"Barusan, Bu. Ini, aku mau titip Ayu. Aku pengen mandi bentar."Ibu buru-buru mengambil bayi itu dari gendonganku. "Sana mandi, biar dia Ibu yang pegang dulu."Aku mengangguk pelan seraya menatap dua wajah orang dewasa yang ada di ruangan ini. Aku merasa, seperti ada yang mereka sembunyikan dariku. Apa ini ada kaitannya dengan ucapan Ibu? Sudahlah, mungkin hanya perasaanku saja. Aku kembali ke kamar, lalu masuk ke kamar mandi untuk menyegarkan diri. Tubuh terasa lebih ringan setelah bersentuhan dengan air dingin yang menyegarkan. Aku langsung berpakaian dan berhias tipis sebelum keluar dari kamar dan menghampiri suamiku. "Sudah ada sarapan, rupanya? Ibu yang masak?" tanyaku, kemudian duduk di kursi yang berada di samping suamiku. "Iya. Tadi Ibu buat nasi goreng saja. Biar cepat. Soalnya, Ibu harus kembali ke Jakarta sekarang juga. Dan ... sekali lagi, Ibu titip cucu Ibu padamu, ya?" Tatapan Ibu mengarah padaku. Aku berdehem, lalu mengangguk mengiyakan permintaan ibu mertua. "S
"Bayi kita?" Mama mengulang dua kata yang diucapkan Mas Rendra. Entahlah, apa yang harus kukatakan saat mata Mama mengarah padaku. Bibirku terasa kaku, lidah pun kelu dan tak mampu mengucapkan apa-apa. Kedatangan Mama di luar prediksi. Aku yang belum siap mengatakan tentang Ayu pada Mama, kini malah kepergok tengah memomong bayi oleh wanita yang telah melahirkanku itu. "Rendra, Tsania, tolong jelaskan pada Mama, itu anak siapa? Kenapa barusan Rendra mengatakan bayi itu anak kalian, Tsa?" Mama kembali memberikan pertanyaan. Aku berdehem untuk menetralkan perasaan. Kaki Mama melangkah mendekati kami, membuat degup jantung pun kian berdebar kencang. "Iya, Mah. Ini anak aku dan Tsania. Kami ... mengadopsi bayi." Mas Rendra berucap."Adopsi? Apa-apaan ini, Tsania? Kalian mengadopsi bayi, tapi tidak berunding dulu dengan keluarga?" "Mah, Mama sebaiknya duduk dulu, nanti aku jelaskan dengan rinci mengenai siapa bayi ini dan kenapa aku dan Mas Rendra memutuskan untuk mengadopsinya." Aku
"Mirip Rendra. Jangan-jangan ini memang anak kamu, Dra?" cetus Mama, membuatku membulatkan mata, lalu tertawa."Ah, Mama ngaco. Mana ada mirip aku?" Mas Rendra bereaksi. "Tahu, nih Mama. Mirip Mas Rendra dari mananya, sih?" ucapku, menimpali ucapan Mas Rendra. Mama mengedikkan bahu seraya menatap wajah mungil Ayu. Sesekali dia mengusap pipi bayi itu, lalu menaikan selimut yang membungkus tubuh kecilnya. "Anak siapa pun itu, lahir dari rahim wanita mana pun, Papa harap keberadaan dia tidak membuat hubungan rumah tangga kalian renggang. Justru sebaliknya, niat mulia kalian untuk merawat bayi itu mudah-mudahan Allah balas dengan kebahagiaan yang luar biasa nantinya.""Aamiin .... Ah, sayang banget, deh sama Papa." Aku merengsek mendekati Papa, lalu memeluk lelaki cinta pertamaku itu. Sekitar pukul delapan malam kedua orang tuaku pulang. Banyak sekali wejangan yang mereka tinggalkan untuk kami yang sekarang sudah berstatuskan sebagai orang tua. Papa dan Mama juga memintaku untuk sege
"Kak Anna?" Aku menyebut nama wanita yang sekarang berjalan mendekatiku. "Kok, salam Kakak enggak dijawab?" Aku mengerjapkan mata, lalu tersenyum hambar pada kakak iparku itu."Wa–waalaikumsalam." Aku tergagap. Ada rasa gugup dalam diri ini ketika Kak Anna semakin dekat denganku, dan tangannya terulur menyentuh pipi Ayu. Senyum Kak Anna terlihat seperti seringai yang membuat dadaku berdebar kencang. Entah rasa apa ini. Kenapa aku begitu panik dengan kedatangan Kak Anna yang tiba-tiba? Padahal, ini bukan kali pertama Kak Anna datang berkunjung ke rumahku. Sudah sering, bahkan kami pun beberapa kali pergi bersama meskipun hanya untuk nongkrong di kafe saja. "Tsa? Kok, malah bengong, sih? Apa kedatanganku mengganggumu?""Eh, tentu saja tidak!" kataku cepat, lalu berdehem menetralkan perasaan. Aku mempersilahkan Kak Anna masuk, kemudian mempersilakan kakak iparku untuk duduk. "Kak Anna datang ke sini sendiri? Bang Ben, mana?" tanyaku seraya melihat ke arah pintu. Mungkin ini per
