"Oke, digabung pun tidak apa-apa. Aku setuju.""Beneran, Mas?" tanyaku, menanggapi jawaban Mas Rendra. "Iya, Sayang ...."Aku tersenyum seraya menghela napas lega. Dan setelah ini, aku harus menghubungi Mama dan Kak Anna, untuk menyampaikan kesediaan Mas Rendra mengenai acara syukuran itu. Mas Rendra yang baru saja pulang dari pabrik, dia pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Seraya menunggu Mas Rendra selesai mandi, aku pun menyiapkan makan untuk suamiku itu. Kebetulan, setelah minum susu, Ayu kembali tidur. Hem ... apa lagi kerjaan bayi kalau bukan makan dan tidur. "Sayang, kalau acara akikah Ayu minggu depan, itu artinya kita harus segera mencari kambing untuk disembelih. Kira-kira, di mana, ya?" Mas Rendra menghampiri dengan wajah segar dan tubuh wanginya. "Emh ... di tempat kamu beli kambing kurban waktu itu aja, Mas?" Aku mengingatkan. "Memangnya ada? Di sana, kan menjual kambing dan domba di saat musim kurban saja. Hari-hari biasa begini, mana ada?" sahutnya. "
"Tsa, aku salah bawa hape, ya?" Mas Rendra datang saat aku masih memikirkan apa yang terjadi dengan ibu mertua. Kedatangannya yang tanpa salam, membuatku sedikit terkejut. "I–iya, Mas. Kok, bisa salah, sih? Barusan Ibu telepon," kataku. "Oh ya? Ibu bilang apa?" tanya Mas Rendra seraya menjatuhkan bokong di ujung ranjang. Dia mengambil ponsel miliknya, lalu mengembalikan ponselku. "Nanyain Ayu. Terus ... aku juga udah ngasih tahu tentang syukuran Ayu. Katanya, dia akan datang."Mas Rendra manggut-manggut. Suamiku itu malah membahas mobil yang baru pulang dari bengkel, ketimbang membicarakan kekhawatiranku mengenai adiknya yang kemungkinan besar akan datang bersama Ibu. Setiap aku menyebut nama Dania, Mas Rendra selalu mengalihkan pembicaraan pada masalah yang lain. Dan itu membuatku kesal sekaligus merasa aneh. Kenapa Mas Rendra seperti menghindar? Apa ada yang dia sembunyikan lagi? Mudah-mudahan hanya perasaanku saja. Siang sudah berlalu, berganti dengan malam yang terasa din
Hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu. Kenapa? Karena hari ini, acara syukuran empat bulanan Kak Anna, juga akikah Ayu dilaksanakan. Sebagai seorang ibu, aku sangat senang karena bisa menunaikan kewajiban sebagai orang tua kepada anaknya. Acara akan digelar sore hari, tapi aku sudah bersiap sejak siang. Bahkan, Ayu pun sudah aku pakaikan baju terbaik, yang kebetulan hadiah dari Sabrina sahabatku. "Dia masih tidur, Tsa?" tanya Mama, menemuiku di kamar. Sejak dua hari yang lalu, aku sudah berada di rumah Mama. Begitu pun dengan Kak Anna. Karena acara syukuran memang akan diselenggarakan di rumah kedua orang tuaku. "Masih, Mah. Dia cantik, ya?" kataku, memuji Ayu. "Iya. Tentu saja cantik. Yang namanya anak perempuan, pasti cantik. Sebentar lagi, acara akan dimulai. Suamimu, kok belum datang?" Aku diam, kemudian tersenyum ke arah Mama. "sebentar lagi mungkin, Mah. Kita tunggu saja. Aku telepon dia, deh."Mama menangangguk, kemudian membawa Ayu ke luar dari kamarku saat masih
"Alhamdulillah .... Acaranya berjalan lancar." Papa mendesah seraya menjatuhkan bokongnya pada sofa ruang tengah. Aku beserta beberapa orang lainnya pun mengikuti, ikut duduk bersama pemilik rumah. Acara hari ini memang sudah selesai tanpa kendala. Tamu yang datang pun sudah pulang, termasuk anak yatim yang Papa undang. Sekarang, tinggal keluarga dan kerabat dekat saja yang berada di rumah, membantu beres-beres karena tentunya rumah sangat berantakan. "Pah, makasih, ya, sudah membiayai syukuran akikahnya Ayu. Padahal, dia bukan—""Jangan bicara yang tidak-tidak, Tsania." Papa memotong ucapanku seraya membuka kacamata yang bertengger di hidungnya. "Jika dia sudah jadi bagian darimu, maka dia juga bagian dari keluarga Papa. Stop, bilang dia bukan cucu Papa atau semacamnya. Karena itu akan jadi kebiasaan, dan pasti membuat dia sakit hati jika mendengarnya.""Iya, Pah. Maaf," kataku seraya menundukkan kepala. Mas Rendra yang duduk di sampingku, mengusap-usap punggung ini seolah-olah
