“Andrea Zufran!”
Ini adalah ketiga kalinya sang guru memanggil. Tapi sayang, murid yang bernama Andrea tidak menyahut. Yang membuat sang guru akhirnya mengedarkan pandangan ke murid-murid yang juga balik menatapnya.
“Dimana Andrea? Kalian melihatnya?” tanya guru itu lagi kepada mereka. Bisa disimpulkan kalau murid-murid yang berada di kelas ini sudah bisa berbicara dan membaca, maka dari itu sang guru bertanya kepada mereka.
“Aku tidak tahu, Miss Jas,” jawab seorang perempuan yang duduk di bangku depan.
“Kapan kita akan memulainya, Miss?” Lagi, seorang murid laki-laki menyahut. “Jangan cari Andrea. Biar saja dia pergi. Kami tidak membutuhkannya!”
Dan betapa terkejutnya guru itu ketika melihat murid-muridnya mengangguk kompak. Sesaat dia ingin menyahut, suara ketukan dari pintu membuat kalimat guru itu berhenti.
“Miss Jasmine,” panggil seorang wanita berambut pendek yang tak lain berprofesi sama seperti Jasmine. “Andrea dari kelasmu baru saja datang.”
“Ah, baiklah,” sahut Jasmine sambil berjalan ke arahnya. Dia mengerti maksud temannya. Jasmine harus menyambut muridnya. Semuanya. “Tapi mereka ....”
“Biar aku yang menggantikanmu sebentar,” sahut perempuan itu yang membuat Jasmine mengangguk lalu melangkah ke luar kelas.
Jasmine mengeluarkan senyumannya kepada bocah cilik yang berjalan ke arahnya. Walaupun bocah itu datang dengan wajah yang datar, itu tidak membuat Jasmine melunturkan ekspresinya.
“Bagaimana kabarmu, Andrea?” Setelah Andrea sampai ke Jasmine yang sedang berjongkok, barulah Jasmine bertanya. “Kuharap kau baik-baik saja .... Ehm, untuk lain kali, Miss berharap Andrea datang tepat waktu.”
Sesaat setelah mendengar pertanyaan itu, Andrea menatap Jasmine dengan pandangan yang aneh. Pasalnya guru itu seperti merasa sangat dekat dengan Andrea yang notabanenya tidak mengenal Jasmine.
“Kau guru baru?” Bukannya menjawab, Andrea malah balik bertanya. Dikarenakan dirinya merasa asing dengan wajah Jasmine.
“Iya. Perkenalkan ....” Jasmine mengulurkan tangannya. Dia memang seperti ini. Jasmine tidak ingin menjadi guru yang disegani. Tapi dia berharap mereka bisa menganggapnya sebagai teman, juga teman bercerita. “Jasmine Geor. Kau bisa memanggilku Miss Jasmine.”
Andrea dengan sombongnya hanya menatap tangan Jasmine. Dia tidak berkeinginan untuk menyambut tangan itu. “Baiklah ... Ku harap kau bisa berlaku adil kepada semua muridmu!” pinta Andrea bak seperti sang daddy yang suka mengatur.
Jasmine mengernyit bersamaan menarik tangannya. Melupakan sejenak masalah Andrea yang tidak memanggilnya dengan sebutan ‘Miss’. “Berlaku adil? Maksudnya?”
Andrea menghela napasnya kesal. “Semua guru yang berhadapan dengan kelasku selalu berlaku tidak adil. Mereka selalu membedakanku dengan mereka. Apa bedanya mereka denganku? Harusnya mereka hormat kepadaku. Karena aku bisa membuat daddy mereka dipecat dari jabatannya. Begitu juga dengan guru-guru di sini!”
Dan Jasmine sukses terbelalak. Jasmine sudah bisa melihat dari gaya berjalan, berpakaian, dan berbicara—menunjukkan kalau Andrea memang orang berada. Tentu memecat orang lain akan mudah bagi keluarga Andrea. Tapi itu bukan masalahnya .... Masalahnya adalah saat bocah cilik ini bercerita tentang perilaku tidak adil yang dilakukan oleh guru-guru. Jasmine jelas tahu kalau Andrea tidak berbohong. Dia bisa melihat dari mata Andrea .... Pantas saja murid-murid tadi berperilaku seperti itu—mereka membenci Andrea.
