22"Kamu ingin tahu yang sebenarnya, bukan? Ayo, kita temui wanita yang kamu sangka selingkuhanku itu. Kamu tanyakan sendiri siapa dia, dan apa hubungannya denganku." Mas Rendra kembali berucap. Tangan yang dipegang Mas Rendra terasa kaku dan dingin. Sebenarnya aku tidak mau masuk, tapi rasa penasaran mendorongku untuk mengikuti langkah kaki Mas Rendra. Kuhirup udara dengan sangat banyak sebelum sampai di ruangan wanita tadi. Jantung semakin berdebar kencang saat pintu ruang bersalin sudah di depan mata. "Assalamualaikum," ucap suamiku yang langsung dijawab oleh ibu mertua. "Kok, Mas bawa dia? Bawa dia pergi dari sini, Mas! Aku nggak sudi melihat muka dia yang mirip dengan si brengsek itu!"Aku tercengang melihat reaksi wanita yang terbaring di atas ranjang, namun bibirnya berucap kasar. Iya, dia wanita yang diakui Mas Rendra sebagai adik, mengamuk tidak jelas saat aku masuk. "Dania, tenang. Kamu tenangkan dirimu, kamu baru saja melahirkan," ujar ibu mertua mencoba menenangkan.
"Tidak punya suami? Lalu lelaki yang menghamilinya?" tanyaku lagi. Mas Rendra mengusap wajahnya dengan kasar, lalu diam dengan tangan menyangga dagu. Tatapannya lurus ke arahku yang menunggunya bicara. Pandangan kami bertemu dan terus kutatap sepasang bola mata milik Mas Rendra. Sampai sejauh ini, aku masih belum menemukan jawaban yang pasti tentang wanita itu. Semuanya masih terlihat abu-abu, apalagi setelah mendengar pengakuan suamiku. Katanya dia adiknya, tapi kenapa disembunyikan? Dan, apa katanya tadi? Dania tidak punya suami? "Mas, siapa lelaki yang menghamili Dania? Apa dia diperkosa hingga hamil, atau pacaran yang terlalu berlebihan hingga melemahkan iman?" Aku kembali bertanya. "Sebaiknya kamu tidak harus tahu siapa laki-laki itu, Tsa. Yang terpenting, sekarang kamu tahu siapa Dania untukku.""Mana bisa seperti itu, Mas? Kamu menceritakan tentang dia, tapi tidak lengkap. Sama saja bohong, aku enggak akan percaya begitu saja tentang hubungan kalian. Kalau dia punya anak,
"Ini gak mungkin, Mas." Aku menyimpan kasar foto yang diperlihatkan Mas Rendra padaku. Pandangan aku lempar ke lain arah, menghindari gambar yang membuatku tidak percaya. Bagaimana mungkin itu benar Bang Ben dengan Dania? Dalam foto tersebut, Bang Ben duduk seraya memeluk Dania yang berada dalam pangkuannya. Menjijikkan. Aku bahkan malu melihat tubuh sintal Dania yang dibalut pakaian ketat nan mini. "Inilah kenapa aku tidak ingin mengatakan siapa pria itu, Tsa. Karena kamu akan kecewa. Kakak yang kamu banggakan, yang kamu anggap paling baik, nyatanya dia tidak sepolos itu. Dia bejad!""Cukup, Mas!" Aku menatap kedua mata Mas Rendra dengan tajam. "Jika benar Bang Ben ayah dari bayi yang Dania lahirkan, aku akan menyuruh dia membiayainya. Tapi, jangan harap dia akan menikahi Dania. Karena sekarang, Kak Anna pun sedang mengandung.""Kamu tidak kasian dengan Dania?" "Lalu aku harus mengorbankan kebahagiaan wanita lain untuk adikmu?" ujarku, menjawab pertanyaan Mas Rendra. Hening.
