“Ambilkan ayamnya untukku.”
Jasmine yang sedang memberikan lauk ke piring Andrea pun berhenti. Dalam kondisi bingung, Jasmine memilih mengangguk. Mengambilkan apa yang Emir minta setelah selesai dengan piring Andrea— mereka makan siang bersama di mansion.
“Mulai sekarang aku juga ingin dilayani seperti kau melayani Andrea,” jelas Emir sesudah piring-nya terisi makanan.
Alis Jasmine naik. Dirinya semakin bingung dengan tingkah Emir, namun Jasmine menganggukkan lagi kepalanya. Itu adalah perintah yang tidak sulit.
Setelah acara makan siang selesai, Emir langsung bergegas pergi ke kantor untuk bekerja. Karena paksaan Jasmine di telepon tadi, akhirnya Emir memilih ma
Tidak hanya para orang tua murid, guru-guru juga sampai tidak fokus karena pemandandangan yang tersuguh. Para kaum wanita itu berteriak dalam hati, memuji bagaimana tampannya Emir yang bersandar di pintu mobil dengan tangan yang bersedekap. Tak lupa dengan kacamata yang menjepit hidungnya yang tinggi.Andrea, bocah itu menautkan kedua alisnya bingung sembari berjalan mendekati Emir. Ada apa gerangan pria itu kemari? Dan kemana Ozan yang seharusnya menjemput dirinya?“Apa mereka menahanmu di dalam?” Setelah Andrea sampai di depan Emir, pria tampan itu segera mengeluarkan pertanyaanya. Dia menghela napas, lalu memutuskan untuk berjongkok—menyamakan tinggi mereka.Andrea menggeleng. “Tidak, Dad. Tadi ada tugas tambahan.” Andrea menjawab
Napas Jasmine tertahan karena merasakan tangan Emir sudah melingkar di pinggangnya yang ramping. “Ayo,” ajak Emir. Mereka berjalan melewati karpet merah dengan kilatan-katan kamera yang terus saja bersahutan. Para awak media seperti mendapatkan mangsa yang sangat bagus untuk diterbitkan di halaman pertama.Pemikiran tentang makan malam sederhana langsung Emir tepis karena melihat banyaknya para media yang memenuhi depan hotel layaknya sekumpulan semut. Kalau saja Emir berjalan sendiri, maka sudah pasti kabar miring akan tersebar begitu lancarnya. Syukur saja Emir menuruti saran Deniz yang mengajak Jasmine.“Kenapa dia ada disini?” gumam Emir, melihat Tufan yang sudah duduk di bangku yang berhadapan dengan meja persegi panjang yang amat sangat besar. Rahangnya mengeras emosi. Ternyata Perusahaan Tex
Ig: @arkeiinnSeorang bocah laki-laki berumur 4 tahun berjalan dengan langkah pelan. Bukannya dia masih baru berjalan, tapi bocah itu memang sengaja. Apalagi di depannya sudah ada seorang pria bertubuh besar sedang melayangkan tatapan tajam ke arah dirinya. Bocah itu tidak takut, tetapi malas berhadapan dengan pria itu karena ujung-ujungnya pria itu akan marah.”Jika kau terlambat bangun lagi, aku akan meninggalkanmu!”Beginilah terus setiap hari. Pasti ada saja keributan di mansion mewah ini. Dan yang menjadi pelakunya adalah daddy dan anak laki-laki-nya. Dua manusia berbeda generasi tapi terlihat seperti kembar identik itu saling menatap satu sama lain. Berusaha mengeluarkan tatapan paling menusuk yang mereka miliki.“Tinggalkan saja! Aku bisa pergi dengan Ozan!” sahut bocah laki-laki itu. Walaupun masih tergolong balita, dia sudah punya nyali untuk mengeluarkan amarahnya, bahkan di depan ayahnya sendiri.“Andrea,”