Dan bukan Jasmine namanya kalau dia langsung mengambil kesimpulan .... Pasti ada alasan dibalik ini semua. Kalau begitu, Jasmine akan menyelidiki ini. Kalau perlu dia akan menelepon guru lama yang sudah pindah tugas.
“Baiklah ... Miss tidak akan melakukan hal seperti itu,” sahut Jasmine dengan tersenyum. “Kalau begitu kita bisa masuk ke kelas?”
“Dari tadi aku sudah ingin melakukan itu,” sahut Andrea yang malah melenggang duluan, meninggalkan Jasmine yang masih jongkok dan tersenyum.
Dari sini Jasmine tahu kalau Andrea memang berbeda dari teman-temannya. Bukan ... Jasmine tidak beranggapan kalau Andrea punya kelainan. Melainkan sifat Andrea yang memang sedikit angkuh ... juga gampang emosi.
***
Ozan melambaikan tangannya ke arah Andrea yang terlihat baru keluar dari sekolah. Dia tersenyum ketika Andrea melihatnya dan berjalan ke arahnya. Tapi satu hal yang membuat Ozan mengernyit bingung, yaitu ketika ia melihat raut wajah tertekuk Andrea.
“Ada apa, Tuan?” tanya Ozan sesudah berjongkok. Menyamakan tingginya dengan Andrea. Seperti biasa, dia mengambil tas Andrea dari punggung Andrea. “Apa ada masalah di dalam? Tuan bisa menceritakannya kepada saya.”
Andrea menghela napasnya kesal. “Banyak, Ozan!” gerutu Andrea yang malah membuat Ozan menggigit bibirnya supaya senyumannya tidak keluar. Sungguh, Andrea terlihat sangat mirip dengan Emir ketika marah. Ozan tahu, kalau Andrea akan punya pesona yang sangat kuat seperti Emir ketika dewasa nanti.
“Aku kesal dengan guru baruku!” seru Andrea. “Dia memberikan tugas yang banyak. Dan topiknya sudah sering aku kerjakan. Itu membuatku bosan, Ozan! Mereka tidak memberikan topik yang baru!” Memang, guru itu yang tak lain adalah Jasmine memberikan tugas dengan topik yang sama seperti minggu-minggu lalu. Andrea sudah sangat paham dan dapat menjawab itu dengan hitungan detik. Dia butuh tugas yang baru dengan soal yang lebih menantang.
“Mungkin guru Tuan ingin supaya kalian bisa memahami topiknya lebih mendalam,” seru Ozan yang berusaha meredam kekesalan Andrea.
“Tapi aku sudah paham, Ozan. Sangat paham! Lalu untuk apa aku berada di sini kalau mereka hanya memberikanku tugas itu-itu saja?! Membosankan! Lebih baik aku diam di rumah dan belajar hal baru bersama dengan Deniz!”
Ozan mengangguk paham. Ini adalah kelebihan Andrea. Dia sangat pintar dan punya IQ diatas rata-rata. Tak heran jika dia mudah memahami semua hal tetapi juga mudah bosan dengan hal yang terus diulang-ulang .... Ozan berharap semoga Andrea tidak lagi bermasalah dan mengakibatkan guru itu akan dipindahkan lagi. Sudah cukup. Semoga ini tidak kejadian untuk ke 3 kalinya.
“Baiklah. Saya akan menghubungi Deniz dan Tuan akan belajar lagi bersama dia. Tapi untuk saat ini, kita harus pulang ke mansion.”
Dan Andrea menggeleng. “Tidak mau!” tolak Andrea tegas. “Kita pergi membeli donat! Setelah itu baru pulang!”
“Tapi, Tuan ... saya akan menyuruh pelayan membuatkan donat,” sahut Ozan. Mereka harus pulang sekarang. Sesuai dengan apa yang Deniz katakan.
“Tidak ada bantahan, Ozan,” lontar Andrea yang lalu berlalu masuk ke dalam mobil.
***
“Selamat sore, Tuan Andrea.” Sapaan itu keluar dari seorang security yang membukakan pintu untuk Andrea. Segera saja dari dalam mobil, Andrea keluar dengan tangan yang penuh akan donat. Andrea mengedarkan pandangan. Dan berhenti disaat dia melihat limousine hitam di dekat mobil yang ditumpanginya berada.
