[Wanita itu berjalan ke luar lewat pintu belakang, terus masuk ke bangunan kecil di belakang rumah mertuamu.]Sabrina kembali mengirimkan pesan beserta gambar sebuah bangunan yang lebih mirip seperti kandang. Entahlah itu gubuk atau apa, aku belum pernah melihatnya. Datang ke rumah Ibu pun, baru tadi dengan cara memaksa pula. [Oke, makasih, Sabrina,] balasku padanya. [Sama-sama. Kalau butuh bantuan apa pun, tinggal hubungi aku, ya? Selamat tidur, Tsania.]Pandanganku tak lepas dari foto yang diberikan Sabrina. Ternyata benar saja kecurigaanku, jika wanita itu kabur lewat pintu belakang. Sialnya, aku tidak menyadari itu saat di rumah ibu mertua. Pikiranku buntu karena amarah yang terlalu menggebu. "Sepertinya aku harus ke sana lagi," ucapku pelan, nyaris tanpa suara. Kupandangi wajah Mas Rendra yang sudah terlelap sejak tadi. Demi Tuhan aku tidak percaya jika laki-laki itu telah berkhianat. Dia bahkan tidak sendirian. Ibu mertua pun ikut andil dalam menutupi kebohongan putranya.
Aku terperanjat, mulutku menganga dengan mata mengarah pada wajah Sabrina yang kebingungan. "Ada apa, sih, Tsa?" tanya temanku itu. "Apa yang dilakukan Mas Rendra hingga aku bisa tidur selama itu?" "Rendra? Kenapa lagi dengan dia?" Sabrina kembali bertanya. Aku pun mengatakan semua yang sempat aku rencanakan. Niatku untuk ikut ke pabrik teh, harus gagal karena dibuat tidur oleh suamiku sendiri. Iya, aku sangat yakin jika Mas Rendra lah yang sudah membuatku tidur dari pagi hingga malam hari. Kalau bukan dia, siapa lagi? Tidak ada orang lain di sini."Jangan-jangan ... dia emang sengaja memasukkan obat tidur ke minumanmu pagi tadi, Tsa. Gak mungkin, kan kamu tidur kayak orang koma kayak tadi?" Aku diam, membenarkan ucapan Sabrina. Benar-benar keterlaluan Mas Rendra. Dia nekad membuatku tidak sadar demi bisa pergi ke rumah Ibu tanpa ketahuan olehku. Tanganku terkepal kuat meremas seprai. Dada pun naik turun menahan amarah yang tidak terlampiaskan. "Sabar, Tsa. Aku tahu kamu ke
"Makan ... makan di warung nasi dekat pabrik lah, di mana lagi?" Mas Rendra menjawab pertanyaanku dengan wajah yang sedikit memerah. Aku langsung membuang pandangan, merasa jijik dengan jawaban bohongnya. "Aku sedang tidak enak badan. Cuma bisa masak ini buat makan. Kalau Mas mau menu yang lain, silahkan masak sendiri," tuturku, lalu mulai mengambil nasi untuk disantap. Mas Rendra tidak lagi bicara. Dia membiarkanku menikmati makanan seperti orang lapar. Bayangkan saja, seharian penuh perutku tidak diisi apa pun. Dan itu karena perbuatan Mas Rendra. Aku yakin betul, jika dia yang membuatku tidur seperti orang mati. Dari ekor mata, aku melihat Mas Rendra mengambil sedikit nasi dan lauk ayam goreng yang tadi aku masak. Terlihat sekali dia tidak berselera dengan masakanku. Yang biasanya selalu makan banyak, kini hanya sedikit, bahkan tidak ada setengah dari porsi dia makan. "Kalau sudah kenyang, gak usah maksain makan, Mas," celetukku. Mas Rendra menoleh dengan kedua alis yang t
"Oke, Bu. Tsania akan datang."Suara Ibu terdengar senang saat aku menjawab ajakannya. Aku akan datang memenuhi undangan ibu mertua, bukan karena rindu masakannya. Tapi untuk mencari tahu wanita hamil di sana. Namun ... beberapa kali aku mendengar Mas Rendra mengatakan kontraksi saat bertelepon dengan Ibu. Apa jangan-jangan wanita itu sudah melahirkan?Sepertinya tidak. Kalaupun ada anak bayi, tidak mungkin Ibu mengundangku datang ke rumahnya, karena pasti akan ketahuan.Ah, sudahlah. Akan aku pikirkan nanti tentang itu. Yang jelas, aku harus memanfaatkan kesempatan yang tidak akan datang dua kali. Pergi ke rumah ibu mertua dengan tidak secara diam-diam. "Ekhem!" Mas Rendra berdehem, membuatku mengalihkan pandangan ke arahnya. "Kenapa?" tanyaku, memicingkan mata. Ah, dasar lelaki. Mana paham kalau hati ini sedang tidak ingin berbagi rasa dengannya. Mas Rendra melakukan apa yang tadi dia lakukan di luar. Namun, sayangnya aku tidak bisa menolaknya kali ini. Apa alasanku untuk itu?
