"Ini gak mungkin, Mas." Aku menyimpan kasar foto yang diperlihatkan Mas Rendra padaku. Pandangan aku lempar ke lain arah, menghindari gambar yang membuatku tidak percaya. Bagaimana mungkin itu benar Bang Ben dengan Dania? Dalam foto tersebut, Bang Ben duduk seraya memeluk Dania yang berada dalam pangkuannya. Menjijikkan. Aku bahkan malu melihat tubuh sintal Dania yang dibalut pakaian ketat nan mini. "Inilah kenapa aku tidak ingin mengatakan siapa pria itu, Tsa. Karena kamu akan kecewa. Kakak yang kamu banggakan, yang kamu anggap paling baik, nyatanya dia tidak sepolos itu. Dia bejad!""Cukup, Mas!" Aku menatap kedua mata Mas Rendra dengan tajam. "Jika benar Bang Ben ayah dari bayi yang Dania lahirkan, aku akan menyuruh dia membiayainya. Tapi, jangan harap dia akan menikahi Dania. Karena sekarang, Kak Anna pun sedang mengandung.""Kamu tidak kasian dengan Dania?" "Lalu aku harus mengorbankan kebahagiaan wanita lain untuk adikmu?" ujarku, menjawab pertanyaan Mas Rendra. Hening.
"Telepon Mama yang pengen Tsania akhiri, capek banget aku, Mah. Ngantuk juga," kataku, mengalihkan pembahasan. "Oh ... Mama pikir apa. Yasudah, kamu istirahat, ya?"Aku mengangguk, meskipun Mama tidak melihatnya. Sambungan telepon pun aku akhiri. Pandangan ini lurus ke depan, lebih tepatnya ke atas. Pada plafon yang hanya ada satu lampu di sana. Bayangan-bayangan kejadian yang terjadi akhir-akhir ini padaku membuat dada terasa sesak. Dimulai dari kecurigaanku pada Mas Rendra, hingga akhirnya sesuatu yang tidak pernah aku sangkakan, menjadi kabar paling buruk dalam hidupku. Aku masih belum bisa menerima jika anak Dania adalah darah daging Bang Ben. Aku juga tidak membayangkan bagaimana reaksi Kak Anna, jika tahu suaminya berkhianat hingga menghasilkan keturunan. "Astagfirullahaladzim ...." Aku beristighfar seraya mengusap wajah. Tubuh yang lelah, aku paksa untuk bangun dan pergi ke kamar mandi. Mungkin, air yang mengalir dari shower bisa sedikit mendinginkan pikiran. Tidak lama
"Aku kecewa sama kamu, Mas. Aku merasa dibohongi sejak awal kita menikah. Kamu mengaku anak tunggal, tapi nyatanya ada adik. Kamu juga tidak jujur soal Dania dari enam bulan yang lalu. Coba saja waktu itu kamu bilang sama aku, mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini, Mas.""Yakin, tidak akan seperti ini?" tanyanya. "Iyalah.""Aku tidak yakin, Tsa. Seperti sekarang, mungkin sikapmu akan sama jika aku mengatakan tentang Dania enam bulan yang lalu. Kamu tahu kenapa? Karena semua ada hubungannya dengan kakakmu."Aku bungkam. Ucapan Mas Rendra membuatku tidak punya kata untuk menjawab ucapannya. Memang benar. Jika aku pikir-pikir lagi, tindakan Mas Rendra merahasiakan keberadaan Dania hanyalah untuk mengulur waktu saja, bukan menyelesaikan masalah. Sekarang semuanya sudah terjadi. Menyalahkan Mas Rendra pun percuma. Dia tidak tahu bagaimana caranya membuat semua kembali seperti semula. Dan sikapku pun tidak akan lagi sama terhadap dia dan ibunya. Aku sangat kecewa pada mereka yang