“Ozan!” Andrea memanggil Ozan yang baru saja turun dengan tas dan juga beberapa kotak donat di tangannya. Mendengar panggilan itu segera saja Ozan mendekati Andrea. “Oh ... jadi ini alasanmu membuatku cepat pulang,” seru Andrea sembari menunjuk limousine dengan dagunya.
Sebelum itu, Andrea dengan cepat memutar otaknya disaat ia melihat limousine. Itu tandanya sang daddy sudah ada di dalam mansion sebelum Andrea pulang. Pantas saja dari tadi Ozan selalu mendesak Andrea agar dia cepat memilih donat. Benar-benar menyebalkan!
“I—iya, Tuan,” sahut Ozan yang merasa tidak enak karena berbohong. “Saya juga baru mendapat kabar kalau daddy akan pulang cepat. Maka dari itu saya meminta Tuan untuk cepat pulang agar tidak dimarahi oleh daddy.”
Dan Andrea memutar bola matanya malas. Sebelum berbicara, dia memasukkan donat di tangannya ke dalam mulut, mengunyah, lalu menelannya. “Aku tidak takut, Ozan,” kata Andrea santai. “Biar saja dia marah. Kita akan menyaksikannya,” lanjutnya yang lalu melenggak masuk ke dalam.
“Aku tidak tahu kalau ternyata jam pulang anak sekolah sama dengan jam pulang pekerja kantoran.” Dan disaat Andrea sudah melangkah masuk lebih dalam, suara berat yang sudah meninggi langsung menyambutnya. Membuat Andrea dan Ozan yang dibelakang menghentikan langkahnya. Tak jauh dari sana sudah ada Emir dengan pakaian jasnya yang melangkah mendekat.
“Katakan darimana saja kau!” Dan sesudah sampai di hadapan Andrea, langsung saja Emir mengeluarkan bentakannya dengan kuat. Beberapa pelayan juga terlihat mengintip di beberapa sudut ruangan. Dan Ozan hanya bisa menunduk, tak kuasa melihat apa yang sedang disajikan di hadapannya.
“Kenapa?” tanya Andrea. Menatap wajah Emir dengan penuh keberanian. “Apa pedulimu? Terserahku ingin kemana saja! Aku tidak perlu menjelaskan kemana aku pergi, karena aku tidak mau!”
Ozan tidak akan bersuara. Itu peraturannya selama daddy dan anak itu adu debat. Tidak ada yang boleh melerai mereka sampai salah satu dari kedua manusia itu pergi meninggalkan lapangan.
Emir mengangguk paham. Menatap Andrea dengan mata yang sudah memerah. Anak itu benar-benar berhasil membuatnya emosi. Dan disaat seperti ini, kenangan-kenangan masa lalunya semakin cepat berputar di otaknya. Membuatnya ingin menghancurkan salah satu dari bagian kenangan itu yang tertinggal di dalam tangannya. Dan itu adalah Andrea sendiri.
Emir berjongkok. Menyamakan tingginya dengan Andrea. Menunjuk dada Andrea dengan jarinya. “Tanpa aku, kau sudah mati di luaran sana,” desis Emir. “Dan apa yang kau lakukan kepadaku? Kau hanya membuatku malu dengan tingkahmu! Apa kau tidak bisa membalas kebaikanku? Setidaknya dengan diam dan menuruti perkataanku itu lebih baik.”
“Sudah kubilang aku tidak ingin menurutimu—”
“Andreaaaaa!” Dan suara Andre terpotong oleh Emir yang berteriak kencang memanggil Andrea. Emir benar-benar Emosi. Setelah Andrea berhenti berbicara, barulah Emir melanjutkan kalimatnya. “Aku jadi ragu .... Kau putraku atau bukan—”
“Tuan Emir,” panggil Ozan untuk memperingati apa yang baru saja Emir keluarkan dari bibirnya. Ini pasti melukai hati Andrea. Sangat .... Ozan melupakan peraturan tadi, dimana dia harus diam disaat mereka berdebat.
Disaat Ozan ingin melanjutkan kalimatnya, disitu juga Emir mengangkat tangannya. Mengartikan untuk Ozan segera berhenti.
“Kau siapa, heh?” lanjut Emir menatap Andrea dengan tatapan yang masih sama— penuh emosi membara. Emir mengangguk setelah beberapa saat. “Sebaiknya kita melakukan tes DNA saja.” Dan apa yang Emir katakan sukses membuat semua orang yang menyaksikan terbelalak. Terkejut dengan apa yang Emir katakan.
