Jasmine setidaknya bisa bernapas lega kali ini. Pasalnya sehabis mereka turun dari mobil, sudah ada Deniz yang berada di depan, menyambut mereka.
“Oh, Deniz, ada apa? Apa kau mengambil dokumen yang tertinggal?” Teresa mengeluarkan pertanyaannya sesudah mendekat.
Deniz menggeleng. “Tidak, Nyonya. Saya mendengar kabar dari Nyonya Jasmine kalau Nyonya hari ini mulai tinggal di mansion … jadi saya sudah menyiapkan segalanya, termasuk juga dengan kamar yang biasa Nyonya gunakan.”
”Benarkah? Padahal Mommy tidak melihat Jasmine menghubungimu tadi,” sahut Teresa sambil melirik Jasmine.
“I—iya, Mom. Tadi aku mengirimkan pesan di jalan,” jelas Jasmine yang terkejut karena Deniz mengatakan yang sejujurnya. Jasmine pikir Deniz akan berbohong.
Teresa mengangguk paham. Dia mengecek ponselnya yang berdering lalu kemudian melirik mereka bergantian. “Mommy harus pergi. Ada pertemuan dengan teman-teman Mommy … sampai jumpa nanti. Oh iya, Jasmine, kau bisa menyusun pakaian yang dibawa pelayan tadi dengan bantuan Fazilet. Dia cukup ahli dalam hal ini.”
Jasmine mengangguk paham. “Iya, Mom. Mommy tenang saja. Aku akan menyusunnya,” jawab Jasmine. Wanita itu menghela napasnya panjang sesudah mobil yang Teresa naiki sudah menghilang dari mansion. Segera dia menatap Deniz meminta penjelasan.
“Jadi apa yang kau lakukan?”
Deniz tersenyum sopan. “Saya sudah memindahkan barang-barang Nyonya ke kamar Tuan Emir. Jadi Nyonya bisa menyusun barang Nyonya di kamar dan walk-in closet Tuan Emir.”
Mata Jasmine membulat kaget. “M—maksudmu kami akan tidur sekamar? Apa aku tidak bisa tinggal di kamar lain? Ada banyak kamar di mansion ini, lalu kenapa harus kamar Emir?”
Deniz menghela napasnya. Pria tanpa ekspresi itu segera mengeluarkan jawabannya. “Nyonya Teresa akan curiga jika Nyonya tidak tidur bersama Tuan Emir. Bahkan pintu penghubung itu sudah ditutup. Untung saja Nyonya cepat mengabari saya.”
“Lalu … bagaimana dengan Emir? Apa dia mengetahui masalah inu?”
Deniz menggeleng. “Tidak, Nyonya. Tuan Emir saat ini sedang meeting. Jadi saya belum memberi kabar apapun. Lebih baik Nyonya memberitahunya langsung saat Tuan sudah datang … kalah begitu saya permisi kembali ke perusahaan, Nyonya.”
Kekhawatiran mendadak menyelimuti Jasmine. Sekarang tidak ada pilihan lain baginya selain mengikuti skenario Deniz.
Tinggal bersama Emir adalah hal yang tidak pernah Jasmine pikirkan, apalagi sekarang, mereka akan berada dalam satu kamar … sungguh membuat tubuh Jasmine merinding seketika.
Dan bagaimana caranya menjelaskan masalah ini kepada Emir?
Setelah sibuk berperang dengan hati dan logikanya sendiri, barulah Jasmine melangkahkan kakinya masuk ke dalam. Dia menuju tangga, menaiki tangga satu per satu, lalu berjalan ke arah kamar Emir yang berada di lantai dua.
Ceklek.
Sesudah pintu itu terbuka, barulah Jasmine dapat melihat dengan matanya sendiri bagaimana keadaan kamar Emir.
Ruangan ini sangatlah besar. Kasur big size terletak di tengah dan bersentuhan langsung dengan dinding putih gading, berhadapan langsung dengan balkon yang tembus pandang karena terbuat dari kaca. Di depan sana juga ada meja marmer yang mewah dan menampung televisi besar beserta peralatan yang Jasmine tidak ketahui, di bawahnya terdapat tempat api unggun. Sofa-sofa juga ikut menghiasi kamar.