Segera aku masuk setelah menoleh sebentar ke arah Mas Rendra, lalu menutup pintu dengan kasar menghindari dia yang tersenyum padaku. Tidak menunggu nanti, aku pun langsung mengguyur tubuh dengan air agar semua ingatan tentang Mas Rendra hilang dari benakku. Meskipun dia suamiku, saat ini aku enggan melakukan kewajiban sebagai seorang istri pada umumnya. Jujur, rasa kecewa masih begitu menggunung, walaupun cinta untuknya memang tetap ada. Aku mengembuskan napas kasar seraya keluar dari kamar mandi. Kulihat, Mas sudah tidak ada lagi di kamar ini. "Dia sudah berangkat kali, ya?" kataku, kemudian melongok ke jendela kamar, melihat mobil di halaman yang sudah tidak ada di sana. Itu artinya, Mas Rendra memang sudah berangkat ke pabrik. Usai memakai pakaian lengkap, aku pun keluar dari kamar untuk mulai membereskan rumah dan memasak. Akan tetapi, ternyata semuanya sudah bersih dan rapi. Bekas makan kami semalam pun sudah tidak ada di wastafel. "Mas Rendra masak?" kataku lagi, meliha
"Iya, Tsa. Makanya, hari ini Papa nyuruh Rendra datang pagi ke pabrik, untuk membahas itu."Punggung aku sandarkan pada sofa seraya mengembuskan napas pelan. Aku yang pernah ikut mengurus pabrik, merasa sedih dengan kabar ini. Pasalnya, mengembalikan kepercayaan pelanggan yang kecewa, lebih sulit daripada mencari pelanggan baru. Dan kerugiannya pun pasti besar. Apalagi jika pelanggan itu biasa mengambil teh dalam jumlah yang banyak. Sedangkan yang baru, belum tentu membeli dengan jumlah yang sama.Biasanya, pelanggan baru membeli teh dalam jumlah sedikit karena masih coba-coba. Tidak seperti pelanggan lama yang sudah tahu rasa dan kualitas produk kami. "Maafkan Mas Rendra, ya, Mah? Karena dia sering bolos, jadinya pelanggan kita pada pergi," kataku dengan sesal. "Gak apa-apa, Tsa. Palingan, nanti Rendra akan dibuat sibuk karena harus mencari konsumen baru, juga promosi sana sini. Pasti lelah, sih, tapi mau gimana lagi? Semua tindakan pasti ada konsekuensinya."Aku mengangguk kecil
"Ada apa, Tsa?" Mama bertanya saat aku kembali ke meja makan."Tidak ada apa-apa, Mah.""Tidak ada apa-apa, kok wajahnya ditekuk kayak gitu?"Aku memaksakan tersenyum meskipun hati diliputi kebingungan. Ancaman Ibu lah yang membuatku tidak tenang. Benarkah dia akan membawa bayi itu ke sini jika Mas Rendra tidak datang ke rumahnya? Bahaya. Suamiku berada dalam persimpangan. Jika Mas Rendra menolak perintah ibunya, tentu saja masalah baru akan muncul. Apa yang harus aku katakan pada Mama dan Papa, jika ibu mertuaku benar-benar nekad membawa cucunya ke sini?Akan tetapi, jika Mas Rendra pergi ke Jakarta dan meninggalkan pabrik, itu pun akan membuat Papa marah. Apalagi dengan keadaan pabrik yang tidak baik-baik saja. "Kalau ada masalah, kamu bisa cerita ke Mama, Tsa. Jangan dipendam sendiri.""Enggak ada, Mah. Tadi, Ibu cuma nanyain resep obat yang kemarin aku dan Mas Rendra beli. Hampir saja tadi dia salah minum obat. Makanya, aku sampai istighfar karena kaget," ujarku bohong. Mama
"Rencananya, aku mau bawa bayi Dania ke sini.""Apa?!" ujarku terkejut. "Kamu gak salah, Mas? Nanti kalau Mama nanya—""Kita bilang aja itu bayi yang dibuang orang tuanya," ujar Mas Rendra dengan entengnya. Aku menggelengkan kepala, tidak habis pikir dengan jalan pikiran pria itu. Tidak sesederhana itu mengatakan pada semua orang, jika kami mengadopsi bayi. Apalagi bayi itu memiliki orang tua. "Aku gak setuju, Mas.""Kamu tidak mau mengurus anaknya Dania? Dia keponakan kita, loh.""Ya, jelas aku tidak setuju. Bayi itu memiliki ibu dan ayah.""Jadi, kamu lebih memilih menyerahkan bayi itu pada Bang Ben? Dan membuat rumah tangganya dengan Kak Anna hancur?" Kali ini aku diam. Hatiku menolak membuat rumah tangga kakakku berantakan karena adanya bayi itu. Namun, untuk mengurusnya pun, aku tidak bisa. Tidak mau lebih tepatnya. Mas Rendra yang melihatku diam, dia jadikan kesempatan untuk menjelaskan rencana yang dia punya. Pikir Mas Rendra, dia bisa menyelematkan dua hubungan rumah tan
