Share

Bab 44 Kerja Sama

Penulis: Pena_yuni
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"K–kok, bisa, Mas? Dania ke mana?" tanyaku, pura-pura tidak tahu.

"Aku juga gak tahu dia ke mana. Haduh ... cari ke mana, coba?" Mas Rendra terdengar frustrasi.

Lirikan mataku pada Dania membuat dia tersenyum penuh arti. Bayi yang sedari tadi dia gendong, disimpannya ke atas kasur. Kemudian dia mengambil ponsel dari tanganku. Dengan sengaja, Dania mematikan sambungan telepon dari Mas Rendra, lalu menonaktifkan ponselku.

"Dania, apa yang kamu lakukan?" ujarku, benar-benar tidak suka dengan kelakuannya.

"Kita belum selesai bicara Tsania. Sudahlah, abaikan saja dulu Mas Rendra dan Ibu, kita kembali pada pembahasan awal."

"Apa yang harus dibahas? Bang Ben? Atau keinginan konyolmu itu?"

Dania menatapku tajam, terlihat tidak suka dengan pertanyaan yang aku lontarkan.

Aku benar-benar muak pada dia. Bisa-bisanya dia melakukan sesuatu semaunya, berbuat hal yang akan membuatku jelek di mana Mas Rendra.

Bisa saja suamiku menganggapku tidak berempati pada dia yang sedang kehilangan adik, p
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 45 Dania Bermuka Dua

    Drama kepulangan Dania membuat jantungku berdetak tak karuan. Bagaimana tidak, aku dan di harus berjalan mengendap-endap agar orang rumah tidak ada yang memergoki kami. Di luar, sudah ada Mas Rendra yang menunggu adiknya, lalu membawa dia kembali ke rumahku. "Ukhuk ukhuk!" Aku menghentikan langkah, memejamkan mata karena kaget mendengar suara orang batuk. Dari dalam kamar Papa. "Cepat lari, Dania." Aku memberikan instruksi agar adik iparku segera keluar dari pintu yang aku buka sedikit. Dengan langkah tergesa, Dania pun keluar, diiringi dengan seseorang yang keluar dari kamarnya. "Tsania, kamu sedang apa, Nak?" "Emh ... ini, Pah. Aku kira tadi suara mobil Mas Rendra, tapi ternyata bukan.""Rendra belum datang?" tanya Papa lagi. "Belum, Pah. Aku khawatir, takutnya mobil dia mogok lagi kayak waktu itu. Eh, Papa, kenapa bangun? Aku ganggu tidur, Papa?" Aku menjauh dari pintu utama, mendekati Papa yang berdiri tepat di ambang pintu penyekat antara ruang tamu dan ruang tengah.

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 46 Ke Mana Dania?

    "Ada apa, Tsa?" Mas Rendra bertanya. "Kata Ibu, Dania pergi lagi dari rumah, Mas.""Astaghfirullahaladzim .... Ke mana lagi, dia?" ucap Mas Rendra terdengar frustrasi. Setelah mengatakan putrinya tidak ada di rumah, Ibu langsung menutup telepon. Dan aku saling pandang dengan Mas Rendra. Entah apa yang sedang dipikirkan suamiku, tapi yang pasti Dania memenuhi kepalaku saat ini. Ke mana dia? Pergi ke sini kah? Atau jangan-jangan ... dia mendatangi rumah Bang Ben? Mataku langsung membulat mengingat ke sana. Gawat! Benar-benar kacau jika Dania menemui Bang Ben. Aku yakin, saat ini di rumah kakakku masih ada mertuanya. Dan apa yang akan terjadi jika Dania dengan tanpa dosa mengatakan pada mereka tentang dirinya dan Bang Ben. "Mas, tolong pegang dulu Ayu," kataku, meminta Mas Rendra mengambil alih bayi yang sedang aku gendong. Dengan cepat tanganku mencari kontak Bang Ben, lalu meneleponnya dengan segera. Satu kali panggilan, tidak diangkat. Aku tidak menyerah dan mencobanya untu

