Beranda / Pernikahan / Misteri di Rumah Mertua / Bab 49 Berjuang untuk Suami Orang

Share

Bab 49 Berjuang untuk Suami Orang

Penulis: Pena_yuni
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Dra, gimana ini? Dania tetep tidak mau pulang. Dia bahkan mengancam akan bunuh diri jika dipaksa pulang ke Jakarta."

Napas aku embuskan kasar saat mendengar Ibu yang tengah bicara pada Mas Rendra.

Setelah bangun tidur beberapa waktu yang lalu, kepalaku sedikit lebih baik. Akan tetapi, sekarang sudah kembali diserang dengan kabar yang semakin menyesakkan dada.

Oh, Dania .... Haruskah aku berbuat kasar dengan mengirimmu ke neraka agar masalah hidupku sirna?

Rasanya itu terlalu jahat.

Tadinya aku berniat untuk pergi ke dapur. Mencari makanan, karena perut terasa lapar setelah tidur satu jam lamanya.

Namun, urung aku lakukan, dan lebih memilih kembali ke kamar.

"Sayang ...." Aku mencolek sedikit pipi Ayu, yang ternyata sudah bangun saat aku kembali.

"Nak, maafin Bunda, ya? Bunda, tuh gak suka sama mama kamu. Bunda, sebel sama dia. Gimana, kalau kita pergi saja, yuk? Kita pergi berdua aja ...."

Ayu menggeliat, kemudian tersenyum seolah-olah mengerti dengan apa yang aku ucapkan.

"
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 50 Menghindari Dania

    "Aduh, gimana ini? Siapa yang bisa aku mintai tolong?" Aku bertanya pada diri sendiri seraya mondar-mandir di dalam kamar. Dania pergi. Dan aku tahu tujuannya ke mana. "Jam segini Bang Ben masih di pabriknya. Kalau Dania ke rumah Bang Ben, yang dia temui pasti ... Kak Anna!" Aku menjentikkan jari, lalu mengambil ponsel untuk menghubungi kakak iparku itu. Diangkat. Panggilanku dijawabnya dengan mengucapkan salam terlebih dahulu. "Waalaikumsalam, Kak. Kak, Kak Anna sekarang di mana?" tanyaku. "Di rumah, Tsa. Kenapa? Kamu mau datang ke sini?" "Tidak, Kak. Tapi ...." Aku menggantung ucapan karena kebingungan apa kata yang tepat untuk mencegah dia tidak membukakan pintu jika Dania datang. "Tapi kenapa, Tsa? Ada apa? Kamu butuh sesuatu?" Kak Anna kembali bertanya. "Emh ... i–iya, Kak." "Butuh apa? Bicara saja."Aku diam kembali. Demi Tuhan aku sangat kesulitan mencari cara agar Dania tidak bertemu dengan Kak Anna. Ketakutanku bukan hanya sebatas pertemuan antara mereka berdua,

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 51 Apa yang Terjadi?

    Kukerjapkan mata berulang kali untuk memastikan apa yang aku lihat sekarang memanglah dia. Dania. Wanita yang aku hindari bertemu dengan Kak Anna, sekarang ada di sini. Dia berdiri di balik dinding kaca dengan tatapan dingin ke arahku. Sumpah demi Tuhan, aku merasa sedang diteror dan akan segera dihabisi oleh orang itu. Wajah Dania tanpa ekspresi, tapi mampu membuat jantungku berhenti berdetak untuk beberapa detik tadi. "Tsa?" Kak Anna memanggil. "Eh, kenapa, Kak?" tanyaku, mengalihkan pandangan. "Lihat apa, sih? Ada yang kamu kenali di sini?" tanya Kak Anna lagi. Aku menoleh ke arah Dania berdiri tadi. Namun, wanita itu sekarang sudah tidak ada di tempatnya. Mataku mencari ke sekeliling, tapi tak kutemukan dia. Dania pergi, dan entah ke mana. "Ada temanmu di sini?" Untuk yang ke sekalian kali, Kak Anna bertanya. "Ah, tidak ada, Kak. Cuma mirip aja, tali kayaknya bukan, deh. Kak Anna mau pesan apa?" Aku mengalihkan pembahasan, karena jujur saja saat ini aku semakin tidak t

