Jasmine menghela napasnya sesudah puas menatap Andrea yang berdiri di hadapannya selama beberapa menit. Dirinya sibuk berperang dengan otakanya— memikirkan apa yang harus dia lakukan kepada Andrea sebagai bentuk hukuman.
“Andrea, ini sudah kesekian kalinya kau tidak mengerjakan tugas rumahmu.” Jasmine menjelaskan pokok masalah mereka. Kelas itu hanya dihuni oleh mereka berdua. Sedangkan murid-murid lain bermain bersama di lapangan sebagai bentuk istirahat. “Sekarang aku ingin mengetahui alasannya. Kau tidak bisa hanya diam seperti yang dulu-dulu .... Apa tugas ini terlalu sulit?”
Sudah berminggu-minggu Jasmine mengajar di kelas ini. Menghadapi banyak murid-murid dengan tingkah usil yang beragam. Tapi untuk Andrea. Jasmine selalu geleng-geleng kepala— mencoba untuk bersabar dan berharap kalau Andrea berubah walau kenyataannya tidak. Jasmine kira dengan Andrea yang tidak diberi hukuman, bocah itu akan segera berubah.
Andrea mendongak. Menatap Jasmine yang sedang duduk di kursi guru dengan meja sebagai pembatas mereka. “Apa kau ingin mendengar jawabannya?”
Jasmine masih belum terbiasa dengan gaya bicara Andrea. Sudah diingatkan beberapa kali, tetapi dia tetap tidak berubah. “Maksudmu?” tanya Jasmine, mencoba untuk melupakan gaya bicara Andrea.
“Karena aku bosan!” Andrea menjawab dengan tegas. Dan jika seperti ini, Jasmine seperti melihat orang berbeda dari Andrea— seperti daddynya. Siapa yang tidak tahu Emir Zufran? Seorang pria yang selalu muncul di berita. Tapi bagi Jasmine, dia malah muak karena harus melihat wajah Emir di berita. Tak jarang Jasmine melangkahi berita jika sudah menampilkan wajah Emir. Oh, ayolah, itu sangat tidak penting. Dimana berita hanya mengeluarkan deretan kekayaan milik Emir Zufran. Mungkin bagi beberapa orang akan merasa iri, tetapi bagi Jasmine tidak sama sekali.
“Kau selalu memberikan tugas yang sudah diajarkan di sekolah. Aku tidak ingin mengerjakannya karena aku sudah paham! Kenapa guru-guru disini suka sekali memberikan tugas yang diulang-ulang? Apa kalian tidak ada materi yang lain? Lalu untuk apa aku sekolah? Lebih baik aku belajar dengan Deniz. Dia selalu memberikan materi yang bagus dan menarik ... tentang komputer! Itu lebih seru!”
Jasmine menelan salivanya bersamaan dengan menelan semua alasan Andrea walau masih dalam kondisi syok. Ini sangat jarang ditemukan! Dimana umumnya mereka tidak melakukan tugas dikarenakan tidak mampu mengerjakannya, Andrea malah merasa bosan karena terlalu mampu mengerjakan tugas.
“Andrea ... alasanmu tidak bisa dibenarkan. Jika aku memberikan tugas, maka kau harus mengerjakannya. Dengan begitu kau lebih memahami materi.”
“Aku sudah memberikan alasanku. Terserah jika kau ingin menerimanya atau tidak,” jawab Andrea acuh sambil mengedikkan kedua bahunya. “Apa sudah selesai? Aku sudah bosan berdiri. Aku ingin segera duduk.”
Jasmine menggeleng. “Ini belum jadwal masuk. Kau bisa keluar dan bermain dengan temanmu.”
Bocah itu memutar manik abu-abunya dengan malas. Oh ayolah ... haruskan Andrea menjelaskan alasanya kepada setiap guru yang mengajar di kelas ini? Terkadang Andrea berpikir, kenapa semua orang ingin sekali mengetahui masalah orang lain. Apa mereka tidak punya pekerjaan lain?
