"Kak Anna?" Aku menyebut nama wanita yang sekarang berjalan mendekatiku. "Kok, salam Kakak enggak dijawab?" Aku mengerjapkan mata, lalu tersenyum hambar pada kakak iparku itu."Wa–waalaikumsalam." Aku tergagap. Ada rasa gugup dalam diri ini ketika Kak Anna semakin dekat denganku, dan tangannya terulur menyentuh pipi Ayu. Senyum Kak Anna terlihat seperti seringai yang membuat dadaku berdebar kencang. Entah rasa apa ini. Kenapa aku begitu panik dengan kedatangan Kak Anna yang tiba-tiba? Padahal, ini bukan kali pertama Kak Anna datang berkunjung ke rumahku. Sudah sering, bahkan kami pun beberapa kali pergi bersama meskipun hanya untuk nongkrong di kafe saja. "Tsa? Kok, malah bengong, sih? Apa kedatanganku mengganggumu?""Eh, tentu saja tidak!" kataku cepat, lalu berdehem menetralkan perasaan. Aku mempersilahkan Kak Anna masuk, kemudian mempersilakan kakak iparku untuk duduk. "Kak Anna datang ke sini sendiri? Bang Ben, mana?" tanyaku seraya melihat ke arah pintu. Mungkin ini per
"Ma–masa, sih, Kak? Ha ha ha, ada-ada saja, Bang Ben." Aku tertawa sumbang, menanggapi ucapan Kak Anna. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya sangat pelan. Berulang kali aku melakukan itu untuk menetralkan perasaan terkejut, juga gugup akibat pesan yang dikirim Bang Ben kepada istrinya. Ternyata menjadi seorang pembohong itu tidak semudah yang aku kira. Banyak serangan mendadak yang membuat jantung berdetak sangat cepat. Setelah Ayu tidur, Kak Anna pamit pulang. Katanya, dia sudah ada janji dan teman-temannya sedang menunggu dia di sebuah kafe. "Kak Anna, jangan banyak beraktivitas di luar rumah, ah. Takutnya kenapa-kenapa sama kandungan, Kakak," kataku seraya berjalan beriringan bersama wanita hamil itu. "Enggak sering, kok, Tsa. Hanya sesekali saja. Itu juga lokasinya gak jauh dari tempat kerja Bang Ben. Tenang aja, aku akan baik-baik saja."Kak Anna tersenyum lembut padaku, kemudian dia pamit untuk segera pergi. Kulihat tubuh kakak iparku yang sekarang sedikit b
"Oke, digabung pun tidak apa-apa. Aku setuju.""Beneran, Mas?" tanyaku, menanggapi jawaban Mas Rendra. "Iya, Sayang ...."Aku tersenyum seraya menghela napas lega. Dan setelah ini, aku harus menghubungi Mama dan Kak Anna, untuk menyampaikan kesediaan Mas Rendra mengenai acara syukuran itu. Mas Rendra yang baru saja pulang dari pabrik, dia pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Seraya menunggu Mas Rendra selesai mandi, aku pun menyiapkan makan untuk suamiku itu. Kebetulan, setelah minum susu, Ayu kembali tidur. Hem ... apa lagi kerjaan bayi kalau bukan makan dan tidur. "Sayang, kalau acara akikah Ayu minggu depan, itu artinya kita harus segera mencari kambing untuk disembelih. Kira-kira, di mana, ya?" Mas Rendra menghampiri dengan wajah segar dan tubuh wanginya. "Emh ... di tempat kamu beli kambing kurban waktu itu aja, Mas?" Aku mengingatkan. "Memangnya ada? Di sana, kan menjual kambing dan domba di saat musim kurban saja. Hari-hari biasa begini, mana ada?" sahutnya. "
"Tsa, aku salah bawa hape, ya?" Mas Rendra datang saat aku masih memikirkan apa yang terjadi dengan ibu mertua. Kedatangannya yang tanpa salam, membuatku sedikit terkejut. "I–iya, Mas. Kok, bisa salah, sih? Barusan Ibu telepon," kataku. "Oh ya? Ibu bilang apa?" tanya Mas Rendra seraya menjatuhkan bokong di ujung ranjang. Dia mengambil ponsel miliknya, lalu mengembalikan ponselku. "Nanyain Ayu. Terus ... aku juga udah ngasih tahu tentang syukuran Ayu. Katanya, dia akan datang."Mas Rendra manggut-manggut. Suamiku itu malah membahas mobil yang baru pulang dari bengkel, ketimbang membicarakan kekhawatiranku mengenai adiknya yang kemungkinan besar akan datang bersama Ibu. Setiap aku menyebut nama Dania, Mas Rendra selalu mengalihkan pembicaraan pada masalah yang lain. Dan itu membuatku kesal sekaligus merasa aneh. Kenapa Mas Rendra seperti menghindar? Apa ada yang dia sembunyikan lagi? Mudah-mudahan hanya perasaanku saja. Siang sudah berlalu, berganti dengan malam yang terasa din
Hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu. Kenapa? Karena hari ini, acara syukuran empat bulanan Kak Anna, juga akikah Ayu dilaksanakan. Sebagai seorang ibu, aku sangat senang karena bisa menunaikan kewajiban sebagai orang tua kepada anaknya. Acara akan digelar sore hari, tapi aku sudah bersiap sejak siang. Bahkan, Ayu pun sudah aku pakaikan baju terbaik, yang kebetulan hadiah dari Sabrina sahabatku. "Dia masih tidur, Tsa?" tanya Mama, menemuiku di kamar. Sejak dua hari yang lalu, aku sudah berada di rumah Mama. Begitu pun dengan Kak Anna. Karena acara syukuran memang akan diselenggarakan di rumah kedua orang tuaku. "Masih, Mah. Dia cantik, ya?" kataku, memuji Ayu. "Iya. Tentu saja cantik. Yang namanya anak perempuan, pasti cantik. Sebentar lagi, acara akan dimulai. Suamimu, kok belum datang?" Aku diam, kemudian tersenyum ke arah Mama. "sebentar lagi mungkin, Mah. Kita tunggu saja. Aku telepon dia, deh."Mama menangangguk, kemudian membawa Ayu ke luar dari kamarku saat masih
"Alhamdulillah .... Acaranya berjalan lancar." Papa mendesah seraya menjatuhkan bokongnya pada sofa ruang tengah. Aku beserta beberapa orang lainnya pun mengikuti, ikut duduk bersama pemilik rumah. Acara hari ini memang sudah selesai tanpa kendala. Tamu yang datang pun sudah pulang, termasuk anak yatim yang Papa undang. Sekarang, tinggal keluarga dan kerabat dekat saja yang berada di rumah, membantu beres-beres karena tentunya rumah sangat berantakan. "Pah, makasih, ya, sudah membiayai syukuran akikahnya Ayu. Padahal, dia bukan—""Jangan bicara yang tidak-tidak, Tsania." Papa memotong ucapanku seraya membuka kacamata yang bertengger di hidungnya. "Jika dia sudah jadi bagian darimu, maka dia juga bagian dari keluarga Papa. Stop, bilang dia bukan cucu Papa atau semacamnya. Karena itu akan jadi kebiasaan, dan pasti membuat dia sakit hati jika mendengarnya.""Iya, Pah. Maaf," kataku seraya menundukkan kepala. Mas Rendra yang duduk di sampingku, mengusap-usap punggung ini seolah-olah
"Hai, Tsania," katanya seraya menatapku dengan seulas senyum. Beberapa detik kami saling memandang dengan ekspresi yang jauh berbeda. Dia dengan tatapan dinginnya, sedangkan aku sebaliknya. Jantungku berdebar kencang, rasa takut tiba-tiba mengerang melihat wanita itu berada di kamarku seraya mengendong Ayu. Dania. Iya, wanita itu adalah Dania. Entah dari mana dia datang dan tiba-tiba bisa berada di kamarku? Jika lewat pintu utama, kurasa tidak mungkin. Masih ada beberapa sanak saudara di depan sana, dan pastinya akan memberitahukan kedatangan dia kepadaku ataupun Mama. Karena sesungguhnya tidak ada yang mengenalinya selain aku. "Kenapa wajahnya tegang, Kakak Ipar? Apa aku ini terlihat seperti hantu?" Dia kembali berucap, seraya tersenyum ke arah Ayu. "Untuk apa kamu ke sini, Dania? Dan ... gimana caranya kamu bisa di sini? Bukannya kamu di rumahku?" Rentetan pertanyaan aku berikan, membuat dia menyeringai. Aku semakin takut. Dia yang katanya depresi, bisa saja melakukan hal ta
"K–kok, bisa, Mas? Dania ke mana?" tanyaku, pura-pura tidak tahu. "Aku juga gak tahu dia ke mana. Haduh ... cari ke mana, coba?" Mas Rendra terdengar frustrasi. Lirikan mataku pada Dania membuat dia tersenyum penuh arti. Bayi yang sedari tadi dia gendong, disimpannya ke atas kasur. Kemudian dia mengambil ponsel dari tanganku. Dengan sengaja, Dania mematikan sambungan telepon dari Mas Rendra, lalu menonaktifkan ponselku. "Dania, apa yang kamu lakukan?" ujarku, benar-benar tidak suka dengan kelakuannya. "Kita belum selesai bicara Tsania. Sudahlah, abaikan saja dulu Mas Rendra dan Ibu, kita kembali pada pembahasan awal.""Apa yang harus dibahas? Bang Ben? Atau keinginan konyolmu itu?" Dania menatapku tajam, terlihat tidak suka dengan pertanyaan yang aku lontarkan. Aku benar-benar muak pada dia. Bisa-bisanya dia melakukan sesuatu semaunya, berbuat hal yang akan membuatku jelek di mana Mas Rendra. Bisa saja suamiku menganggapku tidak berempati pada dia yang sedang kehilangan adik, p