"Anak Dania dan Bang Ben.""Ben ...?""Astaghfirullah, Abang ...."Papa dan Kak Anna langsung bereaksi ketika aku mengatakan kejujuran tentang Ayu.Air mata Kak Anna tak bisa lagi dibendung. Dia tersedu di sampingku dengan begitu pilu. "Kekonyolan apa ini, Tsania? Kamu bekerja sama dengan wanita tadi untuk memfitnahku?!" ujar Bang Ben, tidak terima. "Aku tidak memfitnah, Abang. Aku mengatakan yang sebenarnya. Ayu, memang anak Abang. Anak yang tidak Abang sadari kehadirannya.""Enggak. Itu tidak mungkin. Aku tidak pernah tidur dengan wanita itu!" ujar Bang Ben lagi. "Sayang, semua yang dikatakan Tsania, tidak benar. Dia bicara asal," lanjut Bang Ben, berlutut di depan istrinya. Kak Anna tidak mempedulikan suaminya. Dia terus menangis hingga hijab bagian depannya basah oleh air mata. Tidak mendapatkan respon dari istrinya, kini mata Bang Ben kembali mengarah padaku. Dia menatapku tajam dengan rahang yang mengeras, membuatku takut dengan sorot matanya itu."Apa maumu, Tsania? Berapa
"Maksud Mama, Dania hamil oleh pria lain, tapi dia mengaku dihamili Bang Ben?" tanyaku, mengatakan yang ada di dalam pikiran. "Iya." Mama menjawab singkat. Aku memundurkan tubuh, bersandar pada sandaran sofa seraya kembali memikirkan ucapan Mama tadi. Apakah benar, seperti itu?"Tsania, sekarang Mama ingin bertanya tentang hubungan Dania dan suamimu. Benar, Dania itu adiknya Rendra?" Pandangan yang tadi menatap ke depan, kini berpindah pada Mama yang juga menatapku serius. Wajah tua ibuku itu sudah nampak jelas dengan adanya kerutan di beberapa bagian kulit wajahnya. Namun, tetap terlihat cantik dan segar. "I–itu ...." Aku terbata. "Iya, Mah," ujarku akhirnya. "Jadi, bukan omong kosong yang dikatakan Dania, Tsa? Dia sungguh adiknya Rendra?" Mama kembali bertanya untuk memperjelas. Aku hanya bisa menganggukkan kepala melihat raut terkejut dari ibuku. "Kandung?" tanya Mama lagi. Lagi-lagi aku hanya mengangguk. "Astaga ... Tsania. Papah ... kita dibohongi, Pah. Rendra dan ibun
"Aku terlalu mencintai Tsania, Pah," ujar Mas Rendra seraya menunduk. "Aku takut kehilangan Tsania, aku tidak bisa tanpa Tsania. Itulah kenapa, aku meminta dia merahasiakan semuanya dari kalian. Aku terlalu pengecut. Ketakutanku sangat besar akan kemarahan Papa, yang nantinya bisa berimbas pada pernikahan kami. Maaf, Pah. Ini memang salahku."Papa bergeming. Sedangkan pria yang baru saja bicara, masih menundukkan kepala, tidak berani menatap wajah Papa. Di samping Mas Rendra, aku pun hanya diam memperhatikan suamiku itu. Beberapa kali dia menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya sangat pelan.Sejenak, aku melupakan tentang foto dia bersama wanita yang entah siapa, dan merasa bahagia mendengar pengakuan Mas Rendra. Namun, itu tidak berlangsung lama. Batinku mengatakan, jika apa yang keluar dari mulut suamiku hanyalah dusta semata, untuk menutupi kesalahannya. Aku memalingkan wajah, membuang pandangan dari pria yang sekarang menoleh ke arahku. "Jika kamu mencintai Tsania, seh
