"Aduh, gimana ini? Siapa yang bisa aku mintai tolong?" Aku bertanya pada diri sendiri seraya mondar-mandir di dalam kamar. Dania pergi. Dan aku tahu tujuannya ke mana. "Jam segini Bang Ben masih di pabriknya. Kalau Dania ke rumah Bang Ben, yang dia temui pasti ... Kak Anna!" Aku menjentikkan jari, lalu mengambil ponsel untuk menghubungi kakak iparku itu. Diangkat. Panggilanku dijawabnya dengan mengucapkan salam terlebih dahulu. "Waalaikumsalam, Kak. Kak, Kak Anna sekarang di mana?" tanyaku. "Di rumah, Tsa. Kenapa? Kamu mau datang ke sini?" "Tidak, Kak. Tapi ...." Aku menggantung ucapan karena kebingungan apa kata yang tepat untuk mencegah dia tidak membukakan pintu jika Dania datang. "Tapi kenapa, Tsa? Ada apa? Kamu butuh sesuatu?" Kak Anna kembali bertanya. "Emh ... i–iya, Kak." "Butuh apa? Bicara saja."Aku diam kembali. Demi Tuhan aku sangat kesulitan mencari cara agar Dania tidak bertemu dengan Kak Anna. Ketakutanku bukan hanya sebatas pertemuan antara mereka berdua,
Kukerjapkan mata berulang kali untuk memastikan apa yang aku lihat sekarang memanglah dia. Dania. Wanita yang aku hindari bertemu dengan Kak Anna, sekarang ada di sini. Dia berdiri di balik dinding kaca dengan tatapan dingin ke arahku. Sumpah demi Tuhan, aku merasa sedang diteror dan akan segera dihabisi oleh orang itu. Wajah Dania tanpa ekspresi, tapi mampu membuat jantungku berhenti berdetak untuk beberapa detik tadi. "Tsa?" Kak Anna memanggil. "Eh, kenapa, Kak?" tanyaku, mengalihkan pandangan. "Lihat apa, sih? Ada yang kamu kenali di sini?" tanya Kak Anna lagi. Aku menoleh ke arah Dania berdiri tadi. Namun, wanita itu sekarang sudah tidak ada di tempatnya. Mataku mencari ke sekeliling, tapi tak kutemukan dia. Dania pergi, dan entah ke mana. "Ada temanmu di sini?" Untuk yang ke sekalian kali, Kak Anna bertanya. "Ah, tidak ada, Kak. Cuma mirip aja, tali kayaknya bukan, deh. Kak Anna mau pesan apa?" Aku mengalihkan pembahasan, karena jujur saja saat ini aku semakin tidak t
Aku tidak bisa berkata-kata lagi selain menyebut nama Tuhan.Keadaan kamarku tak kalah parah dari ruang depan. Seprai, selimut, bantal dan segala macam yang berada di ruangan ini, tidak berada dalam tempatnya. Tidak hanya itu, semua pakaianku dan Mas Rendra pun berserakan di lantai. Semua, tidak terkecuali. "Ini perbuatan siapa?!" kataku geram. Mas Rendra menghampiri lemari, membuka laci yang kami isi dengan dokumen penting. Utuh. Semuanya masih ada, termasuk sertifikat rumah ini. "Di mana kamu menyimpan perhiasan, Tsa? Coba lihat, apa masih ada?" ujar Mas Rendra. "Di laci lemari pakaianku, Mas." Gegas Mas Rendra berpindah tempat dari lemarinya ke lemariku. Dia memeriksa laci yang aku maksud, dan ternyata ...."Ada, Tsa.""Apa?!" Aku menghampiri Mas Rendra, membuktikan perkataanya yang mencengangkan. Benar saja. Satu set perhiasan dan beberapa cincin serta kalung emas milikku masih utuh. "Kok, aneh, ya Mas? Kalau maling, pasti perhiasan ini diambil. Tapi ini ....""Kamu bena
"Kenapa dilempar, sih?" tanyaku lagi, seraya berjalan ke arah pintu balkon. "Biar cepet. Kelamaan kalau harus bawa lewat tangga. Buang-buang waktu," ujar Mas Rendra. Seraya menjawab pertanyaanku, dia terus melakukan hal yang sama, melempar plastik berisikan pakaian kotor ke bawah. Beberapa kali lemparan, kini sudah tidak ada satu pun plastik hitam di kamar ini. Aku melongok, melihat penampakan barang-barang yang tadi dijatuhkan suamiku. Tidak terlalu buruk, juga tidak membuat plastik hitam yang biasa aku gunakan untuk sampah itu sobek. Ide Mas Rendra lumayan bagus juga. "Sapu di mana, Tsa? Sekalian sama pelan juga."Aku mengalihkan perhatian dari plastik-plastik di bawah, pada Mas Rendra yang bertanya. Aku masuk kembali ke kamar, lalu menyimpan Ayu yang sudah tidur kembali. "Aku yang sapu, kamu yang pel, ya? Bentar, aku ambil dulu di bawah. Kamu istirahat aja sebentar," kataku kemudian. Tanpa menunggu jawaban dari Mas Rendra, aku pun turun ke lantai satu, mengambil sapu dan p
