Aku mengambil cermin kecil dari dalam tas, kemudian melihat apa yang tadi dikatakan pria itu. Benar saja, aku hanya memakai lipstik di bibir bagian atas, dan tidak dengan bagian bawah. "Kenapa aku bisa seceroboh ini?" kataku, lalu mengoleskan lipstik pada bibir bagian bawah. Untungnya benda kecil itu selalu ada di tas. Jadi, aku tidak lagi merasakan malu yang berkepanjangan. Beberapa saat di kafe, aku pun memutuskan untuk pulang. Namun, tiba-tiba rasa ingin berkunjung ke pabrik teh mendorongku pergi ke sana. Aku pun memesan taksi online dan pergi ke tempat suamiku bekerja saat ini. Sebagai anak pemilik ladang dan juga pabrik teh, aku cukup dikenal di sekitar Lembang Bandung ini. Sebelum menikah, aku pun bekerja di pabrik milik Papa, dan akhirnya memutuskan berhenti ketika sudah bersuamikan Mas Rendra. Mata ini memindai ke seluruh kendaraan yang terparkir di depan pabrik, mencari mobil yang tak lain adalah milikku. Tidak ada. Mobil yang biasa digunakan Mas Rendra tidak ada di
"Serius, Bu. Nanti saya lihat dari kejauhan saja."Setelah menimbang tawaran dari Dion, aku pun akhirnya memutuskan pergi bersama dia. Bodoh amat apa pun nantinya yang terjadi di sana, yang penting sekarang aku harus ke Jakarta dan memergoki Mas Rendra bersama wanita selingkuhannya itu. Setelah berada di dalam mobil, aku mengirimkan pesan pada Sabrina, memberitahukan dia jika aku sudah berangkat terlebih dahulu. Aku juga meminta dia untuk menyusul, dan pulang bersamaku. Tidak mungkin bukan, jika nanti aku akan kembali bersama Dion? Nanti yang ada Mas Rendra malah menuduhku yang tidak-tidak. "Siapa orang yang kamu suruh memata-matai rumah mertuaku?" Tanpa basa-basi dan permisi, aku langsung bertanya pada Dion yang tengah menyetir mobil. "Teman saya, yang kebetulan tinggal di sana," jawabnya. "Laki-laki atau perempuan?" "Laki-laki, Bu. Dia teman SMA saya."Aku manggut-manggut. "Tolong tanyakan pada dia, sedang apa suami saya di sana. Apakah dia sedang tidur dengan wanita seling
"Apa-apaan ini, Mas? Siapa wanita itu?!" Aku menunjuk wanita hamil yang tengah meringis di atas ranjang. Sepertinya dia akan melahirkan. Wanita itu terlihat kesakitan seraya terus mengelus perut buncitnya. "Maaf, Bu. Jangan masuk ke sini. Ini ruang bersalin." Seorang wanita menarik tanganku dari arah belakang. Aku menepis kasar tangan wanita itu, lalu kembali menatap wajah Mas Rendra yang pucat pasi. Begitu juga dengan ibu mertua. Dia kebingungan antara bicara denganku, atau tetap bersama wanita hamil yang terus memegangi tangannya. "Jadi benar dugaannku selama ini, Mas. Kamu main gila dengan wanita itu hingga dia hamil?!" ujarku kembali berteriak. "Tsania, tolong jangan sekarang. Aku janji akan menceritakan semuanya padamu. Aku pasti mengatakan siapa dia dan hubungannya denganku. Tapi, tidak sekarang. Pulanglah dulu, Tsa. Kamu keluar dari sini." Mas Rendra mendorong tubuhku, memintaku meninggalkan dia bersama wanita itu. Namun, aku menolak. Aku menuntut penjelasan darinya saa
22"Kamu ingin tahu yang sebenarnya, bukan? Ayo, kita temui wanita yang kamu sangka selingkuhanku itu. Kamu tanyakan sendiri siapa dia, dan apa hubungannya denganku." Mas Rendra kembali berucap. Tangan yang dipegang Mas Rendra terasa kaku dan dingin. Sebenarnya aku tidak mau masuk, tapi rasa penasaran mendorongku untuk mengikuti langkah kaki Mas Rendra. Kuhirup udara dengan sangat banyak sebelum sampai di ruangan wanita tadi. Jantung semakin berdebar kencang saat pintu ruang bersalin sudah di depan mata. "Assalamualaikum," ucap suamiku yang langsung dijawab oleh ibu mertua. "Kok, Mas bawa dia? Bawa dia pergi dari sini, Mas! Aku nggak sudi melihat muka dia yang mirip dengan si brengsek itu!"Aku tercengang melihat reaksi wanita yang terbaring di atas ranjang, namun bibirnya berucap kasar. Iya, dia wanita yang diakui Mas Rendra sebagai adik, mengamuk tidak jelas saat aku masuk. "Dania, tenang. Kamu tenangkan dirimu, kamu baru saja melahirkan," ujar ibu mertua mencoba menenangkan.