Bergeser ke sisi kiri ruangan, di sana ada terdapat satu pintu dengan gantungan berupa jas siluet— menandakan walk-in closet. Pindah ke sisi kanan, ada juga satu pintu. Jasmine menduga kalau itu adalah kamar mandi. Hanya ada dua pintu saja, dan pintu yang dulunya sebagai penghubung kamar Jasmine sudah tidak kelihatan. Kerja yang sangat bagus, pasalnya seperti tidak ada bekas di sana, semuanya terlihat sangat rapi.
Setelah cukup mengamati ruangan tersebut, lantas Stephanie bergegas masuk ke walk-in closet.
Sama seperti walk-in closet miliknya di kamar sebelah, tetapi kali ini jauh lebih luas dan jauh lebih tertata dikarenakan terisi banyak barang-barang Emir.
Pakaian sehari-hari, pakaian formal, sepatu, aksesoris berupa jam tangan, dan lainnya— tertata sangat mewah di dalam bilik-bilik kaca.
Barulah Jasmine menjatuhkan pandangannya ke paper bag yang ada di sofa. Dia menghela napasnya panjang. Membutuhkan banyak waktu baiknya untuk menata banyak pakaian tersebut. Walaupun begitu, Jasmine tetap melakukannya tanpa meminta bantuan Fazilet. Biarlah wanita tua itu melakukan pekerjaannya, Jasmine tidak ingin membebankan dengan pekerjaan ini.
“Selesai!” pekik Jasmine girang sesudah pakaiannya tertata rapi di bilik-bilik yang semuanya kosong. Tetapi, raut girang Jasmine langsung berubah secepat kilat.
Sungguh, Jasmine tidak tahu akan keputusan apa yang sedang dia ambil. Mendengar Teresa yang sakit membuat Jasmine langsung menyetujui tanpa memikirkan jangka panjang dan konsekuensi akan keputusan yang dia buat.
Lihatlah sekarang, dia hidup bukan seperti Jasmine yang dulunya dengan kesederhanaan, melainkan dengan kemewahan.
Wanita itu menatap pantulan dirinya di kaca. Memuat tubuh seksinya yang sekarang sudah diselimuti oleh gaun terusan berwarna merah muda yang selaras dengan kulit putih bersihnya. Rambutnya yang ia ikat satu tinggi, menampakkan lehernya yang jenjang. Jauh berbeda dengan Jasmine yang dulunya dikenal dengan kaus sederhana.
“Mommy!”
Jasmine seakan ditarik ke dunia nyata karena panggilan itu. Itu suara Andrea, dan dia mengatakan mommy … seperti ada getaran hangat yang Jasmine rasakan. Langsung saja dia keluar dari walk-in closet dan langsung bertemu dengan Andrea yang sudah duduk di sofa.
“Kenapa Mommy disini?” Andrea bertanya. Dia mengganti panggilannya karena mendengar teman-temannya memanggil mommy kepada ibu mereka, membuat Andrea juga mengikuti mereka. “Apa Mommy tidak tinggal di kamar sebelah?”
Jasmine melangkah sambil tersenyum. Berjongkok di lantai yang menghadap Andrea. “Mulai hari ini Mommy akan tinggal di sini, dan kamar sebelah sudah ditempati Grandma. Ya, Grandma mulai hari ini tinggal disini.”
Andrea terdiam. “Kalau begitu aku pasti jarang menemui Mommy.”
“Kenapa?” Alis Jasmine terangkat.
“Pria itu—“
“Daddy, Andrea.”
Bocah itu menghela napasnya. “Ya, daddy tidak akan mengizinkan aku menginjak tempatnya. Bahkan ini pertama kalinya aku masuk ke kamar ini.”
Jasmine menarik bibirnya yang tadinya sudah tidak tertarik karena mendengar pernyataan Andrea. “Kau tentu bisa masuk semaumu ke kamar ini, Mommy menjaminnya.”
Jasmine berdiri, mengulurkan tangannya ke Andrea. “Ayo, kita harus ke dapur membuat donat!”
“Ya! Donat!” Andrea memekik girang yang lalu menyambut tangan Jasmine.
***
“Fazilet, kenapa kau tidak membiasakan Andrea untuk tidur siang?” tanya Jasmine sesudah dia menidurkan Andrea di kamar.
Fazilet yang sedang berperang dengan alat-alat dapur memberhentikan kegiatannya. Dia menunduk takut. “M—maaf, Nyonya. Tuan Andrea tidak pernah mau tidur siang.”
