, tapi Kak Sha nggak nongol juga," keluh Silla dengan mata berkaca-kaca.Segera Dareen menggendong Silla. "Sudah ya … jangan nangis lagi! Kita cari Kak Sha sama-sama.""Ngapain kalian mencari wanita itu?" tanya Nyonya Hart. Nada suaranya yang terdengar ketus membuat kening Dareen berkerut."Apa maksud Oma bertanya seperti itu?" Perasaan Dareen mendadak tidak enak. Firasatnya membunyikan alarm bawah sadarnya bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi pada Arisha."Tidak ada maksud apa-apa," timpal Nyonya Hart, acuh tak acuh, kemudian melangkah ke ruang tengah.Wanita sepuh itu duduk di atas sofa dengan santai, tak peduli pada roman muka
"Ya, Allah … aku rida dengan segala takdirmu. Hanya saja, aku takut. Aku takut hatiku tak cukup lapang untuk menampung pahitnya asam garam kehidupan yang Engkau suguhkan untukku."Aku takut imanku tak cukup kuat untuk terus melangkah lurus di jalan-Mu. Aku hanyalah seorang hamba-Mu yang lemah, Ya Allah. Bagaimana kalau perisai prasangka baikku pada-Mu tak cukup tebal untuk melindungi keyakinanku pada–Mu?"Hidupku di dunia telah Engkau hiasi dengan derita, sungguh aku tak ingin lebih tersiksa pada kehidupan selanjutnya." Arisha menadahkan tangan dengan bersimbah air mata, mengadukan semua kegundahannya pada Sang Pemilik semesta. "Karena itu, aku mohon pada-Mu, Ya Allah … anugerahkanlah kepadaku bahu yang kuat untuk memikul semua beban hidup, yang Engkau berikan. Luaskanlah kesabaranku, melebihi luasnya samudera. Aku mohon, Ya Allah …."Arisha menutup rangkaian doanya dengan selawat. Setelah mencurahkan segala isi hatinya pada Sang Maha Pembolak-balik hati, ia merasa lega. Beban di pund
"Cih! Ada manusia bodoh yang sok jadi pahlawan kesiangan!" Si cungkring mendorong Arisha ke arah si plontos setelah mengode si jenggot tipis untuk menurunkan gadis itu. Arisha tersungkur, tapi dipaksa bangkit oleh sebuah tarikan kencang dari jemari kokoh si plontos. Lelaki itu menyeretnya masuk ke mobil. Dalam hitungan detik, decit ban yang bergesekan dengan permukaan jalan menjadi ucapan selamat tinggal untuk si cungkring dan si jenggot tipis. Keduanya tengah bertarung dengan lelaki asing yang berniat untuk menyelamatkan Arisha. Kedua anak buah si plontos tak bisa dianggap remeh, terutama si cungkring. Gerakannya sangat gesit dan lincah. Tubuhnya yang lebih ringan meloncat ke sana kemari, menghindari serangan lawan. Bugh! "Akh!" Tendangan bertenaga penuh mendarat di dada lelaki asing itu. Bibirnya spontan mengeluarkan rintih kesakitan saat ia terhuyung dan terjajar mundur. "Hahaha, kau bukan tandingan kami bocah ingusan! Menyerahlah dan enyah dari sini!" ledek si cungkring, t
"Bos! Berhenti, Bos!" pekik si jenggot tipis seraya melambaikan tangan ke arah jendela mobil di sisi sopir. Si plontos menoleh sekilas. Sayang cahaya yang remang-remang mengaburkan pandangannya. Telinganya pun tak dapat menangkap dengan jelas panggilan si jenggot tipis, lantaran kaca yang tertutup. Motor yang dikendarai si cungkring meliuk-liuk, mengimbangi kecepatan laju mobil si plontos. Beruntung si cungkring sangat mengenal seluk-beluk kota itu. Ia memilih melewati jalan tikus sehingga dapat dengan segera menyusul si plontos. Si jenggot tipis terus melambaikan tangan seraya berteriak memanggil si plontos. "Siapa sih? Mau cari gara-gara mereka?" gerutu si plontos. Namun, ketika cahaya lampu mobil dari arah depan menerangi dua orang yang berada di atas motor itu, si plontos refleks menginjak rem dengan kuat. Si cungkring berhenti di depan mobil Plontos, kemudian bergegas turun dari motor. Ia meninggalkan motor yang telah berjasa tersebut begitu saja di tepi jalan. Tangannya sig
