Home / Pernikahan / Misteri di Rumah Mertua / Bab 5 banyak alasan

Share

Bab 5 banyak alasan

Author: Pena_yuni
last update Last Updated: 2023-02-15 13:39:09

[Wanita itu berjalan ke luar lewat pintu belakang, terus masuk ke bangunan kecil di belakang rumah mertuamu.]

Sabrina kembali mengirimkan pesan beserta gambar sebuah bangunan yang lebih mirip seperti kandang. Entahlah itu gubuk atau apa, aku belum pernah melihatnya. Datang ke rumah Ibu pun, baru tadi dengan cara memaksa pula.

[Oke, makasih, Sabrina,] balasku padanya.

[Sama-sama. Kalau butuh bantuan apa pun, tinggal hubungi aku, ya? Selamat tidur, Tsania.]

Pandanganku tak lepas dari foto yang diberikan Sabrina. Ternyata benar saja kecurigaanku, jika wanita itu kabur lewat pintu belakang.

Sialnya, aku tidak menyadari itu saat di rumah ibu mertua. Pikiranku buntu karena amarah yang terlalu menggebu.

"Sepertinya aku harus ke sana lagi," ucapku pelan, nyaris tanpa suara.

Kupandangi wajah Mas Rendra yang sudah terlelap sejak tadi. Demi Tuhan aku tidak percaya jika laki-laki itu telah berkhianat.

Dia bahkan tidak sendirian. Ibu mertua pun ikut andil dalam menutupi kebohongan putranya.

"Apa salahku pada kalian, hingga kamu dan Ibu setega itu, Mas?" Aku kembali bicara dengan satu tetes air mata yang keluar dari sudut netraku.

Perih, hatiku rasanya seperti ditusuk belati panas. Kewarasanku pun dipertaruhkan sekarang ini.

Aku dipaksa kuat, harus tersenyum, meskipun di dalam hati ada luka yang entah akan sembuh atau tidak.

Melihat pergerakan Mas Rendra, buru-buru aku membelakanginya seraya menghapus jejak air mata.

Aku tidak boleh menangis, aku harus bisa membongkar semua kebohongan Mas Rendra dan ibu mertua.

*

"Gimana keadaannya sekarang?"

Langkah kaki yang hendak pergi ke dapur, kuurungkan saat mendengar suara suamiku dari kamar tamu.

"Oh, syukurlah kalau hanya kontraksi palsu. Jadi, dia baik-baik saja sekarang?" ujar Mas Rendra lagi.

Kontraksi. Lagi-lagi kata itu yang dia ucapkan. Dan aku tahu, siapa yang menelepon suamiku sekarang ini. Pasti Ibu yang memberikan kabar tentang wanita hamil di rumahnya.

"Bukannya tidak sayang, tapi aku harus mempertimbangkan semuanya. Aku tidak mau pernikahanku dengan Tsania jadi berantakan karena masalah ini."

Di balik pintu yang tidak tertutup rapat, aku masih menguping pembicaraan Mas Rendra dengan orang di balik panggilan suara.

Sungguh serakah suamiku itu. Dia ingin tetap mempertahankanku di saat hatinya telah terbagi dengan wanita lain.

Dia pikir aku sudi berbagi suami?

Tidak! Aku akan menggugat cerai setelah semuanya terbongkar. Aku tidak ingin diduakan dengan alasan apa pun.

"Mana mungkin aku membawanya ke sini, Bu. Alasan apa yang harus aku berikan pada Tsania dan orang tuanya? Ibu lihat sendiri, kan, bagaimana Tsania mengamuk di rumah kemarin? Dia bisa saja berbuat lebih jika tahu aku membawa wanita lain ke kota ini."

Aku meremas baju bagian dada, menikmati tikaman busur panah yang menikam jantung. Tidak mengeluarkan darah, tapi sakitnya begitu parah.

Tega. Mas Rendra sungguh luar biasa jahatnya padaku.

"Oke, hari ini aku akan ke sana lagi. Tapi entah pukul berapa, aku tidak bisa memastikan. Aku harus kerja dulu. Kalau tidak, ayah mertuaku akan curiga," lanjut Mas Rendra lagi.