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 52 Kemarahan Dania

    Aku tidak bisa berkata-kata lagi selain menyebut nama Tuhan.Keadaan kamarku tak kalah parah dari ruang depan. Seprai, selimut, bantal dan segala macam yang berada di ruangan ini, tidak berada dalam tempatnya. Tidak hanya itu, semua pakaianku dan Mas Rendra pun berserakan di lantai. Semua, tidak terkecuali. "Ini perbuatan siapa?!" kataku geram. Mas Rendra menghampiri lemari, membuka laci yang kami isi dengan dokumen penting. Utuh. Semuanya masih ada, termasuk sertifikat rumah ini. "Di mana kamu menyimpan perhiasan, Tsa? Coba lihat, apa masih ada?" ujar Mas Rendra. "Di laci lemari pakaianku, Mas." Gegas Mas Rendra berpindah tempat dari lemarinya ke lemariku. Dia memeriksa laci yang aku maksud, dan ternyata ...."Ada, Tsa.""Apa?!" Aku menghampiri Mas Rendra, membuktikan perkataanya yang mencengangkan. Benar saja. Satu set perhiasan dan beberapa cincin serta kalung emas milikku masih utuh. "Kok, aneh, ya Mas? Kalau maling, pasti perhiasan ini diambil. Tapi ini ....""Kamu bena

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 53 Menyesal Pernah Merindukan Dia

    "Kenapa dilempar, sih?" tanyaku lagi, seraya berjalan ke arah pintu balkon. "Biar cepet. Kelamaan kalau harus bawa lewat tangga. Buang-buang waktu," ujar Mas Rendra. Seraya menjawab pertanyaanku, dia terus melakukan hal yang sama, melempar plastik berisikan pakaian kotor ke bawah. Beberapa kali lemparan, kini sudah tidak ada satu pun plastik hitam di kamar ini. Aku melongok, melihat penampakan barang-barang yang tadi dijatuhkan suamiku. Tidak terlalu buruk, juga tidak membuat plastik hitam yang biasa aku gunakan untuk sampah itu sobek. Ide Mas Rendra lumayan bagus juga. "Sapu di mana, Tsa? Sekalian sama pelan juga."Aku mengalihkan perhatian dari plastik-plastik di bawah, pada Mas Rendra yang bertanya. Aku masuk kembali ke kamar, lalu menyimpan Ayu yang sudah tidur kembali. "Aku yang sapu, kamu yang pel, ya? Bentar, aku ambil dulu di bawah. Kamu istirahat aja sebentar," kataku kemudian. Tanpa menunggu jawaban dari Mas Rendra, aku pun turun ke lantai satu, mengambil sapu dan p

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 54 Dua Insan

    Tempat laundry memang tidaklah terlalu jauh, makanya sengaja aku pelankan laju mobil, agar lebih lama berada di jalanan seperti sekarang ini. Meskipun yang kulihat hanya ruko dan rumah warga, tapi ini lebih baik daripada menyaksikan rumahku yang berantakan. Dani. Semua gara-gara Dania yang keberadaannya tidak aku tahu sekarang. Apa dia pulang ke Jakarta? Menurutku tidak. Tapi, apa salahnya jika nanti aku tanyakan pada Ibu. Syukur-syukur iya, dia ada di rumah ibunya. "Mbak, saya mau bawa baju-baju kotor di mobil saya, lumayan banyak. Bisa bantu bawa turunkan?" Aku meminta tolong pada salah satu karyawan laundry. Tempat laundry ini cukup besar, terkenal juga, jadi wajar saja jika memiliki karyawan. Dulu sewaktu belum menikah, aku sering mencuci gosok pakaian ke sini. Namun, sekarang sangatlah jarang. Selain hemat biaya, aku pun sudah terbiasa dengan mencuci dan gosok pakaian sendiri. "Boleh, Kak," jawab wanita yang usianya pasti lebih muda dariku itu. Aku pun membuka bagasi mob