Jasmine menghela napasnya panjang, berusaha mengontrol emosinya. “Baiklah … mulai sekarang, dia harus tidur siang. Dan kalau kau menyadari Andrea malah bermain dengan komputernya di waktu tidur siang, segera beritahu aku.”
“Baik, Nyonya.” Fazilet mengangguk paham. “Dan … ini, apa saya yang menggoreng donatnya?” tanya Fazilet sambil menoleh ke donat-donat yang sudah tercetak sempurna.
Jasmine tersenyum menatap donat tersebut. Itu adalah hasil kerja keras Jasmine dan Andrea. Bahkan di kepala Jasmine masih bisa terbayang bagaimana semangatnya Andrea membentuk donat tersebut.
“Tidak, biar aku saja yang menggorengnya sendiri— tidak ada bantahan, Fazilet,” jelas Jasmine tegas saat Fazilet ingin membantah. “Nanti aku akan menggorengnya, biarkan saja dulu agar donatnya mengembang dengan sempurna.”
Setelah itu Jasmine naik ke atas, menuju kamarnya. Dia ingin mengguyur tubuhnya dengan air dingin. Tubuhnya terasa lengket setelah berperang di dapur.
Setelah memakai jubah handuk yang hanya melindungi tubuh atasnya sampai di atas lutut, barulah Jasmine keluar dari kamar mandi.
“Kau!” Jasmine memekik kaget sambil menunjuk ke arah Emir yang sudah duduk di atas kasur sambil bermain tablet.
Melihat tatapan membunuh Emir, membuat ketakutan juga timbul dalam diri Jasmine. Dia memeluk tubuhnya sendiri, seolah melindungi tubuhnya dari Emir.
Boleh Author minta komentar review kalian? Hehehe!Mata Emir memicing tidak suka. Rahangnya mengeras keras. Dia berdiri. Berjalan dengan langkah tegasnya mendekati Jasmine yang juga berjalan mundur ke belakang karena takut."Apa yang kau lakukan disini?" Emir bertanya dengan suaranya yang meninggi sesudah jarak mereka hanya dua langkah.Jasmine menelan salivanya dalam. Dia berusaha mengumpulkan keberaniannya yang sudah hancur berkeping-keping. "A—aku—""Kau keluar dari kamar mandi milikku?!" Kalimat Jasmine menggantung karena Emir. Emir menggeleng tak percaya. Suasana juga semakin mencekam. "KELUAR!"Jasmine terperanjat kaget. Dia menggeleng. "Aku tinggal disini mulai sekarang!" Dan dengan secepat kilat, Jasmine mengeluarkan jawabannya. Dia m
Emir terdiam mendengar penjelasan Jasmine … mereka membuat donat itu bersama-sama. Jujur saja, donat tersebut menggugah selera Emir. Tetapi tidak mungkin baginya untuk makan di depan Jasmine langsung … itu sama saja membuat harga dirinya tercoreng. “A—apa kau tidak menyukainya?” Jasmine bertanya dengan hati-hati. “Donat tersebut sangat sehat. Bahannya juga baru dan berkualitas. Aku jamin kau akan sangat menyukainya.” Emir malah menunjuk ke arah pintu dengan dagunya. “Keluar.” Mata Jasmine membola. Apa katanya? Keluar? Sungguh, Jasmine sangat dipermalukan sekarang! Bukannya mengucap terima kasih atau membalas pertanyaan nya, pria itu malah menyuruhnya untuk keluar.
Kilatan-kilatan cahaya kamera mengenai wajah seorang wanita berambut blonde yang sedang berpose di depan kamera. Banyak sekali gaya yang digunakan, dan fotografer itu dengan sigap menangkap semua gaya tersebut.“Oke! Kerja yang bagus, Madison! Kita istirahat sebentar sebelum lanjut sesi berikutnya!”Madison Thema adalah nama wanita yang berprofesi sebagai model terkenal itu. Tubuhnya yang seksi dengan kaki jenjangnya, membuat dirinya banyak dilirik oleh brand ternama untuk dijadikan wajah dari brand mereka. Tak hanya itu saja, pengikutnya yang banyak juga menambah nilai lebih.“Apa kau sudah mendapatkannya?” Madison bertanya kepada seorang wanita berambut pendek yang tak lain adalah manajer pribadinya yang selalu mengikutinya kemanapun Mad
Jasmine menerima ponsel miliknya yang disodorkan Madison setelah dia duduk dalam kondisi bingung. "Tadi ponselmu berbunyi," jelas Madison yang menjawab pertanyaan dibenak Jasmine."Oh, terima kasih. Mungkin hanya pesan," tuturnya dengan senyuman sembari memasukkan ponsel tersebut ke dalam tasnya, sebelum kemudian menatap Madison. "Kau memanggilku kemari … ada apa? Apa kau butuh sesuatu dariku?"Madison menarik napasnya dalam. "Aku kaget mendengar kabar kalau Emir menikah lagi," jelas Madison. Wajahnya berubah sendu. "Tapi setidaknya aku bersyukur karena kau terlihat baik, semoga saja Andrea betah dengan dirimu, setidaknya mewakilkan diriku yang seharusnya berada di samping Andrea"Jasmine terenyuh. Mendadak dirinya bingung ingin menjawab apa.