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 47 Kedatangan Mama yang Tiba-tiba

    "Apa kataku, Mas. Dia ada di sini, kan?" Mas Rendra tidak menjawab. Tatapannya fokus pada wanita yang sedari tadi dicarinya. Dania, dia benar-benar ada di rumah Bang Ben. Ah, tidak. Bukan di rumah kakakku, tapi di depan rumah. Tepatnya dia tengah memantau istana Bang Ben dengan bersembunyi di balik pohon yang tumbuh di sekitar sana. Nekad! Dania benar-benar membahayakan keluarga kakakku. Mas Rendra membuka pintu mobil. Dia hendak menghampiri adiknya, tapi aku tahan. Bukan apa-apa, tapi posisi dia parkir masih sedikit jauh dari rumah kakakku. Dan jika Mas Rendra memaksa Dania untuk masuk, itu akan memakan waktu."Maju dikit lagi, Mas." Aku memberikan instruksi. Mas Rendra menurut. Kini, mobil sudah berada lebih dekat dengan rumah Bang Ben, juga Dania. Suamiku membuka mobil, lalu berjalan mengendap menghampiri adiknya. Dengan satu gerakan tangan, suamiku berhasil membekap mulut Dania dari arah belakang, juga memeluknya agar Dania tidak bisa berontak. Aku turun dari mobil, lalu m

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 48 Pengasuh Ayu

    "Saya pengasuh Ayu, Bu." Mataku langsung menoleh pada Dania yang baru saja menjawab pertanyaan Mama. Raut terkejut bukan hanya terlihat dari wajah Mama, tapi juga Mas Rendra dan Ibu. Aku pun sama. Aku tidak menyangka Dania akan menjawab seperti itu. "Pengasuh?" ucap Mama. "Kamu mau pakai pengasuh, Tsa?" Tatapan Mama kini beralih padaku. Kadung berbohong. Akhirnya aku pun menjawab pertanyaan Mama dengan hanya menganggukkan kepala. "Kenapa pake pengasuh?" tanya Mama lagi. "Emh .... Karena ... kadang aku merasa lelah, Mah. Lagipula, dia mengasuh hanya di malam hari saja, biar aku enggak kurang tidur. Sedangkan siang, dia akan bekerja mengurus rumah."Sekarang mata Dania lah yang membulat. Mungkin dia keberatan dengan ucapanku yang mengatakan akan memperkerjakan dirinya di siang hari. Untuk yang itu, aku memang tidak berbohong. Itu rencanaku jika Dania sungguh-sungguh akan tinggal di sini. Enak saja dia ongkang-ongkang kaki sedangkan di hatinya memiliki niat buruk pada keluargaku

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 49 Berjuang untuk Suami Orang

    "Dra, gimana ini? Dania tetep tidak mau pulang. Dia bahkan mengancam akan bunuh diri jika dipaksa pulang ke Jakarta."Napas aku embuskan kasar saat mendengar Ibu yang tengah bicara pada Mas Rendra. Setelah bangun tidur beberapa waktu yang lalu, kepalaku sedikit lebih baik. Akan tetapi, sekarang sudah kembali diserang dengan kabar yang semakin menyesakkan dada. Oh, Dania .... Haruskah aku berbuat kasar dengan mengirimmu ke neraka agar masalah hidupku sirna? Rasanya itu terlalu jahat. Tadinya aku berniat untuk pergi ke dapur. Mencari makanan, karena perut terasa lapar setelah tidur satu jam lamanya. Namun, urung aku lakukan, dan lebih memilih kembali ke kamar. "Sayang ...." Aku mencolek sedikit pipi Ayu, yang ternyata sudah bangun saat aku kembali. "Nak, maafin Bunda, ya? Bunda, tuh gak suka sama mama kamu. Bunda, sebel sama dia. Gimana, kalau kita pergi saja, yuk? Kita pergi berdua aja ...." Ayu menggeliat, kemudian tersenyum seolah-olah mengerti dengan apa yang aku ucapkan. "

