"Ma–masa, sih, Kak? Ha ha ha, ada-ada saja, Bang Ben." Aku tertawa sumbang, menanggapi ucapan Kak Anna. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya sangat pelan. Berulang kali aku melakukan itu untuk menetralkan perasaan terkejut, juga gugup akibat pesan yang dikirim Bang Ben kepada istrinya. Ternyata menjadi seorang pembohong itu tidak semudah yang aku kira. Banyak serangan mendadak yang membuat jantung berdetak sangat cepat. Setelah Ayu tidur, Kak Anna pamit pulang. Katanya, dia sudah ada janji dan teman-temannya sedang menunggu dia di sebuah kafe. "Kak Anna, jangan banyak beraktivitas di luar rumah, ah. Takutnya kenapa-kenapa sama kandungan, Kakak," kataku seraya berjalan beriringan bersama wanita hamil itu. "Enggak sering, kok, Tsa. Hanya sesekali saja. Itu juga lokasinya gak jauh dari tempat kerja Bang Ben. Tenang aja, aku akan baik-baik saja."Kak Anna tersenyum lembut padaku, kemudian dia pamit untuk segera pergi. Kulihat tubuh kakak iparku yang sekarang sedikit b
"Oke, digabung pun tidak apa-apa. Aku setuju.""Beneran, Mas?" tanyaku, menanggapi jawaban Mas Rendra. "Iya, Sayang ...."Aku tersenyum seraya menghela napas lega. Dan setelah ini, aku harus menghubungi Mama dan Kak Anna, untuk menyampaikan kesediaan Mas Rendra mengenai acara syukuran itu. Mas Rendra yang baru saja pulang dari pabrik, dia pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Seraya menunggu Mas Rendra selesai mandi, aku pun menyiapkan makan untuk suamiku itu. Kebetulan, setelah minum susu, Ayu kembali tidur. Hem ... apa lagi kerjaan bayi kalau bukan makan dan tidur. "Sayang, kalau acara akikah Ayu minggu depan, itu artinya kita harus segera mencari kambing untuk disembelih. Kira-kira, di mana, ya?" Mas Rendra menghampiri dengan wajah segar dan tubuh wanginya. "Emh ... di tempat kamu beli kambing kurban waktu itu aja, Mas?" Aku mengingatkan. "Memangnya ada? Di sana, kan menjual kambing dan domba di saat musim kurban saja. Hari-hari biasa begini, mana ada?" sahutnya. "
"Tsa, aku salah bawa hape, ya?" Mas Rendra datang saat aku masih memikirkan apa yang terjadi dengan ibu mertua. Kedatangannya yang tanpa salam, membuatku sedikit terkejut. "I–iya, Mas. Kok, bisa salah, sih? Barusan Ibu telepon," kataku. "Oh ya? Ibu bilang apa?" tanya Mas Rendra seraya menjatuhkan bokong di ujung ranjang. Dia mengambil ponsel miliknya, lalu mengembalikan ponselku. "Nanyain Ayu. Terus ... aku juga udah ngasih tahu tentang syukuran Ayu. Katanya, dia akan datang."Mas Rendra manggut-manggut. Suamiku itu malah membahas mobil yang baru pulang dari bengkel, ketimbang membicarakan kekhawatiranku mengenai adiknya yang kemungkinan besar akan datang bersama Ibu. Setiap aku menyebut nama Dania, Mas Rendra selalu mengalihkan pembicaraan pada masalah yang lain. Dan itu membuatku kesal sekaligus merasa aneh. Kenapa Mas Rendra seperti menghindar? Apa ada yang dia sembunyikan lagi? Mudah-mudahan hanya perasaanku saja. Siang sudah berlalu, berganti dengan malam yang terasa din
Hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu. Kenapa? Karena hari ini, acara syukuran empat bulanan Kak Anna, juga akikah Ayu dilaksanakan. Sebagai seorang ibu, aku sangat senang karena bisa menunaikan kewajiban sebagai orang tua kepada anaknya. Acara akan digelar sore hari, tapi aku sudah bersiap sejak siang. Bahkan, Ayu pun sudah aku pakaikan baju terbaik, yang kebetulan hadiah dari Sabrina sahabatku. "Dia masih tidur, Tsa?" tanya Mama, menemuiku di kamar. Sejak dua hari yang lalu, aku sudah berada di rumah Mama. Begitu pun dengan Kak Anna. Karena acara syukuran memang akan diselenggarakan di rumah kedua orang tuaku. "Masih, Mah. Dia cantik, ya?" kataku, memuji Ayu. "Iya. Tentu saja cantik. Yang namanya anak perempuan, pasti cantik. Sebentar lagi, acara akan dimulai. Suamimu, kok belum datang?" Aku diam, kemudian tersenyum ke arah Mama. "sebentar lagi mungkin, Mah. Kita tunggu saja. Aku telepon dia, deh."Mama menangangguk, kemudian membawa Ayu ke luar dari kamarku saat masih
"Alhamdulillah .... Acaranya berjalan lancar." Papa mendesah seraya menjatuhkan bokongnya pada sofa ruang tengah. Aku beserta beberapa orang lainnya pun mengikuti, ikut duduk bersama pemilik rumah. Acara hari ini memang sudah selesai tanpa kendala. Tamu yang datang pun sudah pulang, termasuk anak yatim yang Papa undang. Sekarang, tinggal keluarga dan kerabat dekat saja yang berada di rumah, membantu beres-beres karena tentunya rumah sangat berantakan. "Pah, makasih, ya, sudah membiayai syukuran akikahnya Ayu. Padahal, dia bukan—""Jangan bicara yang tidak-tidak, Tsania." Papa memotong ucapanku seraya membuka kacamata yang bertengger di hidungnya. "Jika dia sudah jadi bagian darimu, maka dia juga bagian dari keluarga Papa. Stop, bilang dia bukan cucu Papa atau semacamnya. Karena itu akan jadi kebiasaan, dan pasti membuat dia sakit hati jika mendengarnya.""Iya, Pah. Maaf," kataku seraya menundukkan kepala. Mas Rendra yang duduk di sampingku, mengusap-usap punggung ini seolah-olah
"Hai, Tsania," katanya seraya menatapku dengan seulas senyum. Beberapa detik kami saling memandang dengan ekspresi yang jauh berbeda. Dia dengan tatapan dinginnya, sedangkan aku sebaliknya. Jantungku berdebar kencang, rasa takut tiba-tiba mengerang melihat wanita itu berada di kamarku seraya mengendong Ayu. Dania. Iya, wanita itu adalah Dania. Entah dari mana dia datang dan tiba-tiba bisa berada di kamarku? Jika lewat pintu utama, kurasa tidak mungkin. Masih ada beberapa sanak saudara di depan sana, dan pastinya akan memberitahukan kedatangan dia kepadaku ataupun Mama. Karena sesungguhnya tidak ada yang mengenalinya selain aku. "Kenapa wajahnya tegang, Kakak Ipar? Apa aku ini terlihat seperti hantu?" Dia kembali berucap, seraya tersenyum ke arah Ayu. "Untuk apa kamu ke sini, Dania? Dan ... gimana caranya kamu bisa di sini? Bukannya kamu di rumahku?" Rentetan pertanyaan aku berikan, membuat dia menyeringai. Aku semakin takut. Dia yang katanya depresi, bisa saja melakukan hal ta
"K–kok, bisa, Mas? Dania ke mana?" tanyaku, pura-pura tidak tahu. "Aku juga gak tahu dia ke mana. Haduh ... cari ke mana, coba?" Mas Rendra terdengar frustrasi. Lirikan mataku pada Dania membuat dia tersenyum penuh arti. Bayi yang sedari tadi dia gendong, disimpannya ke atas kasur. Kemudian dia mengambil ponsel dari tanganku. Dengan sengaja, Dania mematikan sambungan telepon dari Mas Rendra, lalu menonaktifkan ponselku. "Dania, apa yang kamu lakukan?" ujarku, benar-benar tidak suka dengan kelakuannya. "Kita belum selesai bicara Tsania. Sudahlah, abaikan saja dulu Mas Rendra dan Ibu, kita kembali pada pembahasan awal.""Apa yang harus dibahas? Bang Ben? Atau keinginan konyolmu itu?" Dania menatapku tajam, terlihat tidak suka dengan pertanyaan yang aku lontarkan. Aku benar-benar muak pada dia. Bisa-bisanya dia melakukan sesuatu semaunya, berbuat hal yang akan membuatku jelek di mana Mas Rendra. Bisa saja suamiku menganggapku tidak berempati pada dia yang sedang kehilangan adik, p
