"Oh ...." Aku hanya membulatkan mulut tak mau melanjutkan pertanyaan yang masih ada di dalam hati. Biarkan saja. Biarkan mereka menikmati sandiwaranya untuk saat ini. Dua jus alpukat dan dua es jeruk sudah di tangan ibu mertua. Aku pun mengambil uang dari dompet, lalu memberikannya pada pemilik warung. Kembaliannya tidak aku ambil. Sengaja kuberikan untuk jajan orang-orang yang sedang kumpul di sana. "Kami permisi, ya, assalamualaikum," kataku dengan ramah. Semuanya mengangguk dengan senyuman, mempersilahkan aku dan Ibu kembali ke rumah. Awalnya, aku dan Ibu melangkah beriringan. Namun, tiba-tiba aku berhenti saat menyadari sesuatu. "Ada apa, Tsa?" tanya Ibu, ikut berhenti melangkah. "Hape aku keringgalan di warung tadi, Bu.""Loh, kok bisa ketinggalan? Sudah-sudah, kamu pulang duluan saja, biar Ibu yang ambilkan.""Jangan!" kataku cepat. "Sebaiknya Ibu yang langsung ke rumah, biar aku yang ambil. Masih deket juga, kan? Gak mungkin nyasar, kok, Bu."Ibu diam beberapa saat, lal
"Maling!""Maling!" "Ada maling!!"Belum juga Mas Rendra meneruskan ucapannya, suara gaduh dari luar membuat kami seketika menoleh ke arah pintu. Ibu, Mas Rendra dan aku pun keluar, melihat apa yang sekiranya terjadi di sana. "Ada apa, Pa?" tanya suamiku pada pria yang terengah dengan papan kayu di tangannya. "Ada yang mau maling, Mas Rendra," jawabnya. "Maling? Maling apa, Pak?" "Enggak tahu, tapi dari tadi dia terus saja bertindak mencurigakan di belakang rumah Bu Mariyah. Hati-hati, rumah ibumu jadi incaran maling."Bukan hanya Ibu dan Mas Rendra saja yang terkejut. Tapi, aku juga. Siapa yang akan mencuri di rumah Ibu? Apa yang ingin dia curi, sedangkan tak ada barang mewah di sini? Apa jangan-jangan ... astaga! Apa yang dikira maling itu orang suruhanku? Gawat jika benar dia dan tertangkap warga. Aku dalam ancaman juga. Warga yang tadi meneriaki maling, kini berkumpul di depan rumah Ibu seraya membahas pria asing yang mereka curigai. Semua orang menyayangkan, jika laki
Tidak ada siapa pun di sana. Itu yang membuatku kesal luar biasa. Aku gagal menemukan wanita selingkuhan suamiku.Namun, karpet bulu serta perlengkapan bayi yang waktu itu dibeli Mas Rendra, ada di sana. Dan aku semakin yakin, jika gubuk ini memang ada penghuninya. "Ini gubuk apa istana?" ujarku seraya memindai ruangan kecil tersebut. Tidak terlihat seperti bekas kandang ayam seperti yang dikatakan ibu mertua. Justru tempat ini sangat layak untuk ditinggali. Papan yang menjadi lantai, sangat bersih dan mengkilap. Dindingnya pun ditutup stiker yang membuat gubuk ini terlihat estetika. Aku melangkahkan kaki mendekati meja kecil yang berada di sudut ruangan, lalu mengulurkan tangan mengambil kain rajut yang belum sepenuhnya selesai. "Topi bayi," kataku, memperhatikan bentuk kain tersebut. Aku memejamkan mata seraya menekan dada dengan kuat untuk meredam dentuman di dalam sana. Sekuat apa pun aku menahan rasa sakit, tapi nyatanya tetap saja terasa. Apalagi saat membayangkan Mas Ren
Aku mengambil album foto dari Ina, lalu melihat lekat gambar yang ada di sana. Iya, benar itu Mas Rendra. Di sana, dia masih memakai seragam SMA. Suamiku berfose ceria dengan wanita di sampingnya. Dan wanita itu ...."Kamu?" kataku, seraya bergantian melihat Ina dan foto wanita dalam album tersebut. "Ini kamu, kan?" tanyaku lagi. "Iya, itu aku. Aku wanita cinta pertama Mas Rendra. Dan kamu, telah merebutnya dariku."Aku mengerutkan kening seraya menatap wanita yang sekarang berdiri dengan kedua tangan dilipat di perut. Demi Tuhan aku tidak paham dengan ucapan dia. Kenapa dia mengaku cinta pertama Mas Rendra, sedangkan yang sekarang ingin aku temui adalah wanita hamil selingkuhan suamiku. Aku jadi tidak yakin, jika Ina ada hubungannya dengan wanita hamil yang aku cari. "Dulu, aku sama Mas Rendra sangat dekat. Teramat dekat, hingga tak pernah satu hari pun tidak bertemu. Berangkat ke sekolah selalu bersama, begitu pun pulangnya. Kami juga sudah berjanji untuk saling menjaga di man