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 50 Menghindari Dania

    "Aduh, gimana ini? Siapa yang bisa aku mintai tolong?" Aku bertanya pada diri sendiri seraya mondar-mandir di dalam kamar. Dania pergi. Dan aku tahu tujuannya ke mana. "Jam segini Bang Ben masih di pabriknya. Kalau Dania ke rumah Bang Ben, yang dia temui pasti ... Kak Anna!" Aku menjentikkan jari, lalu mengambil ponsel untuk menghubungi kakak iparku itu. Diangkat. Panggilanku dijawabnya dengan mengucapkan salam terlebih dahulu. "Waalaikumsalam, Kak. Kak, Kak Anna sekarang di mana?" tanyaku. "Di rumah, Tsa. Kenapa? Kamu mau datang ke sini?" "Tidak, Kak. Tapi ...." Aku menggantung ucapan karena kebingungan apa kata yang tepat untuk mencegah dia tidak membukakan pintu jika Dania datang. "Tapi kenapa, Tsa? Ada apa? Kamu butuh sesuatu?" Kak Anna kembali bertanya. "Emh ... i–iya, Kak." "Butuh apa? Bicara saja."Aku diam kembali. Demi Tuhan aku sangat kesulitan mencari cara agar Dania tidak bertemu dengan Kak Anna. Ketakutanku bukan hanya sebatas pertemuan antara mereka berdua,

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 51 Apa yang Terjadi?

    Kukerjapkan mata berulang kali untuk memastikan apa yang aku lihat sekarang memanglah dia. Dania. Wanita yang aku hindari bertemu dengan Kak Anna, sekarang ada di sini. Dia berdiri di balik dinding kaca dengan tatapan dingin ke arahku. Sumpah demi Tuhan, aku merasa sedang diteror dan akan segera dihabisi oleh orang itu. Wajah Dania tanpa ekspresi, tapi mampu membuat jantungku berhenti berdetak untuk beberapa detik tadi. "Tsa?" Kak Anna memanggil. "Eh, kenapa, Kak?" tanyaku, mengalihkan pandangan. "Lihat apa, sih? Ada yang kamu kenali di sini?" tanya Kak Anna lagi. Aku menoleh ke arah Dania berdiri tadi. Namun, wanita itu sekarang sudah tidak ada di tempatnya. Mataku mencari ke sekeliling, tapi tak kutemukan dia. Dania pergi, dan entah ke mana. "Ada temanmu di sini?" Untuk yang ke sekalian kali, Kak Anna bertanya. "Ah, tidak ada, Kak. Cuma mirip aja, tali kayaknya bukan, deh. Kak Anna mau pesan apa?" Aku mengalihkan pembahasan, karena jujur saja saat ini aku semakin tidak t

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 52 Kemarahan Dania

    Aku tidak bisa berkata-kata lagi selain menyebut nama Tuhan.Keadaan kamarku tak kalah parah dari ruang depan. Seprai, selimut, bantal dan segala macam yang berada di ruangan ini, tidak berada dalam tempatnya. Tidak hanya itu, semua pakaianku dan Mas Rendra pun berserakan di lantai. Semua, tidak terkecuali. "Ini perbuatan siapa?!" kataku geram. Mas Rendra menghampiri lemari, membuka laci yang kami isi dengan dokumen penting. Utuh. Semuanya masih ada, termasuk sertifikat rumah ini. "Di mana kamu menyimpan perhiasan, Tsa? Coba lihat, apa masih ada?" ujar Mas Rendra. "Di laci lemari pakaianku, Mas." Gegas Mas Rendra berpindah tempat dari lemarinya ke lemariku. Dia memeriksa laci yang aku maksud, dan ternyata ...."Ada, Tsa.""Apa?!" Aku menghampiri Mas Rendra, membuktikan perkataanya yang mencengangkan. Benar saja. Satu set perhiasan dan beberapa cincin serta kalung emas milikku masih utuh. "Kok, aneh, ya Mas? Kalau maling, pasti perhiasan ini diambil. Tapi ini ....""Kamu bena