Tidak ingin merasakan sakit lebih lama lagi, aku memilih pergi ke dapur dan menyiapkan sarapan.

Setidaknya, aku sudah tahu jika suamiku akan pergi ke rumah ibu mertua hari ini. Tinggal aku mengatur rencana untuk ikut ke sana tanpa diketahui Mas Rendra.

Dua gelas teh panas sudah terhidang lengkap dengan kue kering dan beberapa gorengan yang aku beli dari penjual keliling barusan.

Dengan senyum manisnya, Mas Rendra datang menghampiri, lalu mencium pucuk kepalaku singkat.

"Ya ampun, ini pasti sakit, ya? Maaf, ya, Sayang?" Dia berujar seraya mengambil tanganku yang mulai sedikit membiru.

"Lumayan sakit," jawabku singkat.

Jika saja dia tahu, hatiku justru lebih sakit daripada luka yang dia berikan di tanganku. Akankah dia peduli? Sepertinya tidak. Buktinya, dengan sadar dia mengkhianatiku sampai memiliki wanita lain di kotanya berasal.

"Hari ini kamu sibuk, gak?" tanyaku memancingnya bicara.

"Sepertinya begitu, Sayang. Ada beberapa pekerjaan penting yang harus aku selesaikan di pabrik. Oh, iya, aku baru ingat, hari ini akan ada kiriman daun teh yang lumayan banyak ke luar kota, jadi aku harus memastikan kualitas daun yang kita jual. Aku akan sibuk hari ini."

Aku manggut-manggut seolah-olah percaya dengan alasannya.

Pabrik dan teh yang dia jadikan alasan. Dia pikir aku bodoh dan tidak tahu apa-apa mengenai perkembangan pabrik teh milik orang tuaku itu?

Aku bahkan tahu kapan harus mengirim daun teh kering ke agen, dan jadwal-jadwal pengiriman teh kemasan lainnya.

"Kenapa diam? Enggak percaya? Mau ikut ke pabrik sekalian?" tantangnya.

"Percaya, Mas. Aku percaya sama kamu. Tapi ... boleh juga kalau aku ikut ke pabrik. Sudah lama juga aku enggak main ke sana, dan menyapa karyawan pabrik. Oke, aku ikut ke sana."

Mas Rendra melebarkan mata, kemudian dia mengangguk lemah seraya menyesap teh manisnya.

Terlihat sekali dia keberatan, tapi tidak berani mencegah.

Syukurin. Kemakan omongan sendiri, kan?

Aku tersenyum di balik cangkir yang menyentuh bibir.

"Eh, tapi kalau karyawan nanya, kamu mau jawab apa soal tangan yang membiru itu, Sayang? Apa kamu akan mengatakan itu perbuatanku?"

Kali ini aku yang melebarkan mata tentang kekhawatirannya.

"Tenang saja, Mas. Aku akan memakai manset yang menutup pergelangan tangan. Kupastikan tidak akan ada yang bertanya tentang ini," jawabku santai.

Mas Rendra tak lagi bicara. Pandangannya kosong seraya tangan menyuapkan gorengan ke dalam mulut dengan cepat.

Sedangkan aku, mengirimkan pesan pada Sabrina, menyuruh dia bersiap jika nanti aku membutuhkannya.

Kami akan pergi ke Jakarta mengikuti Mas Rendra. Bahkan kalau bisa, aku harus sampai terlebih dahulu di sana.

"Bukannya mau ikut? Cepat ganti pakaian," ujar suamiku. Aku mengangkat kepala, melihat dia lalu mengangguk.

Dengan perasaan senang dan tak sabar akan petualangan hari ini, aku pergi ke kamar untuk mengganti dress rumahan yang aku kenakan dengan celana jeans yang dipadukan bersama kaus over size. Tidak lupa, aku juga memakai manset warna hitam agar menutupi pergelangan tangan yang membiru, juga topi untuk melindungi kepalaku dari panasnya sinar matahari.

"Sudah siap, Mas. Yuk, berangkat!" seruku seraya beridiri di ambang pintu ruang makan.

