"K–kenal dia?" kataku tergagap. "Enggaklah, Pah. Kenal dari mana, coba?" "Barusan kamu bilang, wanita itu stres. Stres gimana maksudnya?" Kali ini Mama yang bertanya. "Ya ... stres, Mah. Coba, deh Mama pikir, mana ada wanita waras yang membuang bayinya? Meskipun dikata anak itu dari hasil yang gak bener, pasti dijaga kalau dia punya otak yang waras. Bener, kan?" kataku seraya melihat Mama dan Papa bergantian. "Iya, sih. Kamu bener, Tsa."Aku tersenyum puas karena jawabanku diterima Mama. Papa pun tidak lagi bertanya tentang ibu dari anakku, dan lebih mengalihkan pembahasan pada pabrik dan kebun teh. Menyimak obrolan kedua orang tuaku, aku ikut senang karena kebun teh milik Papa menghasilkan banyak daun teh berkualitas, dan sudah pasti mendatangkan pundi-pundi rupiah dari hasil jualnya. Itulah kenapa, syukuran Ayu dan Kak Anna kemarin ditanggung Papa. Bisa dibilang, orang tuaku saat ini sedang banyak uang. Aku dan Mas Rendra sebagai orang tua Ayu, hanya membeli satu ekor kambing
"Gimana kabarmu, Tsa? Dania ada ganggu kamu lagi?" Aku menyesap teh yang sudah terlanjur menyentuh bibir ketika Sabrina bertanya. Melihatku yang belum memberikan jawaban, wanita karir yang belum menemukan tambatan hati itu pun menyeruput teh miliknya, yang aku suguhkan sesaat dia tiba di rumahku. "Tidak ada, Na. Rasanya duniaku damaaaai banget. Aku jadi lebih tenang, lebih bahagia juga setelah tidak ada lagi teror Dania," ujarku akhirnya. Kepala Sabrina manggut-manggut. "Syukurlah kalau gitu. Tapi, apa kamu enggak penasaran sama dia? Apa yang terjadi, kenapa dia tidak neror kamu lagi? Rendra tidak mencari keberadaannya, gitu? Secara ... dia, kan kakaknya." Sabrina memberikan beberapa pertanyaan. Aku menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya perlahan. Memang sudah satu minggu lamanya aku maupun Mas Rendra tidak lagi mendapatkan gangguan dari Dania. Teror ringan maupun berat, ancaman ataupun tekanan. Karena terlalu menikmati kedamaian, tidak terpikirkan olehku dan Mas
"Loh, kok ngomongnya gitu, Na?" ujarku seraya memperhatikan wajah Sabrina yang masih ditekuk. Sepertinya dia sangat sedih karena Ayu tidak nyaman digendongnya. "Aku kecewa aja, Tsa. Kenapa, sih aku gak seperti kamu yang bisa membuat semua orang nyaman. Perkara nenangin anak kecil aja, aku tidak bisa. Gimana mau jadi ibu, kan?" Aku menggeleng-gelengkan kepala pelan, lalu duduk kembali di tempatku semula. Dan Ayu tidak menangis sama sekali. "Bukan tidak bisa, tapi belum. Kalau kamu nikah dan punya anak, nanti juga bisa dengan sendirinya, kok. Jangan baper sama anak bayi, ah. Makanya, jangan buka kafe terus, tapi buka hati juga buat para pria yang deketin kamu."Sabrina berdecak, lalu bibirnya komat-kamit dengan tidak jelas. Dia menggerutu, menanggapi candaanku yang menyuruhnya segera mengakhiri masa gadisnya. Sudah biasa. Jika membahas tentang menikah, Sabrina akan seperti dukun yang baca mantra. Bibirnya maju mundur, tapi entah apa yang dia ucapkan. Dan aku sudah pasti tertawa me
"Tsa, ini bagus, gak?" Aku mengangkat kepala, melihat pada Kak Anna yang memamerkan satu stel pakaian bayi padaku. "Bagus, Kak," jawabku. "Tapi motifnya cowok, Tsa.""Emangnya, anak yang kakak kandung berjenis kelamin perempuan?" Kak Anna menutup mulut seraya melebarkan mata, membuatku mengerutkan kening melihatnya. Sepertinya, kakak iparku itu kelepasan dalam berucap. Dia mengatakan sesuatu yang mungkin saja belum mau dia bagi dengan kami. Yaitu mengenai jenis kelamin anaknya. "Aduh, Tsa .... Tolong jaga rahasia ini, ya? Aku diminta Bang Ben untuk tidak mengatakan pada siapa pun tentang jenis kelamin anak kami. Pliiiiiss, jangan bilang siapa-siapa," ujar Kak Anna seraya menangkupkan tangan di bawah dagunya. Mata bulat Kak Anna melirik ke sana kemari, memastikan jika suaminya tidak mendengar percakapan kami. "Emangnya kenapa harus ditutupi, Kak? Kan, kita ikut seneng kalau tahu jenis kelamin si jabang bayi. Kita juga bisa menyiapkan kado yang sesuai nantinya," kataku menanggap