Bab terbaru

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 139

    "Kayaknya bukan masalah kerjaan, Tsa. Coba, deh, kamu tanya baik-baik sama Rendra. Siapa tahu, dia ... merindukan ibunya?"Aku termenung mendengar penuturan Papa barusan. Apa iya, suamiku merindukan Ibu? "Kenapa tidak bilang dan pergi temui Ibu? Aku enggak akan larang, kok," kataku kemudian. "Mungkin Rendra malu untuk bilang, makanya dia diam. Kamu sebagai istri, harusnya inisiatif tanya. Bagaimanapun juga, wanita yang saat ini ada di rumah sakit jiwa itu, wanita yang telah melahirkan suamimu. Wajib hukumnya kamu mengingatkan suami agar tetap memperhatikan ibunya. Kalau sehat badan, ya dengan tenaga, kalau punya harta, ya dengan harta. Kalau punya keduanya, lakukan bersamaan. Paham, Tsa?" Aku mengangguk lemah dengan tatapan pada Mas Rendra yang memejamkan mata.Papa yang sudah merasakan kantuk, ia pun pamit pada Ayu, mencium pipi chubby cucunya itu sebelum pergi ke kamar. "Mas." Aku mengusap pipi Mas Rendra dengan lembut. Tidak ada respon. Hanya embusan napas teratur yang kudenga

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 138

    "Kamu aku izinkan menjenguk Ayu, tapi dengan satu syarat," ujar Mas Rendra, melanjutkan ucapannya yang menggantung. "Apa syaratnya, Mas?" Roy bertanya. "Jangan berharap membawa dia. Aku tidak akan mengizinkan itu."Dengan wajah yang terlihat kecewa, Roy menganggukkan kepalanya. Aku merasa lega, karena Mas Rendra tidak membiarkan Roy mengurus Ayu. Pikirku, Mas Rendra akan dengan senang hati menyerahkan Ayu, membiarkan keponakannya itu diasuh oleh ayah kandungnya. Akan tetapi, itu hanya ketakutanku saja. Mas Rendra juga pasti sudah memikirkan matang-matang tentang jawaban yang dia berikan pada Roy. "Sekarang kamu boleh pergi," ujar Mas Rendra dingin."Mas, sebelum aku pergi, bodoh tidak jika aku menggendong anakku?" Mataku langsung menatap wajah Roy setelah dia berucap demikian. Aku memperhatikan dengan lekat wajah itu, mencari apakah ada niat jelek darinya untuk Ayu. Namun, aku bukan Tuhan yang bisa tahu isi hati manusia. Aku tidak menangkap niat buruk dari Roy, hanya melihat se

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 136 Pria Asing itu Ternyata ....

    Aku dan Mas Rendra saling pandang, sangat terkejut dengan ucapan yang pria itu lontarkan. Mas Rendra membalikkan badan, menatap heran pada pria yang melihat suamiku dengan nyalang. "Siapa yang kau sebut anakku?" tanya suamiku kemudian. Pria itu meneguk ludah dengan kasar. Tanpa mengucapkan satu kata pun, dia pergi menjauhi kami dan naik ke atas kendaraan roda duanya. Mas Rendra mengejar. Suamiku itu berhasil menahan pria asing tadi untuk kabur, sementara aku menghampiri mobil untuk mengambil Ayu yang sengaja kami biarkan di dalam mobil. Awalnya, aku sengaja meninggalkan aku untuk memancing pria itu. Karena aku kira, dia penculik yang mengincar Ayu. Akan tetapi, sepertinya aku salah duga. Dari cara dia tadi berteriak menghentikan Mas Rendra, aku yakin dia bukanlah penculik. "Siapa kamu sebenarnya? Katakan, siapa?!" ujar Mas Rendra, memaksa laki-laki itu untuk bicara. "Lepaskan!" Pria yang kedua tangannya dicekal Mas Rendra, berteriak seraya berontak. "Aku akan melepaskanmu, as