"Belakang," ucap Ibu bohong. Ingin rasanya aku berteriak menyanggah ucapan bohong Ibu. Namun, itu tidak akan membuat mereka jadi jujur. Malah akan berpikiran aku ini tidak sopan karena berteriak kepada orang tua.Menyembunyikan kebohongan dengan menyalahkan orang lain. "Sudah, Bu." Aku menghentikan tangan Ibu yang memijit kakiku. "Mas, kita jadi nginep di sini?" Kini pertanyaan aku tujukan pada Mas Rendra. "Enggak, Sayang. Kita pulang saja, ya? Besok aku harus ke pabrik. Gak enak sama Papa dan karyawan lainnya. Aku juga nggak mau memanfaatkan statusku sebagai menantu Papa, untuk bisa seenaknya di pabrik. Salah satunya dengan sering bolos kerja," tutur Mas Rendra. Aku mengangguk kecil. Beberapa saat kemudian, aku dan Mas Rendra pun pamit pulang. Berat sebenarnya pergi sekarang, karena masih ada yang mengganjal. Aku gagal lagi membuka kedok ibu mertua dan Mas Rendra, juga belum berhasil menemukan wanita hamil selingkuhan Mas Rendra. Di mana sebenarnya Mas Rendra menyembunyikan wan
"Ada. Itu Mas Rendra." Aku menoleh ke belakang, melihat suamiku yang masuk seraya tersenyum. Mas Rendra langsung menyalami Papa dan Mama. Kami pun duduk di tempat yang berbeda. Seperti anak yang sudah bertahun-tahun tak berjumpa dengan ibunya, aku terus saja bermanja pada Mama, memeluk tubuh rampingnya meski di usia yang tak lagi muda. Malah lebih langsing Mama daripada aku. "Kalian baik-baik saja, 'kan?" Pertanyaan Mama layangkan seraya melirikku dan Mas Rendra bergantian. "Baik, Mah. Kami baik-baik saja. Kenapa memangnya?" Suamiku balik bertanya. "Enggak apa-apa. Tumben aja kalian ke sini malam-malam. Terus ini, kayak anak bayi. Dari tadi ngendusin mamanya mulu."Aku menekuk wajah, mengerucutkan bibir enggan bicara. Karena jika aku menatap Mama, pasti air mata yang sudah menggenang akan keluar dengan sendirinya. Dan aku tidak mau itu terjadi. "Oh, iya, Pah. Abang, mana? Bukannya dia sama istrinya nginap di sini?" Aku memejamkan mata, memikirkan apa yang harus aku katakan pada
"Mama?" ucapku setelah pintu dibuka. "Boleh, Mama masuk?"Aku mengangguk. Mama pun melewatiku yang masih berdiri di ambang pintu, lalu ia duduk di pinggir ranjang. Sepertiku, Mama pun memindai kamar ini seraya menarik napas dalam. Kemudian pandangannya terpaku padaku yang berdiri bersidekap dada. "Duduk sini." Mama menepuk ranjang di sampingnya. Aku menghampiri. Menempelkan bokong dengan perasaan yang tiba-tiba gugup. Aku takut jika Mama membaca isi hatiku dan tahu permasalahan rumah tanggaku. Malu. Aku akan merasa bodoh di hadapan keluarga, karena telah salah memilih suami. Ternyata setia yang pernah Mas Rendra janjikan, yang dia berikan malah sebaliknya. Pengkhianatan. "Jadi, tadi pagi Mama dan Papa diundang Ben makan bersama di rumah mereka. Dan ... kami dapat kabar baik," tutur Mama memulai percakapan. Keningku sedikit berkerut mendengar kabar yang belum aku tahu apa. Namun, aku ikut bahagia jika kabar baik yang akan Mama sampaikan. "Kabar baik apa, Mah?" tanyaku akhirnya
Aku mengambil cermin kecil dari dalam tas, kemudian melihat apa yang tadi dikatakan pria itu. Benar saja, aku hanya memakai lipstik di bibir bagian atas, dan tidak dengan bagian bawah. "Kenapa aku bisa seceroboh ini?" kataku, lalu mengoleskan lipstik pada bibir bagian bawah. Untungnya benda kecil itu selalu ada di tas. Jadi, aku tidak lagi merasakan malu yang berkepanjangan. Beberapa saat di kafe, aku pun memutuskan untuk pulang. Namun, tiba-tiba rasa ingin berkunjung ke pabrik teh mendorongku pergi ke sana. Aku pun memesan taksi online dan pergi ke tempat suamiku bekerja saat ini. Sebagai anak pemilik ladang dan juga pabrik teh, aku cukup dikenal di sekitar Lembang Bandung ini. Sebelum menikah, aku pun bekerja di pabrik milik Papa, dan akhirnya memutuskan berhenti ketika sudah bersuamikan Mas Rendra. Mata ini memindai ke seluruh kendaraan yang terparkir di depan pabrik, mencari mobil yang tak lain adalah milikku. Tidak ada. Mobil yang biasa digunakan Mas Rendra tidak ada di