Deniz yang sedari tadi berdiri di depan Emir tak pernah memutuskan pandangannya dari Emir. Dirinya terus menatap, seakan mencoba mengetahui apa yang sedang mengganggu Emir walau sangat sulit dilakukan. Seperti ada perisai yang sangat tebal, tak bisa ditembus oleh apapun, sekalipun peluru terbaik sedunia. “Apa ada masalah, Tuan?” Memberanikan diri, akhirnya Deniz mengeluarkan pertanyaan. “Kalau ada yang mengganjal, mungkin Tuan bisa memberitahukan kepada saya. Siapa tahu saya bisa membantu.” Emir terus menatap Deniz selama pria itu berbicara. Kemudian dia menghela napas, mendorong mejanya, membuat kursi dengan tumpuan roda itu terdorong ke belakang, lalu Emir berdiri dan berjalan ke arah samping. Matanya mengamati gedung-gedung pencakar langit yang terlihat begitu jelas dari ketinggian 60— ruangan kerjanya berada.
“Apa semuanya sudah lengkap?” Jasmine bertanya, sembari memeriksa lagi isi tas Andrea. “Tugasmu, apa sudah di dalam, Andrea?” Andrea yang sedang memasukkan sereal ke dalam mulutnya itu pun menghela napas. Menatap Jasmine yang berada di sampingnya. “Sudah, Mom … kalau Mommy tidak percaya, silakan periksa lagi,” katanya, kembali melanjutkan sarapannya. Jasmine sudah mengulang kalimat yang serupa sebanyak 3 kali, membuat Andrea bosan. Sedangkan di ujung, Emir sedari tadi duduk, memperhatikan mereka tanpa berniat mengeluarkan kalimat sedikitpun. Emir seperti tidak dianggap oleh Jasmine dan Andrea … walaupun begitu, pria itu tak ambil pusing. Dia lebih baik diam sambil menyesap kopinya dan mengecek beberapa email yang masuk dari tablet. Salah satu kebiasaan yang
Klub yang penuh dengan dentuman masuk, orang melompat-lompat, dan bau minuman— nyatanya tidak satupun pikiran Emir terbukti. Ternyata pertemuan itu diadakan di sebuah ruangan tertutup, dimana tadi mereka melewati ruangan yang benar-benar disebut klub, baru sampai di ruangan yang sudah dipesan Perusahaan Texas. Ruangan tersebut gelap, hanya ada lampu di atas sebagai penerang, dingin, dan juga kedap suara baik dari luar maupun dalam.Emir berdehem, meminta izin untuk ke kamar mandi disela-sela makan mereka sebagai penjeda dari bisnis yang sedang mereka bicarakan. Mendadak Emir ingin buang air kecil, suhu ruangan ini sangat dingin.Ketika cuaca sedang dingin, ginjal menyaring lebih banyak darah dari biasanya karena ada lebih banyak darah yang dipompa ke seluruh tubuh. Itu sebabnya ginjal akhirnya menghasilkan lebih ban
Emir berdehem. “Aku … mandi,” katanya yang lalu berlalu pergi masuk ke dalam kamar mandi. Di dalam, dia merutuki dirinya yang mendadak canggung.Sedangkan Jasmine, wanita itu menghela napasnya panjang. Dia merapatkan selimut tersebut ke tubuhnya. Perasaan kecewa tentu saja ada. Melihat Emir yang mendadak dingin, jauh berbeda dengan kegiatan semalam, tentu membuat Jasmine bertanya-tanya.“Apa dia mabuk semalam?” tanya Jasmine dengan perasaan yang mendadak menciut. Tak mau berlama-lama dengan kondisi tubuh seperti itu, akhirnya Jasmine berjalan tertatih ke walk-in closet. Perih sekali rasanya di bawah sana, Emir menghujam tanpa penuh ampun kemarin malam.Sesudah mengguyur tubuhnya dengan air dingin, Emir memutuskan untuk keluar