"Bentar, Tsa. Semangat banget kamu ini. Habiskan dulu tehnya, lalu cuci biar gak dikerumuni semut. Setelah itu baru kita pergi. Aku juga masih mau makan gorengan ini," tutur Mas Rendra dengan mulut penuh makanan. "Ngomong-ngomong, siapa yang jualan gorengan? Kayaknya rasanya beda dari yang biasa kita beli."

"Mak Minah." Aku berucap singkat.

Kesal pada Mas Rendra yang terkesan mengulur waktu. Entah apa yang dia pikirkan dan rencana apa yang sedang dia susun agar aku tidak jadi ikut dengannya. Namun, aku tidak akan goyah. Aku akan tetap ikut ke pabrik karena tidak mau kecolongan.

"Udah abis tehnya?" tanya Mas Rendra beberapa saat kemudian.

"Udah."

"Cuci gelasnya, sekalian punyaku. Aku mau ke kamar mandi dulu. Kebelet."

Aku berdecak kesal karena Mas Rendra terus saja mencari alasan. Dengan hati yang dongkol, aku pun mencuci dua gelas yang tadi kamu gunakan untuk minum teh. Setelahnya, aku duduk kembali di kursi seraya memainkan ponsel.

"Mas! Cepetan!" teriakku setelah beberapa menit dia tak jua datang.

"Bentar lagi, Sayang!"

"Lama." Aku menggerutu kesal.

*

"Tsa, bangun!"

"Emmh ...." Aku menggeliat seraya menggaruk kepala.

"Tsania! Astaga ... ini anak susah sekali dibangunin."

Aku berdecak kesal saat mendengar suara yang mengganggu tidurku.

Tidur? Tunggu. Bukannya aku akan pergi ke pabrik bersama Mas Rendra?

Buru-buru aku membuka mata lebar-lebar, lalu melihat sekitar. Dan bertapa terkejutnya aku saat tahu aku tengah berada di atas tempat tidur.

"Mana Mas Rendra?" ujarku seraya menatap Sabrina yang tiba-tiba ada di rumahku. Aku beringsut duduk, terus menatap Sabrina yang berdiri di samping tempat tidur.

"Mana aku tahu?" Sabrina mengedikkan bahu dengan wajah kesalnya "Ada juga aku yang harusnya bertanya. Kamu kenapa? Apa yang terjadi? Dari pagi aku telepon kamu sampai malam, gak diangkat juga. Karena khawatir, aku pun datang ke sini. Pas nyampe, rumah gelap tapi gak dikunci. Kalau ada maling gimana? Tidur kayak orang mati."

"Malam? Emang ini jam berapa?" tanyaku pada seraya mengumpulkan ingatan.

"Jam tujuh malam."

"Hah?!"

Related chapters

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 6 Menu yang Sama

    Aku terperanjat, mulutku menganga dengan mata mengarah pada wajah Sabrina yang kebingungan. "Ada apa, sih, Tsa?" tanya temanku itu. "Apa yang dilakukan Mas Rendra hingga aku bisa tidur selama itu?" "Rendra? Kenapa lagi dengan dia?" Sabrina kembali bertanya. Aku pun mengatakan semua yang sempat aku rencanakan. Niatku untuk ikut ke pabrik teh, harus gagal karena dibuat tidur oleh suamiku sendiri. Iya, aku sangat yakin jika Mas Rendra lah yang sudah membuatku tidur dari pagi hingga malam hari. Kalau bukan dia, siapa lagi? Tidak ada orang lain di sini."Jangan-jangan ... dia emang sengaja memasukkan obat tidur ke minumanmu pagi tadi, Tsa. Gak mungkin, kan kamu tidur kayak orang koma kayak tadi?" Aku diam, membenarkan ucapan Sabrina. Benar-benar keterlaluan Mas Rendra. Dia nekad membuatku tidak sadar demi bisa pergi ke rumah Ibu tanpa ketahuan olehku. Tanganku terkepal kuat meremas seprai. Dada pun naik turun menahan amarah yang tidak terlampiaskan. "Sabar, Tsa. Aku tahu kamu ke

    Last Updated : 2023-04-01
  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 7 Undangan Ibu Mertua