Drama kepulangan Dania membuat jantungku berdetak tak karuan. Bagaimana tidak, aku dan di harus berjalan mengendap-endap agar orang rumah tidak ada yang memergoki kami. Di luar, sudah ada Mas Rendra yang menunggu adiknya, lalu membawa dia kembali ke rumahku. "Ukhuk ukhuk!" Aku menghentikan langkah, memejamkan mata karena kaget mendengar suara orang batuk. Dari dalam kamar Papa. "Cepat lari, Dania." Aku memberikan instruksi agar adik iparku segera keluar dari pintu yang aku buka sedikit. Dengan langkah tergesa, Dania pun keluar, diiringi dengan seseorang yang keluar dari kamarnya. "Tsania, kamu sedang apa, Nak?" "Emh ... ini, Pah. Aku kira tadi suara mobil Mas Rendra, tapi ternyata bukan.""Rendra belum datang?" tanya Papa lagi. "Belum, Pah. Aku khawatir, takutnya mobil dia mogok lagi kayak waktu itu. Eh, Papa, kenapa bangun? Aku ganggu tidur, Papa?" Aku menjauh dari pintu utama, mendekati Papa yang berdiri tepat di ambang pintu penyekat antara ruang tamu dan ruang tengah.
"Kayaknya bukan masalah kerjaan, Tsa. Coba, deh, kamu tanya baik-baik sama Rendra. Siapa tahu, dia ... merindukan ibunya?"Aku termenung mendengar penuturan Papa barusan. Apa iya, suamiku merindukan Ibu? "Kenapa tidak bilang dan pergi temui Ibu? Aku enggak akan larang, kok," kataku kemudian. "Mungkin Rendra malu untuk bilang, makanya dia diam. Kamu sebagai istri, harusnya inisiatif tanya. Bagaimanapun juga, wanita yang saat ini ada di rumah sakit jiwa itu, wanita yang telah melahirkan suamimu. Wajib hukumnya kamu mengingatkan suami agar tetap memperhatikan ibunya. Kalau sehat badan, ya dengan tenaga, kalau punya harta, ya dengan harta. Kalau punya keduanya, lakukan bersamaan. Paham, Tsa?" Aku mengangguk lemah dengan tatapan pada Mas Rendra yang memejamkan mata.Papa yang sudah merasakan kantuk, ia pun pamit pada Ayu, mencium pipi chubby cucunya itu sebelum pergi ke kamar. "Mas." Aku mengusap pipi Mas Rendra dengan lembut. Tidak ada respon. Hanya embusan napas teratur yang kudenga
"Kamu aku izinkan menjenguk Ayu, tapi dengan satu syarat," ujar Mas Rendra, melanjutkan ucapannya yang menggantung. "Apa syaratnya, Mas?" Roy bertanya. "Jangan berharap membawa dia. Aku tidak akan mengizinkan itu."Dengan wajah yang terlihat kecewa, Roy menganggukkan kepalanya. Aku merasa lega, karena Mas Rendra tidak membiarkan Roy mengurus Ayu. Pikirku, Mas Rendra akan dengan senang hati menyerahkan Ayu, membiarkan keponakannya itu diasuh oleh ayah kandungnya. Akan tetapi, itu hanya ketakutanku saja. Mas Rendra juga pasti sudah memikirkan matang-matang tentang jawaban yang dia berikan pada Roy. "Sekarang kamu boleh pergi," ujar Mas Rendra dingin."Mas, sebelum aku pergi, bodoh tidak jika aku menggendong anakku?" Mataku langsung menatap wajah Roy setelah dia berucap demikian. Aku memperhatikan dengan lekat wajah itu, mencari apakah ada niat jelek darinya untuk Ayu. Namun, aku bukan Tuhan yang bisa tahu isi hati manusia. Aku tidak menangkap niat buruk dari Roy, hanya melihat se