"Kamu selingkuh, kan, Mas?" Aku menatap tajam Mas Rendra. "Astaga, Tsa .... Kamu kenapa? Tidak ada angin, tidak ada hujan, tiba-tiba menuduhku selingkuh?""Jawab saja! Kamu selingkuh, kan?" tanyaku lagi. Mas Rendra mengusap wajah. Kepalanya menggeleng dengan kembali melihat ke arahku. "Tidak.""Bohong!" Aku berteriak dengan air mata yang mulai berjatuhan. Sekuat apa pun aku menahan, nyatanya sakitnya dikhianati membuatku tidak bisa menahan diri untuk tidak menangis. Aku rapuh, aku terluka dengan kelakuan Mas Rendra. "Tsania, ayolah, Tsa. Kita lagi dihadapkan pada masalah yang rumit. Jangan kamu tambah dengan tuduhan dan kecurigaan kamu itu. Iya, maaf, jika tadi aku tidak membalas pesan darimu. Itu, kan, yang membuatmu menganggapku selingkuh?""Ya Allah, Mas .... Bukan aku yang menambah masalah, tapi kamu! Dengan mata kepalaku sendiri, jelas-jelas aku melihat kamu memeluk seorang wanita di salah satu tempat makan. Jadi itu, sibuk kamu? Sibuk dengan wanita lain?!" semprotku tambah
"Dia siapa?" Untuk yang kesekian kalinya aku bertanya karena Mas Rendra tak kunjung menyebutkan nama wanita yang dia maksud. "Tsani, sebelum aku mengatakan nama wanita itu, aku ingin bersumpah atas nama Tuhan, jika aku dan dia tidak berselingkuh."Aku mengerlingkan mata seraya berdecak kesal karena Mas Rendra malah bicara yang tidak ingin aku dengarkan. Bersumpah. Dia bahkan membawa-bawa nama Tuhan dalam pengkhianatannya tersebut. Lucu sekali suamiku itu. Dia menyebut dirinya tidak selingkuh, tapi bermesraan dengan wanita lain. Lalu apa namanya jika bukan berselingkuh? "Siapa wanita itu?" Lagi-lagi aku bertanya. "Wanita yang menemuiku tadi siang, itu temanmu."Deg!Temanku? Temanku yang mana? Aku tidak punya banyak teman. Dan satu-satunya teman yang sangat dekat denganku, ialah ...."Dia Sabrina," ujar Mas Rendra, membuatku langsung membulatkan mata. "Kamu selingkuh dengan Sabrina?" kataku tak percaya. "Sudah kubilang, aku tidak selingkuh!" Mas Rendra menyanggah. "Dia sendir
"Dania ...?" kataku sangat pelan. Wanita yang namanya kusebut, tersenyum puas. Begitu juga dengan Sabrina. Tidak ada beban dari raut wajahnya, justru memperlihatkan kebahagiaan karena telah berhasil melemparku ke dalam jurang penyesalan. Aku menyesal tidak menyadari kerja sama mereka. Aku menyesal, percaya pada orang yang tak lain adalah musuhku sendiri. "Hebat, kalian. Luar biasa!" Aku bertepuk tangan memberikan apresiasi atas persekongkolan Dania dan Sabrina. Tepukan tanganku melemah, seiring dengan air mata yang keluar membasahi pipi. Segera aku menghapusnya, tidak ingin terlihat lemah di depan dua pecundang itu. "Ya, ini akan sangat menyakitkan untuk kamu, Tsa. Tapi, rasa sakitmu tidak sebanding dengan rasa sakitku ketika melihatmu bersama Mas Rendra. Kamu tahu, sering aku menahan sesak di dada, kala dia memanjakanmu. Kamu tidak tahu, kan?" ujar Sabrina, seraya bersikap dada. "Kamu sahabatku, Na. Kenapa kamu melakukan ini semua?!" jeritku tertahan. "Sahabat? Itu dulu, Tsan
"Ce–cerai?" Aku mengangguk, mengiyakan ucapan yang terlontar dari bibir ibuku itu. "Aku capek, Mah. Aku lelah menghadapi masalah yang bertubi-tubi," ungkapku. Mama menghela napas panjang. Tangan wanita itu terus saja mengusap kepalaku yang terasa ngilu. "Sayang, tidak ada rumah tangga yang sempurna. Tidak ada suami istri yang tidak Allah uji kesabarannya dalam menjalankan kodratnya. Iya, Mama dan Papa juga merasa sedih, kaget, dengan kenyataan yang terjadi pada kamu. Namun ... apakah perpisahan akan menjadi jalan terbaik untuk semuanya?" Aku menggelengkan kepala. Aku tidak tahu baik untuk siapa dan sesal untuk siapa jika perceraian menjadi penyelesaian akhir masalahku. Akan tetapi, untuk tetap bersama dengan dikelilingi orang-orang yang berkonflik, kurasa bahagiaku jauh. Aku tidak akan merasa damai dalam hidup. Kecuali, jika Dania dan Sabrina tidak ada. Aku akan merasa tenang, jika kedua wanita itu pergi jauh-jauh dari kehidupanku. Ah, konyol. Bagaimana mungkin mereka hilang b