    "Makan ... makan di warung nasi dekat pabrik lah, di mana lagi?" Mas Rendra menjawab pertanyaanku dengan wajah yang sedikit memerah. Aku langsung membuang pandangan, merasa jijik dengan jawaban bohongnya. "Aku sedang tidak enak badan. Cuma bisa masak ini buat makan. Kalau Mas mau menu yang lain, silahkan masak sendiri," tuturku, lalu mulai mengambil nasi untuk disantap. Mas Rendra tidak lagi bicara. Dia membiarkanku menikmati makanan seperti orang lapar. Bayangkan saja, seharian penuh perutku tidak diisi apa pun. Dan itu karena perbuatan Mas Rendra. Aku yakin betul, jika dia yang membuatku tidur seperti orang mati. Dari ekor mata, aku melihat Mas Rendra mengambil sedikit nasi dan lauk ayam goreng yang tadi aku masak. Terlihat sekali dia tidak berselera dengan masakanku. Yang biasanya selalu makan banyak, kini hanya sedikit, bahkan tidak ada setengah dari porsi dia makan. "Kalau sudah kenyang, gak usah maksain makan, Mas," celetukku. Mas Rendra menoleh dengan kedua alis yang t

    Last Updated : 2023-04-03
  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 8 Berangkat ke Rumah Ibu Mertua

    "Oke, Bu. Tsania akan datang."Suara Ibu terdengar senang saat aku menjawab ajakannya. Aku akan datang memenuhi undangan ibu mertua, bukan karena rindu masakannya. Tapi untuk mencari tahu wanita hamil di sana. Namun ... beberapa kali aku mendengar Mas Rendra mengatakan kontraksi saat bertelepon dengan Ibu. Apa jangan-jangan wanita itu sudah melahirkan?Sepertinya tidak. Kalaupun ada anak bayi, tidak mungkin Ibu mengundangku datang ke rumahnya, karena pasti akan ketahuan.Ah, sudahlah. Akan aku pikirkan nanti tentang itu. Yang jelas, aku harus memanfaatkan kesempatan yang tidak akan datang dua kali. Pergi ke rumah ibu mertua dengan tidak secara diam-diam. "Ekhem!" Mas Rendra berdehem, membuatku mengalihkan pandangan ke arahnya. "Kenapa?" tanyaku, memicingkan mata. Ah, dasar lelaki. Mana paham kalau hati ini sedang tidak ingin berbagi rasa dengannya. Mas Rendra melakukan apa yang tadi dia lakukan di luar. Namun, sayangnya aku tidak bisa menolaknya kali ini. Apa alasanku untuk itu?

    Last Updated : 2023-04-04
  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 9 Sikap Aneh Ibu

    "Alhamdulillah ... akhirnya kalian datang juga. Ibu pikir, Tsania enggak akan mau lagi datang ke sini."Ibu mertua menyambut dengan hangat saat kami tiba di tempat tujuan. Sebelum masuk ke rumah, mataku menelisik mencari orang yang tadi aku kirimi pesan. Namun, aku tidak menemukannya. Di mana dia berada? "Tsa, kamu cari apa?" tanya Ibu, menyadari gerak tubuhku. "Oh, tidak mencari siapa-siapa, Bu. Hanya ... sedikit beda dari pertama datang ke sini." Aku menjawab mencari alasan. "Oh ...." Ibu membulatkan mulut seraya menggiring tubuhku ke dalam rumah. "Itu karena Ibu, baru saja memotong rumput dan menebang beberapa pohon srikaya di halaman, Tsa," lanjutnya. Aku manggut-manggut. Sekarang, mata kuedarkan ke seluruh ruangan, dan berhenti pada foto pernikahanku dengan Mas Rendra yang terpampang cukup besar di ruang tamu. Perasaan ... waktu pertama ke sini aku tidak melihat itu, deh. Mungkin karena masuk dengan buru-buru, jadinya tidak memperhatikan hiasan dinding tersebut. "Tsa, ka

    Last Updated : 2023-04-05
  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 10 Cucu Sah?