Aku dan Mas Rendra saling pandang, sangat terkejut dengan ucapan yang pria itu lontarkan. Mas Rendra membalikkan badan, menatap heran pada pria yang melihat suamiku dengan nyalang. "Siapa yang kau sebut anakku?" tanya suamiku kemudian. Pria itu meneguk ludah dengan kasar. Tanpa mengucapkan satu kata pun, dia pergi menjauhi kami dan naik ke atas kendaraan roda duanya. Mas Rendra mengejar. Suamiku itu berhasil menahan pria asing tadi untuk kabur, sementara aku menghampiri mobil untuk mengambil Ayu yang sengaja kami biarkan di dalam mobil. Awalnya, aku sengaja meninggalkan aku untuk memancing pria itu. Karena aku kira, dia penculik yang mengincar Ayu. Akan tetapi, sepertinya aku salah duga. Dari cara dia tadi berteriak menghentikan Mas Rendra, aku yakin dia bukanlah penculik. "Siapa kamu sebenarnya? Katakan, siapa?!" ujar Mas Rendra, memaksa laki-laki itu untuk bicara. "Lepaskan!" Pria yang kedua tangannya dicekal Mas Rendra, berteriak seraya berontak. "Aku akan melepaskanmu, as
"Ini Anak Bayi mau ke mana? Ya ampun ... pagi-pagi gini sudah cantik aja." "Jalan-jalan, dong, Opa," kataku, menjawab pertanyaan yang Papa tujukan pada Ayu. Sekarang hari minggu. Karena pabrik libur di hari ini, aku pun berinisiatif untuk pergi jalan-jalan bersama Ayu. Alhamdulillah-nya, Mas Rendra tidak menolak ketika aku menyampaikan keinginan untuk pergi di hari minggu. Dan sekarang, aku sudah siap untuk pergi. Tinggal menunggu Mas Rendra yang masih mandi, karena tadi gantian menjaga Ayu. "Kalian mau pergi ke mana? Jangan jauh-jauh, kasihan Ayu. Dan ingat kondisi kamu juga, Tsa," ujar Papa seraya meletakkan Ayu di stroller. "Iya, Papa. Palingan ke taman, terus makan-makan doang, sih. Janji, deh enggak akan pulang malam." Aku mengacungkan dua jari ke depan wajah. "Yasudah, kalian hati-hati, ya? Papa udah transfer buat jajan kalian.""Emh ... Papa .... Makasih," tuturku, lalu memeluk Papa. Sebenarnya, Papa sudah aku ajak untuk ikut bersamaku dan Mas Rendra. Akan tetapi, Papa m
Gorden yang aku tutup tiba-tiba, aku buka kembali untuk melihat orang tadi. Akan tetapi, orang asing itu sudah tidak ada di tempatnya. Dia pergi dan entah ke mana. Hati semakin khawatir, takut jika orang tadi punya niat buruk padaku, atau semua penghuni rumah ini. Sangat menyeramkan. [Mas, tadi ada orang asing yang ngintai rumah kita,] ujarku, mengirimkan pesan pada Mas Rendra. Sayangnya, suamiku itu membalas pesan yang aku kirim. Jangankan membalasnya, dibaca pun tidak sama sekali. Suamiku itu pasti sedang bekerja saat ini. [Pah.] Aku memanggil Papa, lewat pesan juga. Sama seperti Mas Rendra, Papa juga tidak sama sekali membaca pesanku. Ada rasa kesal pada dua lelaki itu karena mengabaikan pesanku, tapi aku juga sadar jika mereka sedang bekerja saat ini. Lalu aku harus apa untuk mengalihkan rasa takut ini? "Astaghfirullah!"Ketukan di pintu membuatku yang tengah melamun, terlonjak kaget mendengarnya. Dada kuusap berulang kali seraya mengatur napas. "Siapa?" tanyaku, seteng
"Setelah Mama pergi, dia belum pernah datang ke mimpi Papa, Tsa. Papa ingin sekali melihatnya," ujar Papa seraya mengusap kedua matanya. Aku tidak bisa melakukan apa-apa. Tanganku mengusap-usap punggung Papa, lalu akhirnya kami berpelukan. Sebenarnya, aku pun merasakan hal yang sama. Tadi setelah salat maghrib, tiba-tiba mengingat Mama. Namun, aku tidak mengatakannya pada siapa pun. Aku pendam rasa ini, karena mungkin hanya aku yang merasakannya. Ternyata tidak, Papa pun merasakan kerinduan yang sama pada wanita yang sudah tidak lagi bersama kami saat ini. "Masih ada penyesalan di sini, Tsa." Papa meraba dadanya. "Seandainya saja saat itu Papa langsung pulang, mungkin sekarang Mama masih ada, ya?" lanjut Papa lagi. "Ssttt .... Jangan bicara seperti itu, Pah. Kan, kata Papa juga semuanya sudah Allah atur. Kapan kita meninggal, di mana dan dengan cara apa, sudah Allah tentukan lebih dulu sebelum kita dilahirkan ke dunia ini."Papa mengurai pelukan, lalu mengangguk pelan. Dia menari
