"Iya, Tsa. Makanya, hari ini Papa nyuruh Rendra datang pagi ke pabrik, untuk membahas itu."Punggung aku sandarkan pada sofa seraya mengembuskan napas pelan. Aku yang pernah ikut mengurus pabrik, merasa sedih dengan kabar ini. Pasalnya, mengembalikan kepercayaan pelanggan yang kecewa, lebih sulit daripada mencari pelanggan baru. Dan kerugiannya pun pasti besar. Apalagi jika pelanggan itu biasa mengambil teh dalam jumlah yang banyak. Sedangkan yang baru, belum tentu membeli dengan jumlah yang sama.Biasanya, pelanggan baru membeli teh dalam jumlah sedikit karena masih coba-coba. Tidak seperti pelanggan lama yang sudah tahu rasa dan kualitas produk kami. "Maafkan Mas Rendra, ya, Mah? Karena dia sering bolos, jadinya pelanggan kita pada pergi," kataku dengan sesal. "Gak apa-apa, Tsa. Palingan, nanti Rendra akan dibuat sibuk karena harus mencari konsumen baru, juga promosi sana sini. Pasti lelah, sih, tapi mau gimana lagi? Semua tindakan pasti ada konsekuensinya."Aku mengangguk kecil
"Ada apa, Tsa?" Mama bertanya saat aku kembali ke meja makan."Tidak ada apa-apa, Mah.""Tidak ada apa-apa, kok wajahnya ditekuk kayak gitu?"Aku memaksakan tersenyum meskipun hati diliputi kebingungan. Ancaman Ibu lah yang membuatku tidak tenang. Benarkah dia akan membawa bayi itu ke sini jika Mas Rendra tidak datang ke rumahnya? Bahaya. Suamiku berada dalam persimpangan. Jika Mas Rendra menolak perintah ibunya, tentu saja masalah baru akan muncul. Apa yang harus aku katakan pada Mama dan Papa, jika ibu mertuaku benar-benar nekad membawa cucunya ke sini?Akan tetapi, jika Mas Rendra pergi ke Jakarta dan meninggalkan pabrik, itu pun akan membuat Papa marah. Apalagi dengan keadaan pabrik yang tidak baik-baik saja. "Kalau ada masalah, kamu bisa cerita ke Mama, Tsa. Jangan dipendam sendiri.""Enggak ada, Mah. Tadi, Ibu cuma nanyain resep obat yang kemarin aku dan Mas Rendra beli. Hampir saja tadi dia salah minum obat. Makanya, aku sampai istighfar karena kaget," ujarku bohong. Mama
"Rencananya, aku mau bawa bayi Dania ke sini.""Apa?!" ujarku terkejut. "Kamu gak salah, Mas? Nanti kalau Mama nanya—""Kita bilang aja itu bayi yang dibuang orang tuanya," ujar Mas Rendra dengan entengnya. Aku menggelengkan kepala, tidak habis pikir dengan jalan pikiran pria itu. Tidak sesederhana itu mengatakan pada semua orang, jika kami mengadopsi bayi. Apalagi bayi itu memiliki orang tua. "Aku gak setuju, Mas.""Kamu tidak mau mengurus anaknya Dania? Dia keponakan kita, loh.""Ya, jelas aku tidak setuju. Bayi itu memiliki ibu dan ayah.""Jadi, kamu lebih memilih menyerahkan bayi itu pada Bang Ben? Dan membuat rumah tangganya dengan Kak Anna hancur?" Kali ini aku diam. Hatiku menolak membuat rumah tangga kakakku berantakan karena adanya bayi itu. Namun, untuk mengurusnya pun, aku tidak bisa. Tidak mau lebih tepatnya. Mas Rendra yang melihatku diam, dia jadikan kesempatan untuk menjelaskan rencana yang dia punya. Pikir Mas Rendra, dia bisa menyelematkan dua hubungan rumah tan
"Mas!" Aku berteriak histeris setelah sambungan telepon terputus sebelum aku menjawab ucapan Ibu. Gegas aku lari ke kamar, menggedor pintu kamar mandi seraya memanggil Mas Rendra. "Apa, Tsa? Kebelet? Pake kamar mandi di belakang, kan bisa?" ujar Mas Rendra dari dalam. "Bukan!" Aku berteriak lagi. "Gawat, Mas! Ini gawat!""Gawat kenapa? Kalau ngomong jangan putus-putus, Tsa!" "Ibu ke sini! Dia sedang dijalan! Katanya, dia akan memberikan bayi Dania ke Mama dan Papa!" Pintu kamar mandi langsung terbuka, menampakkan tubuh Mas Rendra yang masih berbusa. Matanya tajam melihat ke arahku yang menatapnya khawatir. "Kamu serius, Tsa?" ucapnya kemudian. "Serius, Mas. Cepetan kelarin mandinya, terus kita susul Ibu sebelum dia sampai di rumah Mama. Ayo, Mas, cepetan!" Mas Rendra masuk lagi ke dalam kamar mandi, lalu terdengar suara air yang jatuh pada lantai. Aku duduk di ujung ranjang dengan terus meremas jari-jari tangan. Demi Tuhan, saat ini aku tengah merasa takut. Aku khawatir, j