    Orang yang aku pertanyakan keberadaannya datang, lalu duduk dengan wajah penuh tanda tanya. "Ini, loh, Dra. Barusan Tsania nanyain kamu," ujar Ibu pada putranya. "Aku dari rumah tetangga, Sayang .... Pasti gak mau makan, ya karena gak ada aku? Aduh, kebiasaan banget istriku ini. Mana piringnya, biar aku yang ambilkan nasi untukmu."Mas Rendra terus bicara seraya tangan menyedok nasi dan beberapa lauk yang terhidang. Aku hanya diam memperhatikan gesture tubuh dan wajahnya yang terlihat lebih ceria dari sebelumnya. Aku jadi curiga dengan tetangga yang baru saja ditemui Mas Rendra. Punya apa tetangga itu hingga membuat wajah suamiku berseri seperti itu? Oh, aku mengerti sekarang. Pasti tetangga yang dimaksud Ibu dan Mas Rendra, ialah wanita itu. Astaga ... sempat-sempatnya dia menemui wanita selingkuhannya di saat aku berada di sini. Kurang ajar! Brukk!"Astagfirullah!""Tsania?!" Mas Rendra dan Ibu berseru bersamaan saat dengan tidak sadar aku menggebrak meja karena merasa kesa

    Last Updated : 2023-04-07
  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 11 Wanita dengan Lirikan Tajam

    Mata kutajamkan agar bisa melihat dengan jelas foto yang dikirim seseorang padaku. Namun, tetap saja. Gelap dan buram. [Itu foto apa, sih?] Aku mempertanyakannya pada yang mengirim. [Itu perlengkapan bayi, Bu. Saya tidak bisa mengambil gambar dengan jelas, karena di dalam gelap. Coba Ibu keluar dari rumah, lalu pergi ke gubuk belakang. Di situlah saya menemukannya.]Aku memundurkan tubuh, duduk dengan tegak setelah membaca pesan balasan dari orang yang aku suruh untuk memata-matai rumah Ibu. Jadi benar dugaannku, jika yang dikatakan Ibu soal kandang ayam itu adalah tempat wanita selingkuhan suamiku? Astaga, wanita seperti apa yang mau tinggal di tempat seperti itu? Atau ... itu hanya dipakai menyimpan barang-barang saja? "Aku tidak bisa diam saja," gumamku, lalu mulai berpikir bagaimana caranya agar bisa pergi melihat gubuk tersebut. Pergi lewat depan rumah, pasti tidak akan diizinkan Ibu dan Mas Rendra. Setelah beberapa lama diam mencari cara, aku pun memberanikan diri keluar

    Last Updated : 2023-04-09
  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 12 Aku Wanita Kedua?

    "Oh ...." Aku hanya membulatkan mulut tak mau melanjutkan pertanyaan yang masih ada di dalam hati. Biarkan saja. Biarkan mereka menikmati sandiwaranya untuk saat ini. Dua jus alpukat dan dua es jeruk sudah di tangan ibu mertua. Aku pun mengambil uang dari dompet, lalu memberikannya pada pemilik warung. Kembaliannya tidak aku ambil. Sengaja kuberikan untuk jajan orang-orang yang sedang kumpul di sana. "Kami permisi, ya, assalamualaikum," kataku dengan ramah. Semuanya mengangguk dengan senyuman, mempersilahkan aku dan Ibu kembali ke rumah. Awalnya, aku dan Ibu melangkah beriringan. Namun, tiba-tiba aku berhenti saat menyadari sesuatu. "Ada apa, Tsa?" tanya Ibu, ikut berhenti melangkah. "Hape aku keringgalan di warung tadi, Bu.""Loh, kok bisa ketinggalan? Sudah-sudah, kamu pulang duluan saja, biar Ibu yang ambilkan.""Jangan!" kataku cepat. "Sebaiknya Ibu yang langsung ke rumah, biar aku yang ambil. Masih deket juga, kan? Gak mungkin nyasar, kok, Bu."Ibu diam beberapa saat, lal

    Last Updated : 2023-04-09
  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 13 Pergi ke Gubuk Belakang Rumah Ibu