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 135

    "Ini Anak Bayi mau ke mana? Ya ampun ... pagi-pagi gini sudah cantik aja." "Jalan-jalan, dong, Opa," kataku, menjawab pertanyaan yang Papa tujukan pada Ayu. Sekarang hari minggu. Karena pabrik libur di hari ini, aku pun berinisiatif untuk pergi jalan-jalan bersama Ayu. Alhamdulillah-nya, Mas Rendra tidak menolak ketika aku menyampaikan keinginan untuk pergi di hari minggu. Dan sekarang, aku sudah siap untuk pergi. Tinggal menunggu Mas Rendra yang masih mandi, karena tadi gantian menjaga Ayu. "Kalian mau pergi ke mana? Jangan jauh-jauh, kasihan Ayu. Dan ingat kondisi kamu juga, Tsa," ujar Papa seraya meletakkan Ayu di stroller. "Iya, Papa. Palingan ke taman, terus makan-makan doang, sih. Janji, deh enggak akan pulang malam." Aku mengacungkan dua jari ke depan wajah. "Yasudah, kalian hati-hati, ya? Papa udah transfer buat jajan kalian.""Emh ... Papa .... Makasih," tuturku, lalu memeluk Papa. Sebenarnya, Papa sudah aku ajak untuk ikut bersamaku dan Mas Rendra. Akan tetapi, Papa m

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 134

    Gorden yang aku tutup tiba-tiba, aku buka kembali untuk melihat orang tadi. Akan tetapi, orang asing itu sudah tidak ada di tempatnya. Dia pergi dan entah ke mana. Hati semakin khawatir, takut jika orang tadi punya niat buruk padaku, atau semua penghuni rumah ini. Sangat menyeramkan. [Mas, tadi ada orang asing yang ngintai rumah kita,] ujarku, mengirimkan pesan pada Mas Rendra. Sayangnya, suamiku itu membalas pesan yang aku kirim. Jangankan membalasnya, dibaca pun tidak sama sekali. Suamiku itu pasti sedang bekerja saat ini. [Pah.] Aku memanggil Papa, lewat pesan juga. Sama seperti Mas Rendra, Papa juga tidak sama sekali membaca pesanku. Ada rasa kesal pada dua lelaki itu karena mengabaikan pesanku, tapi aku juga sadar jika mereka sedang bekerja saat ini. Lalu aku harus apa untuk mengalihkan rasa takut ini? "Astaghfirullah!"Ketukan di pintu membuatku yang tengah melamun, terlonjak kaget mendengarnya. Dada kuusap berulang kali seraya mengatur napas. "Siapa?" tanyaku, seteng

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 133 Orang Asing

    "Setelah Mama pergi, dia belum pernah datang ke mimpi Papa, Tsa. Papa ingin sekali melihatnya," ujar Papa seraya mengusap kedua matanya. Aku tidak bisa melakukan apa-apa. Tanganku mengusap-usap punggung Papa, lalu akhirnya kami berpelukan. Sebenarnya, aku pun merasakan hal yang sama. Tadi setelah salat maghrib, tiba-tiba mengingat Mama. Namun, aku tidak mengatakannya pada siapa pun. Aku pendam rasa ini, karena mungkin hanya aku yang merasakannya. Ternyata tidak, Papa pun merasakan kerinduan yang sama pada wanita yang sudah tidak lagi bersama kami saat ini. "Masih ada penyesalan di sini, Tsa." Papa meraba dadanya. "Seandainya saja saat itu Papa langsung pulang, mungkin sekarang Mama masih ada, ya?" lanjut Papa lagi. "Ssttt .... Jangan bicara seperti itu, Pah. Kan, kata Papa juga semuanya sudah Allah atur. Kapan kita meninggal, di mana dan dengan cara apa, sudah Allah tentukan lebih dulu sebelum kita dilahirkan ke dunia ini."Papa mengurai pelukan, lalu mengangguk pelan. Dia menari