"Hai, Tsania," katanya seraya menatapku dengan seulas senyum. Beberapa detik kami saling memandang dengan ekspresi yang jauh berbeda. Dia dengan tatapan dinginnya, sedangkan aku sebaliknya. Jantungku berdebar kencang, rasa takut tiba-tiba mengerang melihat wanita itu berada di kamarku seraya mengendong Ayu. Dania. Iya, wanita itu adalah Dania. Entah dari mana dia datang dan tiba-tiba bisa berada di kamarku? Jika lewat pintu utama, kurasa tidak mungkin. Masih ada beberapa sanak saudara di depan sana, dan pastinya akan memberitahukan kedatangan dia kepadaku ataupun Mama. Karena sesungguhnya tidak ada yang mengenalinya selain aku. "Kenapa wajahnya tegang, Kakak Ipar? Apa aku ini terlihat seperti hantu?" Dia kembali berucap, seraya tersenyum ke arah Ayu. "Untuk apa kamu ke sini, Dania? Dan ... gimana caranya kamu bisa di sini? Bukannya kamu di rumahku?" Rentetan pertanyaan aku berikan, membuat dia menyeringai. Aku semakin takut. Dia yang katanya depresi, bisa saja melakukan hal ta
"K–kok, bisa, Mas? Dania ke mana?" tanyaku, pura-pura tidak tahu. "Aku juga gak tahu dia ke mana. Haduh ... cari ke mana, coba?" Mas Rendra terdengar frustrasi. Lirikan mataku pada Dania membuat dia tersenyum penuh arti. Bayi yang sedari tadi dia gendong, disimpannya ke atas kasur. Kemudian dia mengambil ponsel dari tanganku. Dengan sengaja, Dania mematikan sambungan telepon dari Mas Rendra, lalu menonaktifkan ponselku. "Dania, apa yang kamu lakukan?" ujarku, benar-benar tidak suka dengan kelakuannya. "Kita belum selesai bicara Tsania. Sudahlah, abaikan saja dulu Mas Rendra dan Ibu, kita kembali pada pembahasan awal.""Apa yang harus dibahas? Bang Ben? Atau keinginan konyolmu itu?" Dania menatapku tajam, terlihat tidak suka dengan pertanyaan yang aku lontarkan. Aku benar-benar muak pada dia. Bisa-bisanya dia melakukan sesuatu semaunya, berbuat hal yang akan membuatku jelek di mana Mas Rendra. Bisa saja suamiku menganggapku tidak berempati pada dia yang sedang kehilangan adik, p
Drama kepulangan Dania membuat jantungku berdetak tak karuan. Bagaimana tidak, aku dan di harus berjalan mengendap-endap agar orang rumah tidak ada yang memergoki kami. Di luar, sudah ada Mas Rendra yang menunggu adiknya, lalu membawa dia kembali ke rumahku. "Ukhuk ukhuk!" Aku menghentikan langkah, memejamkan mata karena kaget mendengar suara orang batuk. Dari dalam kamar Papa. "Cepat lari, Dania." Aku memberikan instruksi agar adik iparku segera keluar dari pintu yang aku buka sedikit. Dengan langkah tergesa, Dania pun keluar, diiringi dengan seseorang yang keluar dari kamarnya. "Tsania, kamu sedang apa, Nak?" "Emh ... ini, Pah. Aku kira tadi suara mobil Mas Rendra, tapi ternyata bukan.""Rendra belum datang?" tanya Papa lagi. "Belum, Pah. Aku khawatir, takutnya mobil dia mogok lagi kayak waktu itu. Eh, Papa, kenapa bangun? Aku ganggu tidur, Papa?" Aku menjauh dari pintu utama, mendekati Papa yang berdiri tepat di ambang pintu penyekat antara ruang tamu dan ruang tengah.
"Ada apa, Tsa?" Mas Rendra bertanya. "Kata Ibu, Dania pergi lagi dari rumah, Mas.""Astaghfirullahaladzim .... Ke mana lagi, dia?" ucap Mas Rendra terdengar frustrasi. Setelah mengatakan putrinya tidak ada di rumah, Ibu langsung menutup telepon. Dan aku saling pandang dengan Mas Rendra. Entah apa yang sedang dipikirkan suamiku, tapi yang pasti Dania memenuhi kepalaku saat ini. Ke mana dia? Pergi ke sini kah? Atau jangan-jangan ... dia mendatangi rumah Bang Ben? Mataku langsung membulat mengingat ke sana. Gawat! Benar-benar kacau jika Dania menemui Bang Ben. Aku yakin, saat ini di rumah kakakku masih ada mertuanya. Dan apa yang akan terjadi jika Dania dengan tanpa dosa mengatakan pada mereka tentang dirinya dan Bang Ben. "Mas, tolong pegang dulu Ayu," kataku, meminta Mas Rendra mengambil alih bayi yang sedang aku gendong. Dengan cepat tanganku mencari kontak Bang Ben, lalu meneleponnya dengan segera. Satu kali panggilan, tidak diangkat. Aku tidak menyerah dan mencobanya untu