“Andrea Zufran!”Ini adalah ketiga kalinya sang guru memanggil. Tapi sayang, murid yang bernama Andrea tidak menyahut. Yang membuat sang guru akhirnya mengedarkan pandangan ke murid-murid yang juga balik menatapnya.“Dimana Andrea? Kalian melihatnya?” tanya guru itu lagi kepada mereka. Bisa disimpulkan kalau murid-murid yang berada di kelas ini sudah bisa berbicara dan membaca, maka dari itu sang guru bertanya kepada mereka.“Aku tidak tahu, Miss Jas,” jawab seorang perempuan yang duduk di bangku depan.“Kapan kita akan memulainya, Miss?” Lagi, seorang murid laki-laki menyahut. “Jangan cari Andrea. Biar saja dia pergi. Kami tidak membutuhkannya!”Dan betapa terkejutnya guru itu ketika melihat murid-muridnya mengangguk kompak. Sesaat dia ingin menyahut, suara ketukan dari pintu membuat kalimat guru itu berhenti.&n
Jasmine menghela napasnya sesudah puas menatap Andrea yang berdiri di hadapannya selama beberapa menit. Dirinya sibuk berperang dengan otakanya— memikirkan apa yang harus dia lakukan kepada Andrea sebagai bentuk hukuman.“Andrea, ini sudah kesekian kalinya kau tidak mengerjakan tugas rumahmu.” Jasmine menjelaskan pokok masalah mereka. Kelas itu hanya dihuni oleh mereka berdua. Sedangkan murid-murid lain bermain bersama di lapangan sebagai bentuk istirahat. “Sekarang aku ingin mengetahui alasannya. Kau tidak bisa hanya diam seperti yang dulu-dulu .... Apa tugas ini terlalu sulit?”Sudah berminggu-minggu Jasmine mengajar di kelas ini. Menghadapi banyak murid-murid dengan tingkah usil yang beragam. Tapi untuk Andrea. Jasmine selalu geleng-geleng kepala— mencoba untuk bersabar dan berharap kalau Andrea berubah walau kenyataannya tidak. Jasmine kira dengan Andrea yang tidak diberi hukuman, bocah itu akan segera
Jasmine menyesal karena mengiyakan ajakan Andrea. Mereka sekarang sudah berada di depan mansion. Mendadak dirinya bingung. Apa yang harus Jasmine lakukan? Apa dia langsung memberikan surat itu? Apa dia langsung berbicara? Atau bagaimana? Bahkan dirinya tidak lagi fokus dengan bangunan mewah yang pertama kali dirinya lihat langsung. Semuanya tergantikan dengan pertanyaan itu. “Miss Jasmine, kau bisa masuk. Fazilet akan mengantarkanmu.” Fazilet yang memang tugasnya menyambut Andrea mengangguk bingung. Ingin sekali dia membawa Ozan pergi dari sini untuk mengeluarkan segala macam pertanyaannya. Tetapi melihat pria itu yang dari tadi membuang wajah, membuat Fazilet tidak bisa melakukan apapun selain menuruti Andrea. Setelah kepergian mereka, Andrea kembali memfokuskan dirin
“Silakan masuk, Nyonya Jasmine.” Deniz mengangguk kecil setelah membukakan pintu kamar yang akan ditempati Jasmine setelah resmi menyandang gelar sebagai istri Emir. Benar, pernikahan mereka terjadi dengan paksaan. Jasmine terpaksa harus menerima tawaran yang diberikan oleh Emir. Pasalnya pria kejam itu memberitahu kalau Teresa mengidap penyakit jantung yang kapanpun bisa kambuh, apalagi jika mengetahui kabar kalau mereka tak memiliki hubungan apapun. Pernikahan tersebut terjadi di mansion ini. Mansion dengan luas bangunan yang luas sanggup memuat ratusan banyak orang penting dari keluarga dan teman bisnis Emir. Teresa menyiapkannya dengan sempurna sehingga tidak menimbulkan curiga di kepala para tamu Jasmine melirik Deniz dengan tatapan tak suk