“Aku tidak punya teman!” Andrea menjawab malas tetapi masih terdengar tegas. “Jangan kasihan! Aku tidak membutuhkannya. Dan aku tidak peduli aku tidak punya teman. Mereka itu ribut! Aku tidak menyukainya. Aku lebih suka ketenangan .... Tunggu, apa kau mencoba untuk membuatku bergaul dengan mereka? Kalau iya, maka buang jauh-jauh, Miss Jasmine. Aku tidak akan melakukannya!”
Andrea terlalu pintar berbicara, sampai-sampai Jasmine tidak bisa menyainginya. Bocah itu pintar. Jasmine mengakuinya. Tidak hanya pintar bicara, tetapi dia juga pintar dalam kelas. Dia selalu memberikan jawaban dengan kalimat baru yang bahkan Jasmine tidak pernah jelaskan.
“Tunggu!” Sebelum Andrea berbalik badan, suara Jasmine terdengar terlebih dahulu. Alis bocah itu terangkat satu disaat disodorkan sebuah amplop berwarna putih.
“Apa ini? Tugas? Aku tidak ingin mengerjakannya—”
“Bukan!” Jasmine memotong dengan senyum lebarnya. “Ini surat. Kau harus memberikannya kepada mommy-mu. Kami akan bicara mengenai dirimu. Paham?”
“Aku tidak punya mommy.” Andrea mengambil sambil menjawab. “Jangan tunjukkan kesedihan! Aku tidak ingin dikasihani!”
“Tapi kau menyimpan luka yang sangat dalam.” Jasmine berbicara di dalam hati. Bocah dengan tubuh berisi itu masih bisa menyimpannya rapat-rapat. Ingin sekali Jasmine mengajak Andrea untuk berbicara. Tetapi dirinya masih sangat ragu.
“Tapi, apa kau yakin?” Andrea bertanya sembari mengangkat amplop itu. “Kau ingin memanggil seorang Emir Zufran ke sekolah ini?”
Jasmine mengangguk antusias. “Tentu!”
“Kuharap kau tidak menyesal,” tutur Andrea yang lalu berbalik badan sebelum berjalan ke tempat duduknya.
***
“Ada apa denganmu?” tanya Emir disaat bisa melihat ada yang tidak beres dari Deniz. Wajah Deniz terlihat sangat gugup. Hal itu berhasil menarik perhatian Emir.
Deniz menundukkan wajah karena tatapan tajam yang Emir berikan. Pria itu sangat mendominasi dengan segala apa yang dia miliki dan sukses membuat Deniz takut. Tapi kemudian dia memberanikan diri untuk menatap ke manik Emir. “T—tuan—”
Buk!
Emir memukul meja sambil berdiri karena ikut kesal dengan Deniz yang mendadak gagap. “Jangan membuatku marah, Deniz!” Suara Emir sudah meninggi. Perasaannya mengatakan ada yang tidak beres, maka dari itu emosi Emir mendadak kambuh.
Suara Deniz terdengar disaat Emir memakai jasnya untuk bersiap pergi ke company. “Terjadi kecelakaan di proyek yang menewaskan dua orang, Tuan Emir. Sedangkan yang lainnya langsung dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan.” Kalimat Deniz sukses memberhentikan kegiatan Emir. Dia menatap Deniz. Berusaha mencari tahu apakah yang dikatakan Deniz adalah kebenaran ... dan BUK!
Satu pukulan dari tangan Emir sukses mendarat di pipi kanan Deniz. Pria itu terlihat sangat menyeramkan sekarang. Matanya mengkilat emosi dengan rahang yang menunjukkan tulang-tulang pipinya.
“Kenapa kau baru mengataannya?!” Emir berteriak kencang sesudah mendaratkan pukulan itu di wajah Deniz. Tanpa menunggu respons dari Deniz, pria itu langsung berlari ke luar. Bahkan dia mengabaikan Andrea yang sudah ada di depan pintu dengan amplop putih yang ada di tangannya.
Andrea mengedikkan bahunya acuh sebelum berjalan ke arah ruangan Emir. Matanya terfokus kepada Deniz yang sedang meringis kesakitan. Dia menghela napasnya panjang setelah sampai di hadapan Deniz.
