Tempat laundry memang tidaklah terlalu jauh, makanya sengaja aku pelankan laju mobil, agar lebih lama berada di jalanan seperti sekarang ini. Meskipun yang kulihat hanya ruko dan rumah warga, tapi ini lebih baik daripada menyaksikan rumahku yang berantakan. Dani. Semua gara-gara Dania yang keberadaannya tidak aku tahu sekarang. Apa dia pulang ke Jakarta? Menurutku tidak. Tapi, apa salahnya jika nanti aku tanyakan pada Ibu. Syukur-syukur iya, dia ada di rumah ibunya. "Mbak, saya mau bawa baju-baju kotor di mobil saya, lumayan banyak. Bisa bantu bawa turunkan?" Aku meminta tolong pada salah satu karyawan laundry. Tempat laundry ini cukup besar, terkenal juga, jadi wajar saja jika memiliki karyawan. Dulu sewaktu belum menikah, aku sering mencuci gosok pakaian ke sini. Namun, sekarang sangatlah jarang. Selain hemat biaya, aku pun sudah terbiasa dengan mencuci dan gosok pakaian sendiri. "Boleh, Kak," jawab wanita yang usianya pasti lebih muda dariku itu. Aku pun membuka bagasi mob
"Apa lagi ini, Mas ...?" Tubuhku terasa kaku melihat pecahan kaca yang berserakan di lantai. Mas Rendra memberikan kode untukku tetap berdiri di tempat, jangan mendekati dia yang berdiri tepat di depan pintu. "Tetap di sana, Tsa. Nanti kakimu terluka," ujar Mas Rendra. "Siapa yang melakukan ini, Mas?" "Aku gak tahu, Tsa. Sepertinya, keluarga kita sedang dalam incaran.""Maksudmu, kita diteror?" Anggukan kepala membuat rasa takut dalam diri berkali lipat. Dalam hati, aku bertekad untuk melaporkan kejadian ini ke polisi. Aku juga mengambil beberapa gambar pecahan kaca yang berserakan di lantai sebagai bukti adanya teror di rumahku. "Mas, itu ada kertas. Coba lihat, mungkin ada petunjuk dari orang yang meneror kita," ujarku, menunjuk selembar kertas yang berada tak jauh dari batu yang kuyakini sebagai alat penghancur kaca rumahku. "Ada tulisannya, Tsa.""Apa tulisannya, Mas?" tanyaku sangat ingin tahu."Kembalikan bayiku." Mas Rendra membaca tulisan yang ada pada selembar kertas
"Dania?" kataku, menyebut satu nama. Meskipun si pengirim pesan tidak menyebutkan namanya, tapi dari keseluruhan kalimat yang aku baca, aku sangat yakin jika orang itu adalah Dania. [Di mana kamu, Dania? Jangan bersembunyi dan pergi begitu saja setelah apa yang kamu lakukan pada rumahku!] Aku membalas pesan tersebut. Sudah centang biru. Itu artinya, dia sudah membaca pesan yang aku kirimkan padanya. Beberapa menit aku memperhatikan ponsel, menunggu Dania membalas pesanku. Akan tetapi, tidak ada. Dia pun sepertinya sudah keluar dari aplikasi WhatsApp, yang kami gunakan untuk saling bertukar pesan. Tidak sabar menunggu pesan balasan dari Dania, aku pun menelepon nomor tersebut, untuk memastikan jika orang di balik pesan itu benar-benar adik iparku. Satu kali panggilan tidak dia jawab, aku mengulanginya beberapa kali hingga suara seorang wanita terdengar dari seberang sana."Kamu sepertinya merindukanku, ya, Kakak Ipar? Ada apa, kenapa kamu sangat ingin menghubungiku, hem ...?" Ak
"Oh ... jadi ini yang dilempar batu?" "Iya. Tuh, batunya masih ada," ujarku, seraya menunjuk batu yang dipakai Dania melempar kaca rumahku. Aku tidak tahu sebenarnya siapa yang melemparkan batu itu ke rumah. Entah Dania sendiri yang melakukannya, atau dia menyuruh orang lain. Namun, aku tidak yakin jika Dania menyuruh orang untuk melakukan itu. Dia tidak punya uang. Dan tidak mungkin seseorang mau melakukan sesuatu tanpa imbalan. Apalagi sebuah kejahatan. "Kamu yang sabar, ya, Tsa? Gak nyangka banget, deh, bakalan jadi serumit ini masalahnya," tutur Sabrina, seraya mengusap pundakku. Aku mengangguk, kemudian mengajak sahabatku itu masuk ke rumah. Sabrina datang tidak dengan tangan kosong. Dia membawa lontong sayur, karena tahu aku pasti kerepotan membuat sarapan. Ah, Sabrina memang teman paling baik. Dia selalu paham dengan keadaan sahabatnya ini. "Makasih banyak, loh, Na. Seneng banget dibawain sarapan," ucapku, "sebenarnya, tadi aku udah masak, sih. Telor dadar doangan tapi.