    "Maling!""Maling!" "Ada maling!!"Belum juga Mas Rendra meneruskan ucapannya, suara gaduh dari luar membuat kami seketika menoleh ke arah pintu. Ibu, Mas Rendra dan aku pun keluar, melihat apa yang sekiranya terjadi di sana. "Ada apa, Pa?" tanya suamiku pada pria yang terengah dengan papan kayu di tangannya. "Ada yang mau maling, Mas Rendra," jawabnya. "Maling? Maling apa, Pak?" "Enggak tahu, tapi dari tadi dia terus saja bertindak mencurigakan di belakang rumah Bu Mariyah. Hati-hati, rumah ibumu jadi incaran maling."Bukan hanya Ibu dan Mas Rendra saja yang terkejut. Tapi, aku juga. Siapa yang akan mencuri di rumah Ibu? Apa yang ingin dia curi, sedangkan tak ada barang mewah di sini? Apa jangan-jangan ... astaga! Apa yang dikira maling itu orang suruhanku? Gawat jika benar dia dan tertangkap warga. Aku dalam ancaman juga. Warga yang tadi meneriaki maling, kini berkumpul di depan rumah Ibu seraya membahas pria asing yang mereka curigai. Semua orang menyayangkan, jika laki

    Last Updated : 2023-04-10

Latest chapter

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 139

    "Kayaknya bukan masalah kerjaan, Tsa. Coba, deh, kamu tanya baik-baik sama Rendra. Siapa tahu, dia ... merindukan ibunya?"Aku termenung mendengar penuturan Papa barusan. Apa iya, suamiku merindukan Ibu? "Kenapa tidak bilang dan pergi temui Ibu? Aku enggak akan larang, kok," kataku kemudian. "Mungkin Rendra malu untuk bilang, makanya dia diam. Kamu sebagai istri, harusnya inisiatif tanya. Bagaimanapun juga, wanita yang saat ini ada di rumah sakit jiwa itu, wanita yang telah melahirkan suamimu. Wajib hukumnya kamu mengingatkan suami agar tetap memperhatikan ibunya. Kalau sehat badan, ya dengan tenaga, kalau punya harta, ya dengan harta. Kalau punya keduanya, lakukan bersamaan. Paham, Tsa?" Aku mengangguk lemah dengan tatapan pada Mas Rendra yang memejamkan mata.Papa yang sudah merasakan kantuk, ia pun pamit pada Ayu, mencium pipi chubby cucunya itu sebelum pergi ke kamar. "Mas." Aku mengusap pipi Mas Rendra dengan lembut. Tidak ada respon. Hanya embusan napas teratur yang kudenga

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 138

    "Kamu aku izinkan menjenguk Ayu, tapi dengan satu syarat," ujar Mas Rendra, melanjutkan ucapannya yang menggantung. "Apa syaratnya, Mas?" Roy bertanya. "Jangan berharap membawa dia. Aku tidak akan mengizinkan itu."Dengan wajah yang terlihat kecewa, Roy menganggukkan kepalanya. Aku merasa lega, karena Mas Rendra tidak membiarkan Roy mengurus Ayu. Pikirku, Mas Rendra akan dengan senang hati menyerahkan Ayu, membiarkan keponakannya itu diasuh oleh ayah kandungnya. Akan tetapi, itu hanya ketakutanku saja. Mas Rendra juga pasti sudah memikirkan matang-matang tentang jawaban yang dia berikan pada Roy. "Sekarang kamu boleh pergi," ujar Mas Rendra dingin."Mas, sebelum aku pergi, bodoh tidak jika aku menggendong anakku?" Mataku langsung menatap wajah Roy setelah dia berucap demikian. Aku memperhatikan dengan lekat wajah itu, mencari apakah ada niat jelek darinya untuk Ayu. Namun, aku bukan Tuhan yang bisa tahu isi hati manusia. Aku tidak menangkap niat buruk dari Roy, hanya melihat se

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 136 Pria Asing itu Ternyata ....

    Aku dan Mas Rendra saling pandang, sangat terkejut dengan ucapan yang pria itu lontarkan. Mas Rendra membalikkan badan, menatap heran pada pria yang melihat suamiku dengan nyalang. "Siapa yang kau sebut anakku?" tanya suamiku kemudian. Pria itu meneguk ludah dengan kasar. Tanpa mengucapkan satu kata pun, dia pergi menjauhi kami dan naik ke atas kendaraan roda duanya. Mas Rendra mengejar. Suamiku itu berhasil menahan pria asing tadi untuk kabur, sementara aku menghampiri mobil untuk mengambil Ayu yang sengaja kami biarkan di dalam mobil. Awalnya, aku sengaja meninggalkan aku untuk memancing pria itu. Karena aku kira, dia penculik yang mengincar Ayu. Akan tetapi, sepertinya aku salah duga. Dari cara dia tadi berteriak menghentikan Mas Rendra, aku yakin dia bukanlah penculik. "Siapa kamu sebenarnya? Katakan, siapa?!" ujar Mas Rendra, memaksa laki-laki itu untuk bicara. "Lepaskan!" Pria yang kedua tangannya dicekal Mas Rendra, berteriak seraya berontak. "Aku akan melepaskanmu, as