Jasmine menelan salivanya dalam. Berusaha melenyapkan rasa takut yang mendadak mulai menggerogoti tubuhnya saat sudah berada di depan kamarnya. Akhirnya Jasmine memutuskan untuk memutar knop pintu yang sudah lama ia pegang dari tadi. Pintu kamar itu pun terbuka lebar untuk Jasmine. Manik amber Jasmine langsung bertabrakan dengan tubuh Emir yang membelakanginya sesudah Jasmine masuk ke dalam. Kemeja lengan panjang itu membalut tubuh Emir dengan sedemikian rupa tanpa menghilangkan pesonanya. “Kau membuatku menunggu.” Suara itu masuk, menendang kuat telinga Jasmine yang berhasil membuat dirinya semakin takut. Pria itu berbalik badan. Menatap Jasmine dengan tatapan tajam seperti biasanya. “Berani sekali kau membuatku menunggu,” tuturnya yang lalu menjatuhkan bokongnya di sofa dengan tangan yang diletakkan di bahu sofa.&nb
Napas Jasmine tertahan karena merasakan tangan Emir sudah melingkar di pinggangnya yang ramping. “Ayo,” ajak Emir. Mereka berjalan melewati karpet merah dengan kilatan-katan kamera yang terus saja bersahutan. Para awak media seperti mendapatkan mangsa yang sangat bagus untuk diterbitkan di halaman pertama.Pemikiran tentang makan malam sederhana langsung Emir tepis karena melihat banyaknya para media yang memenuhi depan hotel layaknya sekumpulan semut. Kalau saja Emir berjalan sendiri, maka sudah pasti kabar miring akan tersebar begitu lancarnya. Syukur saja Emir menuruti saran Deniz yang mengajak Jasmine.“Kenapa dia ada disini?” gumam Emir, melihat Tufan yang sudah duduk di bangku yang berhadapan dengan meja persegi panjang yang amat sangat besar. Rahangnya mengeras emosi. Ternyata Perusahaan Tex
Tidak hanya para orang tua murid, guru-guru juga sampai tidak fokus karena pemandandangan yang tersuguh. Para kaum wanita itu berteriak dalam hati, memuji bagaimana tampannya Emir yang bersandar di pintu mobil dengan tangan yang bersedekap. Tak lupa dengan kacamata yang menjepit hidungnya yang tinggi.Andrea, bocah itu menautkan kedua alisnya bingung sembari berjalan mendekati Emir. Ada apa gerangan pria itu kemari? Dan kemana Ozan yang seharusnya menjemput dirinya?“Apa mereka menahanmu di dalam?” Setelah Andrea sampai di depan Emir, pria tampan itu segera mengeluarkan pertanyaanya. Dia menghela napas, lalu memutuskan untuk berjongkok—menyamakan tinggi mereka.Andrea menggeleng. “Tidak, Dad. Tadi ada tugas tambahan.” Andrea menjawab
“Ambilkan ayamnya untukku.”Jasmine yang sedang memberikan lauk ke piring Andrea pun berhenti. Dalam kondisi bingung, Jasmine memilih mengangguk. Mengambilkan apa yang Emir minta setelah selesai dengan piring Andrea— mereka makan siang bersama di mansion.“Mulai sekarang aku juga ingin dilayani seperti kau melayani Andrea,” jelas Emir sesudah piring-nya terisi makanan.Alis Jasmine naik. Dirinya semakin bingung dengan tingkah Emir, namun Jasmine menganggukkan lagi kepalanya. Itu adalah perintah yang tidak sulit.Setelah acara makan siang selesai, Emir langsung bergegas pergi ke kantor untuk bekerja. Karena paksaan Jasmine di telepon tadi, akhirnya Emir memilih ma
Emir memutuskan untuk membahas semua persoalan yang terjadi belakangan ini bersama Jasmine setelah mendiami wanita itu selama beberapa hari.Sehabis kejadian malam penyatuan itu dimana Emir yang mabuk dan tak sadarkan diri, pria itu berubah seketika. Dia menjadi sangat dingin, bahkan enggan menatap Jasmine yang membuat Jasmine bertanya-tanya. Tak jarang perasaan bersalah pun menyelimuti Jasmine karena berpikir dirinya lah yang tidak bisa menjauh setelah ciuman panas yang Emir berikan.Karena tidak tahu mau memulai dari mana, akhirnya Emir membawa dasi kepada Jasmine yang sedang terduduk di depan meja rias. “Pasangkan.”Jasmine yang dapat melihat Emir dari pantulan kaca sontak terkejut. Dia berdiri, berbalik, lalu langsung dihadapkan dengan dasi Emir.