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 132 Sabrina Pamit

    "Waalaikumsalam," ucapku, lalu diikuti Mas Rendra dan Papa. Mataku tak lepas dari seseorang yang saat ini masih bergeming di tempatnya. Begitu juga dengan Mas Rendra dan Papa. Sedangkan yang diperhatikan, matanya memindai kami yang ada di dalam rumah, lalu berhenti di Mas Rendra. Untuk beberapa detik keduanya saling mengunci pandangan, hingga akhirnya Mas Rendra melihat ke arahku seraya tersenyum. "Masuk, Na." Aku berucap demikian. Wanita yang tak lain adalah Sabrina, melangkahkan kaki ke dalam rumah, lalu menyalami Papa yang berada paling dekat dengan pintu. Ayahku berpindah duduk, lalu sofa yang tadi ia tempati, kini diduduki Sabrina. Panjang umur Sabrina ini. Baru saja kami membahasnya, tahu-tahu sekarang dia ada di hadapan kami. "Mas Rendra sejak kapan di sini?" tanya Sabrina pada suamiku. Sebagai seorang wanita dewasa, aku paham betul jika tatapan Sabrina pada suamiku mengandung arti. Masih ada rasa yang aku lihat dari sorot matanya itu. Mas Rendra tidak langsung menjawa

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 131

    "Kakak kaget, loh tadi pas kamu masuk sama Rendra. Kakak kira, kalian mau ngomongin perpisahan. Eh, tahunya sebaliknya. Seneng, deh lihat kamu ceria lagi kayak gini. Tadi, gimana kata dokter? Janinnya baik-baik saja, kan? Kamunya juga sehat?"Aku terkekeh ketika diberondong banyak pertanyaan oleh Kak Anna. Awal aku datang, wajah Kak Anna memang menunjukkan keheranan. Apa lagi alasannya kalau bukan karena aku yang datang bersama Mas Rendra. Dan setelah dijelaskan, baik Kak Anna maupun Bang Ben, menerima keputusanku. Mereka mendukung penuh aku untuk tetap bersama Mas Rendra, apalagi aku yang tengah mengandung anaknya Mas Rendra. "Kandungan aku baik. Meskipun, tadi pagi sempat kram, tapi Alhamdulillah semuanya normal-normal saja. Aku juga sehat," jawabku kemudian."Syukurlah kalau baik-baik saja. Iya, tahu, kok kalau kalian pasti rindu, kan? Tapi, harus ingat, ada Tsania junior di sini. Atau mungkin, Rendra junior?" Aku tertawa, mengikuti Kak Anna yang terkekeh seraya mengusap-usap p

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 130

    "Jadi, kalian memutuskan untuk bersama lagi?"Aku dan Mas Rendra mengangguk, menjawab pertanyaan yang diberikan Papa. Sekitar satu jam yang lalu, aku dan Mas Rendra memutuskan pulang ke rumah Papa. Setelah makan bersama, Papa mengajak kami untuk bicara, membahas rumah tangga kami yang sempat berada di ujung perpisahan. "Papa senang, jika akhirnya kalian kembali bersama. Karena bagaimanapun, kalian ini akan jadi orang tua. Sudah jadi orang tua bahkan, karena Ayu adalah bagian dari kalian," ujar Papa lagi. Tanganku dan tangan Mas Rendra saling menggenggam. Kami duduk berdampingan, tidak ingin jauh satu sama lain. "Rendra." Papa menyebut nama suamiku. "Iya, Pah?" "Ini kesempatan terakhir yang Papa berikan kepada kamu. Jika suatu hari nanti kamu membuat kesalahan lagi, menutupi masalah apa pun itu dari Tsania, hingga membuat anak Papa terluka, Papa sendiri yang akan memintamu pergi. Ingat, Rendra. Laki-laki yang dipegang itu omongannya. Maka, bersikaplah seperti ucapan yang kamu jan

DMCA.com Protection Status