"Tidak punya suami? Lalu lelaki yang menghamilinya?" tanyaku lagi. Mas Rendra mengusap wajahnya dengan kasar, lalu diam dengan tangan menyangga dagu. Tatapannya lurus ke arahku yang menunggunya bicara. Pandangan kami bertemu dan terus kutatap sepasang bola mata milik Mas Rendra. Sampai sejauh ini, aku masih belum menemukan jawaban yang pasti tentang wanita itu. Semuanya masih terlihat abu-abu, apalagi setelah mendengar pengakuan suamiku. Katanya dia adiknya, tapi kenapa disembunyikan? Dan, apa katanya tadi? Dania tidak punya suami? "Mas, siapa lelaki yang menghamili Dania? Apa dia diperkosa hingga hamil, atau pacaran yang terlalu berlebihan hingga melemahkan iman?" Aku kembali bertanya. "Sebaiknya kamu tidak harus tahu siapa laki-laki itu, Tsa. Yang terpenting, sekarang kamu tahu siapa Dania untukku.""Mana bisa seperti itu, Mas? Kamu menceritakan tentang dia, tapi tidak lengkap. Sama saja bohong, aku enggak akan percaya begitu saja tentang hubungan kalian. Kalau dia punya anak,
"Ini gak mungkin, Mas." Aku menyimpan kasar foto yang diperlihatkan Mas Rendra padaku. Pandangan aku lempar ke lain arah, menghindari gambar yang membuatku tidak percaya. Bagaimana mungkin itu benar Bang Ben dengan Dania? Dalam foto tersebut, Bang Ben duduk seraya memeluk Dania yang berada dalam pangkuannya. Menjijikkan. Aku bahkan malu melihat tubuh sintal Dania yang dibalut pakaian ketat nan mini. "Inilah kenapa aku tidak ingin mengatakan siapa pria itu, Tsa. Karena kamu akan kecewa. Kakak yang kamu banggakan, yang kamu anggap paling baik, nyatanya dia tidak sepolos itu. Dia bejad!""Cukup, Mas!" Aku menatap kedua mata Mas Rendra dengan tajam. "Jika benar Bang Ben ayah dari bayi yang Dania lahirkan, aku akan menyuruh dia membiayainya. Tapi, jangan harap dia akan menikahi Dania. Karena sekarang, Kak Anna pun sedang mengandung.""Kamu tidak kasian dengan Dania?" "Lalu aku harus mengorbankan kebahagiaan wanita lain untuk adikmu?" ujarku, menjawab pertanyaan Mas Rendra. Hening.
"Telepon Mama yang pengen Tsania akhiri, capek banget aku, Mah. Ngantuk juga," kataku, mengalihkan pembahasan. "Oh ... Mama pikir apa. Yasudah, kamu istirahat, ya?"Aku mengangguk, meskipun Mama tidak melihatnya. Sambungan telepon pun aku akhiri. Pandangan ini lurus ke depan, lebih tepatnya ke atas. Pada plafon yang hanya ada satu lampu di sana. Bayangan-bayangan kejadian yang terjadi akhir-akhir ini padaku membuat dada terasa sesak. Dimulai dari kecurigaanku pada Mas Rendra, hingga akhirnya sesuatu yang tidak pernah aku sangkakan, menjadi kabar paling buruk dalam hidupku. Aku masih belum bisa menerima jika anak Dania adalah darah daging Bang Ben. Aku juga tidak membayangkan bagaimana reaksi Kak Anna, jika tahu suaminya berkhianat hingga menghasilkan keturunan. "Astagfirullahaladzim ...." Aku beristighfar seraya mengusap wajah. Tubuh yang lelah, aku paksa untuk bangun dan pergi ke kamar mandi. Mungkin, air yang mengalir dari shower bisa sedikit mendinginkan pikiran. Tidak lama
"Aku kecewa sama kamu, Mas. Aku merasa dibohongi sejak awal kita menikah. Kamu mengaku anak tunggal, tapi nyatanya ada adik. Kamu juga tidak jujur soal Dania dari enam bulan yang lalu. Coba saja waktu itu kamu bilang sama aku, mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini, Mas.""Yakin, tidak akan seperti ini?" tanyanya. "Iyalah.""Aku tidak yakin, Tsa. Seperti sekarang, mungkin sikapmu akan sama jika aku mengatakan tentang Dania enam bulan yang lalu. Kamu tahu kenapa? Karena semua ada hubungannya dengan kakakmu."Aku bungkam. Ucapan Mas Rendra membuatku tidak punya kata untuk menjawab ucapannya. Memang benar. Jika aku pikir-pikir lagi, tindakan Mas Rendra merahasiakan keberadaan Dania hanyalah untuk mengulur waktu saja, bukan menyelesaikan masalah. Sekarang semuanya sudah terjadi. Menyalahkan Mas Rendra pun percuma. Dia tidak tahu bagaimana caranya membuat semua kembali seperti semula. Dan sikapku pun tidak akan lagi sama terhadap dia dan ibunya. Aku sangat kecewa pada mereka yang