Deg! Deg! Deg!Jantung Arisha berdetak riuh, menyamai tabuhan genderang perang.Keringat membanjiri punggungnya di tengah dinginnya cuaca dan embusan angin malam.Bagaimana kalau mereka menemukannya? Akankah dia mengucapkan selamat tinggal pada dunia setelah kehilangan mahkota paling berharga, yang selama ini ia jaga?Berbagai pikiran buruk berkecamuk dalam kepala Arisha.'Tidak! Aku tidak boleh berpikir yang buruk-buruk.' Arisha geleng-geleng kepala, mengusir bayangan buruk yang berkelebat di benaknya. Dia pun menegur diri, 'Ingat Arisha! Allah tergantung prasangka hamba-Nya.'Akhirnya Arisha memasrahkan jiwa pada Sang Pemilik semesta. Ia tetap diam sambil komat-kamit membaca Ayat Kursi.Entah berapa lama Arisha terpaksa merelakan darahnya menjadi santapan nyamuk-nyamuk nakal."Ba!" teriak si cungkring, menyibak serumpun tanaman perdu, yang hanya berjarak dua langkah dari tempat Arisha bersembunyi.Detak jantung Arisha makin menggila, seiring dengan rasa takut yang kian mendera. Bahk
"Mimpi! Kali ini kami nggak bakalan membiarkan kau lolos lagi. Kau akan merasakan akibatnya karena telah berani mempermainkan kami!" Si cungkring menyeret Arisha secara paksa menuju mobil."Tolong, tolooong!""Diam!" bentak si cungkring seraya menyumpal mulut Arisha dengan sehelai sapu tangan lusuh.Bau apak dari keringat yang mulai mengering membuat Arisha mual. Ia berusaha memuntahkan sumpalan sapu tangan itu dari mulutnya, tapi tak bisa. Gulungannya terlalu besar dan memenuhi semua rongga mulutnya.'Ya, Allah! Aku percaya Engkau Maha Segalanya. Tolong, selamatkan aku dari tangan-tangan kejam ini!' rintih Arisha dalam tangis yang terpendam.Sungguh ia tak ingin berputus asa dari rahmat Allah. Ia yakin, Allah tak pernah mengingkari ayat suci-Nya, bahwa di balik kesulitan, ada kemudahan.Tugasnya hanya memanggil kemudahan itu dengan menggunakan senjata doa. Selebihnya, cukup menunggu Allah bertindak dengan caranya."Bagus! Akhirnya kelinci nakal ini berhasil juga ditangkap," kata si p
Deg! Deg! Deg! Detak jantung Arisha bertalu-talu. Ia memundurkan kepalanya tatkala wajah si plontos perlahan mulai turun, mendekati muka pucatnya. "Cantik! Di bawah cahaya remang-remang begini, kau terlihat sangat menggoda. Ayo bersenang-senang, Sayang!" Si plontos menjilat bibirnya. Dugh! "Akh!" Sebuah kayu menghantam tengkuk si plontos dan membuat lelaki itu merintih, kemudian jatuh tersungkur, tepat di samping Arisha. Arisha bergegas bangkit setelah membuang sumpalan di mulutnya. Beberapa kali ia memuntahkan ludah kosong. Aroma bau apaknya keringat si cungkring yang menempel pada sapu tangan itu benar-benar membuat Arisha jijik. "Terima kasih," ujar Arisha, menyadari seseorang baru saja menyelamatkan dirinya. "Masih terlalu cepat untuk berterima kasih, Nona. Ayo cepat pergi sebelum dia sadar!" Lelaki penyelamat itu berbalik, tapi Arisha tak jua kunjung melangkah. Tak mendengar derap langkah menyusulnya, lelaki itu balik badan. Seketika ia menyadari alasan Arisha tak jua mu
"Kenapa diam? Cepat antarkan aku menemuinya!" Lelaki yang bertanya itu meninggikan suara, kesal lantaran si cungkring dan Jenggot Tipis hanya menanggapi perkataannya dengan aksi saling beradu pandang."Heh, kalian tuli?""A–anu, Big Boss … d–dia—" Si jenggot tipis tergagap. Biasanya si cungkring yang jadi juru bicara, tapi kali ini lelaki itu diam saja.Si jenggot tipis menyikut lengan Cungkring, lalu berbisik, "Kamu aja yang ngomong.""Kalian ini benar-benar ya! Aku beri juga nih!" gertak lelaki yang dipanggil Big Boss itu.Si cungkring dan Jenggot Tipis bingung bagaimana harus menjelaskan kejadian yang sebenarnya pada lelaki itu. Alhasil, mereka tetap setia pada bisu."Baik, biar aku yang cari sendiri! Jika kerja kalian tidak beres, terima risikonya!"Selesai mengultimatum, lelaki itu bergegas menyusuri jalan setapak, yang mengarah pada sebuah rumah kosong."Apa-apaan ini?!" Lelaki itu berteriak marah, melihat sosok si plontos tengkurap di atas tanah tanpa bergerak sama sekali. Ia p