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 55 Teror

    "Apa lagi ini, Mas ...?" Tubuhku terasa kaku melihat pecahan kaca yang berserakan di lantai. Mas Rendra memberikan kode untukku tetap berdiri di tempat, jangan mendekati dia yang berdiri tepat di depan pintu. "Tetap di sana, Tsa. Nanti kakimu terluka," ujar Mas Rendra. "Siapa yang melakukan ini, Mas?" "Aku gak tahu, Tsa. Sepertinya, keluarga kita sedang dalam incaran.""Maksudmu, kita diteror?" Anggukan kepala membuat rasa takut dalam diri berkali lipat. Dalam hati, aku bertekad untuk melaporkan kejadian ini ke polisi. Aku juga mengambil beberapa gambar pecahan kaca yang berserakan di lantai sebagai bukti adanya teror di rumahku. "Mas, itu ada kertas. Coba lihat, mungkin ada petunjuk dari orang yang meneror kita," ujarku, menunjuk selembar kertas yang berada tak jauh dari batu yang kuyakini sebagai alat penghancur kaca rumahku. "Ada tulisannya, Tsa.""Apa tulisannya, Mas?" tanyaku sangat ingin tahu."Kembalikan bayiku." Mas Rendra membaca tulisan yang ada pada selembar kertas

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 56 Tamu di Pagi Buta

    "Dania?" kataku, menyebut satu nama. Meskipun si pengirim pesan tidak menyebutkan namanya, tapi dari keseluruhan kalimat yang aku baca, aku sangat yakin jika orang itu adalah Dania. [Di mana kamu, Dania? Jangan bersembunyi dan pergi begitu saja setelah apa yang kamu lakukan pada rumahku!] Aku membalas pesan tersebut. Sudah centang biru. Itu artinya, dia sudah membaca pesan yang aku kirimkan padanya. Beberapa menit aku memperhatikan ponsel, menunggu Dania membalas pesanku. Akan tetapi, tidak ada. Dia pun sepertinya sudah keluar dari aplikasi WhatsApp, yang kami gunakan untuk saling bertukar pesan. Tidak sabar menunggu pesan balasan dari Dania, aku pun menelepon nomor tersebut, untuk memastikan jika orang di balik pesan itu benar-benar adik iparku. Satu kali panggilan tidak dia jawab, aku mengulanginya beberapa kali hingga suara seorang wanita terdengar dari seberang sana."Kamu sepertinya merindukanku, ya, Kakak Ipar? Ada apa, kenapa kamu sangat ingin menghubungiku, hem ...?" Ak

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 57 Wajah Polos Sabrina?

    "Oh ... jadi ini yang dilempar batu?" "Iya. Tuh, batunya masih ada," ujarku, seraya menunjuk batu yang dipakai Dania melempar kaca rumahku. Aku tidak tahu sebenarnya siapa yang melemparkan batu itu ke rumah. Entah Dania sendiri yang melakukannya, atau dia menyuruh orang lain. Namun, aku tidak yakin jika Dania menyuruh orang untuk melakukan itu. Dia tidak punya uang. Dan tidak mungkin seseorang mau melakukan sesuatu tanpa imbalan. Apalagi sebuah kejahatan. "Kamu yang sabar, ya, Tsa? Gak nyangka banget, deh, bakalan jadi serumit ini masalahnya," tutur Sabrina, seraya mengusap pundakku. Aku mengangguk, kemudian mengajak sahabatku itu masuk ke rumah. Sabrina datang tidak dengan tangan kosong. Dia membawa lontong sayur, karena tahu aku pasti kerepotan membuat sarapan. Ah, Sabrina memang teman paling baik. Dia selalu paham dengan keadaan sahabatnya ini. "Makasih banyak, loh, Na. Seneng banget dibawain sarapan," ucapku, "sebenarnya, tadi aku udah masak, sih. Telor dadar doangan tapi.