“Satu pukulan dan itu terlihat sangat bagus di pipimu!” kekeh Andrea. Walaupun dalam keadaan yang genting sekalipun, Deniz tetap ikut tertawa. Setidaknya pukulan itu berhasil membuat kantuk yang diderita Deniz pergi entah kemana. “Kesalahan apa yang kau lakukan, huh?”
Suara Andrea terdengar lagi sebelum Deniz menjawab. “Ah, tidak perlu menjawab karena aku tidak peduli,” lanjut Andrea sambil memasukkan amplop itu ke saku celananya. Jika sudah menyangkut Emir, bocah itu malas mencari tahu. “Pergilah ke rumah sakit, Deniz. Kau dibebaskan dari tugas untuk hari ini.”
Deniz meringis karena mendapatkan tatapan tajam dari Andrea dikarenakan dirinya yang mengacak rambut Andrea. Bocah itu tidak suka disentuh tanpa seizinnya. “Tidak bisa, Tuan Andrea. Ayo, Ozan sudah menunggumu, dan aku harus menyusul daddy-mu.”
Seperti biasa, Andrea pergi terlebih dahulu dari sana. Masih dengan sikapnya yang tidak peduli ... setidaknya dia sudah berbaik hati untuk mengizinkan Deniz libur. Tetapi pria itu malah menolak, apa boleh buat?
“Andrea, kemana daddy-mu? Apa kau tidak memberikan surat itu kepadanya?” Jasmine bertanya disaat hanya Andrea seorang yang masuk ke dalam ruangannya.
“Kenapa kau terlihat sangat semangat?” tanya Andrea, tak lupa menelusuk wajah Jasmine lebih dalam, berusaha mencari jawaban. “Aku jadi bingung ... kau ingin membicarakanku atau kau ingin melihat Emir Zufran seperti kebanyakan orang lain? Ah ... aku sudah dapat jawabannya. Kau sama saja seperti orang lain, Miss Jasmine.”
Jasmine terbelalak. Bahkan dirinya saja belum menjawab dan bocah di hadapannya sudah menjawab seolah tahu apa yang di dalam diri Jasmine. “Kau salah, Andrea ... aku semangat karena aku akan membicarakan masalah tugas dengan daddy-mu. Tidak mungkin bukan aku menunjukkan wajah kantuk di depan orang tua siswa?!”
“Benar juga,” kata Andrea yang malah ikut menganggukkan kepala. Dia menarik kursi, duduk di seberang Jasmine lalu menyerahkan amplop yang sudah tertekuk sempurna dari kantongnya. “Aku gagal memberikannya. Dia pergi lebih cepat dari biasanya. Dan itu bukan salahku. Jadi jangan menyalahkanku, Miss Jasmine.”
Jasmine menghela napasnya panjang setelah mengambil amplop tersebut. “Kenapa tidak semalam?”
Andrea yang sudah menenggelamkan wajahnya di meja sambil menatap Jasmine terpaksa harus menegakkan kembali tubuhnya. “Dia tidak pulang kemarin malam. Emir Zufran itu pria yang sok sibuk, Miss Jasmine. Apa aku harus menunggunya sampai dia pulang? Tidak, bukan?”
“Andrea,” panggil Jasmine. Dia memasang raut wajah yang serius. “Kenapa kau tidak pernah memanggilnya dengan sebutan daddy?” Jasmine tidak bisa tinggal diam jika sudah seperti ini. Dia harus membicarakan masalah ini. Jasmine seorang guru, dia sudah menganggap Andrea sebagai anaknya sendiri dan Jasmine tidak akan tinggal diam jika ada yang salah.
Andrea mengamati Jasmine selama beberapa saat sembari berperang dengan pikirannya, bingung apakah dia membocorkanya atau tidak. “Aku tidak pernah menganggapnya sebagai seorang ayah.” Jasmine terdiam. “Apakah seorang ayah membentak anaknya sendiri? Tidak. Tapi dia melakukannya kepadaku. Dia bahkan tidak pernah memberikan waktunya kepadaku. Dia hanya sibuk dengan pekerjaannya. Itu saja! Dan kau tahu apa sebutannya untukku? Anak pembangkang, bocah nakal, ana—”
“Cukup,” potong Jasmine sambil mengambil tangan Andrea. Jasmine tidak kuasa mendengar lagi. Apalagi disaat melihat raut Andrea yang berbeda dari biasanya. Itu membuat Jasmine sakit sendirinya. “Kalau begitu, aku harus berbicara dengan daddy-mu. Tentang semuanya dan kau tidak boleh melarang.”