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 135

    "Ini Anak Bayi mau ke mana? Ya ampun ... pagi-pagi gini sudah cantik aja." "Jalan-jalan, dong, Opa," kataku, menjawab pertanyaan yang Papa tujukan pada Ayu. Sekarang hari minggu. Karena pabrik libur di hari ini, aku pun berinisiatif untuk pergi jalan-jalan bersama Ayu. Alhamdulillah-nya, Mas Rendra tidak menolak ketika aku menyampaikan keinginan untuk pergi di hari minggu. Dan sekarang, aku sudah siap untuk pergi. Tinggal menunggu Mas Rendra yang masih mandi, karena tadi gantian menjaga Ayu. "Kalian mau pergi ke mana? Jangan jauh-jauh, kasihan Ayu. Dan ingat kondisi kamu juga, Tsa," ujar Papa seraya meletakkan Ayu di stroller. "Iya, Papa. Palingan ke taman, terus makan-makan doang, sih. Janji, deh enggak akan pulang malam." Aku mengacungkan dua jari ke depan wajah. "Yasudah, kalian hati-hati, ya? Papa udah transfer buat jajan kalian.""Emh ... Papa .... Makasih," tuturku, lalu memeluk Papa. Sebenarnya, Papa sudah aku ajak untuk ikut bersamaku dan Mas Rendra. Akan tetapi, Papa m

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 134

    Gorden yang aku tutup tiba-tiba, aku buka kembali untuk melihat orang tadi. Akan tetapi, orang asing itu sudah tidak ada di tempatnya. Dia pergi dan entah ke mana. Hati semakin khawatir, takut jika orang tadi punya niat buruk padaku, atau semua penghuni rumah ini. Sangat menyeramkan. [Mas, tadi ada orang asing yang ngintai rumah kita,] ujarku, mengirimkan pesan pada Mas Rendra. Sayangnya, suamiku itu membalas pesan yang aku kirim. Jangankan membalasnya, dibaca pun tidak sama sekali. Suamiku itu pasti sedang bekerja saat ini. [Pah.] Aku memanggil Papa, lewat pesan juga. Sama seperti Mas Rendra, Papa juga tidak sama sekali membaca pesanku. Ada rasa kesal pada dua lelaki itu karena mengabaikan pesanku, tapi aku juga sadar jika mereka sedang bekerja saat ini. Lalu aku harus apa untuk mengalihkan rasa takut ini? "Astaghfirullah!"Ketukan di pintu membuatku yang tengah melamun, terlonjak kaget mendengarnya. Dada kuusap berulang kali seraya mengatur napas. "Siapa?" tanyaku, seteng

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 133 Orang Asing

    "Setelah Mama pergi, dia belum pernah datang ke mimpi Papa, Tsa. Papa ingin sekali melihatnya," ujar Papa seraya mengusap kedua matanya. Aku tidak bisa melakukan apa-apa. Tanganku mengusap-usap punggung Papa, lalu akhirnya kami berpelukan. Sebenarnya, aku pun merasakan hal yang sama. Tadi setelah salat maghrib, tiba-tiba mengingat Mama. Namun, aku tidak mengatakannya pada siapa pun. Aku pendam rasa ini, karena mungkin hanya aku yang merasakannya. Ternyata tidak, Papa pun merasakan kerinduan yang sama pada wanita yang sudah tidak lagi bersama kami saat ini. "Masih ada penyesalan di sini, Tsa." Papa meraba dadanya. "Seandainya saja saat itu Papa langsung pulang, mungkin sekarang Mama masih ada, ya?" lanjut Papa lagi. "Ssttt .... Jangan bicara seperti itu, Pah. Kan, kata Papa juga semuanya sudah Allah atur. Kapan kita meninggal, di mana dan dengan cara apa, sudah Allah tentukan lebih dulu sebelum kita dilahirkan ke dunia ini."Papa mengurai pelukan, lalu mengangguk pelan. Dia menari