"Mas!" Aku berteriak histeris setelah sambungan telepon terputus sebelum aku menjawab ucapan Ibu. Gegas aku lari ke kamar, menggedor pintu kamar mandi seraya memanggil Mas Rendra. "Apa, Tsa? Kebelet? Pake kamar mandi di belakang, kan bisa?" ujar Mas Rendra dari dalam. "Bukan!" Aku berteriak lagi. "Gawat, Mas! Ini gawat!""Gawat kenapa? Kalau ngomong jangan putus-putus, Tsa!" "Ibu ke sini! Dia sedang dijalan! Katanya, dia akan memberikan bayi Dania ke Mama dan Papa!" Pintu kamar mandi langsung terbuka, menampakkan tubuh Mas Rendra yang masih berbusa. Matanya tajam melihat ke arahku yang menatapnya khawatir. "Kamu serius, Tsa?" ucapnya kemudian. "Serius, Mas. Cepetan kelarin mandinya, terus kita susul Ibu sebelum dia sampai di rumah Mama. Ayo, Mas, cepetan!" Mas Rendra masuk lagi ke dalam kamar mandi, lalu terdengar suara air yang jatuh pada lantai. Aku duduk di ujung ranjang dengan terus meremas jari-jari tangan. Demi Tuhan, saat ini aku tengah merasa takut. Aku khawatir, j
"Kayaknya bukan masalah kerjaan, Tsa. Coba, deh, kamu tanya baik-baik sama Rendra. Siapa tahu, dia ... merindukan ibunya?"Aku termenung mendengar penuturan Papa barusan. Apa iya, suamiku merindukan Ibu? "Kenapa tidak bilang dan pergi temui Ibu? Aku enggak akan larang, kok," kataku kemudian. "Mungkin Rendra malu untuk bilang, makanya dia diam. Kamu sebagai istri, harusnya inisiatif tanya. Bagaimanapun juga, wanita yang saat ini ada di rumah sakit jiwa itu, wanita yang telah melahirkan suamimu. Wajib hukumnya kamu mengingatkan suami agar tetap memperhatikan ibunya. Kalau sehat badan, ya dengan tenaga, kalau punya harta, ya dengan harta. Kalau punya keduanya, lakukan bersamaan. Paham, Tsa?" Aku mengangguk lemah dengan tatapan pada Mas Rendra yang memejamkan mata.Papa yang sudah merasakan kantuk, ia pun pamit pada Ayu, mencium pipi chubby cucunya itu sebelum pergi ke kamar. "Mas." Aku mengusap pipi Mas Rendra dengan lembut. Tidak ada respon. Hanya embusan napas teratur yang kudenga
"Kamu aku izinkan menjenguk Ayu, tapi dengan satu syarat," ujar Mas Rendra, melanjutkan ucapannya yang menggantung. "Apa syaratnya, Mas?" Roy bertanya. "Jangan berharap membawa dia. Aku tidak akan mengizinkan itu."Dengan wajah yang terlihat kecewa, Roy menganggukkan kepalanya. Aku merasa lega, karena Mas Rendra tidak membiarkan Roy mengurus Ayu. Pikirku, Mas Rendra akan dengan senang hati menyerahkan Ayu, membiarkan keponakannya itu diasuh oleh ayah kandungnya. Akan tetapi, itu hanya ketakutanku saja. Mas Rendra juga pasti sudah memikirkan matang-matang tentang jawaban yang dia berikan pada Roy. "Sekarang kamu boleh pergi," ujar Mas Rendra dingin."Mas, sebelum aku pergi, bodoh tidak jika aku menggendong anakku?" Mataku langsung menatap wajah Roy setelah dia berucap demikian. Aku memperhatikan dengan lekat wajah itu, mencari apakah ada niat jelek darinya untuk Ayu. Namun, aku bukan Tuhan yang bisa tahu isi hati manusia. Aku tidak menangkap niat buruk dari Roy, hanya melihat se