“Ya, siapa aku yang bisa melarangmu?” sahut Andrea. “Tapi jangan suruh aku memberikannya kepada dia. Kau harus memberikannya surat itu.”
“Maksudmu?” tanya Jasmine kaget. “Bagaimana bisa aku memberikannya sendiri?”
“Kalau begitu, kau bisa datang ke mansion bersamaku. Nanti kau akan bertemu dengan Emir Zufran,” jawab Andrea enteng. Dia mengangguk semangat. “Kau juga bisa melihat bagaimana bagusnya komputerku! Aku juga membuat sebuah program! Dan kau orang pertama yang harus melihatnya!”
“Bagaimana bisa,” gumam Jasmine. Mendadak ragu menyelimuti dirinya.
Jasmine menyesal karena mengiyakan ajakan Andrea. Mereka sekarang sudah berada di depan mansion. Mendadak dirinya bingung. Apa yang harus Jasmine lakukan? Apa dia langsung memberikan surat itu? Apa dia langsung berbicara? Atau bagaimana? Bahkan dirinya tidak lagi fokus dengan bangunan mewah yang pertama kali dirinya lihat langsung. Semuanya tergantikan dengan pertanyaan itu. “Miss Jasmine, kau bisa masuk. Fazilet akan mengantarkanmu.” Fazilet yang memang tugasnya menyambut Andrea mengangguk bingung. Ingin sekali dia membawa Ozan pergi dari sini untuk mengeluarkan segala macam pertanyaannya. Tetapi melihat pria itu yang dari tadi membuang wajah, membuat Fazilet tidak bisa melakukan apapun selain menuruti Andrea. Setelah kepergian mereka, Andrea kembali memfokuskan dirin
“Silakan masuk, Nyonya Jasmine.” Deniz mengangguk kecil setelah membukakan pintu kamar yang akan ditempati Jasmine setelah resmi menyandang gelar sebagai istri Emir. Benar, pernikahan mereka terjadi dengan paksaan. Jasmine terpaksa harus menerima tawaran yang diberikan oleh Emir. Pasalnya pria kejam itu memberitahu kalau Teresa mengidap penyakit jantung yang kapanpun bisa kambuh, apalagi jika mengetahui kabar kalau mereka tak memiliki hubungan apapun. Pernikahan tersebut terjadi di mansion ini. Mansion dengan luas bangunan yang luas sanggup memuat ratusan banyak orang penting dari keluarga dan teman bisnis Emir. Teresa menyiapkannya dengan sempurna sehingga tidak menimbulkan curiga di kepala para tamu Jasmine melirik Deniz dengan tatapan tak suk
Jasmine menelan salivanya dalam. Berusaha melenyapkan rasa takut yang mendadak mulai menggerogoti tubuhnya saat sudah berada di depan kamarnya. Akhirnya Jasmine memutuskan untuk memutar knop pintu yang sudah lama ia pegang dari tadi. Pintu kamar itu pun terbuka lebar untuk Jasmine. Manik amber Jasmine langsung bertabrakan dengan tubuh Emir yang membelakanginya sesudah Jasmine masuk ke dalam. Kemeja lengan panjang itu membalut tubuh Emir dengan sedemikian rupa tanpa menghilangkan pesonanya. “Kau membuatku menunggu.” Suara itu masuk, menendang kuat telinga Jasmine yang berhasil membuat dirinya semakin takut. Pria itu berbalik badan. Menatap Jasmine dengan tatapan tajam seperti biasanya. “Berani sekali kau membuatku menunggu,” tuturnya yang lalu menjatuhkan bokongnya di sofa dengan tangan yang diletakkan di bahu sofa.&nb
Apa Author bisa minta untuk tulis review kalian tentang cerita ini? Hehehe ... thank you!"Astaga, Sayang!" Teresa memekik kaget saat melihat bagaimana wujud dari Jasmine.Dia memegang kedua bahu Jasmine yang masih bingung lalu memutar-mutar nya. Jasmine hanya menurut saja. Dia masih mencerna mengapa Teresa memekik kaget seperti itu."Pakaian apa ini, huh?" tanya Teresa sambil menggeleng tidak percaya. "Jasmine, dengarkan Mommy baik-baik. Kau sudah menjadi istri Emir Zufran. Dan sudah sepantasnya kau memperhatikan pakaian apa yang kau gunakan."Jasmine menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Dia melihat ke bawah, meneliti pakaian yang Jasmine pakai. Kaus longgar dan celana jeans, lalu apa salahnya?