Apa Emir benar-benar akan melakukan itu? Padahal, hanya dengan melihat dari manik matanya sudah menunjukkan kalau itu adalah darah dagingnya sendiri. Mereka memiliki mata abu-abu .... Bukan hanya Andrea yang terluka, tapi semua orang disana juga terluka. Terkhususnya Ozan. Pria tua itu hanya bisa menggeleng tak menyangka dengan apa yang Emir lakukan.
“Dan jika tes itu menunjukkan kau bukan anakku ....” Lagi, Emir menunjuk Andrea. “Maka siap-siap untuk keluar dari mansionku!” Setelah mengatakan itu barulah Emir keluar dari mansion bersama dengan Deniz.
“Tuan Andrea ....” Bahkan panggilan yang diberikan Ozan tidak digubris sama sekali oleh Andrea. Bocah itu malah melangkah menaiki tangga untuk masuk ke dalam kamarnya. Bohong besar kalau Andrea akan tetap kuat setelah dibentak seperti itu. Pasti setelah sang daddy keluar dari mansion, maka Andrea akan masuk ke dalam kamarnya dan akan menjalankan mogok makan. Dan ketika Ozan ingin mendekat ke kamar Andrea untuk membujuk Andrea agar makan, dia dapat mendengar suara tangisan Andrea .... Itu berarti Andrea benar-benar sakit .... Emir pun tidak mengetahui kabar ini.
Jasmine menghela napasnya sesudah puas menatap Andrea yang berdiri di hadapannya selama beberapa menit. Dirinya sibuk berperang dengan otakanya— memikirkan apa yang harus dia lakukan kepada Andrea sebagai bentuk hukuman.“Andrea, ini sudah kesekian kalinya kau tidak mengerjakan tugas rumahmu.” Jasmine menjelaskan pokok masalah mereka. Kelas itu hanya dihuni oleh mereka berdua. Sedangkan murid-murid lain bermain bersama di lapangan sebagai bentuk istirahat. “Sekarang aku ingin mengetahui alasannya. Kau tidak bisa hanya diam seperti yang dulu-dulu .... Apa tugas ini terlalu sulit?”Sudah berminggu-minggu Jasmine mengajar di kelas ini. Menghadapi banyak murid-murid dengan tingkah usil yang beragam. Tapi untuk Andrea. Jasmine selalu geleng-geleng kepala— mencoba untuk bersabar dan berharap kalau Andrea berubah walau kenyataannya tidak. Jasmine kira dengan Andrea yang tidak diberi hukuman, bocah itu akan segera
Jasmine menyesal karena mengiyakan ajakan Andrea. Mereka sekarang sudah berada di depan mansion. Mendadak dirinya bingung. Apa yang harus Jasmine lakukan? Apa dia langsung memberikan surat itu? Apa dia langsung berbicara? Atau bagaimana? Bahkan dirinya tidak lagi fokus dengan bangunan mewah yang pertama kali dirinya lihat langsung. Semuanya tergantikan dengan pertanyaan itu. “Miss Jasmine, kau bisa masuk. Fazilet akan mengantarkanmu.” Fazilet yang memang tugasnya menyambut Andrea mengangguk bingung. Ingin sekali dia membawa Ozan pergi dari sini untuk mengeluarkan segala macam pertanyaannya. Tetapi melihat pria itu yang dari tadi membuang wajah, membuat Fazilet tidak bisa melakukan apapun selain menuruti Andrea. Setelah kepergian mereka, Andrea kembali memfokuskan dirin
“Silakan masuk, Nyonya Jasmine.” Deniz mengangguk kecil setelah membukakan pintu kamar yang akan ditempati Jasmine setelah resmi menyandang gelar sebagai istri Emir. Benar, pernikahan mereka terjadi dengan paksaan. Jasmine terpaksa harus menerima tawaran yang diberikan oleh Emir. Pasalnya pria kejam itu memberitahu kalau Teresa mengidap penyakit jantung yang kapanpun bisa kambuh, apalagi jika mengetahui kabar kalau mereka tak memiliki hubungan apapun. Pernikahan tersebut terjadi di mansion ini. Mansion dengan luas bangunan yang luas sanggup memuat ratusan banyak orang penting dari keluarga dan teman bisnis Emir. Teresa menyiapkannya dengan sempurna sehingga tidak menimbulkan curiga di kepala para tamu Jasmine melirik Deniz dengan tatapan tak suk