"Telepon Mama yang pengen Tsania akhiri, capek banget aku, Mah. Ngantuk juga," kataku, mengalihkan pembahasan. "Oh ... Mama pikir apa. Yasudah, kamu istirahat, ya?"Aku mengangguk, meskipun Mama tidak melihatnya. Sambungan telepon pun aku akhiri. Pandangan ini lurus ke depan, lebih tepatnya ke atas. Pada plafon yang hanya ada satu lampu di sana. Bayangan-bayangan kejadian yang terjadi akhir-akhir ini padaku membuat dada terasa sesak. Dimulai dari kecurigaanku pada Mas Rendra, hingga akhirnya sesuatu yang tidak pernah aku sangkakan, menjadi kabar paling buruk dalam hidupku. Aku masih belum bisa menerima jika anak Dania adalah darah daging Bang Ben. Aku juga tidak membayangkan bagaimana reaksi Kak Anna, jika tahu suaminya berkhianat hingga menghasilkan keturunan. "Astagfirullahaladzim ...." Aku beristighfar seraya mengusap wajah. Tubuh yang lelah, aku paksa untuk bangun dan pergi ke kamar mandi. Mungkin, air yang mengalir dari shower bisa sedikit mendinginkan pikiran. Tidak lama
"Aku kecewa sama kamu, Mas. Aku merasa dibohongi sejak awal kita menikah. Kamu mengaku anak tunggal, tapi nyatanya ada adik. Kamu juga tidak jujur soal Dania dari enam bulan yang lalu. Coba saja waktu itu kamu bilang sama aku, mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini, Mas.""Yakin, tidak akan seperti ini?" tanyanya. "Iyalah.""Aku tidak yakin, Tsa. Seperti sekarang, mungkin sikapmu akan sama jika aku mengatakan tentang Dania enam bulan yang lalu. Kamu tahu kenapa? Karena semua ada hubungannya dengan kakakmu."Aku bungkam. Ucapan Mas Rendra membuatku tidak punya kata untuk menjawab ucapannya. Memang benar. Jika aku pikir-pikir lagi, tindakan Mas Rendra merahasiakan keberadaan Dania hanyalah untuk mengulur waktu saja, bukan menyelesaikan masalah. Sekarang semuanya sudah terjadi. Menyalahkan Mas Rendra pun percuma. Dia tidak tahu bagaimana caranya membuat semua kembali seperti semula. Dan sikapku pun tidak akan lagi sama terhadap dia dan ibunya. Aku sangat kecewa pada mereka yang
Segera aku masuk setelah menoleh sebentar ke arah Mas Rendra, lalu menutup pintu dengan kasar menghindari dia yang tersenyum padaku. Tidak menunggu nanti, aku pun langsung mengguyur tubuh dengan air agar semua ingatan tentang Mas Rendra hilang dari benakku. Meskipun dia suamiku, saat ini aku enggan melakukan kewajiban sebagai seorang istri pada umumnya. Jujur, rasa kecewa masih begitu menggunung, walaupun cinta untuknya memang tetap ada. Aku mengembuskan napas kasar seraya keluar dari kamar mandi. Kulihat, Mas sudah tidak ada lagi di kamar ini. "Dia sudah berangkat kali, ya?" kataku, kemudian melongok ke jendela kamar, melihat mobil di halaman yang sudah tidak ada di sana. Itu artinya, Mas Rendra memang sudah berangkat ke pabrik. Usai memakai pakaian lengkap, aku pun keluar dari kamar untuk mulai membereskan rumah dan memasak. Akan tetapi, ternyata semuanya sudah bersih dan rapi. Bekas makan kami semalam pun sudah tidak ada di wastafel. "Mas Rendra masak?" kataku lagi, meliha
"Iya, Tsa. Makanya, hari ini Papa nyuruh Rendra datang pagi ke pabrik, untuk membahas itu."Punggung aku sandarkan pada sofa seraya mengembuskan napas pelan. Aku yang pernah ikut mengurus pabrik, merasa sedih dengan kabar ini. Pasalnya, mengembalikan kepercayaan pelanggan yang kecewa, lebih sulit daripada mencari pelanggan baru. Dan kerugiannya pun pasti besar. Apalagi jika pelanggan itu biasa mengambil teh dalam jumlah yang banyak. Sedangkan yang baru, belum tentu membeli dengan jumlah yang sama.Biasanya, pelanggan baru membeli teh dalam jumlah sedikit karena masih coba-coba. Tidak seperti pelanggan lama yang sudah tahu rasa dan kualitas produk kami. "Maafkan Mas Rendra, ya, Mah? Karena dia sering bolos, jadinya pelanggan kita pada pergi," kataku dengan sesal. "Gak apa-apa, Tsa. Palingan, nanti Rendra akan dibuat sibuk karena harus mencari konsumen baru, juga promosi sana sini. Pasti lelah, sih, tapi mau gimana lagi? Semua tindakan pasti ada konsekuensinya."Aku mengangguk kecil
"Ada apa, Tsa?" Mama bertanya saat aku kembali ke meja makan."Tidak ada apa-apa, Mah.""Tidak ada apa-apa, kok wajahnya ditekuk kayak gitu?"Aku memaksakan tersenyum meskipun hati diliputi kebingungan. Ancaman Ibu lah yang membuatku tidak tenang. Benarkah dia akan membawa bayi itu ke sini jika Mas Rendra tidak datang ke rumahnya? Bahaya. Suamiku berada dalam persimpangan. Jika Mas Rendra menolak perintah ibunya, tentu saja masalah baru akan muncul. Apa yang harus aku katakan pada Mama dan Papa, jika ibu mertuaku benar-benar nekad membawa cucunya ke sini?Akan tetapi, jika Mas Rendra pergi ke Jakarta dan meninggalkan pabrik, itu pun akan membuat Papa marah. Apalagi dengan keadaan pabrik yang tidak baik-baik saja. "Kalau ada masalah, kamu bisa cerita ke Mama, Tsa. Jangan dipendam sendiri.""Enggak ada, Mah. Tadi, Ibu cuma nanyain resep obat yang kemarin aku dan Mas Rendra beli. Hampir saja tadi dia salah minum obat. Makanya, aku sampai istighfar karena kaget," ujarku bohong. Mama