Napas Jasmine tertahan karena merasakan tangan Emir sudah melingkar di pinggangnya yang ramping. “Ayo,” ajak Emir. Mereka berjalan melewati karpet merah dengan kilatan-katan kamera yang terus saja bersahutan. Para awak media seperti mendapatkan mangsa yang sangat bagus untuk diterbitkan di halaman pertama.Pemikiran tentang makan malam sederhana langsung Emir tepis karena melihat banyaknya para media yang memenuhi depan hotel layaknya sekumpulan semut. Kalau saja Emir berjalan sendiri, maka sudah pasti kabar miring akan tersebar begitu lancarnya. Syukur saja Emir menuruti saran Deniz yang mengajak Jasmine.“Kenapa dia ada disini?” gumam Emir, melihat Tufan yang sudah duduk di bangku yang berhadapan dengan meja persegi panjang yang amat sangat besar. Rahangnya mengeras emosi. Ternyata Perusahaan Tex
Tidak hanya para orang tua murid, guru-guru juga sampai tidak fokus karena pemandandangan yang tersuguh. Para kaum wanita itu berteriak dalam hati, memuji bagaimana tampannya Emir yang bersandar di pintu mobil dengan tangan yang bersedekap. Tak lupa dengan kacamata yang menjepit hidungnya yang tinggi.Andrea, bocah itu menautkan kedua alisnya bingung sembari berjalan mendekati Emir. Ada apa gerangan pria itu kemari? Dan kemana Ozan yang seharusnya menjemput dirinya?“Apa mereka menahanmu di dalam?” Setelah Andrea sampai di depan Emir, pria tampan itu segera mengeluarkan pertanyaanya. Dia menghela napas, lalu memutuskan untuk berjongkok—menyamakan tinggi mereka.Andrea menggeleng. “Tidak, Dad. Tadi ada tugas tambahan.” Andrea menjawab
“Ambilkan ayamnya untukku.”Jasmine yang sedang memberikan lauk ke piring Andrea pun berhenti. Dalam kondisi bingung, Jasmine memilih mengangguk. Mengambilkan apa yang Emir minta setelah selesai dengan piring Andrea— mereka makan siang bersama di mansion.“Mulai sekarang aku juga ingin dilayani seperti kau melayani Andrea,” jelas Emir sesudah piring-nya terisi makanan.Alis Jasmine naik. Dirinya semakin bingung dengan tingkah Emir, namun Jasmine menganggukkan lagi kepalanya. Itu adalah perintah yang tidak sulit.Setelah acara makan siang selesai, Emir langsung bergegas pergi ke kantor untuk bekerja. Karena paksaan Jasmine di telepon tadi, akhirnya Emir memilih ma
Emir memutuskan untuk membahas semua persoalan yang terjadi belakangan ini bersama Jasmine setelah mendiami wanita itu selama beberapa hari.Sehabis kejadian malam penyatuan itu dimana Emir yang mabuk dan tak sadarkan diri, pria itu berubah seketika. Dia menjadi sangat dingin, bahkan enggan menatap Jasmine yang membuat Jasmine bertanya-tanya. Tak jarang perasaan bersalah pun menyelimuti Jasmine karena berpikir dirinya lah yang tidak bisa menjauh setelah ciuman panas yang Emir berikan.Karena tidak tahu mau memulai dari mana, akhirnya Emir membawa dasi kepada Jasmine yang sedang terduduk di depan meja rias. “Pasangkan.”Jasmine yang dapat melihat Emir dari pantulan kaca sontak terkejut. Dia berdiri, berbalik, lalu langsung dihadapkan dengan dasi Emir.