Jasmine menelan salivanya dalam. Berusaha melenyapkan rasa takut yang mendadak mulai menggerogoti tubuhnya saat sudah berada di depan kamarnya. Akhirnya Jasmine memutuskan untuk memutar knop pintu yang sudah lama ia pegang dari tadi. Pintu kamar itu pun terbuka lebar untuk Jasmine. Manik amber Jasmine langsung bertabrakan dengan tubuh Emir yang membelakanginya sesudah Jasmine masuk ke dalam. Kemeja lengan panjang itu membalut tubuh Emir dengan sedemikian rupa tanpa menghilangkan pesonanya. “Kau membuatku menunggu.” Suara itu masuk, menendang kuat telinga Jasmine yang berhasil membuat dirinya semakin takut. Pria itu berbalik badan. Menatap Jasmine dengan tatapan tajam seperti biasanya. “Berani sekali kau membuatku menunggu,” tuturnya yang lalu menjatuhkan bokongnya di sofa dengan tangan yang diletakkan di bahu sofa.&nb
Apa Author bisa minta untuk tulis review kalian tentang cerita ini? Hehehe ... thank you!"Astaga, Sayang!" Teresa memekik kaget saat melihat bagaimana wujud dari Jasmine.Dia memegang kedua bahu Jasmine yang masih bingung lalu memutar-mutar nya. Jasmine hanya menurut saja. Dia masih mencerna mengapa Teresa memekik kaget seperti itu."Pakaian apa ini, huh?" tanya Teresa sambil menggeleng tidak percaya. "Jasmine, dengarkan Mommy baik-baik. Kau sudah menjadi istri Emir Zufran. Dan sudah sepantasnya kau memperhatikan pakaian apa yang kau gunakan."Jasmine menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Dia melihat ke bawah, meneliti pakaian yang Jasmine pakai. Kaus longgar dan celana jeans, lalu apa salahnya?
Jasmine setidaknya bisa bernapas lega kali ini. Pasalnya sehabis mereka turun dari mobil, sudah ada Deniz yang berada di depan, menyambut mereka.“Oh, Deniz, ada apa? Apa kau mengambil dokumen yang tertinggal?” Teresa mengeluarkan pertanyaannya sesudah mendekat.Deniz menggeleng. “Tidak, Nyonya. Saya mendengar kabar dari Nyonya Jasmine kalau Nyonya hari ini mulai tinggal di mansion … jadi saya sudah menyiapkan segalanya, termasuk juga dengan kamar yang biasa Nyonya gunakan.””Benarkah? Padahal Mommy tidak melihat Jasmine menghubungimu tadi,” sahut Teresa sambil melirik Jasmine.“I—iya, Mom. Tadi aku mengirimkan pesan di jalan,” jelas Jasm
Mata Emir memicing tidak suka. Rahangnya mengeras keras. Dia berdiri. Berjalan dengan langkah tegasnya mendekati Jasmine yang juga berjalan mundur ke belakang karena takut."Apa yang kau lakukan disini?" Emir bertanya dengan suaranya yang meninggi sesudah jarak mereka hanya dua langkah.Jasmine menelan salivanya dalam. Dia berusaha mengumpulkan keberaniannya yang sudah hancur berkeping-keping. "A—aku—""Kau keluar dari kamar mandi milikku?!" Kalimat Jasmine menggantung karena Emir. Emir menggeleng tak percaya. Suasana juga semakin mencekam. "KELUAR!"Jasmine terperanjat kaget. Dia menggeleng. "Aku tinggal disini mulai sekarang!" Dan dengan secepat kilat, Jasmine mengeluarkan jawabannya. Dia m
Emir terdiam mendengar penjelasan Jasmine … mereka membuat donat itu bersama-sama. Jujur saja, donat tersebut menggugah selera Emir. Tetapi tidak mungkin baginya untuk makan di depan Jasmine langsung … itu sama saja membuat harga dirinya tercoreng. “A—apa kau tidak menyukainya?” Jasmine bertanya dengan hati-hati. “Donat tersebut sangat sehat. Bahannya juga baru dan berkualitas. Aku jamin kau akan sangat menyukainya.” Emir malah menunjuk ke arah pintu dengan dagunya. “Keluar.” Mata Jasmine membola. Apa katanya? Keluar? Sungguh, Jasmine sangat dipermalukan sekarang! Bukannya mengucap terima kasih atau membalas pertanyaan nya, pria itu malah menyuruhnya untuk keluar.