Bab terbaru

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 139

    "Kayaknya bukan masalah kerjaan, Tsa. Coba, deh, kamu tanya baik-baik sama Rendra. Siapa tahu, dia ... merindukan ibunya?"Aku termenung mendengar penuturan Papa barusan. Apa iya, suamiku merindukan Ibu? "Kenapa tidak bilang dan pergi temui Ibu? Aku enggak akan larang, kok," kataku kemudian. "Mungkin Rendra malu untuk bilang, makanya dia diam. Kamu sebagai istri, harusnya inisiatif tanya. Bagaimanapun juga, wanita yang saat ini ada di rumah sakit jiwa itu, wanita yang telah melahirkan suamimu. Wajib hukumnya kamu mengingatkan suami agar tetap memperhatikan ibunya. Kalau sehat badan, ya dengan tenaga, kalau punya harta, ya dengan harta. Kalau punya keduanya, lakukan bersamaan. Paham, Tsa?" Aku mengangguk lemah dengan tatapan pada Mas Rendra yang memejamkan mata.Papa yang sudah merasakan kantuk, ia pun pamit pada Ayu, mencium pipi chubby cucunya itu sebelum pergi ke kamar. "Mas." Aku mengusap pipi Mas Rendra dengan lembut. Tidak ada respon. Hanya embusan napas teratur yang kudenga

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 138

    "Kamu aku izinkan menjenguk Ayu, tapi dengan satu syarat," ujar Mas Rendra, melanjutkan ucapannya yang menggantung. "Apa syaratnya, Mas?" Roy bertanya. "Jangan berharap membawa dia. Aku tidak akan mengizinkan itu."Dengan wajah yang terlihat kecewa, Roy menganggukkan kepalanya. Aku merasa lega, karena Mas Rendra tidak membiarkan Roy mengurus Ayu. Pikirku, Mas Rendra akan dengan senang hati menyerahkan Ayu, membiarkan keponakannya itu diasuh oleh ayah kandungnya. Akan tetapi, itu hanya ketakutanku saja. Mas Rendra juga pasti sudah memikirkan matang-matang tentang jawaban yang dia berikan pada Roy. "Sekarang kamu boleh pergi," ujar Mas Rendra dingin."Mas, sebelum aku pergi, bodoh tidak jika aku menggendong anakku?" Mataku langsung menatap wajah Roy setelah dia berucap demikian. Aku memperhatikan dengan lekat wajah itu, mencari apakah ada niat jelek darinya untuk Ayu. Namun, aku bukan Tuhan yang bisa tahu isi hati manusia. Aku tidak menangkap niat buruk dari Roy, hanya melihat se

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 136 Pria Asing itu Ternyata ....

    Aku dan Mas Rendra saling pandang, sangat terkejut dengan ucapan yang pria itu lontarkan. Mas Rendra membalikkan badan, menatap heran pada pria yang melihat suamiku dengan nyalang. "Siapa yang kau sebut anakku?" tanya suamiku kemudian. Pria itu meneguk ludah dengan kasar. Tanpa mengucapkan satu kata pun, dia pergi menjauhi kami dan naik ke atas kendaraan roda duanya. Mas Rendra mengejar. Suamiku itu berhasil menahan pria asing tadi untuk kabur, sementara aku menghampiri mobil untuk mengambil Ayu yang sengaja kami biarkan di dalam mobil. Awalnya, aku sengaja meninggalkan aku untuk memancing pria itu. Karena aku kira, dia penculik yang mengincar Ayu. Akan tetapi, sepertinya aku salah duga. Dari cara dia tadi berteriak menghentikan Mas Rendra, aku yakin dia bukanlah penculik. "Siapa kamu sebenarnya? Katakan, siapa?!" ujar Mas Rendra, memaksa laki-laki itu untuk bicara. "Lepaskan!" Pria yang kedua tangannya dicekal Mas Rendra, berteriak seraya berontak. "Aku akan melepaskanmu, as