Jasmine setidaknya bisa bernapas lega kali ini. Pasalnya sehabis mereka turun dari mobil, sudah ada Deniz yang berada di depan, menyambut mereka.“Oh, Deniz, ada apa? Apa kau mengambil dokumen yang tertinggal?” Teresa mengeluarkan pertanyaannya sesudah mendekat.Deniz menggeleng. “Tidak, Nyonya. Saya mendengar kabar dari Nyonya Jasmine kalau Nyonya hari ini mulai tinggal di mansion … jadi saya sudah menyiapkan segalanya, termasuk juga dengan kamar yang biasa Nyonya gunakan.””Benarkah? Padahal Mommy tidak melihat Jasmine menghubungimu tadi,” sahut Teresa sambil melirik Jasmine.“I—iya, Mom. Tadi aku mengirimkan pesan di jalan,” jelas Jasm
Mata Emir memicing tidak suka. Rahangnya mengeras keras. Dia berdiri. Berjalan dengan langkah tegasnya mendekati Jasmine yang juga berjalan mundur ke belakang karena takut."Apa yang kau lakukan disini?" Emir bertanya dengan suaranya yang meninggi sesudah jarak mereka hanya dua langkah.Jasmine menelan salivanya dalam. Dia berusaha mengumpulkan keberaniannya yang sudah hancur berkeping-keping. "A—aku—""Kau keluar dari kamar mandi milikku?!" Kalimat Jasmine menggantung karena Emir. Emir menggeleng tak percaya. Suasana juga semakin mencekam. "KELUAR!"Jasmine terperanjat kaget. Dia menggeleng. "Aku tinggal disini mulai sekarang!" Dan dengan secepat kilat, Jasmine mengeluarkan jawabannya. Dia m
Emir terdiam mendengar penjelasan Jasmine … mereka membuat donat itu bersama-sama. Jujur saja, donat tersebut menggugah selera Emir. Tetapi tidak mungkin baginya untuk makan di depan Jasmine langsung … itu sama saja membuat harga dirinya tercoreng. “A—apa kau tidak menyukainya?” Jasmine bertanya dengan hati-hati. “Donat tersebut sangat sehat. Bahannya juga baru dan berkualitas. Aku jamin kau akan sangat menyukainya.” Emir malah menunjuk ke arah pintu dengan dagunya. “Keluar.” Mata Jasmine membola. Apa katanya? Keluar? Sungguh, Jasmine sangat dipermalukan sekarang! Bukannya mengucap terima kasih atau membalas pertanyaan nya, pria itu malah menyuruhnya untuk keluar.