"Sedang apa? Tidak usah main tebak-tebakan," kataku, langsung mendahului ucapannya yang menggantung. Dania terbahak. Aku saling pandang dengan Sabrina yang sama-sama menyimak ucapan Dania. "Apanya yang lucu?" Aku kembali berucap. "Kamu yang lucu, Tsania. Suaramu menandakan ketakutan. Kamu takut, kalau aku bisa melakukan sesuatu padamu. Iya, kan? Buktinya, kamu akan pergi menghindariku. Kamu mau berlindung di rumah ibumu. Bukan begitu?"Mataku membulat mendengar tebakan Dania yang tidak meleset. Apakah dia ada di sekitar sini hingga tahu aku akan pergi?Mataku menyapu setiap sudut halaman rumah, mencari keberadaan Dania yang pasti ada di sekitarku. Tidak hanya aku yang melakukan itu, tapi Sabrina juga. Temanku sampai ke luar dari halaman rumah, melihat pada jalanan perumahan yang sepi. Sabrina kembali, dia menggelengkan kepala memberi isyarat jika tidak ada Dania di sekitar sini. Lalu, dari mana dia tahu aku akan pergi? "Berikan padaku," ujar suamiku. Mas Rendra yang tadi sudah
Aku, suami beserta Mama dan Papa, terkejut mendengar suara hantaman yang entah sumbernya dari mana. Kami yang tengah mengobrol serius, tiba-tiba diam dan saling pandang. "Apa itu tadi, Pah? tanya Mama, seraya melirik ke arah luar. Papa dan Mas Rendra berdiri, keluar dari rumah untuk mencari tahu suara apa yang tadi kami dengar. Karena penasaran, aku beserta Mama pun turut pergi mendekati Papa dan Mas Rendra yang berdiri di samping mobil milik ayahku. "Astaghfirullah ... siapa yang melakukan ini?" ujar Papa geram. Langkah aku percepat, dan akhirnya nampaklah pemandangan yang membuat kening mengkerut. Bodi mobil bagian belakang milik Papa, penyok. Seperti ditabrak atau dihantam benda dengan keras. Mas Rendra lari ke luar gerbang, mencari sekiranya ada seseorang di sekitar sini yang berkemungkinan menjadi pelakunya. Sayang, suamiku menggelengkan kepala, mengatakan tidak ada siapa pun disekitar rumah Mama. "Ini pasti si peneror itu, Pah. Sekarang dia menyerang rumah kita, karena
"K–kenal dia?" kataku tergagap. "Enggaklah, Pah. Kenal dari mana, coba?" "Barusan kamu bilang, wanita itu stres. Stres gimana maksudnya?" Kali ini Mama yang bertanya. "Ya ... stres, Mah. Coba, deh Mama pikir, mana ada wanita waras yang membuang bayinya? Meskipun dikata anak itu dari hasil yang gak bener, pasti dijaga kalau dia punya otak yang waras. Bener, kan?" kataku seraya melihat Mama dan Papa bergantian. "Iya, sih. Kamu bener, Tsa."Aku tersenyum puas karena jawabanku diterima Mama. Papa pun tidak lagi bertanya tentang ibu dari anakku, dan lebih mengalihkan pembahasan pada pabrik dan kebun teh. Menyimak obrolan kedua orang tuaku, aku ikut senang karena kebun teh milik Papa menghasilkan banyak daun teh berkualitas, dan sudah pasti mendatangkan pundi-pundi rupiah dari hasil jualnya. Itulah kenapa, syukuran Ayu dan Kak Anna kemarin ditanggung Papa. Bisa dibilang, orang tuaku saat ini sedang banyak uang. Aku dan Mas Rendra sebagai orang tua Ayu, hanya membeli satu ekor kambing
"Gimana kabarmu, Tsa? Dania ada ganggu kamu lagi?" Aku menyesap teh yang sudah terlanjur menyentuh bibir ketika Sabrina bertanya. Melihatku yang belum memberikan jawaban, wanita karir yang belum menemukan tambatan hati itu pun menyeruput teh miliknya, yang aku suguhkan sesaat dia tiba di rumahku. "Tidak ada, Na. Rasanya duniaku damaaaai banget. Aku jadi lebih tenang, lebih bahagia juga setelah tidak ada lagi teror Dania," ujarku akhirnya. Kepala Sabrina manggut-manggut. "Syukurlah kalau gitu. Tapi, apa kamu enggak penasaran sama dia? Apa yang terjadi, kenapa dia tidak neror kamu lagi? Rendra tidak mencari keberadaannya, gitu? Secara ... dia, kan kakaknya." Sabrina memberikan beberapa pertanyaan. Aku menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya perlahan. Memang sudah satu minggu lamanya aku maupun Mas Rendra tidak lagi mendapatkan gangguan dari Dania. Teror ringan maupun berat, ancaman ataupun tekanan. Karena terlalu menikmati kedamaian, tidak terpikirkan olehku dan Mas