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 135

    "Ini Anak Bayi mau ke mana? Ya ampun ... pagi-pagi gini sudah cantik aja." "Jalan-jalan, dong, Opa," kataku, menjawab pertanyaan yang Papa tujukan pada Ayu. Sekarang hari minggu. Karena pabrik libur di hari ini, aku pun berinisiatif untuk pergi jalan-jalan bersama Ayu. Alhamdulillah-nya, Mas Rendra tidak menolak ketika aku menyampaikan keinginan untuk pergi di hari minggu. Dan sekarang, aku sudah siap untuk pergi. Tinggal menunggu Mas Rendra yang masih mandi, karena tadi gantian menjaga Ayu. "Kalian mau pergi ke mana? Jangan jauh-jauh, kasihan Ayu. Dan ingat kondisi kamu juga, Tsa," ujar Papa seraya meletakkan Ayu di stroller. "Iya, Papa. Palingan ke taman, terus makan-makan doang, sih. Janji, deh enggak akan pulang malam." Aku mengacungkan dua jari ke depan wajah. "Yasudah, kalian hati-hati, ya? Papa udah transfer buat jajan kalian.""Emh ... Papa .... Makasih," tuturku, lalu memeluk Papa. Sebenarnya, Papa sudah aku ajak untuk ikut bersamaku dan Mas Rendra. Akan tetapi, Papa m

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 134

    Gorden yang aku tutup tiba-tiba, aku buka kembali untuk melihat orang tadi. Akan tetapi, orang asing itu sudah tidak ada di tempatnya. Dia pergi dan entah ke mana. Hati semakin khawatir, takut jika orang tadi punya niat buruk padaku, atau semua penghuni rumah ini. Sangat menyeramkan. [Mas, tadi ada orang asing yang ngintai rumah kita,] ujarku, mengirimkan pesan pada Mas Rendra. Sayangnya, suamiku itu membalas pesan yang aku kirim. Jangankan membalasnya, dibaca pun tidak sama sekali. Suamiku itu pasti sedang bekerja saat ini. [Pah.] Aku memanggil Papa, lewat pesan juga. Sama seperti Mas Rendra, Papa juga tidak sama sekali membaca pesanku. Ada rasa kesal pada dua lelaki itu karena mengabaikan pesanku, tapi aku juga sadar jika mereka sedang bekerja saat ini. Lalu aku harus apa untuk mengalihkan rasa takut ini? "Astaghfirullah!"Ketukan di pintu membuatku yang tengah melamun, terlonjak kaget mendengarnya. Dada kuusap berulang kali seraya mengatur napas. "Siapa?" tanyaku, seteng

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 133 Orang Asing

    "Setelah Mama pergi, dia belum pernah datang ke mimpi Papa, Tsa. Papa ingin sekali melihatnya," ujar Papa seraya mengusap kedua matanya. Aku tidak bisa melakukan apa-apa. Tanganku mengusap-usap punggung Papa, lalu akhirnya kami berpelukan. Sebenarnya, aku pun merasakan hal yang sama. Tadi setelah salat maghrib, tiba-tiba mengingat Mama. Namun, aku tidak mengatakannya pada siapa pun. Aku pendam rasa ini, karena mungkin hanya aku yang merasakannya. Ternyata tidak, Papa pun merasakan kerinduan yang sama pada wanita yang sudah tidak lagi bersama kami saat ini. "Masih ada penyesalan di sini, Tsa." Papa meraba dadanya. "Seandainya saja saat itu Papa langsung pulang, mungkin sekarang Mama masih ada, ya?" lanjut Papa lagi. "Ssttt .... Jangan bicara seperti itu, Pah. Kan, kata Papa juga semuanya sudah Allah atur. Kapan kita meninggal, di mana dan dengan cara apa, sudah Allah tentukan lebih dulu sebelum kita dilahirkan ke dunia ini."Papa mengurai pelukan, lalu mengangguk pelan. Dia menari