Kilatan-kilatan cahaya kamera mengenai wajah seorang wanita berambut blonde yang sedang berpose di depan kamera. Banyak sekali gaya yang digunakan, dan fotografer itu dengan sigap menangkap semua gaya tersebut.“Oke! Kerja yang bagus, Madison! Kita istirahat sebentar sebelum lanjut sesi berikutnya!”Madison Thema adalah nama wanita yang berprofesi sebagai model terkenal itu. Tubuhnya yang seksi dengan kaki jenjangnya, membuat dirinya banyak dilirik oleh brand ternama untuk dijadikan wajah dari brand mereka. Tak hanya itu saja, pengikutnya yang banyak juga menambah nilai lebih.“Apa kau sudah mendapatkannya?” Madison bertanya kepada seorang wanita berambut pendek yang tak lain adalah manajer pribadinya yang selalu mengikutinya kemanapun Mad
Napas Jasmine tertahan karena merasakan tangan Emir sudah melingkar di pinggangnya yang ramping. “Ayo,” ajak Emir. Mereka berjalan melewati karpet merah dengan kilatan-katan kamera yang terus saja bersahutan. Para awak media seperti mendapatkan mangsa yang sangat bagus untuk diterbitkan di halaman pertama.Pemikiran tentang makan malam sederhana langsung Emir tepis karena melihat banyaknya para media yang memenuhi depan hotel layaknya sekumpulan semut. Kalau saja Emir berjalan sendiri, maka sudah pasti kabar miring akan tersebar begitu lancarnya. Syukur saja Emir menuruti saran Deniz yang mengajak Jasmine.“Kenapa dia ada disini?” gumam Emir, melihat Tufan yang sudah duduk di bangku yang berhadapan dengan meja persegi panjang yang amat sangat besar. Rahangnya mengeras emosi. Ternyata Perusahaan Tex
Tidak hanya para orang tua murid, guru-guru juga sampai tidak fokus karena pemandandangan yang tersuguh. Para kaum wanita itu berteriak dalam hati, memuji bagaimana tampannya Emir yang bersandar di pintu mobil dengan tangan yang bersedekap. Tak lupa dengan kacamata yang menjepit hidungnya yang tinggi.Andrea, bocah itu menautkan kedua alisnya bingung sembari berjalan mendekati Emir. Ada apa gerangan pria itu kemari? Dan kemana Ozan yang seharusnya menjemput dirinya?“Apa mereka menahanmu di dalam?” Setelah Andrea sampai di depan Emir, pria tampan itu segera mengeluarkan pertanyaanya. Dia menghela napas, lalu memutuskan untuk berjongkok—menyamakan tinggi mereka.Andrea menggeleng. “Tidak, Dad. Tadi ada tugas tambahan.” Andrea menjawab
“Ambilkan ayamnya untukku.”Jasmine yang sedang memberikan lauk ke piring Andrea pun berhenti. Dalam kondisi bingung, Jasmine memilih mengangguk. Mengambilkan apa yang Emir minta setelah selesai dengan piring Andrea— mereka makan siang bersama di mansion.“Mulai sekarang aku juga ingin dilayani seperti kau melayani Andrea,” jelas Emir sesudah piring-nya terisi makanan.Alis Jasmine naik. Dirinya semakin bingung dengan tingkah Emir, namun Jasmine menganggukkan lagi kepalanya. Itu adalah perintah yang tidak sulit.Setelah acara makan siang selesai, Emir langsung bergegas pergi ke kantor untuk bekerja. Karena paksaan Jasmine di telepon tadi, akhirnya Emir memilih ma
Emir memutuskan untuk membahas semua persoalan yang terjadi belakangan ini bersama Jasmine setelah mendiami wanita itu selama beberapa hari.Sehabis kejadian malam penyatuan itu dimana Emir yang mabuk dan tak sadarkan diri, pria itu berubah seketika. Dia menjadi sangat dingin, bahkan enggan menatap Jasmine yang membuat Jasmine bertanya-tanya. Tak jarang perasaan bersalah pun menyelimuti Jasmine karena berpikir dirinya lah yang tidak bisa menjauh setelah ciuman panas yang Emir berikan.Karena tidak tahu mau memulai dari mana, akhirnya Emir membawa dasi kepada Jasmine yang sedang terduduk di depan meja rias. “Pasangkan.”Jasmine yang dapat melihat Emir dari pantulan kaca sontak terkejut. Dia berdiri, berbalik, lalu langsung dihadapkan dengan dasi Emir.