Napas Jasmine tertahan karena merasakan tangan Emir sudah melingkar di pinggangnya yang ramping. “Ayo,” ajak Emir. Mereka berjalan melewati karpet merah dengan kilatan-katan kamera yang terus saja bersahutan. Para awak media seperti mendapatkan mangsa yang sangat bagus untuk diterbitkan di halaman pertama.Pemikiran tentang makan malam sederhana langsung Emir tepis karena melihat banyaknya para media yang memenuhi depan hotel layaknya sekumpulan semut. Kalau saja Emir berjalan sendiri, maka sudah pasti kabar miring akan tersebar begitu lancarnya. Syukur saja Emir menuruti saran Deniz yang mengajak Jasmine.“Kenapa dia ada disini?” gumam Emir, melihat Tufan yang sudah duduk di bangku yang berhadapan dengan meja persegi panjang yang amat sangat besar. Rahangnya mengeras emosi. Ternyata Perusahaan Tex
Tidak hanya para orang tua murid, guru-guru juga sampai tidak fokus karena pemandandangan yang tersuguh. Para kaum wanita itu berteriak dalam hati, memuji bagaimana tampannya Emir yang bersandar di pintu mobil dengan tangan yang bersedekap. Tak lupa dengan kacamata yang menjepit hidungnya yang tinggi.Andrea, bocah itu menautkan kedua alisnya bingung sembari berjalan mendekati Emir. Ada apa gerangan pria itu kemari? Dan kemana Ozan yang seharusnya menjemput dirinya?“Apa mereka menahanmu di dalam?” Setelah Andrea sampai di depan Emir, pria tampan itu segera mengeluarkan pertanyaanya. Dia menghela napas, lalu memutuskan untuk berjongkok—menyamakan tinggi mereka.Andrea menggeleng. “Tidak, Dad. Tadi ada tugas tambahan.” Andrea menjawab
“Ambilkan ayamnya untukku.”Jasmine yang sedang memberikan lauk ke piring Andrea pun berhenti. Dalam kondisi bingung, Jasmine memilih mengangguk. Mengambilkan apa yang Emir minta setelah selesai dengan piring Andrea— mereka makan siang bersama di mansion.“Mulai sekarang aku juga ingin dilayani seperti kau melayani Andrea,” jelas Emir sesudah piring-nya terisi makanan.Alis Jasmine naik. Dirinya semakin bingung dengan tingkah Emir, namun Jasmine menganggukkan lagi kepalanya. Itu adalah perintah yang tidak sulit.Setelah acara makan siang selesai, Emir langsung bergegas pergi ke kantor untuk bekerja. Karena paksaan Jasmine di telepon tadi, akhirnya Emir memilih ma
Emir memutuskan untuk membahas semua persoalan yang terjadi belakangan ini bersama Jasmine setelah mendiami wanita itu selama beberapa hari.Sehabis kejadian malam penyatuan itu dimana Emir yang mabuk dan tak sadarkan diri, pria itu berubah seketika. Dia menjadi sangat dingin, bahkan enggan menatap Jasmine yang membuat Jasmine bertanya-tanya. Tak jarang perasaan bersalah pun menyelimuti Jasmine karena berpikir dirinya lah yang tidak bisa menjauh setelah ciuman panas yang Emir berikan.Karena tidak tahu mau memulai dari mana, akhirnya Emir membawa dasi kepada Jasmine yang sedang terduduk di depan meja rias. “Pasangkan.”Jasmine yang dapat melihat Emir dari pantulan kaca sontak terkejut. Dia berdiri, berbalik, lalu langsung dihadapkan dengan dasi Emir.