Dalam kesendirian, otakku melayang pada saat-saat awal menikah dulu. Dia yang dikenal baik dan sopan, selalu membuatku merasa bersyukur setiap saat. Banyak mimpi yang ingin kami raih bersama. Banyak rencana yang kami rancang berdua. Namun, baru satu langkah kami berjalan, badai sudah datang memporak-porandakan bahtera yang kami bina. Kini pernikahanku dan Mas Rendra diguncang prahara. Ikatan suci yang kusangkakan bahagia, sudah di ujung tanduk. Mampukah aku dan dia melewati ini semua? Atau, benar-benar menyerah dan berpisah?"Assalamualaikum."Aku yang tengah duduk dengan kaki menjuntai ke lantai dan membelakangi pintu, langsung menoleh saat mendengar suara salam. "Astaga ...," ujar pria yang baru saja masuk ke kamarku seraya melihatku tak berkedip. "Abang ...." Aku memeluk pria itu saat dia mengulurkan tangan untuk menangkup pipi yang basah ini. "Kenapa bisa seperti ini, Tsa?" Bang Ben bertanya seraya mengusap kepalaku. "Aw!" Aku mengaduh, karena memang terasa sakit. "Hey,
"Kayaknya bukan masalah kerjaan, Tsa. Coba, deh, kamu tanya baik-baik sama Rendra. Siapa tahu, dia ... merindukan ibunya?"Aku termenung mendengar penuturan Papa barusan. Apa iya, suamiku merindukan Ibu? "Kenapa tidak bilang dan pergi temui Ibu? Aku enggak akan larang, kok," kataku kemudian. "Mungkin Rendra malu untuk bilang, makanya dia diam. Kamu sebagai istri, harusnya inisiatif tanya. Bagaimanapun juga, wanita yang saat ini ada di rumah sakit jiwa itu, wanita yang telah melahirkan suamimu. Wajib hukumnya kamu mengingatkan suami agar tetap memperhatikan ibunya. Kalau sehat badan, ya dengan tenaga, kalau punya harta, ya dengan harta. Kalau punya keduanya, lakukan bersamaan. Paham, Tsa?" Aku mengangguk lemah dengan tatapan pada Mas Rendra yang memejamkan mata.Papa yang sudah merasakan kantuk, ia pun pamit pada Ayu, mencium pipi chubby cucunya itu sebelum pergi ke kamar. "Mas." Aku mengusap pipi Mas Rendra dengan lembut. Tidak ada respon. Hanya embusan napas teratur yang kudenga
"Kamu aku izinkan menjenguk Ayu, tapi dengan satu syarat," ujar Mas Rendra, melanjutkan ucapannya yang menggantung. "Apa syaratnya, Mas?" Roy bertanya. "Jangan berharap membawa dia. Aku tidak akan mengizinkan itu."Dengan wajah yang terlihat kecewa, Roy menganggukkan kepalanya. Aku merasa lega, karena Mas Rendra tidak membiarkan Roy mengurus Ayu. Pikirku, Mas Rendra akan dengan senang hati menyerahkan Ayu, membiarkan keponakannya itu diasuh oleh ayah kandungnya. Akan tetapi, itu hanya ketakutanku saja. Mas Rendra juga pasti sudah memikirkan matang-matang tentang jawaban yang dia berikan pada Roy. "Sekarang kamu boleh pergi," ujar Mas Rendra dingin."Mas, sebelum aku pergi, bodoh tidak jika aku menggendong anakku?" Mataku langsung menatap wajah Roy setelah dia berucap demikian. Aku memperhatikan dengan lekat wajah itu, mencari apakah ada niat jelek darinya untuk Ayu. Namun, aku bukan Tuhan yang bisa tahu isi hati manusia. Aku tidak menangkap niat buruk dari Roy, hanya melihat se