“Jawab pertanyaan Daddy, Madison!” hardik Tufan tajam. Madison terperanjat. Dia menggeleng pelan, merasa tidak yakin. “D—dad ….” Madison menunduk dalam. “Aku bersepakat akan pergi dari kehidupan Emir dan Andrea asalkan Emir memberiku uang tiap bulan.” “Apa yang kau lakukan, Madison?!” Bentakan itu keluar dengan mulusnya. Napas Tufan terengah-engah saking kagetnya. “Hanya demi uang kau tega menjual anakmu! Ibu macam apa dirimu?” “Dad, dengarkan Madison dulu,” pinta Madison sembari memegang tangan Tufan. “Tidak ada lagi yang harus Daddy dengar!” tegas Tufan dengan nada penuh yakin. “Selesaikan kesepakatan kalian dengan mandiri, baru setelah itu kau bisa datang ke Daddy! Ingat, Madison, kalau
Ayo dong kasih review nya hehehe“Apa yang kau lakukan disini?” Bariton Emir terdengar amat mengerikan sesudah mereka sampai di tangga darurat. Tidak ada siapapun disana selain mereka. Cekalan itu pun juga membuat Jasmine meringis kesakitan. Emir marah, mengetahui kalau Jasmine bekerja tanpa seizin darinya.“A—aku butuh pekerjaan,” Walau dalam kondisi penuh ketakutan, Jasmine tetap mengeluarkan jawabannya. Dia menatap manik abu Emir. “Keluargaku hidup dengan uangku! Aku harus memberi mereka uang setiap bulan—““Apa uangku tidak cukup?” Emir memotong dengan rahang yang mengetat. “Aku sudah memberimu banyak uang! Kau hanya perlu duduk diam di rumah! Tapi apa yang kau lakukan? Kau malah membuatku malu! Apa kata orang kalau menyadari dirimu
Madison tersenyum lebar sembari mendekap tubuh Andrea. Tak terasa, matanya berkaca-kaca. Andrea, balita yang ia tinggalkan sebelum berhasil memanggilnya mommy itu sudah sebesar sekarang. Tubuhnya berisi, menunjukkan kalau Andrea sangat sehat. Dan wajah itu sangat mirip dengan Emir terlebih warna mata— abu-abu “Kau sangat tampan,” kata Madison sambil menangkup wajah Andrea. Andrea menatap Jasmine, lalu kembali ke Madison. Jasmine tahu kalau Andrea masih belum merasa nyaman. “Memang,” sahut Andrea. “Aku sangat tampan, Mommy sering mengakuinya langsung,” lanjutnya sambil menatap Jasmine. Madison menarik bibirnya, sedikit paksa. “Ayo, kau ingin makan? Mommy akan memesankan untukmu.” Madison berusaha memutuskan tatapan mereka.
Emir berdehem. “Aku … mandi,” katanya yang lalu berlalu pergi masuk ke dalam kamar mandi. Di dalam, dia merutuki dirinya yang mendadak canggung.Sedangkan Jasmine, wanita itu menghela napasnya panjang. Dia merapatkan selimut tersebut ke tubuhnya. Perasaan kecewa tentu saja ada. Melihat Emir yang mendadak dingin, jauh berbeda dengan kegiatan semalam, tentu membuat Jasmine bertanya-tanya.“Apa dia mabuk semalam?” tanya Jasmine dengan perasaan yang mendadak menciut. Tak mau berlama-lama dengan kondisi tubuh seperti itu, akhirnya Jasmine berjalan tertatih ke walk-in closet. Perih sekali rasanya di bawah sana, Emir menghujam tanpa penuh ampun kemarin malam.Sesudah mengguyur tubuhnya dengan air dingin, Emir memutuskan untuk keluar
Klub yang penuh dengan dentuman masuk, orang melompat-lompat, dan bau minuman— nyatanya tidak satupun pikiran Emir terbukti. Ternyata pertemuan itu diadakan di sebuah ruangan tertutup, dimana tadi mereka melewati ruangan yang benar-benar disebut klub, baru sampai di ruangan yang sudah dipesan Perusahaan Texas. Ruangan tersebut gelap, hanya ada lampu di atas sebagai penerang, dingin, dan juga kedap suara baik dari luar maupun dalam.Emir berdehem, meminta izin untuk ke kamar mandi disela-sela makan mereka sebagai penjeda dari bisnis yang sedang mereka bicarakan. Mendadak Emir ingin buang air kecil, suhu ruangan ini sangat dingin.Ketika cuaca sedang dingin, ginjal menyaring lebih banyak darah dari biasanya karena ada lebih banyak darah yang dipompa ke seluruh tubuh. Itu sebabnya ginjal akhirnya menghasilkan lebih ban