Aku dan Mas Rendra saling pandang, sangat terkejut dengan ucapan yang pria itu lontarkan. Mas Rendra membalikkan badan, menatap heran pada pria yang melihat suamiku dengan nyalang. "Siapa yang kau sebut anakku?" tanya suamiku kemudian. Pria itu meneguk ludah dengan kasar. Tanpa mengucapkan satu kata pun, dia pergi menjauhi kami dan naik ke atas kendaraan roda duanya. Mas Rendra mengejar. Suamiku itu berhasil menahan pria asing tadi untuk kabur, sementara aku menghampiri mobil untuk mengambil Ayu yang sengaja kami biarkan di dalam mobil. Awalnya, aku sengaja meninggalkan aku untuk memancing pria itu. Karena aku kira, dia penculik yang mengincar Ayu. Akan tetapi, sepertinya aku salah duga. Dari cara dia tadi berteriak menghentikan Mas Rendra, aku yakin dia bukanlah penculik. "Siapa kamu sebenarnya? Katakan, siapa?!" ujar Mas Rendra, memaksa laki-laki itu untuk bicara. "Lepaskan!" Pria yang kedua tangannya dicekal Mas Rendra, berteriak seraya berontak. "Aku akan melepaskanmu, as
"Ini Anak Bayi mau ke mana? Ya ampun ... pagi-pagi gini sudah cantik aja." "Jalan-jalan, dong, Opa," kataku, menjawab pertanyaan yang Papa tujukan pada Ayu. Sekarang hari minggu. Karena pabrik libur di hari ini, aku pun berinisiatif untuk pergi jalan-jalan bersama Ayu. Alhamdulillah-nya, Mas Rendra tidak menolak ketika aku menyampaikan keinginan untuk pergi di hari minggu. Dan sekarang, aku sudah siap untuk pergi. Tinggal menunggu Mas Rendra yang masih mandi, karena tadi gantian menjaga Ayu. "Kalian mau pergi ke mana? Jangan jauh-jauh, kasihan Ayu. Dan ingat kondisi kamu juga, Tsa," ujar Papa seraya meletakkan Ayu di stroller. "Iya, Papa. Palingan ke taman, terus makan-makan doang, sih. Janji, deh enggak akan pulang malam." Aku mengacungkan dua jari ke depan wajah. "Yasudah, kalian hati-hati, ya? Papa udah transfer buat jajan kalian.""Emh ... Papa .... Makasih," tuturku, lalu memeluk Papa. Sebenarnya, Papa sudah aku ajak untuk ikut bersamaku dan Mas Rendra. Akan tetapi, Papa m
Gorden yang aku tutup tiba-tiba, aku buka kembali untuk melihat orang tadi. Akan tetapi, orang asing itu sudah tidak ada di tempatnya. Dia pergi dan entah ke mana. Hati semakin khawatir, takut jika orang tadi punya niat buruk padaku, atau semua penghuni rumah ini. Sangat menyeramkan. [Mas, tadi ada orang asing yang ngintai rumah kita,] ujarku, mengirimkan pesan pada Mas Rendra. Sayangnya, suamiku itu membalas pesan yang aku kirim. Jangankan membalasnya, dibaca pun tidak sama sekali. Suamiku itu pasti sedang bekerja saat ini. [Pah.] Aku memanggil Papa, lewat pesan juga. Sama seperti Mas Rendra, Papa juga tidak sama sekali membaca pesanku. Ada rasa kesal pada dua lelaki itu karena mengabaikan pesanku, tapi aku juga sadar jika mereka sedang bekerja saat ini. Lalu aku harus apa untuk mengalihkan rasa takut ini? "Astaghfirullah!"Ketukan di pintu membuatku yang tengah melamun, terlonjak kaget mendengarnya. Dada kuusap berulang kali seraya mengatur napas. "Siapa?" tanyaku, seteng
"Setelah Mama pergi, dia belum pernah datang ke mimpi Papa, Tsa. Papa ingin sekali melihatnya," ujar Papa seraya mengusap kedua matanya. Aku tidak bisa melakukan apa-apa. Tanganku mengusap-usap punggung Papa, lalu akhirnya kami berpelukan. Sebenarnya, aku pun merasakan hal yang sama. Tadi setelah salat maghrib, tiba-tiba mengingat Mama. Namun, aku tidak mengatakannya pada siapa pun. Aku pendam rasa ini, karena mungkin hanya aku yang merasakannya. Ternyata tidak, Papa pun merasakan kerinduan yang sama pada wanita yang sudah tidak lagi bersama kami saat ini. "Masih ada penyesalan di sini, Tsa." Papa meraba dadanya. "Seandainya saja saat itu Papa langsung pulang, mungkin sekarang Mama masih ada, ya?" lanjut Papa lagi. "Ssttt .... Jangan bicara seperti itu, Pah. Kan, kata Papa juga semuanya sudah Allah atur. Kapan kita meninggal, di mana dan dengan cara apa, sudah Allah tentukan lebih dulu sebelum kita dilahirkan ke dunia ini."Papa mengurai pelukan, lalu mengangguk pelan. Dia menari