"Waalaikumsalam," ucapku, lalu diikuti Mas Rendra dan Papa. Mataku tak lepas dari seseorang yang saat ini masih bergeming di tempatnya. Begitu juga dengan Mas Rendra dan Papa. Sedangkan yang diperhatikan, matanya memindai kami yang ada di dalam rumah, lalu berhenti di Mas Rendra. Untuk beberapa detik keduanya saling mengunci pandangan, hingga akhirnya Mas Rendra melihat ke arahku seraya tersenyum. "Masuk, Na." Aku berucap demikian. Wanita yang tak lain adalah Sabrina, melangkahkan kaki ke dalam rumah, lalu menyalami Papa yang berada paling dekat dengan pintu. Ayahku berpindah duduk, lalu sofa yang tadi ia tempati, kini diduduki Sabrina. Panjang umur Sabrina ini. Baru saja kami membahasnya, tahu-tahu sekarang dia ada di hadapan kami. "Mas Rendra sejak kapan di sini?" tanya Sabrina pada suamiku. Sebagai seorang wanita dewasa, aku paham betul jika tatapan Sabrina pada suamiku mengandung arti. Masih ada rasa yang aku lihat dari sorot matanya itu. Mas Rendra tidak langsung menjawa
"Kakak kaget, loh tadi pas kamu masuk sama Rendra. Kakak kira, kalian mau ngomongin perpisahan. Eh, tahunya sebaliknya. Seneng, deh lihat kamu ceria lagi kayak gini. Tadi, gimana kata dokter? Janinnya baik-baik saja, kan? Kamunya juga sehat?"Aku terkekeh ketika diberondong banyak pertanyaan oleh Kak Anna. Awal aku datang, wajah Kak Anna memang menunjukkan keheranan. Apa lagi alasannya kalau bukan karena aku yang datang bersama Mas Rendra. Dan setelah dijelaskan, baik Kak Anna maupun Bang Ben, menerima keputusanku. Mereka mendukung penuh aku untuk tetap bersama Mas Rendra, apalagi aku yang tengah mengandung anaknya Mas Rendra. "Kandungan aku baik. Meskipun, tadi pagi sempat kram, tapi Alhamdulillah semuanya normal-normal saja. Aku juga sehat," jawabku kemudian."Syukurlah kalau baik-baik saja. Iya, tahu, kok kalau kalian pasti rindu, kan? Tapi, harus ingat, ada Tsania junior di sini. Atau mungkin, Rendra junior?" Aku tertawa, mengikuti Kak Anna yang terkekeh seraya mengusap-usap p
"Jadi, kalian memutuskan untuk bersama lagi?"Aku dan Mas Rendra mengangguk, menjawab pertanyaan yang diberikan Papa. Sekitar satu jam yang lalu, aku dan Mas Rendra memutuskan pulang ke rumah Papa. Setelah makan bersama, Papa mengajak kami untuk bicara, membahas rumah tangga kami yang sempat berada di ujung perpisahan. "Papa senang, jika akhirnya kalian kembali bersama. Karena bagaimanapun, kalian ini akan jadi orang tua. Sudah jadi orang tua bahkan, karena Ayu adalah bagian dari kalian," ujar Papa lagi. Tanganku dan tangan Mas Rendra saling menggenggam. Kami duduk berdampingan, tidak ingin jauh satu sama lain. "Rendra." Papa menyebut nama suamiku. "Iya, Pah?" "Ini kesempatan terakhir yang Papa berikan kepada kamu. Jika suatu hari nanti kamu membuat kesalahan lagi, menutupi masalah apa pun itu dari Tsania, hingga membuat anak Papa terluka, Papa sendiri yang akan memintamu pergi. Ingat, Rendra. Laki-laki yang dipegang itu omongannya. Maka, bersikaplah seperti ucapan yang kamu jan