“Jawab pertanyaan Daddy, Madison!” hardik Tufan tajam. Madison terperanjat. Dia menggeleng pelan, merasa tidak yakin. “D—dad ….” Madison menunduk dalam. “Aku bersepakat akan pergi dari kehidupan Emir dan Andrea asalkan Emir memberiku uang tiap bulan.” “Apa yang kau lakukan, Madison?!” Bentakan itu keluar dengan mulusnya. Napas Tufan terengah-engah saking kagetnya. “Hanya demi uang kau tega menjual anakmu! Ibu macam apa dirimu?” “Dad, dengarkan Madison dulu,” pinta Madison sembari memegang tangan Tufan. “Tidak ada lagi yang harus Daddy dengar!” tegas Tufan dengan nada penuh yakin. “Selesaikan kesepakatan kalian dengan mandiri, baru setelah itu kau bisa datang ke Daddy! Ingat, Madison, kalau
Ayo dong kasih review nya hehehe“Apa yang kau lakukan disini?” Bariton Emir terdengar amat mengerikan sesudah mereka sampai di tangga darurat. Tidak ada siapapun disana selain mereka. Cekalan itu pun juga membuat Jasmine meringis kesakitan. Emir marah, mengetahui kalau Jasmine bekerja tanpa seizin darinya.“A—aku butuh pekerjaan,” Walau dalam kondisi penuh ketakutan, Jasmine tetap mengeluarkan jawabannya. Dia menatap manik abu Emir. “Keluargaku hidup dengan uangku! Aku harus memberi mereka uang setiap bulan—““Apa uangku tidak cukup?” Emir memotong dengan rahang yang mengetat. “Aku sudah memberimu banyak uang! Kau hanya perlu duduk diam di rumah! Tapi apa yang kau lakukan? Kau malah membuatku malu! Apa kata orang kalau menyadari dirimu
Madison tersenyum lebar sembari mendekap tubuh Andrea. Tak terasa, matanya berkaca-kaca. Andrea, balita yang ia tinggalkan sebelum berhasil memanggilnya mommy itu sudah sebesar sekarang. Tubuhnya berisi, menunjukkan kalau Andrea sangat sehat. Dan wajah itu sangat mirip dengan Emir terlebih warna mata— abu-abu “Kau sangat tampan,” kata Madison sambil menangkup wajah Andrea. Andrea menatap Jasmine, lalu kembali ke Madison. Jasmine tahu kalau Andrea masih belum merasa nyaman. “Memang,” sahut Andrea. “Aku sangat tampan, Mommy sering mengakuinya langsung,” lanjutnya sambil menatap Jasmine. Madison menarik bibirnya, sedikit paksa. “Ayo, kau ingin makan? Mommy akan memesankan untukmu.” Madison berusaha memutuskan tatapan mereka.
Emir berdehem. “Aku … mandi,” katanya yang lalu berlalu pergi masuk ke dalam kamar mandi. Di dalam, dia merutuki dirinya yang mendadak canggung.Sedangkan Jasmine, wanita itu menghela napasnya panjang. Dia merapatkan selimut tersebut ke tubuhnya. Perasaan kecewa tentu saja ada. Melihat Emir yang mendadak dingin, jauh berbeda dengan kegiatan semalam, tentu membuat Jasmine bertanya-tanya.“Apa dia mabuk semalam?” tanya Jasmine dengan perasaan yang mendadak menciut. Tak mau berlama-lama dengan kondisi tubuh seperti itu, akhirnya Jasmine berjalan tertatih ke walk-in closet. Perih sekali rasanya di bawah sana, Emir menghujam tanpa penuh ampun kemarin malam.Sesudah mengguyur tubuhnya dengan air dingin, Emir memutuskan untuk keluar
Klub yang penuh dengan dentuman masuk, orang melompat-lompat, dan bau minuman— nyatanya tidak satupun pikiran Emir terbukti. Ternyata pertemuan itu diadakan di sebuah ruangan tertutup, dimana tadi mereka melewati ruangan yang benar-benar disebut klub, baru sampai di ruangan yang sudah dipesan Perusahaan Texas. Ruangan tersebut gelap, hanya ada lampu di atas sebagai penerang, dingin, dan juga kedap suara baik dari luar maupun dalam.Emir berdehem, meminta izin untuk ke kamar mandi disela-sela makan mereka sebagai penjeda dari bisnis yang sedang mereka bicarakan. Mendadak Emir ingin buang air kecil, suhu ruangan ini sangat dingin.Ketika cuaca sedang dingin, ginjal menyaring lebih banyak darah dari biasanya karena ada lebih banyak darah yang dipompa ke seluruh tubuh. Itu sebabnya ginjal akhirnya menghasilkan lebih ban