“Jawab pertanyaan Daddy, Madison!” hardik Tufan tajam. Madison terperanjat. Dia menggeleng pelan, merasa tidak yakin. “D—dad ….” Madison menunduk dalam. “Aku bersepakat akan pergi dari kehidupan Emir dan Andrea asalkan Emir memberiku uang tiap bulan.” “Apa yang kau lakukan, Madison?!” Bentakan itu keluar dengan mulusnya. Napas Tufan terengah-engah saking kagetnya. “Hanya demi uang kau tega menjual anakmu! Ibu macam apa dirimu?” “Dad, dengarkan Madison dulu,” pinta Madison sembari memegang tangan Tufan. “Tidak ada lagi yang harus Daddy dengar!” tegas Tufan dengan nada penuh yakin. “Selesaikan kesepakatan kalian dengan mandiri, baru setelah itu kau bisa datang ke Daddy! Ingat, Madison, kalau
Ayo dong kasih review nya hehehe“Apa yang kau lakukan disini?” Bariton Emir terdengar amat mengerikan sesudah mereka sampai di tangga darurat. Tidak ada siapapun disana selain mereka. Cekalan itu pun juga membuat Jasmine meringis kesakitan. Emir marah, mengetahui kalau Jasmine bekerja tanpa seizin darinya.“A—aku butuh pekerjaan,” Walau dalam kondisi penuh ketakutan, Jasmine tetap mengeluarkan jawabannya. Dia menatap manik abu Emir. “Keluargaku hidup dengan uangku! Aku harus memberi mereka uang setiap bulan—““Apa uangku tidak cukup?” Emir memotong dengan rahang yang mengetat. “Aku sudah memberimu banyak uang! Kau hanya perlu duduk diam di rumah! Tapi apa yang kau lakukan? Kau malah membuatku malu! Apa kata orang kalau menyadari dirimu
Madison tersenyum lebar sembari mendekap tubuh Andrea. Tak terasa, matanya berkaca-kaca. Andrea, balita yang ia tinggalkan sebelum berhasil memanggilnya mommy itu sudah sebesar sekarang. Tubuhnya berisi, menunjukkan kalau Andrea sangat sehat. Dan wajah itu sangat mirip dengan Emir terlebih warna mata— abu-abu “Kau sangat tampan,” kata Madison sambil menangkup wajah Andrea. Andrea menatap Jasmine, lalu kembali ke Madison. Jasmine tahu kalau Andrea masih belum merasa nyaman. “Memang,” sahut Andrea. “Aku sangat tampan, Mommy sering mengakuinya langsung,” lanjutnya sambil menatap Jasmine. Madison menarik bibirnya, sedikit paksa. “Ayo, kau ingin makan? Mommy akan memesankan untukmu.” Madison berusaha memutuskan tatapan mereka.
Emir berdehem. “Aku … mandi,” katanya yang lalu berlalu pergi masuk ke dalam kamar mandi. Di dalam, dia merutuki dirinya yang mendadak canggung.Sedangkan Jasmine, wanita itu menghela napasnya panjang. Dia merapatkan selimut tersebut ke tubuhnya. Perasaan kecewa tentu saja ada. Melihat Emir yang mendadak dingin, jauh berbeda dengan kegiatan semalam, tentu membuat Jasmine bertanya-tanya.“Apa dia mabuk semalam?” tanya Jasmine dengan perasaan yang mendadak menciut. Tak mau berlama-lama dengan kondisi tubuh seperti itu, akhirnya Jasmine berjalan tertatih ke walk-in closet. Perih sekali rasanya di bawah sana, Emir menghujam tanpa penuh ampun kemarin malam.Sesudah mengguyur tubuhnya dengan air dingin, Emir memutuskan untuk keluar
Klub yang penuh dengan dentuman masuk, orang melompat-lompat, dan bau minuman— nyatanya tidak satupun pikiran Emir terbukti. Ternyata pertemuan itu diadakan di sebuah ruangan tertutup, dimana tadi mereka melewati ruangan yang benar-benar disebut klub, baru sampai di ruangan yang sudah dipesan Perusahaan Texas. Ruangan tersebut gelap, hanya ada lampu di atas sebagai penerang, dingin, dan juga kedap suara baik dari luar maupun dalam.Emir berdehem, meminta izin untuk ke kamar mandi disela-sela makan mereka sebagai penjeda dari bisnis yang sedang mereka bicarakan. Mendadak Emir ingin buang air kecil, suhu ruangan ini sangat dingin.Ketika cuaca sedang dingin, ginjal menyaring lebih banyak darah dari biasanya karena ada lebih banyak darah yang dipompa ke seluruh tubuh. Itu sebabnya ginjal akhirnya menghasilkan lebih ban