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 132 Sabrina Pamit

    "Waalaikumsalam," ucapku, lalu diikuti Mas Rendra dan Papa. Mataku tak lepas dari seseorang yang saat ini masih bergeming di tempatnya. Begitu juga dengan Mas Rendra dan Papa. Sedangkan yang diperhatikan, matanya memindai kami yang ada di dalam rumah, lalu berhenti di Mas Rendra. Untuk beberapa detik keduanya saling mengunci pandangan, hingga akhirnya Mas Rendra melihat ke arahku seraya tersenyum. "Masuk, Na." Aku berucap demikian. Wanita yang tak lain adalah Sabrina, melangkahkan kaki ke dalam rumah, lalu menyalami Papa yang berada paling dekat dengan pintu. Ayahku berpindah duduk, lalu sofa yang tadi ia tempati, kini diduduki Sabrina. Panjang umur Sabrina ini. Baru saja kami membahasnya, tahu-tahu sekarang dia ada di hadapan kami. "Mas Rendra sejak kapan di sini?" tanya Sabrina pada suamiku. Sebagai seorang wanita dewasa, aku paham betul jika tatapan Sabrina pada suamiku mengandung arti. Masih ada rasa yang aku lihat dari sorot matanya itu. Mas Rendra tidak langsung menjawa

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 131

    "Kakak kaget, loh tadi pas kamu masuk sama Rendra. Kakak kira, kalian mau ngomongin perpisahan. Eh, tahunya sebaliknya. Seneng, deh lihat kamu ceria lagi kayak gini. Tadi, gimana kata dokter? Janinnya baik-baik saja, kan? Kamunya juga sehat?"Aku terkekeh ketika diberondong banyak pertanyaan oleh Kak Anna. Awal aku datang, wajah Kak Anna memang menunjukkan keheranan. Apa lagi alasannya kalau bukan karena aku yang datang bersama Mas Rendra. Dan setelah dijelaskan, baik Kak Anna maupun Bang Ben, menerima keputusanku. Mereka mendukung penuh aku untuk tetap bersama Mas Rendra, apalagi aku yang tengah mengandung anaknya Mas Rendra. "Kandungan aku baik. Meskipun, tadi pagi sempat kram, tapi Alhamdulillah semuanya normal-normal saja. Aku juga sehat," jawabku kemudian."Syukurlah kalau baik-baik saja. Iya, tahu, kok kalau kalian pasti rindu, kan? Tapi, harus ingat, ada Tsania junior di sini. Atau mungkin, Rendra junior?" Aku tertawa, mengikuti Kak Anna yang terkekeh seraya mengusap-usap p

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 130

    "Jadi, kalian memutuskan untuk bersama lagi?"Aku dan Mas Rendra mengangguk, menjawab pertanyaan yang diberikan Papa. Sekitar satu jam yang lalu, aku dan Mas Rendra memutuskan pulang ke rumah Papa. Setelah makan bersama, Papa mengajak kami untuk bicara, membahas rumah tangga kami yang sempat berada di ujung perpisahan. "Papa senang, jika akhirnya kalian kembali bersama. Karena bagaimanapun, kalian ini akan jadi orang tua. Sudah jadi orang tua bahkan, karena Ayu adalah bagian dari kalian," ujar Papa lagi. Tanganku dan tangan Mas Rendra saling menggenggam. Kami duduk berdampingan, tidak ingin jauh satu sama lain. "Rendra." Papa menyebut nama suamiku. "Iya, Pah?" "Ini kesempatan terakhir yang Papa berikan kepada kamu. Jika suatu hari nanti kamu membuat kesalahan lagi, menutupi masalah apa pun itu dari Tsania, hingga membuat anak Papa terluka, Papa sendiri yang akan memintamu pergi. Ingat, Rendra. Laki-laki yang dipegang itu omongannya. Maka, bersikaplah seperti ucapan yang kamu jan

DMCA.com Protection Status