"Bu .... Astaghfirullahaladzim ...!" Mas Rendra mengusap wajah dengan kasar seraya tatapan tajam mengarah pada ibunya. Saat ini, kami sudah berada di rumahku. Rumah yang tadinya sepi, kini sedikit berisik karena bayi yang ada dalam gendongan Ibu, terus menangis. Mungkin dia kaget karena barusan Mas Rendra berucap cukup keras, hingga membangunkan bayi mungil yang baru berusia beberapa hari itu. "Dia pasti kelelahan, Bu." Suamiku kembali berucap. "Diamlah, Rendra. Ibu lagi berusaha mendiamkannya," ujar Ibu seraya berdiri. Ibu mertuaku mengayun cucunya, berharap bayi itu akan diam dan tidur kembali. Sayangnya, tidak sama sekali. Malah semakin kencang menangis, membuatku khawatir membuat tetangga datang karena curiga ada suara bayi di sini. "Bu, bawa susunya, nggak?" tanyaku kemudian. "Ada di tas." Aku beranjak dari tempat dudukku, lalu mengambil kunci mobil dan pergi ke luar. Aku mengambil perlengkapan bayi yang Ibu bawa dari rumahnya. Termasuk susu formula yang menjadi makanan
"Karena Mama dan Papa, pasti meminta aku berpisah dari Mas Rendra, saat tahu kebohongan kalian," ujarku dengan tanpa mengalihkan pandangan dari ibu mertua. Wanita dengan keriput di beberapa bagian wajahnya itu mendengkus kesal. Dia membuang pandangan ke lain arah, menghindari tatapan tajam dariku. "Lagian, aku itu bingung sama Ibu. Kenapa harus bohong segala tentang Dania? Kenapa tidak bilang dari awal, jika Mas Rendra punya adik dan dibawa ayahnya?Sesimpel itu sebenarnya, tapi Ibu malah mempersulitnya.""Kamu tidak tahu apa-apa, Tsania. Bisakah kita membahas tentang anak ini, bukan tentang masa lalu kami?" ujar Ibu mertua merasa tersinggung. Aku diam seraya manggut-manggut. Bicara dengan orang tua, sepertinya aku akan selalu salah. Ibu paling benar. Dalam kesalahannya pun, dia masih merasa paling benar. Ah, capek! "Bu, pokoknya Ibu ikuti saja rencana Rendra dan Tsania. Ibu sayang, kan sama aku? Ibu tidak mau kan, aku dan Tsania berpisah? Jadi tolong, Bu. Jangan katakan apa pun s
"Barusan, Bu. Ini, aku mau titip Ayu. Aku pengen mandi bentar."Ibu buru-buru mengambil bayi itu dari gendonganku. "Sana mandi, biar dia Ibu yang pegang dulu."Aku mengangguk pelan seraya menatap dua wajah orang dewasa yang ada di ruangan ini. Aku merasa, seperti ada yang mereka sembunyikan dariku. Apa ini ada kaitannya dengan ucapan Ibu? Sudahlah, mungkin hanya perasaanku saja. Aku kembali ke kamar, lalu masuk ke kamar mandi untuk menyegarkan diri. Tubuh terasa lebih ringan setelah bersentuhan dengan air dingin yang menyegarkan. Aku langsung berpakaian dan berhias tipis sebelum keluar dari kamar dan menghampiri suamiku. "Sudah ada sarapan, rupanya? Ibu yang masak?" tanyaku, kemudian duduk di kursi yang berada di samping suamiku. "Iya. Tadi Ibu buat nasi goreng saja. Biar cepat. Soalnya, Ibu harus kembali ke Jakarta sekarang juga. Dan ... sekali lagi, Ibu titip cucu Ibu padamu, ya?" Tatapan Ibu mengarah padaku. Aku berdehem, lalu mengangguk mengiyakan permintaan ibu mertua. "S
"Bayi kita?" Mama mengulang dua kata yang diucapkan Mas Rendra. Entahlah, apa yang harus kukatakan saat mata Mama mengarah padaku. Bibirku terasa kaku, lidah pun kelu dan tak mampu mengucapkan apa-apa. Kedatangan Mama di luar prediksi. Aku yang belum siap mengatakan tentang Ayu pada Mama, kini malah kepergok tengah memomong bayi oleh wanita yang telah melahirkanku itu. "Rendra, Tsania, tolong jelaskan pada Mama, itu anak siapa? Kenapa barusan Rendra mengatakan bayi itu anak kalian, Tsa?" Mama kembali memberikan pertanyaan. Aku berdehem untuk menetralkan perasaan. Kaki Mama melangkah mendekati kami, membuat degup jantung pun kian berdebar kencang. "Iya, Mah. Ini anak aku dan Tsania. Kami ... mengadopsi bayi." Mas Rendra berucap."Adopsi? Apa-apaan ini, Tsania? Kalian mengadopsi bayi, tapi tidak berunding dulu dengan keluarga?" "Mah, Mama sebaiknya duduk dulu, nanti aku jelaskan dengan rinci mengenai siapa bayi ini dan kenapa aku dan Mas Rendra memutuskan untuk mengadopsinya." Aku