"Mama, kenal?" tanya Kak Anna seraya menunjuk wanita yang masih berdiri mengamati situasi di meja kami. Bersamaan dengan pertanyaan yang terlontar dari bibir Kak Anna, reaksi Bang Ben membuatku langsung mengalihkan pandangan padanya. Abangku itu terbatuk, seperti tersedak makanan yang tengah dikunyahnya. Dia pasti mengenali wanita itu. Wanita yang pernah menjalin hubungan dengannya hingga ada Ayu di dunia ini. "Dia ini—""Sebaiknya kamu pergi dari sini!" ujarku seraya berdiri. Mama yang hendak mengatakan siapa dia, diam seketika ketika aku memotong ucapannya. Dania tamu yang tidak diundang dalam acara makan siang ini tersenyum penuh arti. Dia merasa senang karena aku ketakutan dengan kehadirannya yang tidak diprediksi."Aku akan pergi, tapi tidak sendiri. Aku akan membawa anakku.""Ayu bukan anakku!" sergahku cepat. Tangan Dania yang terulur hendak menyentuh Ayu, aku tepis dengan kasar. Jika saja dia waras dan tidak punya maksud lain dari keinginannya mengambil Ayu, mungkin ak
Tiga pertanyaan dari tiga orang yang berbeda membuatku kelimpungan mencari jawaban. Lidahku seperti terkunci, tidak dapat mengucapkan satu kata pun yang bisa menenangkan mereka. "Tsania, apa sekarang kamu mulai bisu? Katakan. Apa maksud dari ucapan wanita itu yang mengatakan aku adalah ayah dari Ayu?"Suara Bang Ben mengalihkan pandangan dari Mama dan Kak Anna, tapi masih tidak bisa membuka bibirku yang terkunci ini. Bingung. Entah jawaban apa yang harus aku katakan kepada mereka. Dan kenapa semuanya jadi menuntut jawaban dariku? Bukankah yang seharusnya memberikan penjelasan adalah Dania? "Tsa, kamu kenapa diam saja? Jawab, dong!" Kak Anna mulai menuntutku bicara. Namun, aku masih tetap membisu. Kulirik Dania yang tersenyum penuh kemenangan. Dia puas karena sudah membuka rahasia yang selama ini kujaga. Sia-sia. Rencana yang kususun serapi mungkin, malah berakhir dengan seperti ini. Menyedihkannya lagi, ini terjadi di tempat umum, hingga kami jadi pusat perhatian banyak orang.
"Anak Dania dan Bang Ben.""Ben ...?""Astaghfirullah, Abang ...."Papa dan Kak Anna langsung bereaksi ketika aku mengatakan kejujuran tentang Ayu.Air mata Kak Anna tak bisa lagi dibendung. Dia tersedu di sampingku dengan begitu pilu. "Kekonyolan apa ini, Tsania? Kamu bekerja sama dengan wanita tadi untuk memfitnahku?!" ujar Bang Ben, tidak terima. "Aku tidak memfitnah, Abang. Aku mengatakan yang sebenarnya. Ayu, memang anak Abang. Anak yang tidak Abang sadari kehadirannya.""Enggak. Itu tidak mungkin. Aku tidak pernah tidur dengan wanita itu!" ujar Bang Ben lagi. "Sayang, semua yang dikatakan Tsania, tidak benar. Dia bicara asal," lanjut Bang Ben, berlutut di depan istrinya. Kak Anna tidak mempedulikan suaminya. Dia terus menangis hingga hijab bagian depannya basah oleh air mata. Tidak mendapatkan respon dari istrinya, kini mata Bang Ben kembali mengarah padaku. Dia menatapku tajam dengan rahang yang mengeras, membuatku takut dengan sorot matanya itu."Apa maumu, Tsania? Berapa
"Maksud Mama, Dania hamil oleh pria lain, tapi dia mengaku dihamili Bang Ben?" tanyaku, mengatakan yang ada di dalam pikiran. "Iya." Mama menjawab singkat. Aku memundurkan tubuh, bersandar pada sandaran sofa seraya kembali memikirkan ucapan Mama tadi. Apakah benar, seperti itu?"Tsania, sekarang Mama ingin bertanya tentang hubungan Dania dan suamimu. Benar, Dania itu adiknya Rendra?" Pandangan yang tadi menatap ke depan, kini berpindah pada Mama yang juga menatapku serius. Wajah tua ibuku itu sudah nampak jelas dengan adanya kerutan di beberapa bagian kulit wajahnya. Namun, tetap terlihat cantik dan segar. "I–itu ...." Aku terbata. "Iya, Mah," ujarku akhirnya. "Jadi, bukan omong kosong yang dikatakan Dania, Tsa? Dia sungguh adiknya Rendra?" Mama kembali bertanya untuk memperjelas. Aku hanya bisa menganggukkan kepala melihat raut terkejut dari ibuku. "Kandung?" tanya Mama lagi. Lagi-lagi aku hanya mengangguk. "Astaga ... Tsania. Papah ... kita dibohongi, Pah. Rendra dan ibun