“Jawab pertanyaan Daddy, Madison!” hardik Tufan tajam. Madison terperanjat. Dia menggeleng pelan, merasa tidak yakin. “D—dad ….” Madison menunduk dalam. “Aku bersepakat akan pergi dari kehidupan Emir dan Andrea asalkan Emir memberiku uang tiap bulan.” “Apa yang kau lakukan, Madison?!” Bentakan itu keluar dengan mulusnya. Napas Tufan terengah-engah saking kagetnya. “Hanya demi uang kau tega menjual anakmu! Ibu macam apa dirimu?” “Dad, dengarkan Madison dulu,” pinta Madison sembari memegang tangan Tufan. “Tidak ada lagi yang harus Daddy dengar!” tegas Tufan dengan nada penuh yakin. “Selesaikan kesepakatan kalian dengan mandiri, baru setelah itu kau bisa datang ke Daddy! Ingat, Madison, kalau
Ayo dong kasih review nya hehehe“Apa yang kau lakukan disini?” Bariton Emir terdengar amat mengerikan sesudah mereka sampai di tangga darurat. Tidak ada siapapun disana selain mereka. Cekalan itu pun juga membuat Jasmine meringis kesakitan. Emir marah, mengetahui kalau Jasmine bekerja tanpa seizin darinya.“A—aku butuh pekerjaan,” Walau dalam kondisi penuh ketakutan, Jasmine tetap mengeluarkan jawabannya. Dia menatap manik abu Emir. “Keluargaku hidup dengan uangku! Aku harus memberi mereka uang setiap bulan—““Apa uangku tidak cukup?” Emir memotong dengan rahang yang mengetat. “Aku sudah memberimu banyak uang! Kau hanya perlu duduk diam di rumah! Tapi apa yang kau lakukan? Kau malah membuatku malu! Apa kata orang kalau menyadari dirimu
Madison tersenyum lebar sembari mendekap tubuh Andrea. Tak terasa, matanya berkaca-kaca. Andrea, balita yang ia tinggalkan sebelum berhasil memanggilnya mommy itu sudah sebesar sekarang. Tubuhnya berisi, menunjukkan kalau Andrea sangat sehat. Dan wajah itu sangat mirip dengan Emir terlebih warna mata— abu-abu “Kau sangat tampan,” kata Madison sambil menangkup wajah Andrea. Andrea menatap Jasmine, lalu kembali ke Madison. Jasmine tahu kalau Andrea masih belum merasa nyaman. “Memang,” sahut Andrea. “Aku sangat tampan, Mommy sering mengakuinya langsung,” lanjutnya sambil menatap Jasmine. Madison menarik bibirnya, sedikit paksa. “Ayo, kau ingin makan? Mommy akan memesankan untukmu.” Madison berusaha memutuskan tatapan mereka.
Emir berdehem. “Aku … mandi,” katanya yang lalu berlalu pergi masuk ke dalam kamar mandi. Di dalam, dia merutuki dirinya yang mendadak canggung.Sedangkan Jasmine, wanita itu menghela napasnya panjang. Dia merapatkan selimut tersebut ke tubuhnya. Perasaan kecewa tentu saja ada. Melihat Emir yang mendadak dingin, jauh berbeda dengan kegiatan semalam, tentu membuat Jasmine bertanya-tanya.“Apa dia mabuk semalam?” tanya Jasmine dengan perasaan yang mendadak menciut. Tak mau berlama-lama dengan kondisi tubuh seperti itu, akhirnya Jasmine berjalan tertatih ke walk-in closet. Perih sekali rasanya di bawah sana, Emir menghujam tanpa penuh ampun kemarin malam.Sesudah mengguyur tubuhnya dengan air dingin, Emir memutuskan untuk keluar
Klub yang penuh dengan dentuman masuk, orang melompat-lompat, dan bau minuman— nyatanya tidak satupun pikiran Emir terbukti. Ternyata pertemuan itu diadakan di sebuah ruangan tertutup, dimana tadi mereka melewati ruangan yang benar-benar disebut klub, baru sampai di ruangan yang sudah dipesan Perusahaan Texas. Ruangan tersebut gelap, hanya ada lampu di atas sebagai penerang, dingin, dan juga kedap suara baik dari luar maupun dalam.Emir berdehem, meminta izin untuk ke kamar mandi disela-sela makan mereka sebagai penjeda dari bisnis yang sedang mereka bicarakan. Mendadak Emir ingin buang air kecil, suhu ruangan ini sangat dingin.Ketika cuaca sedang dingin, ginjal menyaring lebih banyak darah dari biasanya karena ada lebih banyak darah yang dipompa ke seluruh tubuh. Itu sebabnya ginjal akhirnya menghasilkan lebih ban