"Alhamdulillah ... akhirnya kalian datang juga. Ibu pikir, Tsania enggak akan mau lagi datang ke sini."Ibu mertua menyambut dengan hangat saat kami tiba di tempat tujuan. Sebelum masuk ke rumah, mataku menelisik mencari orang yang tadi aku kirimi pesan. Namun, aku tidak menemukannya. Di mana dia berada? "Tsa, kamu cari apa?" tanya Ibu, menyadari gerak tubuhku. "Oh, tidak mencari siapa-siapa, Bu. Hanya ... sedikit beda dari pertama datang ke sini." Aku menjawab mencari alasan. "Oh ...." Ibu membulatkan mulut seraya menggiring tubuhku ke dalam rumah. "Itu karena Ibu, baru saja memotong rumput dan menebang beberapa pohon srikaya di halaman, Tsa," lanjutnya. Aku manggut-manggut. Sekarang, mata kuedarkan ke seluruh ruangan, dan berhenti pada foto pernikahanku dengan Mas Rendra yang terpampang cukup besar di ruang tamu. Perasaan ... waktu pertama ke sini aku tidak melihat itu, deh. Mungkin karena masuk dengan buru-buru, jadinya tidak memperhatikan hiasan dinding tersebut. "Tsa, ka
Orang yang aku pertanyakan keberadaannya datang, lalu duduk dengan wajah penuh tanda tanya. "Ini, loh, Dra. Barusan Tsania nanyain kamu," ujar Ibu pada putranya. "Aku dari rumah tetangga, Sayang .... Pasti gak mau makan, ya karena gak ada aku? Aduh, kebiasaan banget istriku ini. Mana piringnya, biar aku yang ambilkan nasi untukmu."Mas Rendra terus bicara seraya tangan menyedok nasi dan beberapa lauk yang terhidang. Aku hanya diam memperhatikan gesture tubuh dan wajahnya yang terlihat lebih ceria dari sebelumnya. Aku jadi curiga dengan tetangga yang baru saja ditemui Mas Rendra. Punya apa tetangga itu hingga membuat wajah suamiku berseri seperti itu? Oh, aku mengerti sekarang. Pasti tetangga yang dimaksud Ibu dan Mas Rendra, ialah wanita itu. Astaga ... sempat-sempatnya dia menemui wanita selingkuhannya di saat aku berada di sini. Kurang ajar! Brukk!"Astagfirullah!""Tsania?!" Mas Rendra dan Ibu berseru bersamaan saat dengan tidak sadar aku menggebrak meja karena merasa kesa
Mata kutajamkan agar bisa melihat dengan jelas foto yang dikirim seseorang padaku. Namun, tetap saja. Gelap dan buram. [Itu foto apa, sih?] Aku mempertanyakannya pada yang mengirim. [Itu perlengkapan bayi, Bu. Saya tidak bisa mengambil gambar dengan jelas, karena di dalam gelap. Coba Ibu keluar dari rumah, lalu pergi ke gubuk belakang. Di situlah saya menemukannya.]Aku memundurkan tubuh, duduk dengan tegak setelah membaca pesan balasan dari orang yang aku suruh untuk memata-matai rumah Ibu. Jadi benar dugaannku, jika yang dikatakan Ibu soal kandang ayam itu adalah tempat wanita selingkuhan suamiku? Astaga, wanita seperti apa yang mau tinggal di tempat seperti itu? Atau ... itu hanya dipakai menyimpan barang-barang saja? "Aku tidak bisa diam saja," gumamku, lalu mulai berpikir bagaimana caranya agar bisa pergi melihat gubuk tersebut. Pergi lewat depan rumah, pasti tidak akan diizinkan Ibu dan Mas Rendra. Setelah beberapa lama diam mencari cara, aku pun memberanikan diri keluar
"Oh ...." Aku hanya membulatkan mulut tak mau melanjutkan pertanyaan yang masih ada di dalam hati. Biarkan saja. Biarkan mereka menikmati sandiwaranya untuk saat ini. Dua jus alpukat dan dua es jeruk sudah di tangan ibu mertua. Aku pun mengambil uang dari dompet, lalu memberikannya pada pemilik warung. Kembaliannya tidak aku ambil. Sengaja kuberikan untuk jajan orang-orang yang sedang kumpul di sana. "Kami permisi, ya, assalamualaikum," kataku dengan ramah. Semuanya mengangguk dengan senyuman, mempersilahkan aku dan Ibu kembali ke rumah. Awalnya, aku dan Ibu melangkah beriringan. Namun, tiba-tiba aku berhenti saat menyadari sesuatu. "Ada apa, Tsa?" tanya Ibu, ikut berhenti melangkah. "Hape aku keringgalan di warung tadi, Bu.""Loh, kok bisa ketinggalan? Sudah-sudah, kamu pulang duluan saja, biar Ibu yang ambilkan.""Jangan!" kataku cepat. "Sebaiknya Ibu yang langsung ke rumah, biar aku yang ambil. Masih deket juga, kan? Gak mungkin nyasar, kok, Bu."Ibu diam beberapa saat, lal