Aku dan Mas Rendra saling pandang, sangat terkejut dengan ucapan yang pria itu lontarkan. Mas Rendra membalikkan badan, menatap heran pada pria yang melihat suamiku dengan nyalang. "Siapa yang kau sebut anakku?" tanya suamiku kemudian. Pria itu meneguk ludah dengan kasar. Tanpa mengucapkan satu kata pun, dia pergi menjauhi kami dan naik ke atas kendaraan roda duanya. Mas Rendra mengejar. Suamiku itu berhasil menahan pria asing tadi untuk kabur, sementara aku menghampiri mobil untuk mengambil Ayu yang sengaja kami biarkan di dalam mobil. Awalnya, aku sengaja meninggalkan aku untuk memancing pria itu. Karena aku kira, dia penculik yang mengincar Ayu. Akan tetapi, sepertinya aku salah duga. Dari cara dia tadi berteriak menghentikan Mas Rendra, aku yakin dia bukanlah penculik. "Siapa kamu sebenarnya? Katakan, siapa?!" ujar Mas Rendra, memaksa laki-laki itu untuk bicara. "Lepaskan!" Pria yang kedua tangannya dicekal Mas Rendra, berteriak seraya berontak. "Aku akan melepaskanmu, as
"Ini Anak Bayi mau ke mana? Ya ampun ... pagi-pagi gini sudah cantik aja." "Jalan-jalan, dong, Opa," kataku, menjawab pertanyaan yang Papa tujukan pada Ayu. Sekarang hari minggu. Karena pabrik libur di hari ini, aku pun berinisiatif untuk pergi jalan-jalan bersama Ayu. Alhamdulillah-nya, Mas Rendra tidak menolak ketika aku menyampaikan keinginan untuk pergi di hari minggu. Dan sekarang, aku sudah siap untuk pergi. Tinggal menunggu Mas Rendra yang masih mandi, karena tadi gantian menjaga Ayu. "Kalian mau pergi ke mana? Jangan jauh-jauh, kasihan Ayu. Dan ingat kondisi kamu juga, Tsa," ujar Papa seraya meletakkan Ayu di stroller. "Iya, Papa. Palingan ke taman, terus makan-makan doang, sih. Janji, deh enggak akan pulang malam." Aku mengacungkan dua jari ke depan wajah. "Yasudah, kalian hati-hati, ya? Papa udah transfer buat jajan kalian.""Emh ... Papa .... Makasih," tuturku, lalu memeluk Papa. Sebenarnya, Papa sudah aku ajak untuk ikut bersamaku dan Mas Rendra. Akan tetapi, Papa m
Gorden yang aku tutup tiba-tiba, aku buka kembali untuk melihat orang tadi. Akan tetapi, orang asing itu sudah tidak ada di tempatnya. Dia pergi dan entah ke mana. Hati semakin khawatir, takut jika orang tadi punya niat buruk padaku, atau semua penghuni rumah ini. Sangat menyeramkan. [Mas, tadi ada orang asing yang ngintai rumah kita,] ujarku, mengirimkan pesan pada Mas Rendra. Sayangnya, suamiku itu membalas pesan yang aku kirim. Jangankan membalasnya, dibaca pun tidak sama sekali. Suamiku itu pasti sedang bekerja saat ini. [Pah.] Aku memanggil Papa, lewat pesan juga. Sama seperti Mas Rendra, Papa juga tidak sama sekali membaca pesanku. Ada rasa kesal pada dua lelaki itu karena mengabaikan pesanku, tapi aku juga sadar jika mereka sedang bekerja saat ini. Lalu aku harus apa untuk mengalihkan rasa takut ini? "Astaghfirullah!"Ketukan di pintu membuatku yang tengah melamun, terlonjak kaget mendengarnya. Dada kuusap berulang kali seraya mengatur napas. "Siapa?" tanyaku, seteng
"Setelah Mama pergi, dia belum pernah datang ke mimpi Papa, Tsa. Papa ingin sekali melihatnya," ujar Papa seraya mengusap kedua matanya. Aku tidak bisa melakukan apa-apa. Tanganku mengusap-usap punggung Papa, lalu akhirnya kami berpelukan. Sebenarnya, aku pun merasakan hal yang sama. Tadi setelah salat maghrib, tiba-tiba mengingat Mama. Namun, aku tidak mengatakannya pada siapa pun. Aku pendam rasa ini, karena mungkin hanya aku yang merasakannya. Ternyata tidak, Papa pun merasakan kerinduan yang sama pada wanita yang sudah tidak lagi bersama kami saat ini. "Masih ada penyesalan di sini, Tsa." Papa meraba dadanya. "Seandainya saja saat itu Papa langsung pulang, mungkin sekarang Mama masih ada, ya?" lanjut Papa lagi. "Ssttt .... Jangan bicara seperti itu, Pah. Kan, kata Papa juga semuanya sudah Allah atur. Kapan kita meninggal, di mana dan dengan cara apa, sudah Allah tentukan lebih dulu sebelum kita dilahirkan ke dunia ini."Papa mengurai pelukan, lalu mengangguk pelan. Dia menari