Tempat laundry memang tidaklah terlalu jauh, makanya sengaja aku pelankan laju mobil, agar lebih lama berada di jalanan seperti sekarang ini. Meskipun yang kulihat hanya ruko dan rumah warga, tapi ini lebih baik daripada menyaksikan rumahku yang berantakan. Dani. Semua gara-gara Dania yang keberadaannya tidak aku tahu sekarang. Apa dia pulang ke Jakarta? Menurutku tidak. Tapi, apa salahnya jika nanti aku tanyakan pada Ibu. Syukur-syukur iya, dia ada di rumah ibunya. "Mbak, saya mau bawa baju-baju kotor di mobil saya, lumayan banyak. Bisa bantu bawa turunkan?" Aku meminta tolong pada salah satu karyawan laundry. Tempat laundry ini cukup besar, terkenal juga, jadi wajar saja jika memiliki karyawan. Dulu sewaktu belum menikah, aku sering mencuci gosok pakaian ke sini. Namun, sekarang sangatlah jarang. Selain hemat biaya, aku pun sudah terbiasa dengan mencuci dan gosok pakaian sendiri. "Boleh, Kak," jawab wanita yang usianya pasti lebih muda dariku itu. Aku pun membuka bagasi mob
"Apa lagi ini, Mas ...?" Tubuhku terasa kaku melihat pecahan kaca yang berserakan di lantai. Mas Rendra memberikan kode untukku tetap berdiri di tempat, jangan mendekati dia yang berdiri tepat di depan pintu. "Tetap di sana, Tsa. Nanti kakimu terluka," ujar Mas Rendra. "Siapa yang melakukan ini, Mas?" "Aku gak tahu, Tsa. Sepertinya, keluarga kita sedang dalam incaran.""Maksudmu, kita diteror?" Anggukan kepala membuat rasa takut dalam diri berkali lipat. Dalam hati, aku bertekad untuk melaporkan kejadian ini ke polisi. Aku juga mengambil beberapa gambar pecahan kaca yang berserakan di lantai sebagai bukti adanya teror di rumahku. "Mas, itu ada kertas. Coba lihat, mungkin ada petunjuk dari orang yang meneror kita," ujarku, menunjuk selembar kertas yang berada tak jauh dari batu yang kuyakini sebagai alat penghancur kaca rumahku. "Ada tulisannya, Tsa.""Apa tulisannya, Mas?" tanyaku sangat ingin tahu."Kembalikan bayiku." Mas Rendra membaca tulisan yang ada pada selembar kertas
"Dania?" kataku, menyebut satu nama. Meskipun si pengirim pesan tidak menyebutkan namanya, tapi dari keseluruhan kalimat yang aku baca, aku sangat yakin jika orang itu adalah Dania. [Di mana kamu, Dania? Jangan bersembunyi dan pergi begitu saja setelah apa yang kamu lakukan pada rumahku!] Aku membalas pesan tersebut. Sudah centang biru. Itu artinya, dia sudah membaca pesan yang aku kirimkan padanya. Beberapa menit aku memperhatikan ponsel, menunggu Dania membalas pesanku. Akan tetapi, tidak ada. Dia pun sepertinya sudah keluar dari aplikasi WhatsApp, yang kami gunakan untuk saling bertukar pesan. Tidak sabar menunggu pesan balasan dari Dania, aku pun menelepon nomor tersebut, untuk memastikan jika orang di balik pesan itu benar-benar adik iparku. Satu kali panggilan tidak dia jawab, aku mengulanginya beberapa kali hingga suara seorang wanita terdengar dari seberang sana."Kamu sepertinya merindukanku, ya, Kakak Ipar? Ada apa, kenapa kamu sangat ingin menghubungiku, hem ...?" Ak
"Oh ... jadi ini yang dilempar batu?" "Iya. Tuh, batunya masih ada," ujarku, seraya menunjuk batu yang dipakai Dania melempar kaca rumahku. Aku tidak tahu sebenarnya siapa yang melemparkan batu itu ke rumah. Entah Dania sendiri yang melakukannya, atau dia menyuruh orang lain. Namun, aku tidak yakin jika Dania menyuruh orang untuk melakukan itu. Dia tidak punya uang. Dan tidak mungkin seseorang mau melakukan sesuatu tanpa imbalan. Apalagi sebuah kejahatan. "Kamu yang sabar, ya, Tsa? Gak nyangka banget, deh, bakalan jadi serumit ini masalahnya," tutur Sabrina, seraya mengusap pundakku. Aku mengangguk, kemudian mengajak sahabatku itu masuk ke rumah. Sabrina datang tidak dengan tangan kosong. Dia membawa lontong sayur, karena tahu aku pasti kerepotan membuat sarapan. Ah, Sabrina memang teman paling baik. Dia selalu paham dengan keadaan sahabatnya ini. "Makasih banyak, loh, Na. Seneng banget dibawain sarapan," ucapku, "sebenarnya, tadi aku udah masak, sih. Telor dadar doangan tapi.