"Ma–masa, sih, Kak? Ha ha ha, ada-ada saja, Bang Ben." Aku tertawa sumbang, menanggapi ucapan Kak Anna. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya sangat pelan. Berulang kali aku melakukan itu untuk menetralkan perasaan terkejut, juga gugup akibat pesan yang dikirim Bang Ben kepada istrinya. Ternyata menjadi seorang pembohong itu tidak semudah yang aku kira. Banyak serangan mendadak yang membuat jantung berdetak sangat cepat. Setelah Ayu tidur, Kak Anna pamit pulang. Katanya, dia sudah ada janji dan teman-temannya sedang menunggu dia di sebuah kafe. "Kak Anna, jangan banyak beraktivitas di luar rumah, ah. Takutnya kenapa-kenapa sama kandungan, Kakak," kataku seraya berjalan beriringan bersama wanita hamil itu. "Enggak sering, kok, Tsa. Hanya sesekali saja. Itu juga lokasinya gak jauh dari tempat kerja Bang Ben. Tenang aja, aku akan baik-baik saja."Kak Anna tersenyum lembut padaku, kemudian dia pamit untuk segera pergi. Kulihat tubuh kakak iparku yang sekarang sedikit b
"Oke, digabung pun tidak apa-apa. Aku setuju.""Beneran, Mas?" tanyaku, menanggapi jawaban Mas Rendra. "Iya, Sayang ...."Aku tersenyum seraya menghela napas lega. Dan setelah ini, aku harus menghubungi Mama dan Kak Anna, untuk menyampaikan kesediaan Mas Rendra mengenai acara syukuran itu. Mas Rendra yang baru saja pulang dari pabrik, dia pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Seraya menunggu Mas Rendra selesai mandi, aku pun menyiapkan makan untuk suamiku itu. Kebetulan, setelah minum susu, Ayu kembali tidur. Hem ... apa lagi kerjaan bayi kalau bukan makan dan tidur. "Sayang, kalau acara akikah Ayu minggu depan, itu artinya kita harus segera mencari kambing untuk disembelih. Kira-kira, di mana, ya?" Mas Rendra menghampiri dengan wajah segar dan tubuh wanginya. "Emh ... di tempat kamu beli kambing kurban waktu itu aja, Mas?" Aku mengingatkan. "Memangnya ada? Di sana, kan menjual kambing dan domba di saat musim kurban saja. Hari-hari biasa begini, mana ada?" sahutnya. "
"Tsa, aku salah bawa hape, ya?" Mas Rendra datang saat aku masih memikirkan apa yang terjadi dengan ibu mertua. Kedatangannya yang tanpa salam, membuatku sedikit terkejut. "I–iya, Mas. Kok, bisa salah, sih? Barusan Ibu telepon," kataku. "Oh ya? Ibu bilang apa?" tanya Mas Rendra seraya menjatuhkan bokong di ujung ranjang. Dia mengambil ponsel miliknya, lalu mengembalikan ponselku. "Nanyain Ayu. Terus ... aku juga udah ngasih tahu tentang syukuran Ayu. Katanya, dia akan datang."Mas Rendra manggut-manggut. Suamiku itu malah membahas mobil yang baru pulang dari bengkel, ketimbang membicarakan kekhawatiranku mengenai adiknya yang kemungkinan besar akan datang bersama Ibu. Setiap aku menyebut nama Dania, Mas Rendra selalu mengalihkan pembicaraan pada masalah yang lain. Dan itu membuatku kesal sekaligus merasa aneh. Kenapa Mas Rendra seperti menghindar? Apa ada yang dia sembunyikan lagi? Mudah-mudahan hanya perasaanku saja. Siang sudah berlalu, berganti dengan malam yang terasa din
Hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu. Kenapa? Karena hari ini, acara syukuran empat bulanan Kak Anna, juga akikah Ayu dilaksanakan. Sebagai seorang ibu, aku sangat senang karena bisa menunaikan kewajiban sebagai orang tua kepada anaknya. Acara akan digelar sore hari, tapi aku sudah bersiap sejak siang. Bahkan, Ayu pun sudah aku pakaikan baju terbaik, yang kebetulan hadiah dari Sabrina sahabatku. "Dia masih tidur, Tsa?" tanya Mama, menemuiku di kamar. Sejak dua hari yang lalu, aku sudah berada di rumah Mama. Begitu pun dengan Kak Anna. Karena acara syukuran memang akan diselenggarakan di rumah kedua orang tuaku. "Masih, Mah. Dia cantik, ya?" kataku, memuji Ayu. "Iya. Tentu saja cantik. Yang namanya anak perempuan, pasti cantik. Sebentar lagi, acara akan dimulai. Suamimu, kok belum datang?" Aku diam, kemudian tersenyum ke arah Mama. "sebentar lagi mungkin, Mah. Kita tunggu saja. Aku telepon dia, deh."Mama menangangguk, kemudian membawa Ayu ke luar dari kamarku saat masih