"Waalaikumsalam," ucapku, lalu diikuti Mas Rendra dan Papa. Mataku tak lepas dari seseorang yang saat ini masih bergeming di tempatnya. Begitu juga dengan Mas Rendra dan Papa. Sedangkan yang diperhatikan, matanya memindai kami yang ada di dalam rumah, lalu berhenti di Mas Rendra. Untuk beberapa detik keduanya saling mengunci pandangan, hingga akhirnya Mas Rendra melihat ke arahku seraya tersenyum. "Masuk, Na." Aku berucap demikian. Wanita yang tak lain adalah Sabrina, melangkahkan kaki ke dalam rumah, lalu menyalami Papa yang berada paling dekat dengan pintu. Ayahku berpindah duduk, lalu sofa yang tadi ia tempati, kini diduduki Sabrina. Panjang umur Sabrina ini. Baru saja kami membahasnya, tahu-tahu sekarang dia ada di hadapan kami. "Mas Rendra sejak kapan di sini?" tanya Sabrina pada suamiku. Sebagai seorang wanita dewasa, aku paham betul jika tatapan Sabrina pada suamiku mengandung arti. Masih ada rasa yang aku lihat dari sorot matanya itu. Mas Rendra tidak langsung menjawa
"Kakak kaget, loh tadi pas kamu masuk sama Rendra. Kakak kira, kalian mau ngomongin perpisahan. Eh, tahunya sebaliknya. Seneng, deh lihat kamu ceria lagi kayak gini. Tadi, gimana kata dokter? Janinnya baik-baik saja, kan? Kamunya juga sehat?"Aku terkekeh ketika diberondong banyak pertanyaan oleh Kak Anna. Awal aku datang, wajah Kak Anna memang menunjukkan keheranan. Apa lagi alasannya kalau bukan karena aku yang datang bersama Mas Rendra. Dan setelah dijelaskan, baik Kak Anna maupun Bang Ben, menerima keputusanku. Mereka mendukung penuh aku untuk tetap bersama Mas Rendra, apalagi aku yang tengah mengandung anaknya Mas Rendra. "Kandungan aku baik. Meskipun, tadi pagi sempat kram, tapi Alhamdulillah semuanya normal-normal saja. Aku juga sehat," jawabku kemudian."Syukurlah kalau baik-baik saja. Iya, tahu, kok kalau kalian pasti rindu, kan? Tapi, harus ingat, ada Tsania junior di sini. Atau mungkin, Rendra junior?" Aku tertawa, mengikuti Kak Anna yang terkekeh seraya mengusap-usap p
"Jadi, kalian memutuskan untuk bersama lagi?"Aku dan Mas Rendra mengangguk, menjawab pertanyaan yang diberikan Papa. Sekitar satu jam yang lalu, aku dan Mas Rendra memutuskan pulang ke rumah Papa. Setelah makan bersama, Papa mengajak kami untuk bicara, membahas rumah tangga kami yang sempat berada di ujung perpisahan. "Papa senang, jika akhirnya kalian kembali bersama. Karena bagaimanapun, kalian ini akan jadi orang tua. Sudah jadi orang tua bahkan, karena Ayu adalah bagian dari kalian," ujar Papa lagi. Tanganku dan tangan Mas Rendra saling menggenggam. Kami duduk berdampingan, tidak ingin jauh satu sama lain. "Rendra." Papa menyebut nama suamiku. "Iya, Pah?" "Ini kesempatan terakhir yang Papa berikan kepada kamu. Jika suatu hari nanti kamu membuat kesalahan lagi, menutupi masalah apa pun itu dari Tsania, hingga membuat anak Papa terluka, Papa sendiri yang akan memintamu pergi. Ingat, Rendra. Laki-laki yang dipegang itu omongannya. Maka, bersikaplah seperti ucapan yang kamu jan