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 132 Sabrina Pamit

    "Waalaikumsalam," ucapku, lalu diikuti Mas Rendra dan Papa. Mataku tak lepas dari seseorang yang saat ini masih bergeming di tempatnya. Begitu juga dengan Mas Rendra dan Papa. Sedangkan yang diperhatikan, matanya memindai kami yang ada di dalam rumah, lalu berhenti di Mas Rendra. Untuk beberapa detik keduanya saling mengunci pandangan, hingga akhirnya Mas Rendra melihat ke arahku seraya tersenyum. "Masuk, Na." Aku berucap demikian. Wanita yang tak lain adalah Sabrina, melangkahkan kaki ke dalam rumah, lalu menyalami Papa yang berada paling dekat dengan pintu. Ayahku berpindah duduk, lalu sofa yang tadi ia tempati, kini diduduki Sabrina. Panjang umur Sabrina ini. Baru saja kami membahasnya, tahu-tahu sekarang dia ada di hadapan kami. "Mas Rendra sejak kapan di sini?" tanya Sabrina pada suamiku. Sebagai seorang wanita dewasa, aku paham betul jika tatapan Sabrina pada suamiku mengandung arti. Masih ada rasa yang aku lihat dari sorot matanya itu. Mas Rendra tidak langsung menjawa

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 131

    "Kakak kaget, loh tadi pas kamu masuk sama Rendra. Kakak kira, kalian mau ngomongin perpisahan. Eh, tahunya sebaliknya. Seneng, deh lihat kamu ceria lagi kayak gini. Tadi, gimana kata dokter? Janinnya baik-baik saja, kan? Kamunya juga sehat?"Aku terkekeh ketika diberondong banyak pertanyaan oleh Kak Anna. Awal aku datang, wajah Kak Anna memang menunjukkan keheranan. Apa lagi alasannya kalau bukan karena aku yang datang bersama Mas Rendra. Dan setelah dijelaskan, baik Kak Anna maupun Bang Ben, menerima keputusanku. Mereka mendukung penuh aku untuk tetap bersama Mas Rendra, apalagi aku yang tengah mengandung anaknya Mas Rendra. "Kandungan aku baik. Meskipun, tadi pagi sempat kram, tapi Alhamdulillah semuanya normal-normal saja. Aku juga sehat," jawabku kemudian."Syukurlah kalau baik-baik saja. Iya, tahu, kok kalau kalian pasti rindu, kan? Tapi, harus ingat, ada Tsania junior di sini. Atau mungkin, Rendra junior?" Aku tertawa, mengikuti Kak Anna yang terkekeh seraya mengusap-usap p

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 130

    "Jadi, kalian memutuskan untuk bersama lagi?"Aku dan Mas Rendra mengangguk, menjawab pertanyaan yang diberikan Papa. Sekitar satu jam yang lalu, aku dan Mas Rendra memutuskan pulang ke rumah Papa. Setelah makan bersama, Papa mengajak kami untuk bicara, membahas rumah tangga kami yang sempat berada di ujung perpisahan. "Papa senang, jika akhirnya kalian kembali bersama. Karena bagaimanapun, kalian ini akan jadi orang tua. Sudah jadi orang tua bahkan, karena Ayu adalah bagian dari kalian," ujar Papa lagi. Tanganku dan tangan Mas Rendra saling menggenggam. Kami duduk berdampingan, tidak ingin jauh satu sama lain. "Rendra." Papa menyebut nama suamiku. "Iya, Pah?" "Ini kesempatan terakhir yang Papa berikan kepada kamu. Jika suatu hari nanti kamu membuat kesalahan lagi, menutupi masalah apa pun itu dari Tsania, hingga membuat anak Papa terluka, Papa sendiri yang akan memintamu pergi. Ingat, Rendra. Laki-laki yang dipegang itu omongannya. Maka, bersikaplah seperti ucapan yang kamu jan

DMCA.com Protection Status