"Waalaikumsalam," ucapku, lalu diikuti Mas Rendra dan Papa. Mataku tak lepas dari seseorang yang saat ini masih bergeming di tempatnya. Begitu juga dengan Mas Rendra dan Papa. Sedangkan yang diperhatikan, matanya memindai kami yang ada di dalam rumah, lalu berhenti di Mas Rendra. Untuk beberapa detik keduanya saling mengunci pandangan, hingga akhirnya Mas Rendra melihat ke arahku seraya tersenyum. "Masuk, Na." Aku berucap demikian. Wanita yang tak lain adalah Sabrina, melangkahkan kaki ke dalam rumah, lalu menyalami Papa yang berada paling dekat dengan pintu. Ayahku berpindah duduk, lalu sofa yang tadi ia tempati, kini diduduki Sabrina. Panjang umur Sabrina ini. Baru saja kami membahasnya, tahu-tahu sekarang dia ada di hadapan kami. "Mas Rendra sejak kapan di sini?" tanya Sabrina pada suamiku. Sebagai seorang wanita dewasa, aku paham betul jika tatapan Sabrina pada suamiku mengandung arti. Masih ada rasa yang aku lihat dari sorot matanya itu. Mas Rendra tidak langsung menjawa
"Kakak kaget, loh tadi pas kamu masuk sama Rendra. Kakak kira, kalian mau ngomongin perpisahan. Eh, tahunya sebaliknya. Seneng, deh lihat kamu ceria lagi kayak gini. Tadi, gimana kata dokter? Janinnya baik-baik saja, kan? Kamunya juga sehat?"Aku terkekeh ketika diberondong banyak pertanyaan oleh Kak Anna. Awal aku datang, wajah Kak Anna memang menunjukkan keheranan. Apa lagi alasannya kalau bukan karena aku yang datang bersama Mas Rendra. Dan setelah dijelaskan, baik Kak Anna maupun Bang Ben, menerima keputusanku. Mereka mendukung penuh aku untuk tetap bersama Mas Rendra, apalagi aku yang tengah mengandung anaknya Mas Rendra. "Kandungan aku baik. Meskipun, tadi pagi sempat kram, tapi Alhamdulillah semuanya normal-normal saja. Aku juga sehat," jawabku kemudian."Syukurlah kalau baik-baik saja. Iya, tahu, kok kalau kalian pasti rindu, kan? Tapi, harus ingat, ada Tsania junior di sini. Atau mungkin, Rendra junior?" Aku tertawa, mengikuti Kak Anna yang terkekeh seraya mengusap-usap p
"Jadi, kalian memutuskan untuk bersama lagi?"Aku dan Mas Rendra mengangguk, menjawab pertanyaan yang diberikan Papa. Sekitar satu jam yang lalu, aku dan Mas Rendra memutuskan pulang ke rumah Papa. Setelah makan bersama, Papa mengajak kami untuk bicara, membahas rumah tangga kami yang sempat berada di ujung perpisahan. "Papa senang, jika akhirnya kalian kembali bersama. Karena bagaimanapun, kalian ini akan jadi orang tua. Sudah jadi orang tua bahkan, karena Ayu adalah bagian dari kalian," ujar Papa lagi. Tanganku dan tangan Mas Rendra saling menggenggam. Kami duduk berdampingan, tidak ingin jauh satu sama lain. "Rendra." Papa menyebut nama suamiku. "Iya, Pah?" "Ini kesempatan terakhir yang Papa berikan kepada kamu. Jika suatu hari nanti kamu membuat kesalahan lagi, menutupi masalah apa pun itu dari Tsania, hingga membuat anak Papa terluka, Papa sendiri yang akan memintamu pergi. Ingat, Rendra. Laki-laki yang dipegang itu omongannya. Maka, bersikaplah seperti ucapan yang kamu jan